Powered By Blogger

Jumat, 28 Februari 2014

INTERMEZZO: DARI GUBUK KE ISTANA (1)

Apa yang akan aku tulis ini agak keluar dari kronologi Serenada Dalam Lembah Biru. Tulisan ini khusus menceritakan saat-saat terakhir ibuku tercinta menjalani hidup di dunia hingga pada waktunya dipindahkan ke rumah barunya yang entah bertipe berapa dan bertingkat berapa. Maka dari itu kusematkan judul INTERMEZZO untuknya.

Jari-jemari ini belum terasa lelah saat ungkapan-ungkapan terakhir bunda tertuang dalam lembar putih nan bercahaya ini sekira hari selasa 18 Februari malam lalu. Justru diri ini yang sempat bertanya pada bunda, "Apa ibu belum capek? Bukannya ibu mau istirahat?". Dalam keadaan nafas yang seperti dibuka-tutup salurannya, beliau hanya menjawab "Belum". Maka tak ada rasa curiga maupun khawatir yang muncul di pikiranku. Aku hanya bisa terus mengagumi sosok wanita yang masih ingin menunjukkan semangatnya ini. "Luar biasa sekali ibuku ini" pikirku dalam hati. Malam itu aku tak bisa mengucapkan perasaan ini keras-keras. Seolah-olah ada yang memaksa diri ini untuk tidak mengatakannya langsung pada bunda. Tapi semua itu terjadi pada hari selasa. Selepas itu, tak ada yang tahu hendak berbuat apa bunda kelak.

Dua hari berselang, malam semakin menusuk raga ini dengan hawa dinginnya. Bunda sudah tak merangkai kata-kata lagi. Mungkin ini adalah istirahat bunda dari kegiatan rutinnya. Apakah ini sekedar istirahat atau "istirahat" yang lebih lama lagi? Malam itu bunda terlelap dengan pulasnya, terbangun setiap dua jam sekali hanya selama kurang lebih satu menit sebelum kembali menikmati tidurnya yang tenang. Selama beberapa hari sebelumnya, tidur menjadi emas dalam gua besar bagi bunda. Satu sampai dengan satu setengah jam lamanya adalah waktu yang paling lama yang bisa bunda tempuh saat terlelap. Lantas selebihnya bunda tak kuasa menutup mata sayunya yang mengundang banyak senyum serta tangan baik untuk menenangkannya. Hari kamis lalu sungguh benar-benar seperti Allah mempersiapkannya untuk tidur lebih tenang lagi di kemudian hari.


Punggung yang terkena decubitus (lecet)


Fajar telah menyongsong di hari Jum'at yang memang tak begitu cerah. Ku bangkit dari tidurku di atas lantai dingin yang ditutupi selimut tebal hasil perburuan kakakku di dekat RS. Bunda telah bangun, hendak dibersihkan badannya oleh perawat-perawat cantik sambil ku bantu mereka memiringkan badannya yang memang sudah tak bisa miring sendiri itu akibat patah tulangnya dan punggungnya sudah terkena decubitus (lecet akibat kuit yang lembab). Setiap ruas tubuhnya diusap menggunakan washlap (mudah-mudahan tulisannya tidak salah, kalau salah nanti bunda yang koreksi dari sana, hehe) beroleskan sabun batangan warna merah yang seolah-olah menggambarkan semangat bunda. Usai dibersihkan, bunda diolesi krim pelembab kulit yang biasa beliau gunakan sudah sejak beberapa tahun belakangan ini semenjak produk serupa yang merupakana merk dagang internasional menjadi tak terjangkau harganya. Kuolesi sampai ke kepalanya yang memang sudah tanpa rambut dan alis.


Saat diuap dengan obat asthma
Seusai dibersihkan, layaknya hari-hari biasa di RS, bunda meminta pada perawat untuk diuapi dengan obat asthma. Hal ini sudah menjadi ritual harian yang dijalani bunda semenjak pindah dirawat di RS Dharmais. Pagi itu proses penguapan berlangsung seperti biasa, namun seusai diuap rupanya nafas bunda tak membaik. Masih teringat di benakku betapa susahnya bunda harus bernafas dalam ketidak berdayaan untuk bergerak.

Selepas itu tak lama kemudian datanglah seporsi nasi kuning lengkap beserta empingnya dan teh manis hangat yang menjadi sarapan pilihan bunda pagi itu. Beliau pun langsung meminta untuk disuapi sarapannya itu. Kuantarkan sendokan pertama ke mulutnya yang masih agak basah setelah dilap tadi. Kemudian kususulkan sendokan kedua yang dilahapnya dengan cukup cepat. Nampak bunda cukup menikmati sarapan pagi itu meski mengaku agar seret. Lalu setelah berhenti sejenak, disantaplah sendokan ketiga dengan perlahan-lahan. Tak berapa lama kemudian bunda meminta menyudahi sarapan paginya. "Sudah ah dik. Buat kamu aja nasi kuningnya" katanya padaku. Tanpa pikir panjang, nasi kuning lengkap yang sejujurnya tak seenak buatan bunda di rumah itu pun kulahap dengan cepat. Mubadzir kalau tak dimakan, pikirku saat itu.

Seusai menyantap nasi kuning, bunda bertanya padaku "Kita punya apa sih dik?" Lalu ku jawab "Ada roti kalau ibu mau." "Roti apa dik?" tanyanya kembali. "Ini yang aku lagi gigit, roti pisang." jawabku. Lalu bunda bilang "Ya udah mau deh daripada gak ada yang dipakai buat ngisi perut." Lantas kuserahkan roti itu ke tangan kanannya yang sudah dipenuhi noda-noda berwarna biru akibat terlalu sering ditusuk jarum baik untuk mengambil darah, diinfus maupun untuk kemoterapi. Baru saja dua gigit bersarang di mulutnya, bunda menyudahi santapan rotinya dan meminta agar diberi obat pagi saja supaya bisa segera tidur lagi dan beristirahat yang cukup. Rupanya obat-obatan itu tak mampu membuatnya terlelap. Bunda semakin gelisah dan tiba-tiba meminta agar tangan kanannya dipegangi. 

