Powered By Blogger

Selasa, 11 September 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (2)

Suami teman saya berpulang dengan tenang di sebuah Rumah Sakit Universitas di kota Leuven, Belgia sehabis menonton film dari sebuah pesawat televisi di kamar perawatannya. Artinya dia tidak sempat mendekam di dalam ruang ICU, tapi menurut mantan suami saya, dia begitu butuh penanganan khusus. Sebab dia sudah tidak mampu lagi buang air kecil. Kesadarannya pun hilang-timbul. Suatu saat dia bisa menangkap kekinian, bahkan merasa bersalah tidak sanggup ke kantor selama sekian bulan. Di waktu itulah dia akan sibuk minta disediakan kertas dan alat tulis, sebab dia ingin membuat surat izin sakit sendiri kepada pimpinan tertinggi di kantornya dikarenakan jadwal rapat mingguan pun tak bisa dihadirinya. Artinya ingatannya sangat baik tentang hari Rabu, hari di mana seluruh Kepala Bagian mengadakan rapat melaporkan jalannya pekerjaan mereka selama seminggu. Cerita mantan suami saya, dia bahkan menangis merasa telah mengecewakan pimpinan dan banyak rekan sejawatnya atas ketidak aktifannya bekerja berbulan-bulan lamanya. Tapi di saat lain, dia seperti merasa berada di masa lalu, kisaran waktu sepuluh tahun ke belakang saat dia bertugas di Los Angeles, Amerika Serikat. Tangannya sibuk menunjuk-nunjuk layar kaca sambil berceloteh bahwa scene di hadapannya itu letaknya tak jauh dari kantornya. Dan dia biasa berjalan di jalan raya itu karena mobilnya hanya mendapat parkiran di situ, tak bisa di dekat gedung kantornya sendiri. "Aduh, saya lupa bawa payung, padahal hujan angin ya, aduh bagaimana ini menuju kantor..... saya kebasahan........," cetusnya lirih namun jelas. Lalu istrinya pun membenarkan ungkapan si sakit, bahwa film itu mengambil lokasi di Los Angeles.

***




 

Kasus kanker kedua yang saya jumpai pada kerabat saya menyerang salah seorang mantan pimpinan kantor suami saya. Bapak tua berusia 74 tahun ini terserang kanker yang amat langka diidap lelaki. Kanker payudara, seperti yang kini mampir menggoda saya.

Saya datang menjenguk beliau di Daniel Den Hoed Kliniek, Rotterdam, Nederland yang kami tempuh selama kurang lebih dua jam saja dari Brussels, Belgia. Klinik itu jauh dari bayangan saya sebagai tempat perawatan para pasien kanker, penyakit yang gawat dan menakutkan. Sebab saya jumpai beliau berada di sebuah apartemen tidak terlalu tinggi di wilayah yang katanya disebut "kliniek" itu. Apartemen itu dinamai "Familienhuis" tempat para pasien Daniel Den Hoed Klinik menginap setelah operasi selesai dijalani di gedung Rumah Sakitnya di dekat situ.



Di sana beliau tinggal pada sebuah bilik berupa kamar dan ruang tamu serta kamar mandi tanpa dapur. Persis ruangan inap seorang pasien di kamar VVIP sebuah Rumah Sakit.Tapi suasananya sungguh jauh berbeda. Tak ada peralatan medis dan bau obat-obatan menyengat serta perawat berseragam yang lalu lalang. Semuanya persis seperti di asrama saja, karena ternyata di situ adalah tempat perawatan pasien dari luar negeri yang menetap untuk jangka panjang guna menjalani terapinya. Karenanya pasien di situ terdiri dari berbagai bangsa, termasuk WNI seperti yang saya temui di dapur klinik sedang menyantap makanan yang dimasak ibundanya. Dia gadis berumur kira-kira enam tahun yang datang dari Yogya dengan perempuan yang dipanggil sebagai Mama dan Encim untuk mengikuti terapi bagi penyakit leukemia alias kanker darah yang menyerangnya.

Wajah gadis cilik yang cuma pintar berbahasa Jawa itu nampak bulat tapi jelas tidak sehat. Saya menandainya sebagai "moon face" akibat kebanyakan menelan obat-obatan dari golongan kortikosteroid. Berbeda dari wajah atasan mantan suami saya yang didampingi istrinya. Kelihatan seperti orang sehat begitu pun staminanya, tetap penuh semangat tak berkurang sedikit pun. Hanya, beliau memiliki kulit yang agak gelap dari biasanya. Saya mencurigai beliau menderita efek dari radiasi yang dipakai untuk menyembuhkan kanker payudara beliau yang katanya ditandai dengan perubahan tekstur kulit di sekitar payudara diikuti luka dan keluarnya cairan.

Pasien datang berobat dari Indonesia karena mendengar banyak pasien sembuh di sana. Satu di antaranya adalah bintang film zaman dulu, Marjolien Tambajong alias Rima Melati. Pengobatan di situ diawali dengan operasi payudara diikuti kemoterapi serta radioterapi. Boss mantan suami saya pun sembuh pada akhirnya. Saya sempat terkagum-kagum kepada beliau mengingat beliau tak kelihatan seperti seorang penderita penyakit berat. Dengan gagah beliau bisa menjemput kami di parkiran klinik, lalu mengajak berkeliling untuk meninjau suasana di tempat itu serta akhirnya mengantar kami sampai ke mobil kembali. Sama sekali tak ada kelihatan beliau meringis menahan sakit. Inilah yang kini menyemangati saya untuk juga bisa menahan semua rasa yang kini melemahkan tubuh saya. Semoga saya pun bisa mencapai kemenangan saya melawan penyakit mengerikan ini. Insya Allah!

(Bersambung)

2 komentar:

  1. pernah ketemu rima melati ya mbak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Enggak, kenal pun juga enggak. Tapi semangatnya memotivasi saya deh. :-)

      Hapus

Pita Pink