Powered By Blogger

Minggu, 16 September 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (5)

Para pejuang yang gigih melawan kanker itu di antaranya adalah salah satu pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri. Di usianya yang ke-59 lelaki tangguh itu terpaksa menyerah terhadap ganasnya kanker nasopharing yang tak lagi mengenal belas kasihan pada tahun 2008. Bayangkan bagaimana hebatnya beliau, sebab tak kurang dari enam belas tahun kanker itu menggerogoti tubuhnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit mencuri stamina yang dibutuhkan beliau untuk menyelesaikan tugas-tugasnya sebagai salah satu tampuk pimpinan di Kemenlu ketika itu, baik di Pejambon maupun di luar negeri.

Dalam keadaan sering merasa kesulitan bernafas (sesak nafas), sakit pada telinga serta mengeluarkan darah dari hidung, beliau yang kemudian terdiagnosa menderita kanker di sekitar rongga hidungnya sama sekali tak menampakkan ketakutan. Tumor yang ada dioperasi, kemudian beliau juga menjalani rangkaian kemoterapi dan radiasi seperti seharusnya. Hasilnya adalah, selain badan menjadi mudah lelah, kulit menghitam, suara beliau pun hilang. Menyandang gangguan seperti ini bagi seorang pejabat pimpinan kantor tentu sangat mengganggu. Tapi ajaibnya, dengan pendampingan istri yang amat sabar serta penuh kasih sayang, beliau bisa tetap bekerja seakan-akan seorang sehat. Tak ada waktu yang disia-siakan, termasuk keharusannya mengikuti berbagai agenda konferensi internasional di belahan bumi lainnya, mengingat jabatan beliau selain Duta Besar juga Direktur Jenderal yang menangani berbagai hubungan bilateral dan multilateral.

Saya teringat mantan suami saya bertutur, bahwasannya pejabat yang tangguh ini benar-benar hanya mampu berbisik sewaktu memimpin rapat. Sehingga beliau kemudian mengandalkan catatan dan jasa anak buahnya sewaktu bekerja. Demikian juga yang saya dengar dari anak buahnya sendiri ketika itu. Dan akibat kegigihan ini, maka secara ajaib beliau akhirnya bisa bersuara lagi meski sangat lirih dan sengau, sehingga akhirnya dipercaya menjadi Duta Besar di suatu negara besar di Eropa menjelang ajalnya. Beliau meninggal di Jakarta dalam suatu tugas kedinasan. Ketika itu beliau sedang mengikuti rapat konsultasi pimpinan dan bersiap kembali ke Eropa lewat Singapura. Namun, dalam perjalanan ke Singapura penyakit beliau menghebat sehingga beliau terpaksa diterbangkan kembali ke Jakarta dalam keadaan tidak sadarkan diri, lalu berpulang.

Saya kini teringat kembali akan istrinya yang selalu menceritakan semangat almarhum untuk sembuh. Rasa-rasanya sih beliau cuma bertujuan untuk menyemangati saya yang juga sudah mulai sakit-sakitan dan rajin menginap di sebuah rumah sakit di Singapura untuk membuang sebagian demi sebagian organ reproduksi saya yang ditumpangi sel-sel liar meski jinak. Dan waktu itu, tentu saja saya amat menghargai upaya beliau. Jadi, saya pun rajin memeriksakan diri ke rumah sakit tanpa sekali waktu pun terlewatkan.

Juga saya terngiang penuturan anak saya sehabis mengikuti kuliah umum beliau di kampusnya. Menurut anak saya, meski suaranya sangat lirih, tapi pemaparannya sangat mudah dimengerti. Menandakan kecerdasan serta keistimewaan beliau. Siapa pun yang mengenal atau pernah berjumpa dengan beliau pasti sepakat dengan kami yang menilai beliau sebagai salah satu diplomat papan atas yang pernah kita miliki. Ya, seingat saya, konsep "wawasan nusantara" antara lain terakomodasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa berkat kegigihan diplomasi beliau. Begitu sepotong kenangan saya akan perjuangan penderita kanker yang sempat saya lihat di depan mata.