Tak lama datanglah petugas laboratorium yang hendak mengambil sample darah. Maka kulepaskan tanganku dari cengkraman tangan bunda sembari mempersilahkan petugas laboratorium bekerja. Tusukan pertama gagal, begitu pula dengan tusukan kedua. Sebab pemeriksaan ini mengharuskan pasien diambil darahnya dari pembuluh darah perifer. Biasanya ketika bunda harus diambil darahnya dari situ, beliau akan merasa sangat amat kesakitan hingga tak jarang berteriak sambil sesekali meneriakkan nama dokter onkologisnya. Namun apa yang terjadi pagi itu cukup berbeda. Tak ada teriakkan sekecil apapun, hanya ada tarikan bibir yang menandakan rasa sakit itu. Diriku pada saat itu hanya berpikir bahwa mungkin bunda sudah mulai terbiasa dengan suntikan di bagian itu. Akhirnya diputuskan bahwa pengambilan darah dibatalkan pagi itu, akan dicoba lagi nanti siang atau sore. Aku dan kakakku bergantian masih terus memegangi tangan kanan bunda yang mencengkram makin kuat. Saat kami hendak mandi pun salah satu tetap harus memegangi tangan bunda. Mungkin ini awal dari firasat buruk bunda yang akhirnya tak tersampaikan kepada kami.


Lengan bunda yang sudah membiru
Awalnya, foto yang sempat kakakku potret untuk menggambarkan tangan bunda yang sudah membiru akibat hematoma adalah yang foto sebelah kiri. Namun dengan instinct fotograferku, aku memotret ulang dengan hasil foto yang di sebelah kanan agar nampak jelas hematomanya serta pasien yang menderita. Ternyata hasilnya malah menyerupai salam perpisahan bunda yang sempat kuabadikan.

Jam menunjukkan pukul 9:30 pagi, seorang perawat masuk seperti biasa membawa alat pengukur tekanan darah. Dengan ramahnya dia mengucapkan "Bu, saya tensi dulu ya". Lalu dibalasnya oleh bunda dengan sebuah anggukan kecil dalam rasa sakit yang teramat sangat pedih. Pada saat yang bersamaan aku pamit untuk pergi ke sebuah pusat perbelanjaan di seberang RS yang meski kecil tapi cukup lengkap. Sebab sejak seminggu belakangan ini, bunda seringkali meminta dibelikan es krim merk "M" yang punya beberapa varian rasa antara lain Brownies, Gold dan Infinity untuk menenangkan pikirannya. Menurut beberapa orang dan hasil jalan-jalan mayaku, cokelat mampu meredakan ketegangan pikiran manusia. "Bu, aku pamit ke SJ dulu ya. Mau beli es krimnya ibu sama keperluan lainnya." Lalu bunda menjawab "Ya udah, hati-hati ya". Pergilah aku dengan segera.

Hanya sekitar satu jam lamanya aku berada di sana, lalu aku kembali ke kamar di RS. Dengan wajah dan badan yang masih agak dihinggapi air-air keringat, aku mengetuk pintu kamar sambil menyapa "Assalamualaikum bu". Betapa terkejutnya aku ketika mendapati bunda dalam keadaan yang terengah-engah. "Ibu kenapa mas?" tanyaku pada kakakku yang setia menemani selama tiga minggu lamanya di RS Dharmais. Secara sigap ia pun menjawab "Gak tahu. Orang ini barusan baru habis diuap lagi kok." dengan wajah yang agak panik. Tanpa pikir panjang, kuperiksa tiap-tiap bagian dari selang oksigen yang memang sudah terpasang sejak awal masuk RS ini. Sebenarnya selang oksigen itu sempat dilepas setelah menjalani operasi patah tulang di paha kirinya. Namun tak sampai dua hari, bunda meminta selang itu dipasang lagi. Lalu akhirnya ku temukan penyebab sesak nafas bunda yang saat itu makin menjadi-jadi. Siapa sangka ternyata selang oksigen bunda tak tersambung lagi ke tabung oksigen selepas diuapi tadi. "Nih mas, selangnya gak nyambung." ujarku. "Oh, maaf banget ya." balasnya dengan nada memelas dan agak panik. Jadi rupanya bunda hanya dipasangi selang oksigen tanpa ada oksigen yang keluar. Saat itu juga kusambungkan kembali selang oksigen itu. Dalam sekejap pernafasan bunda terdengar sedikit membaik walaupun benar-benar hanya sedikit sekali membaiknya.

Melihat kondisi bunda yang semakin mengkhawatirkan, para perawat dibantu dokter umum yang berjaga di lantai 7 tempat bunda dirawat, memutuskan untuk memasang alat monitor untuk memantau detak jantung, tekanan darah, pernafasan serta kadar oksigen bunda. Alat yang sama pernah terpasang tepat seminggu sebelumnya dengan hasil pemantauan yang baik sehingga tak perlu dipasang lebih dari 24 jam. Sampai dengan saat ini, hasil pemantauan melalui layar masih cenderung baik. Tekanan darah masih berkisar di antara 140 sampai 160 sementara detak jantung masih berada di kisaran 90 sampai dengan 102. Sedangkan kadar oksigen dan pernafasannya pun masih cukup bagus, sampai tak ada kesan mengkhawatirkan yang muncul di diri kami.

Tak berselang terlalu lama, bunda sekali lagi minta agar bisa tidur dan beristirahat. Lalu kami dimintanya untuk memintakan sepucuk obat tidur kepada perawat. Ternyata apa daya keinginan bunda ini tak dikabulkan perawat dengan alasan dapat mempengaruhi paru-paru dan kerja jantung. Untuk itu mereka akan berkonsultasi kepada segenap dokter yang menangani bunda dengan penuh kasih sayang. Setelah berkonsultasi dengan dokter orthopedi, ternyata obat tak kunjung diberikan. Dokter orthopedi ternyata ingin berkonsultasi dengan dokter ahli kemoterapi, yang ternyata malah mengonsultasikannya kepada dokter spesialis jantung dan spesialis paru-paru. Sekian jam menunggu obat itu pun tak kunjung bunda dapatkan. Rupanya dokter jantung tak memberikan respon apa-apa. Dengan sigapnya, sekira jam 1 siang meski penuh risiko, dokter ahli kemoterapi memberanikan diri memutuskan untuk memberikan obat tidur dengan dosis terkecil. Namun apa daya bunda merasa sudah terlambat sekali. "Ah, kalau gini ya udah percuma. Ibu udah keburu gak pingin tidur." ujarnya berkali-kali. Kami hanya bisa menenangkan bunda sembari memberi tahu bahwa obat tidur yang akan diminumnya baru akan bereaksi beberapa jam kemudian. Bunda pun makin kesal dan jengkel dengan pihak rumah sakit. Kami memaksanya untuk menelan obat tidur itu bersama obat-obat siang yang biasa bunda konsumsi setiap hari. Tapi siang itu bunda tidak mau makan sama sekali meski menu makan siang telah tersaji sejak 2 jam yang lalu. Maka kami berinisiatif menyuapinya dengan sebuah pisang Cavendish yang hanya mampu bunda santap separuhnya dan tiga belah pepaya. Seusai itu barulah segala obat-obatan tadi kami berikan pada bunda.

