Powered By Blogger

Rabu, 12 September 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (3)

Pagi musim gugur di Negeri Kincir Angin. Membaur bersama angin kencang  kedai-kedai kopi dipadati pengunjungnya hingga ke trotoar jalanan. Pintu-pintu kedai itu terbuka, sedangkan payung warna-warni ditebarkan di muka kedai. Saya mencium harum aroma kopi yang sedap bersama-sama dengan wangi vanilla, coklat dan keju yang juga memenuhi udara. Rotterdam memang ramai, karena kota pelabuhan itu merupakan salah satu kota terbesar di Belanda.

Saya urung membeli makanan untuk menjenguk mantan pimpinan kantor mantan suami saya, karena saya tak tahu makanan apa yang boleh dimakannya selagi sedang menderita sakit kanker. Akhirnya saya berbelok ke toko bunga dan buah, lalu mengambil beberapa apel, anggur, kiwi, cherry serta jeruk yang ranum-ranum. Pedagangnya tersenyum ramah membuyarkan anggapan saya bahwasannya bule Belanda mantan penjajah kita adalah manusia-manusia yang arogan. 

Ternyata setibanya di "Daniel Den Hoed Familien Haus" yang merupakan bangunan tempat penginapan para pasien kanker yang datang dari luar Belanda, saya diberitahu bahwa mengonsumsi banyak buah-buahan dan sayuran terutama yang mengandung antioksidan memang sangat dianjurkan oleh para dokter bagi penderita kanker. Cherry dan kiwi merupakan dua di antara buah-buah yang sangat baik dikonsumsi selain buah-buah dari golongan berry. Sedangkan brokoli dan kubis-kubisan termasuk brussels sprout yang diindonesiakan menjadi keciwis adalah primadona sayuran pelawan kanker. Ah, beruntunglah saya membawakan buah-buahan saja sebagai buah tangan.

Di situ pasien menyewa tempat lalu mendapat hak untuk menggunakan dapur umum berikut ruang makannya di lantai bawah gedung berbentuk lingkaran itu. Bersihnya gedung amat luar biasa, diisi pula oleh peralatan masak yang serba modern sesuai keadaan di negara maju itu. Masing-masing pasien yang didampingi oleh keluarganya bebas memasak makanan mereka sendiri di sana, asal sesuai dengan panduan diet yang ditetapkan pihak rumah sakit. Saya mencium harum sup dan masakan lainnya yang berasal dari piring makan seseorang di ruang makan, sedangkan seorang ibu lainnya nampak tengah asyik menyiangi sayuran di area masak memasak. 

"Kalau di Indonesia kita hanya boleh makan daging ayam kampung saja, di sini ya kita memilih makan ayam bio yang masih alami," cerita istri atasan mantan suami saya yang dibenarkan oleh seorang nenek dari ras Tionghoa yang sedang menyiapkan hidangan untuk cucunya penderita kanker di situ. "Saya masak semur ayam, biar cucu saya suka, untung di sini banyak yang jual kecap manis seperti di Indonesia hehehehe........," ujar Encim, nenek-nenek itu begitu minta dipanggil, tanpa saya tanya. Sekarang saya membenarkan perkataan mereka. Ya, sinshe yang merawat saya pun membatasi konsumsi protein hewani saya hanya pada daging unggas, sedapat-dapatnya daging ayam kampung.

***

Pertemuan dengan mantan pimpinan kantor mantan suami saya waktu itu, merupakan kesempatan terakhir saya menyaksikan beliau dalam keadaan hidup. Sebab kira-kira empat tahun kemudian beliau berpulang juga di Jakarta karena kelelahan memerangi kanker payudara yang terus-terusan merongrongnya. Waktu itu tubuhnya sudah menjadi sedemikian kurus dengan kulit berkeriput serta menghitam. Adapun rambutnya, karena beliau memang sudah lanjut usia, tentu saja semakin habis hingga menyisakan hanya kulit kepala yang berkilau-kilauan.  

Saya melihat bahwa kemoterapi dan tindakan pembedahan, bukan solusi terbaik penanganan pasien kanker. Kedua kerabat kerja mantan suami saya pada akhirnya berpulang jua setelah menyelesaikan pengobatannya yang tentunya telah dipikirkan dan dirancang dengan matang oleh para dokter pakar onkologi yang telah bersekolah sambil melakukan penelitian bertahun-tahun lamanya. Apa yang menyebabkan cara pengobatan empiris itu tak bisa menuntaskan kesembuhan pasien, bagi saya yang hanya orang awam adalah sebuah tanda tanya besar. Begitu pun ketika kemudian saya mengalaminya sendiri.

Tumbuhan liar yang ikut menetap di dalam tubuh kita, memang tidak semuanya ganas.  Apa yang saya idap ketika pertama kali saya merasakan sakit di bagian perut saya, hanyalah tumbuhan daging dan kista yang jinak di otot rahim serta kedua indung telur saya. Namun sakitnya jangan ditanya!