***

Perjuangan mantan pejabat tinggi mengatasi rasa sakitnya agar bisa tetap menjalankan tugas yang diamanahkan bangsa kepadanya, mengingatkan saya juga kepada almarhum ipar saya yang kedua. Konon katanya, ketika berpulang di usianya yang ke 46 tahun beliau cuma sakit sebentar. Waktu itu saya sedang tinggal mengikuti penugasan ayah anak-anak saya di luar negeri.

Sebelum kami berpisahan, setahu saya ipar saya cuma menderita penyakit kencing batu, tak lebih dan tak kurang. Tapi saya akui beliau memang takut berobat ke dokter, padahal beliau kurang pandai menjaga asupan makanannya. Sebagai pencari nafkah yang handal, meski kariernya sebagai birokrat hanya di daerah saja, beliau amat disibukkan oleh kegiatan kerjanya.

Setiap mengerjakan tugas kantor beliau tak lupa membekali diri dengan makanan macam-macam, mulai dari yang gurih hingga yang manis. Dengan cara itu ditambah merokok dan minum kopi, beliau bisa bertahan di balik meja kerjanya hingga tengah malam. Selain itu, beliau kerap makan di luar bersama mitra kerjanya, serta kemudian balik ke restoran itu mengajak anak-istrinya dengan tujuan untuk mencicipi nikmatnya hidangan di sana. Setahu saya yang juga kerap ikut makan malam, semua adalah hidangan penuh lemak yang tak menyehatkan, belum lagi hidangan bakar-bakaran alias aneka panggangan.

Karena beliau tak pernah mengeluh sakit serius, istrinya mengira beliau baik-baik saja. Tekanan darah yang sesekali melonjak bisa diatasi dengan meminum obat-obat pemberian dokter serta jamu godogan yang disiapkan kakak saya, istrinya. Begitu pun ketika akhirnya kedapatan beliau mengalami kolik disebabkan tersumbatnya saluran kemih oleh batu-batu pasir, beliau lebih memilih mengandalkan minum jejamuan saja. Dalam pandangannya, minum jamu bisa melunturkan sumbatan itu, karena nyatanya memang demikian.

Sampai tiba suatu hari, beliau pingsan dan muntah darah sebagaimana yang dialami ibu mertua saya. Waktu itu beliau baru melakukan kunjungan kerja ke desa, meneliti saluran irigasi yang menjadi tanggung jawabnya sebagai Kepala Bagian Pengairan. Di dalam buku harian tulisan tangan istrinya, saya menemukan detail dan perjalanan penyakit yang merenggut jiwanya.

Kakak ipar saya pingsan di tengah-tengah sawah, kemudian dibawa masuk ke rumah Ketua Perhimpunan Petani Pemakai Air di sana. Setelah mendapat pertolongan seperlunya, kakak ipar saya kembali sadar. Lalu beliau minta dicarikan tukang pijat, karena beliau berkilah merasa sangat letih. Sehabis itu beliau pulang ke rumah dinasnya di kota. Apa daya, makanan yang dihidangkan kakak saya hari itu ditolaknya semua, sebab beliau merasa kembung serta mual. Maka ketika beliau memuntahkan darah dan merasa sangat sakit pada perutnya, kakak saya membawa beliau pulang ke rumah pribadi mereka di Bandung lalu mengantarkan ke sebuah rumah sakit swasta terkemuka yang sudah sangat tua, tempat kami biasa memercayakan pemeliharaan kesehatan kami. Di sana, melalui serangkaian pemeriksaan yang teliti, kedapatan kanker telah menyerang hati kakak ipar saya. Beliau tak bisa tertolong lagi, dan meninggal hanya beberapa bulan sesudah itu, sedikit agak lebih lama jika dibandingkan dengan penderitaan ibu mertua saya.