Dalam keadaan yang seperti itu kami masih harus terus memegangi tangan bunda yang cengkramannya semakin erat seolah tak ingin berpisah dari kami. Bunda menyuruh kami memesan makan siang yang dapat diantarkan langsung ke kamar dari pusat perbelanjaan di seberang RS agar kami tidak harus melepaskan cengkraman tangan kanannya. Tak berselang terlalu lama, tibalah makanan pesanan kami dan kami disuruhnya untuk makan secara bergantian. Bunda tak kunjung dapat tertidur dan semakin mengeluh tentang lambatnya obat tidur diberikan. Untuk menenangkan diri bunda minta disuapi es krim lagi namun ternyata tak ada pengaruhnya sama sekali. 

Kondisi bunda seusai itu semakin nampak berbeda. Saat itu kondisi bunda seperti seseorang yang tengah batuk berdahak namun tak dapat menelan maupun mengeluarkan dahaknya sendiri. Dahak itu seolah-olah seperti tersangkut di kerongkongannya. Berulang kali bunda memintaku mendekatkan piring ginjal yang selalu tersedia di ranjangnya sebagai wadah apabila seandainya beliau hendak muntah atau mengeluarkan kotoran apapun dari mulutnya. Namun ternyata piring ginjal itu tetaplah bersih hanya berisi sedikit ludah-ludah kecil yang mungkin merupakan hasil dari usaha keras bunda membuang dahaknya. "PirGin.. PirGin.." ucapnya berkali-kali meski tetap saja tak ada yang keluar.

Jam menunjukkan pukul 3 sore dan snack sore pun tiba. Kali ini menunya berupa sepotong kue kecil dan segelas jus alpukat yang memang tak nampak begitu menarik. Bunda masih saja gelisah dengan keadaan yang tak kunjung memberinya kesempatan untuk tertidur. Dalam kegelisahan yang sedemikian beratnya bunda sempat bertanya pada kami "Adik sayang kan sama ibu? Mas sayang kan sama ibu?" yang lalu kami balas dengan jawaban "Ya" serta anggukan kepala terikhlas kami. Seumur hidup, apa yang paling kami bisa ikhlas lakukan dan berikan antara lain adalah merawat dan menyayangi orang tua. Kemudian bunda memintaku untuk mengusap-usap kepalanya yang sudah sama sekali tak memiliki rambut akibat efek kemoterapi terakhir pada tanggal 20 januari lalu di Bogor. Alisnya pun sudah habis bak dicabuti tiap hari oleh mahluk-mahluk tak kasat mata.

Jarum pendek menunjukkan jam 4 sore telah tiba. Bunda bertanya padaku "Kita punya sirup apa?" "Gak ada sirup bu." jawabku. Pertanyaan itu diulangnya sekali sambil kujawab "Kita gak punya sirup bu. Kalaupun aku turun beli ke bawah mungkin udah tutup. Ada juga jus alpukat kalau ibu mau." dengan tenangnya. Beliau hanya menjawab "Ah ya udah." yang tak kuanggap sebagai sesuatu yang terlalu serius.

Sekira satu jam kemudian atau sekitar jam 5 sore, bunda memintaku untuk menyuapkan jus alpukat itu kepadanya. "Ya udah ibu mau deh jus alpukatnya" begitu ujarnya padaku. Tanpa pikir panjang, sesegera itu juga kusuapkan jus alpukat yang sebenarnya isinya tidak terlalu banyak itu. Pada tegukkan terakhir, seperti biasa bunda menganggukkan kepala sebagai isyarat untuk menyudahi minumnya. Jus itu tak dihabiskannya, menyisakan sedikit pada bagian dasarnya atau boleh dikatakan hanya nyaris habis saja.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 5:30. Segelontor cairan berwarna kecokelatan mulai keluar dari mulut bunda yang sebelah kanan. Kubersihkannya dengan beberapa helai tissue kering tanpa ada rasa panik sedikitpun. Aku menganggapnya sebagai kotoran biasa yang mungkin memang tadi tak sempat tertelan. Sekira lima belas menit kemudian atau tepatnya pukul 5:45 keluarlah cairan serupa dari mulut sebelah kirinya yang dengan sigap langsung kubersihkan sambil aku terus mengajak bunda beristighfar seraya menyebut nama Allah SWT. dan menyemangatinya. "Ibu kuat kok bu. Allahu akbar. Bismillahirrahmanirrahim." ujarku berulang kali. Kakakku yang juga berada di ruangan itu turut menjadi panik karenanya. Kusaksikan dengan seksama mata bunda sudah mulai tak bergerak sama sekali. Rasa panik yang teramat sangat ini memaksaku memanggil para perawat yang langsung datang berdua disusul salah seorang perawat lainnya kemudian. Tekanan darah bunda melonjak menjadi 196 sedangkan detak jantungnya menembus angka 126. Dalam waktu yang amat sangat singkat detak jantungnya menurun ke angka 122, 120, 100, 91, 90, 71, 62, 61, 60, lalu sempat naik lagi menjadi 61 dan kemudian 62. Akan tetapi tiba-tiba langsung turun lagi ke angka 45. Karena kondisi yang semakin kritis maka dipanggilah dokter jaga sore itu yang langsung mengecek kondisi secara keseluruhan. Detak jantung semakin merosot hingga ke angka 20-an dan sesaat kemudian tibalah pada titik terakhir yaitu angka NOL (0). Dipegangnya lah nadi bunda lalu dokter itu menyampaikan pada kami "Mas, ikhlaskan aja ya ibunya udah gak ada".

Tanpa ada rasa kaget yang berlebih, kami segera menghubungi semua orang untuk mengabari kejadian ini. Aku sendiri sembari menahan rasa sedih yang teramat dalam ini berusaha menghubungi orang-orang yang ku punya nomor kontaknya di telepon selulerku meski sebagian besar daripada mereka tak mengangkat teleponku. Setengah jam lamanya kami mengabari sanak saudara, kerabat serta teman tentang wafatnya bundaku tercinta. Kakakku tak sama sekali menunjukkan raut wajah yang sedih, malah masih bisa sedikit bergurau dengan orang-orang yang dihubunginya.  

(bersambung)

[Haryadi] 

Selasa, 25 Februari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (180): Bising namun sunyi

elah lima hari bunda menempati alamnya yang baru. Beberapa hari belakangan ini para saudara, teman, tetangga serta kerabat silih berganti berkumpul bersama kami berusaha menguatkan hati kami padahal mereka yang justru tak kuasa menahan derasnya air mata. Nyaris tak bisa dihitung berapa banyak insan yang menangis baik secara fisik (menitikkan air mata) atau hanya sekedar dalam hati. Kemarin pun ada salah satu teman bunda yang datang ke rumah sambil terisak. Setelah aku menceritakan saat-saat terakhirnya, dia malah semakin menjadi-jadi meski masih malu-malu untuk mengambil tissue. Tak lama kemudian akhirnya dia tak kuat lagi menahan derasnya air mata dan meminta izin untuk mengambil sehelasi-dua helai tissue. Kupersilahkan dengan senang hati. Sekali lagi rupanya sosok bunda begitu menginspirasi bagi banyak orang. Ah, masih tak percaya rasanya.