Saya terpaksa berbaring tidak kurang dari tiga hari setiap bulan ketika penyakit itu mengganggu sebab menstruasi yang datang bersamanya. Ketika tengah tidur di waktu malam, tiba-tiba pinggul saya terasa kaku. Lalu sakit itu menyebar ke seluruh perut, bahkan kakunya melibas kekuatan kaki-kaki dan tangan-tangan saya untuk bergerak. Sebagai akibatnya tentu saja saya tak mampu bangkit dari pembaringan saya. Karena itu, mau tak mau saya harus mencari cara agar tetap bisa bangun melaksanakan tugas-tugas rumah tangga saya. Saya akan menggeser sebelah kaki saya dengan sangat perlahan, lalu menurunkannya ke lantai. Kemudian dengan segala daya saya berupaya memiringkan tubuh saya, agar kini kedua kaki saya bisa sampai di lantai semua. Jika itu terjadi yang makan waktu beberapa menit, saya segera mencoba mengangkat tubuh seraya bertelekan dengan sebelah tangan saya, sementara yang sebelah lagi bergerak cepat untuk bangkit duduk di pembaringan. Baru setelahnya saya bisa menapakkan kedua kaki saya untuk beringsut ke luar dari kamar sambil meringis menahan sakit dan juga peluh yang meleleh deras. Meski peluh itu dingin dan musim winter menggigilkan tubuh di luaran sana. Itulah sepenggal pengalaman saya soal sakit yang saya alami juga pada kurun waktu awalnya.

Bersamaan dengan rasa sakit itu, perut saya pun berontak selalu mencari lubang kloset dalam beberapa jam sekali. Lebih sering lagi dalam bilangan menit. Kendati sakit, saya tetap harus mencapai kamar kecil untuk menuntaskan rasa sakit itu. Ah, derita itu adalah sepotong kecil pengalaman dalam hidup saya soal sakit fisik dan juga psikis.

Dokter Arjoko Wisanto, seorang ahli kebidanan dan kandungan dengan sub spesialisasi kesuburan, telah menemukan ihwal penyakit saya. Katanya, banyak sel endometriosis di dalam organ reproduksi saya. Namun beliau tidak mengharuskan saya untuk segera dioperasi, karena pengobatan endometriosis bisa ditolong dengan suntikan hormon saja. Apalagi saya akan segera bertolak pulang ke Indonesia, sehingga kalau pun saya dioperasi, maka kandungan saya belum kuat untuk dibawa dalam penerbangan jauh yang memakan waktu lebih dari dua belas jam itu. Saya pun patuh mengikuti anjurannya, lalu memasrahkan diri saya kepada setabung kecil hormon yang harganya tak bisa dibilang kecil itu. Bayangkan saja, di tahun 2002 obat itu dihargai satu juta dua ratus ribu rupiah per tabung, padahal saya harus disuntik setiap bulan. Dengan berbekal obat yang sebagian diberikan secara cuma-cuma oleh dokter Wisanto, maka saya pun meninggalkan Belgia. Pulang menuju ke rumah, ke tengah-tengah sanak saudara yang mencintai saya dengan segala kehangatan pribadi mereka. Sungguh, menjadi pesakit di negeri orang adalah derita yang tak terkira susahnya.

(Bersambung)

9 komentar:

  1. Ternyata biarpun saya buka postingan ini lewat reader di WP, tapi komennya nggak bisa pake akun WP saya. Kudu masuk dulu ke BS.
    Gapapa lah... pokoknya saya jadi bisa terus ngikutin postingan Bunda karena akan langsung muncul di WP saya. Horeeeee.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa dari WordPress juga kok bu Dewi. Tinggal pilih profile WordPress ^_^

      Semoga Bunda Julie tetap dilimpahi kesehatan, aamiin. Semangat menulisnya luar biasa menginspirasi yang lain.

      Hapus
    2. Dear readers, oh great, how great to found you back here!!!

      *lha kok jadi mbule?*

      Hapus
    3. Udah dicoba pilih profile Wordpress tapi gagal. Mana tiap mau komen kudu ngisi dulu validasi...

      Hapus
    4. Kayaknya memang ada yang minta begituan deh, tadi saya komen di tempat nak Nurilah Embunpagi2023 juga minta begituan terus, mana susah pula dibacanya. :-(

      Di mana-mana enggak ada yang ngalahin enaknya ngempi hihihihii........

      Hapus
  2. Terima kasih untuk saudara-saudaraku semua, meski Mp sudah mencerai-beraikan kita, tapi semangat persaudaraan kita kan tetap bisa terjaga ya? Kita buktikan kepada yang punya Multiply bahwa kita masih tetap bisa hidup dan sejahtera di luar Multiply. Sebab dunia masih terbentang luas untuk kita tinggali bersama tanpa tersekat-sekat.

    Salam hangat dan peluk sayang untuk semuanya satu-satu!!! :-)))

    BalasHapus
  3. boleh tanya ya mbak.. dulu waktu masih gadis dan kalu menstruasi suka sakit ga perutnya?
    apa karena sakit perut saat menstruasi itu setelah punya anak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, setiap mau mens sampai kira-kira hari ketika sakit perut nggak ketulungan, mana keluarnya buanyak buanget. Sepupu saya aneh lagi, keluarnya bergumpal-gumpal kayak dadih itu lho. Sedangkan teman sekelas saya yang sepupunya Rahayu Effendy tiap bulan sampai izin sakit, karena bener-bener nggak bisa kemana-mana. Begitu rasanya.

      Suatu hari saya malah pingsan di toilet saking nggak tahan sakitnya, hiks!

      Hapus

Pita Pink