Hampir tak ada bedanya dengan kiprah Duta Besar yang direnggut kanker nasofaring itu, kakak ipar saya dalam keadaan sedang bugar masih menyempatkan diri mengerjakan tugas-tugas kantornya. Termasuk ketika untuk pertama kalinya beliau pingsan di tengah-tengah sawah itu. Padahal menurut penelitian dokter yang merawat sebetulnya sebelum pingsan itu, kesehatan beliau sudah sangat buruk. Ginjalnya tak lagi berfungsi sempurna, sehingga kalau dihubung-hubungkan dengan pengamatan kakak saya kemudian benar adanya. Cerita di dalam buku harian kakak saya mengisahkan betapa dia kerap khawatir menyaksikan tubuh suaminya yang berubah tambun tanpa kejelasan yang pasti. Saya menduga itu adalah gemuk air yang diakibatkan oleh kerja ginjalnya yang sudah buruk tanpa disadari.

Adakah kakak ipar saya melalaikan olah raga seperti saya? Tidak. Beliau rutin mengelilingi padang golf juga lapangan tennis setiap minggu, bahkan di saat sedang mengunjungi orang tua kami di Bogor sini. Kegiatan yang juga dilakukan oleh almarhum Duta Besar yang gigih itu tadi. 

Kini saya tergerak untuk mencari tahu sebabnya, selain gaya hidup yang salah, benarkah kurang olah raga juga menjadi pemicu kanker? Saatnya saya terus bergulat, mencari banyak pengetahuan dari sana sini untuk menjawabnya. Saya berharap masih punya cukup waktu sebelum suara seruling dibunyikan malaikat penjemput maut. Insya Allah.

(Bersambung)

12 komentar:

  1. semangat bu Juli.....larass senang sekali membaca tulisan2 bu juli disini....tetap akan menunggu tulisan bu juli, soal kanker nasofaring dulu larass juga pernah mencari2 tahu penyebabnya hinngga saat ini belum banyak yg laras dapatkan tentang kanker nasofaring ini....makasih sudah mengingatkan utk kembali mencari tahu sebabnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas dukungan semangat dan doanya. Nggak di rumah lama nggak di sini, kerjaan saya memang "nakut-nakutin orang" begini :-) Semua tujuannya cuma satu, supaya yang masih sehat ingat akan pentingnya berjaga-jaga.

      Saya akan teruskan nulis semampu saya deh.

      Hapus
  2. semangat uwa...
    fay doakan agar uwa julie segela pulih kembali.
    uwa, blog fay di-follow back dong... hehehe :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, pastinya, kan hidup itu indah, ya terlalu sayang untuk ditinggalkan sekarang mah neng Fay.

      Oh iya maaf lupa, waktu itu uwa masuk belum tahu caranya following ya, jadi belum kefollow. Oke deh sekarang uwa follow, jangan marah ya neng.

      Hapus
    2. masa marah. nggak dong wa. btw, uwa datang nggak ke acara kopdar tanggal 6 nanti?

      Hapus
    3. Iya insya Allah dateng, soalnya kita kan mau berpisahan, jadi kita mesti ngikat tali persaudaraan sekali lagi, biar kita nantinya tetap masih merasa bersatu meski beda kampung, bukan?

      Uwa mau makan es mambonya si Mamah lho neng.

      Hapus
  3. Mampir berteduh di rumah sejuknya mbak Julie :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silahkan dik, rumah saya tetaplah rumah tipe RSS kok. Jadi walau kita berbeda kampung masih tetap bisa bergaul juga 'kan?! Alhamdulillah!

      Hapus
  4. horeeeeeee rumahnya bunda sekarang ada recent komennya ^^
    wah banyak update bunda
    sy ketinggalan
    dashboard sy penuh dgn postingan migrasi teman2 ^^ hihihi
    jadi g keliatan deh

    untung tadi mampir di pecel lele ya bun, kirain blm mulai nulis disini bu :)

    BalasHapus
  5. Eh ada nak In.
    Iya saya sejak pertama buka site di sini langsung ngisi kok, walau nggak tiap hari karena masih berbagi dengan Mp saya. Dan soal recent komen itu, saya bikin begitu diajari njenengan dulu itu lho.

    Selamat makan pecel lele ya nak.

    BalasHapus
  6. no.6 ga ada mbak?
    we are what we eat nih..

    BalasHapus
  7. Ah, berarti saya salah ngasih nomor ya, maklum bikinnya nyicil kalau lagi merasa cukup fit aja nih. Nanti saya edit, terima kaish ya.

    BalasHapus

Pita Pink