Pagi ini  rasanya beda sekali. Aku bangun agak siang sekitar pukul enam lebih. Lampu-lampu kumatikan sendiri. Jendela-jendela beserta tirainya kubuka sendiri. Padahal biasanya aku terbilang agak manja, mungkin malah cenderung merepotkan bunda. Meski bunda sudah susah berjalan apalagi jika harus turun dari kamar tidurku di lantai atas, beliau nyaris tiap hari turun tangga sendiri lalu kemudian membuka setiap jendela dan mematikan lampu-lampu yang sudah tak perlu dinyalakan. Sedangkan aku bangun lebih siang sekitar pukul 7 atau bahkan dulunya bisa antara pukul 8 hingga 11. Sungguh kebiasaan yang amat buruk. Kali ini semua kulakukan sendiri. Kakakku yang kemarin nampak kelelahan, baru bangun sekitar pukul tujuh kurang, itupun setelah aku berulang kali mencoba membangunkannya. Setelah mematikan lampu dan membuka jendela, tak lupa aku shalat Subuh sekaligus mendoakan bundaku tercinta.

Seusai itu TV di ruang makan pun masih nampak padam. Padahal biasanya bunda sudah "nongkrong" di depan TV sambil menyaksikan berita atau tayangan lain semisal Solusi Keluarga Sakinah: Mamah dan Aa, Was Was atau acara gosip lainnya. Tapi bunda lebih sering memindah-mindah saluran televisi untuk mencari program berita yang sedang tayang. Bahkan semenjak masuk RS, beliau selalu meminta dinyalakan televisi sekitar pukul 6 pagi dan 4 sore untuk mencari program berita. Menurutnya, selama di RS beliau jadi kurang update terhadap kejadian-kejadian di luar sana. Pernah beberapa kali terlontar dari mulutnya pertanyaan "Apa gak ada berita seputar SBY (presiden) ?" Sebab yang ada di benaknya adalah, setiap menyetel TV yang muncul berita letusan gunung Sinabung. Sementara SBY tak mendapat porsi sedikitpun, sampai akhirnya dia mengunjungi para pengungsi erupsi gunung Sinabung meski dengan sedikit "mewah". Terkadang walau belum masuk waktunya tayangan berita, beliau sudah mencari berita. Dan yang terakhir kali sekitar 2 minggu terakhir ini beliau selalu minta disetelkan channel Indosiar tepat pukul 5 sore untuk mentonton kuis yang memang jadi favorit keluarga kami sejak kami masih kecil: New Family Seratus. Mungkin bunda teringant dulu saat tante dan para pamanku masih ada, setiap lebaran pasti kami mengadakan kuis Family 100 tiap lebaran dengan pertanyaan-pertanyaan yang super konyol bersumber dari buku-buku humor. Kakakku yang paling rajin dalam menyiapkan semua pertanyaan padahal usianya pada saat itu masih belum genap 10 tahun. 

Oke, kembalilah ke masa kini. Setelah menunaikan shalat subuh, aku menghangatkan sarapan berupa mie goreng yang telah aku beli malam tadi lalu kunyalakan televisi serta laptoku agar aku bisa sarapan, sambil memantau blog dan Facebook serta sambil menyimak informasi-informasi terkini seperti yang rutin dilakukan bunda. Rupanya pemberitahuan di FB-ku sudah penuh lagi. Blog pun sudah semakin banyak yang membacanya.  Inilah yang mebuat keramaian 2 hari belakangan ini tiba-tiba terasa sunyi.

***

Banyak yang bertanya soal "resep" bunda kepada kami. Lantas "resep" apa yang mereka maksud? Sampai dengan hari ini setahuku, bunda amat jarang menuliskan resep masakan yang ia ketahui, di blognya. Biasanya resep itu hanya akan diajarkan kepada teman-temannya di Dharma Wanita atau orang-orang terdekatnya. Memang bunda dulu punya buku kumpulan resep-resep masakan yang beliau kumpulkan dari berbagai majalah dan tabloid sejak kami kecil dulu. Buku itu tak pernah berpindah tangan. Bunda menyimpannya dengan sangat rapi meski ukurannya cukup besar dan tebal serta pernah diajak keliling dunia nyaris ke semua benua. Tapi rupanya yang ditanyakan orang-orang bukan resep itu. Melainkan "resep" bagaimana bunda mendidik kami anak-anaknya sehingga bisa menjadi seperti sekarang ini. Menurutku pribadi tidak ada resep khusus yang bunda terapkan. Sama sekali tidak ada. Bapakku adalah saksi hidupnya. Beliau yang bersama bunda mendidik kami berdua hingga kami dewasa kini. Benar-benar kami hanya dididik dengan metode yang umum saja. Diajari sopan santun, berkenalan dengan keluarga hingga keluarga yang jauh, serta dibiasakan untuk mendidik diri sendiri tentang kedisiplinan dalam hidup. Salah satunya yang selalu bunda ingat dan kami juga ingat adalah, bapak kami tidak pernah membangunkan orang yang bangun kesiangan. Itu baginya dianggap sebagai resiko atau kesalahannya sendiri. Dengan begitu kami tahu betapa pentingnya bangun pada waktu yang sewajarnya. Seperti pepatah yang mengatakan bahwa kalau kita bangun siang, rejekinya terlanjur diambil orang.

Mungkin orang-orang bertanya seperti itu karena melihat kegigihan dan kesetiaan kami merawat bunda sampai akhir hayatnya tanpa pamrih. Bagiku pribadi, merawat orang tua bukanlah sebuah kewajiban dan bukanlah sebuah keterpaksaan pula. Ini memang sudah naluri saja, rasanya enak sekali kalau bisa merawat orang tua sampai akhir hidupnya. Dua tahun kami berdua merawat bunda dalam kesakitan beliau yang sungguh tak terkira. Di masa-masa sakitnya yang parah ini, beliau tidak pernah sekalipun mengeluh, marah kepada Allah SWT maupun mencaci maki kami hanya karena rasa sakitnya yang sudah tak tertahankan dan kami dianggap kurang perhatian. Selama ini yang orang tahu adalah penyakit Kanker Payudara bunda yang sudah 2 tahun bersarang di tubuhnya. Tapi sesungguhnya, penyakit beliau telah ada sejak 14 tahun yang lalu. Waktu itu kami masih terlalu kecil untuk mengerti rasa sakitnya. Sehingga tak banyak yang bisa kami lakukan untuk menenangkannya dari semua rasa sakit yang dideritanya. Kasihan sekali rasanya kalau melihat semua itu ke belakang. 

Salah satu senyum terindahnya semasa sakit
Bunda selalu menegaskan kepada semua orang bahwa dirinya telah diberi nyawa tambahan sebanyak 12 kali oleh Allah SWT sang maha pencipta. Dua belas kali? Memang begitulah kenyataannya. Sepanjang hidupnya, beliau sudah keluar-masuk kamar bedah sebanyak 13 kali dengan operasi patah tulang kemarin sebagai hitungan yang ke-13. Selebihnya bermacam-macam termasuk melahirkan kami berdua secara cesar, operasi minor seperti gigi dan amandel, serta berbagai operasi lainnya di bagian perut dan bahu yang berujung pada penyakit kankernya ini. Lantas mengapa bunda tidak pernah menyebutkan nyawa tambahan yang ke-13? Mungkin itulah tanda dari Yang Maha Esa bahwa setelah itu beliau tak akan diberi nyawa tambahan lagi. Sudah cukup bagiNya memberi kesempatan bagi bunda untuk menjalani hidup di dunia ini bersama kami dan keluarganya serta teman-teman terkasih. Tanpa perlu mendengar apa-apa lagi dari bunda, kami sudah tahu bahwa 12 nyawa tambahan adalah bentuk kekuatan dan semangat hidup yang amat tinggi yang bunda tularkan pada kami. Sejak kecil memang bunda cenderung sering sakit. Tapi operasinya tak sebanyak setelah beliau dewasa dan punya kami berdua. Hanya memang keluarga beliau dulu, termasuk kakek & nenek kami seolah tak percaya bahwa beliau memang penyakitan. Bunda acap kali dianggap berlebihan dan hanya ikut-ikutan sakit. Namun pada akhirnya semua itu terbukti. Tak perlu ada yang disesali. Mungkin memang begitulah cara kakek & nenek kami mendidik bunda agar menjadi insan yang lebih kuat dan tidak mudah mengeluh.

Kepergian bunda rupanya telah dipersiapkan oleh kakek-nenek kami sejak dulu. Setidaknya dalam keadaan sakit yang luar biasa sekalipun, bunda sudah tahu bahwa dirinya tak boleh mengeluh. Ya mungkin inilah cara Allah SWT mempersiapkan umatnya untuk mampu menjalani hidup di dunia maupun di akhirat. Wallahhu a’lam.

(bersambung)

[Haryadi]


Minggu, 23 Februari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (179): Akhir Dari Sebuah Awal

Pertama-tama perkenankan saya, Haryadi, putra bunda Julie yang bungsu untuk menyampaikan banyak terima kasih atas kesediaan dan keikhlasan teman-teman bloggers baik yang dulunya punya sarang di Multiply maupun yang sekarang baru bertemu beliau di Blogspot atau yang hanya mengintip dari Wordpress untuk menyemangati serta mengantar beliau sampai ke rumahnya yang terakhir meski seharian diguyur hujan deras. Mulai saat ini, blog ini akan saya isi semampu saya, dengan cara penyampaian saya yang jelas berbeda dari ibu saya, dan dengan isi yang benar-benar apa adanya. Mohon dimaklumi jika apa yang akan saya tulis kelak mungkin terlalu terbuka. Sepertinya memang setelah ditinggal ibu, urat malu saya sudah terputus satu. Saya hanya ingin melanjutkan apa yang pernah ibu saya mulai sejak di Multiply sampai sekarang. Saya yang memperkenalkannya dengan Multiply. Kemudian saya yang menyarankannya agar bersarang di Blogspot. Semuanya ingin saya buka apa adanya agar yang membaca pun bisa mengambil hikmahnya dan Insya Allah bisa bermanfaat untuk orang banyak.

***

esungguhnya tiada yang tahu apa kehendak Allah SWT. Tuhan yang maha pengasih serta maha penyayang selanjutnya. Kita sebagai umat manusia hanya bisa tawakal dan terus berikhtiar agar kehidupan kelak akan menjadi lebih baik.

Sebenarnya saat ini tak ada sama sekali rasa kecewa maupun kehilangan berlebih terhadap sosok yang sehari-hari aku panggil Ibu, Un, Une, Mamutnyuw, Mutnyuw, atau yang biasa disapa teman-teman maya sebagai Bunda. Oleh karena ini adalah dunia yang agak berbeda dari kehidupan di alam nyata dan di sinilah beliau rajin meluangkan sedikit atau banyak waktunya untuk berbagi apa saja yang ada di dalam pikirannya dengan orang banyak, maka aku akan memanggilnya sesuai panggilan sayang teman-teman bloggers, Bunda.

Seperti segala hal yang bersentuhan dengan hamparan pasir, bunda pun tak lupa selalu meninggalkan jejak atau berpesan kepada diri kami akan banyak hal. Jejak yang bunda tinggalkan selama ini, hanya kami anggap sebagai pesan biasa dan belum tentu akan terjadi maupun terbukti. Semuanya Wallahu’alam bissawab, benar-benar hanya Allah SWT yang tahu. Tapi perlahan-lahan satu per satu pesan bunda mulai muncul kebenarannya. Kami merasakan sendiri semua yang pernah bunda pesankan dalam masa akhir-akhir hidupnya.
Ramainya pengiring bunda

Bunda pernah berpesan banyak hal sewaktu beliau sudah mulai sakit dan mulai berobat ke sana ke mari, meminta belas kasihan pemerintah melalui program Jamkesda yang mengharuskan peserta memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Dari namanya saja sudah cukup jelas bahwa memang surat ini diperuntukkan bagi warga yang tidak mampu. Mungkin bunda bukan kriteria warga yang seperti itu. Rumah kami tak bisa dibilang mungil. Dibilang sederhana pun rasanya amat tidak pantas. Untuk dinyatakan tua dan tak terawat pun mustahil. Sebab kondisinya memang masih cukup kokoh, bersih dan terawat. Lantai masih dari keramik, tembok pun bukan dari bilik. Atapnya pun sudah genteng yang layak. Hanya ada kebocoran sedikit di sana sini.

Salah satu pesan bunda yang selalu saya ingat sampai dengan hari ini adalah:

"Kalian berdua berkorban demi ibu, untuk kesembuhan ibu, ikhlas tanpa pernah mengeluh. Jadi segala rizki dan kebaikan yang kalian terima sekarang ini adalah buah kerja keras kalian dalam merawat ibu. Kelak kalau nanti ada lagi bantuan-bantuan tak terduga dari orang-orang, itu juga karena keikhlasan kalian dalam merawat ibu. Ibu bersyukur punya anak seperti kalian berdua yang sekaligus sebagai penyemangat hidup."

Kira-kira begitulah pesan yang berulang kali bunda ucapkan di hadapan kami. Bagi kami saat itu, ini hanyalah salah satu cara bunda untuk menenangkan pikiran kami, untuk menyemangati kami dan untuk menunjukkan kepada kami bahwa yang hebat bukanlah beliau melainkan kami berdua. Tapi kami tidak pernah berpikir bahwa inilah pesan terhebat yang pernah bunda sampaikan semasa hidupnya. Inilah pesan yang setiap kali aku ingat-ingat belakangan ini selalu membuatku menitikkan air mata. Sementara bagi kakakku, ini hanyalah sebuah pesan. Tidak perlu melibatkan air mata apalagi sampai menciptakan replika air terjun Niagara yang kebetulan berada di negeri kelahirannya, di wajah kami. Saat kuketik kata-kata ini pun perasaanku masih sangat amat terharu. Ya, terharu. Rasa haru yang sangat amat luar biasa. Aku bukan bermaksud menyesali kepergian bunda. Itu semua sudah aku ikhlaskan. Tapi kekuatannya yang beliau sampaikan kepada kami memang benar-benar tiada duanya.

Hal serupa ternyata juga dirasakan oleh banyak sekali bloggers. Dari sekian banyak pesan-pesan yang bermunculan di Facebook, salah satu yang cukup menyita perhatianku adalah pesan dari:

Shanti Saptaning "Bunda Julie sudah menyentuh banyak hati teman2 mpers, banyak yg mendoaka, banyak yg merindukan, selamat jalan Bundel ...."

Jujur sebelum ini, aku sendiri belum pernah melihat atau sekedar tahu ada orang yang sebegitu dirindukannya apalagi orang itu hanyalah seorang penulis di blog. Mungkin banyak pembacanya yang tidak pernah bertemu langsung. 

Doa dari salah satu blogger lainnya yang juga menyita perhatianku adalah:

Arum Indriani Wisnu Nagara

"Subhanallah, beliau ini contoh nyata tentang kekuatan bertahan dan gak menyerah. Semoga beliau dilapangkan dan diterangkan kuburnya oleh Allah. Aamiin"

Kalau hendak dikutip satu per satu rasanya hampir tidak mungkin. Begitu banyaknya pesan yang tertulis mendoakan bunda sampai rasanya aku seperti selalu menunggu update-an terbaru karena takut ada pesan yang tak terbaca padahal itu adalah doa.

Ternyata apa yang bunda pesankan selama ini benar adanya. Bukan hanya perhatian teman-teman bloggers yang luar biasa banyak tadi, tapi juga dari pihak keluargaku. Semenjak bunda dinyatakan wafat pada Juma't sore sekitar pukul 17:45 WIB, aku dan kakakku sama sekali tidak harus dipusingkan dalam mengurus hal-hal baik administratif di RS maupun mempersiapkan penyambutan bunda di rumah kami hingga proses shalat jenazah di masjid dan pemakamannya. Semua sudah diurus oleh sepupu-sepupuku tercinta. Padahal apalah yang pernah aku perbuat untuk membantu mereka? Aku masih kuliah tingkat akhir, aku tak selalu bisa ke tempat mereka, aku tak pernah sempat ikut mendoakan almarhum tanteku/budeku yaitu kakak pertama ibuku yang wafat pada bulan November 2013 lalu dengan penyakit yang sama namun stadium yang masih lebih rendah pada setiap kesempatan tahlilan. Selama ini aku seperti mau menang atau enaknya sendiri. Hanya bunda yang aku pikirkan tiap hari jam menit hingga detik. Semua kebaikan ini terasa bagai mimpi yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Bahkan percaya atau tidak, aku nyaris tak mengeluarkan sepeserpun uang untuk segala proses di atas. Subhanallah. Betapa adil dan baiknya engkau ya Allah. Inilah bukti bahwa doa seorang ibu itu memang dahsyat adanya.

Buku inilah yang paling pertama kulihat.
Seperti secara tiba-tiba, sore tadi menjelang maghrib, aku merapikan setumpukan buku-buku yang ada di meja tidur di samping ranjangku. Rupanya buku yang paling atas yang paling dulu kulihat berjudul "Dahsyatnya Do'a Ibu". Seketika itu juga aku akhirnya menciptakan replika air terjun Niagara di wajahku. Subhanallah, pikirku dalam hati. Ternyata apa yang bunda sampaikan akhirnya menjadi kenyataan. Sembari menuliskan kejadian tadi sore ini mataku kembali berkaca-kaca. Memang inilah yang ingin Allah tegaskan kepada umatnya bahwa apabila Dia berkehendak, maka jadilah kenyataan. Bahwa memang Doa seorang ibu itu begitu dahsyatnya.

(bersambung)

[Haryadi]

Jumat, 21 Februari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (178)

asa-rasanya penyakit saya semakin memerlukan perhatian dan perlakuan yang khusus. Hingga hari ini, penyakit asma saya masih belum tertangani dengan baik. Meski saya tidak lagi mengeluarkan suara yang bising dari rongga paru-paru saya, akan tetapi sesak nafas saya tetap saja ada. Hal ini membuat saya sulit untuk berbicara secara leluasa. Karenanya, setiap hari saya harus diinhalasi yakni diuapi dengan obat-obat tertentu yang dimasukkan ke dalam jalan nafas saya melalui selang oksigen. Selain itu, kondisi fisik saya secara umum juga cukup buruk. Darah saya masih saja terlalu kental sehingga dokter perlu memberikan obat pengencer darah. Dan dokter ahli penyakit jantung pun masih rajin memantau kondisi kondisi detak jantung saya yang seringkali terlalu cepat. 

Keadaan-keadaan seperti ini membuat saya belum sanggup untuk kembali ke meja radiasi walau hanya sekedar untuk melanjutkan pembuatan peta kepala saya yang perlu ditutupi ketika radiasi sedang berlangsung. Masalahnya, di atas meja radiasi saya harus berbaring terlentang tanpa bantal. Sehingga saya potensial akan bertambah merasa sesak nafas. Padahal radiasi itu diharapkan dapat menjadi senjata ampuh untuk melawan tumor-tumor yang tumbuh sangat cepat dan ganas di tengkorak kepala saya.

Sedangkan untuk membasmi tumor yang semakin massive di tulang selangka saya, dokter akan menggunakan kemoterapi. Dalam keadaan kondisi fisik saya secara umum yang tidak prima kemoterapi pun tak bisa dilakukan. Hal ini menimbulkan kerisauan pada diri saya, apalagi pada onkologis saya dan dokter ahli kemoterapi.

***

Sudah beberapa hari saya selalu merasa amat kesakitan. Tumor di tulang selangka saya masih terus tumbuh meski ukurannya sudah menyerupai buah mangga Indramayu. Rasa sakitnya jangan ditanya, sungguh amat menyiksa. Apalagi, tangna saya yang terserang cacat linfedema sehabis operasi pengangkataan kelenjar getah being saya tahun lalu juga terasa amat menyakitkan. Pasalnya tumor dan limfedema saya letaknya saling berdekatan bahkan bersambungan. Tangan yang terserang limfedema itu dulunya rajin saya bawa setiap seminggiu tiga kali untuk difisioterapi di Instalasi Rehabilitasi Medik. Akan tetapi lama-lama saya kewalahan juga. Yakni ketika kaki saya mulai terasa sakit yang ternyata diakibatkan oleh munculnya penyebaran tumor di tulang yang kemudian patah ketika saya terjatuh sebulan yang lalu. Saya baru kembali lagi difisioterapi di Instalasi Rehabilitasi Medik pertengahan pekan lalu. Atas perintah dokter, setiap hari berhubung saya sudah pasien rawat inap di RSK Dharmais ini, awal pekan ini terapis senior memfisioterapi saya sambil mengajari mahasiswa-mahasiswa yang sedang magang. Caranya memfisioterapi tentu saja diupayakan begitu perfect mengakibatkan saya merasa amat nyeri. Hanya sekitar 2 jam setelah difisioterapi itu, tangan limfedema sekaligus tumor di tulang selangka saya merasa amat sakit. Karena begitu sakitnya saya sampai menangis kuat-kuat serta minta obat penahan nyeri yang lebih kuat lagi kepada tenaga medis. Bahkan semalaman saya sampai tidak dapat tidur. Hal ini amat mengejutkan adik sepupu mantan suami saya yang kebetulan menginap menjaga saya semalaman di RS. Katanya beliau tak tega mendengar tangisan saya, sebab ketika beliau merawat saya dahulu di sebuah RS di Singapura untuk membuang rahim, indung telur, serta usus halus saya yang juga ditumbuhi penyakit saya tidak pernah merasakan kesakitan seperti ini. Sehingga akhirnya, keesokan harinya saya mangkir dan mogok difisioterapi. Tetapi hasilnya apadaya di pagi hari berikutnya saya sudah terbangun pada pukul tiga pagi oleh serangan nyeri yang menurut saya jauh lebih nyeri daripada serangan sebelumnya. Padahal sebelum tidur saya sudah mendapat obat penahan nyeri dalam dosis tinggi. 

Karena tak tahan lagi akan rasa nyeri itu saya terpaksa memanggil dan membangunkan perawat untuk mengadukan keadaan saya supaya saya boleh mendapat obat penahan nyeri lainnya yang lebih ampuh dan lebih kuat. Mula-mula saya, masih setia menanti kedatangan perawat itu setengah jam lamanya. Tetapi lama-kelamaan ketika dia tidak juga datang sedangkan rasa sakit menyengat maka saya memanggil perawat sekali lagi. Kali itu anak saya Andri ikut terbangun. Bersama saya dia menunggu respons perawat. Sayangnya perawat yang masuk kemudian ke kamar saya, cuma bisa menjanjikan akan melapor terlebih dulu kepada dokter jaga yang ternyata amat lamban dilakukannya sehingga sempat membuat saya menangis meraung-raung bagaikan seorang bayi. Karena anak saya tak tahan lagi mendengar erangan-erangan saya yang lebih tepat disebut jeritan, maka dia berupaya mencari perawat lain. Setelah itu barulah seorang perawat lelaki mendengarkan keluhan saya dan memenuhinya. Agaknya setelah satu jam mereka baru mau memenuhi permintaan saya. Saya pun lalu mendapat obat penahan nyeri dosis tinggi yang langsung disuntikkan ke dalam pembuluh darah saya. Efeknya tidak segera terasa. Baru kira-kira 45 menit kemudian rasa sakit itu teratasi. Dan sepanjang 45 menit itu saya tetap jua menagis meraung-raung tanpa mengenal rasa malu meski suara saya terdengar ke mana-mana. Ah agaknya air mata saya menjadi senjata untunk menerbitkan belas kasihan para perawat. Kejadian itu terulang lagi malam ini sejak sore hari. Anak-anak saya kemudian menagih obat penahan nyeri yang agaknya karena habis persediaannya, tak saya terima. Maka kemudian saya memaksa perawat untuk memberikan obat sejenis lainnya yang efeknya jauh lebih kuat lagi karena cara memakainya langsung dimasukkan ke dalam tubuh melalui lubang anus pasien. Obat ini hanya perlu waktu setengah jam saja itupun paling lama, untuk dirasakan hasilnya.Tapi pada akhirnya rasa sakit mereda dan saya dapat tidur sekitar 2 jam hingga pagi menjelang. Berhubung saya jera dengan pengalaman malam-malam sebelumnya, tadi malam sebelum tidur saya minta obat itu lagi, sekaligus minta diuapi dengan tehnik inhalasi yang buktinya ampuh menjangkau seluruh kantung alveola di paru-paru saya. Saya bangun pada waktu yang normal menurut jam biologis saya Tentu saja mengucap syukur dan merasa amat beruntung atas keadaan ini. 

Pukul setengah enam pagi perawat memandikan saya dengan cara hanya mengelap tubuh saya yang sama sekali belum bisa banyak bergerak. di atas kasur yang saya tiduri. Kegiatan mandi ini meski cuma sebentar dan seadanya amatlah saya sukai. Sebab tubuh saya bagian belakang mulai mengalami luka-luka kulit yang menyeluruh akibat berbaring pada satu posisi saja sebulan penuh lamanya. 

Susahnya, setiap kali habis dimandikan tubuh saya akan selalu merasa kelelahan. Ditandai oleh nafas yang memburu pendek-pendek dan putus-putus. Dokter ahli paru-paru yang dijadikan konsulen onkologis saya di dalam merawat saya menegaskan bahwa saya terbukti memang tidak dapat melakukan kegiatan fisik seringan apapun di saat seperti sekarang ini. Ingatan saya kemudian melayang ke masa-masa lalu di saat saya masih sekolah dan menyandang predikat ABG. Pada masa-masa itu saya sering sekali mendapat disepensasi dari guru olahraga saya untuk tak mengikuti prlajaran yang diajarkannya. Tentu saja kemudahan yang saya terima saat itu membuat iri teman-teman saya bahkan menuai protes Tapi the life must go on. Dulu saya tak terpengaruh protes teman-teman saya, sehingga nilai pelajaran olah raga saya selalu di angka 6. Hal yang lebih menyedihkan lagi adalah ketika di tahun 2006 ketika saya ditugasi membawa teman-teman DWP saya dari KBRI Singapura  melakukan kunjungan kerja ke tempat teman-teman yang sedang mengikuti penugasan suami mereka di eropa. Kami bepergian selama satu minggu ke tiga begaara. Akan tetapi DI hari keempat saya justru ambruk total. Di hari itu saya terpaksa dipuiangkan ke penginapan kami di pinggirian kota Paris, Perancis. Karena ternyata saya sama sekali tak mampu lagi bangkit berdiri untuk berjalan dan menyertai teman-teman menyelesaikan agenda kunjungan kami selama 2 hari di sana. 

-----------------------------------------------------------------------------------

upanya sampai di sini pertempuran sengit antara kanker dan pengobatan itu. Alinea di atas adalah titik akhir yang sesungguhnya. Tak ada kelanjutan yang dapat terungkap melalui rongga-rongga mulut beliau. Kini hanya "tangan-tangan mungilnya" yang mampu menyampaikan segala hal yang belum sempat tersampaikan. Beliau sudah tenang di sisiNya dan kami yakin beliau tidak akan pernah berhenti bercerita tentang segala kisah hidupnya baik pahit maupun bahagia dari tempatnya sekarang yaitu di surga yang telah Allah SWT janjikan bagi umatnya yang beriman dan bertaqwa. Doa serta dukungan dari teman-teman semua amatlah berharga bagi beliau, sosok yang bagi kami begitu luar biasa tiada tandingannya. Mungkin kami hanyalah bagian terkecil dari kekuatannya, tapi kami yakin Insya Allah apa yang telah beliau perjuangkan selama ini akan bisa kami selesaikan dengan lebih baik lagi.

Inilah kondisi terkini ibunda. Tak kuasa kami menahan air mata yang sudah menggenangi pelupuk mata ini. Semoga engkau kini ditempatkan di tempat terindah bersama putramu Dimasdjati Utomo bin Andradjati dan seluruh keluargamu, bu. Kami akan terus berusaha untuk menyelesaikan apa yang belum sempat kau selesaikan. SELAMAT JALAN IBU!





Senin, 17 Februari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (177)


ur'an adalah panduan hidup keluarga kami. Walaupun di antara kami tiada yang fasih, sering menimbulkan protes dari almarhumah kakak sulung saya. Tetapi kami tetap menggunakan Al-Quran sebagai acuan di dalam bertindak setiap hari. Suatu hari teman-teman SMP saya yang setia Rini, Winnie, dan Ati datang menengok saya tanpa pemberitahuan ke rumah. Kata mereka kemudian, ternyata saya sedang berbaring-baring sambil membaca Al-Quran kecil. Mereka amat menghargai saya karenanya. Karena dalam keadaan kesakitan yang sangat, saya masih juga bersentuhan dengan Al-Quran. Padahal saya sendiri menganggap apa yang saya lakukan adalah hal wajar yang biasa dilakukan oleh umat Islam di seluruh dunia. Jadi perbuatan saya tidak aneh bukan?

Saya dan anak-anak saya tidak pernah menganggap diri kami shalehah dan sholeh. Tapi Insya Allah nama dan keagungan Allah SWT tak pernah hilang dari ingatan kami. Seperti apa yang diingatkan Anida, teman masa kecil suami saya sebagai berikut:

"Manfaat mengucap kata Allah bagi kesehatan.

Dalam sebuah penelitian di Belanda yang dilakukan oleh seorang profesor psychologist yang bernama Vander Hoven (VH), di mana telah melakukan sebuah survei terhadap pasien di rumah sakit Belanda yang kesemuanya non-musliom selama 3 tahun.

Dalam penelitian tersebut Vander Hoven melatih pasien untuk mengucapkan kata Allah dengan jelas dan berulang-ulang. Hasil dari penelitian tersebut sangat mengejutkan. Terutama sekali untuk pasien yang mengalami gangguan pada fungsi hati dan orang yang mengalami stress atau ketegangan. Alwatan, surat kabar Saudi sebagaimana mengutip dari pernyataan profesor VH, yang mengatakan bahwa seorang muslim yang biasa membaca Al-Quran secara rutin dapat melindungi mereka dari penyakit mental dan penyakit-penyakit yang ada hubungannya (psychological diseases). Vander Hoven juga menerangkan bagaimana pengucapan kata Allah tersebut sebagai solusi dari kesehatan. Ia menekankan dalam penelitiannya bahwa huruf pertama dalam Allah yaitu A dapat melonggarkan (melancarkan) pada jalur pernafasan dan mengontrol pernafasan. Huruf konsonan L di mana loidah menyentuh bagian atas rahang, dapat memberikan efek rileks. Vander Hoven menambahkan bahwa huruf H pada Allah dapat menghubungkan antara paru-paru dan jantung di mana dapat mengtrol sistem dari denyut jantung. 

Subhanallah! Sungguh luar biasa kebesaran Allah ta'ala ini di mana peneltian yang dilakukan oleh seorang profesor non muslim yang tertarik dan meneliti akan rahasia Al-Quran ini sangat mengejutkan para ahli kesehatan di Belanda."

Saya tahu pesan Anida ini yang dikirimnya lewat SMS, bermaksud untuk mengingatkan saya untuk senantiasa berdzikir terutama ketika sakit keras di rumah sakit. Saya bukannya tidak mau diingatkan begitu, tetapi saya ketika melakukannya beberapa hari yang lalu dengan dzikir di dalam hati justru kehabisan nafas sehingga menyebabkan serangan berat kemarin pagi. Jadi menurut saya, para dokter dan perawat, kita harus bisa mengukur sendiri seberapa besar kemampuan kita untuk mengucap dzikir di saat-saat sakit begini. Memaksakan diri justru tidak disukai oleh Alah SWT.

Hari kemarin serangan asma saya membaik setelah dokter ahli jantung memerintahkan perawat untuk memasang alat-alat pemonitor denyut jantung, tekanan darah, kapasitas oksigen serta kemampuan bernafas saya sepanjang 24 jam. Alat-alat itu berbunyi amat berisik, membuat saya tak dapat tidur. Bayangkan saja, dalam 24 jam saya hanya mampu tidur satu setengah jam saja, yakni sejak pukul 2 pagi hingga pukul setengah empat menjelang subuh. Padahal siang harinya si bungsu, telah menolak setiap orang yang ingin datang menjenguk kecuali keluarga dekat kami. Kerabat mantan suami saya yang sudah seperti saudara kandung kami sendiri, cuma berani datang setengah jam di waktu sore bertiga peserta putri dan kemenakannya. Sekedar memenuhi keinginan saya yang rindu kepada beliau dan memberikan dukungan moral kepada kedua anak saya yang sudah berminggu-minggu tak pulang ke rumah demi untuk merawat saya. Apalagi seharian kemarin keadaan saya betul-betul memburuk.

Selain tak dapat tidur, sudah lima hari saya tidak dapat buang air besar. Padahal di rumah sakit, makanan dari dapur datang sehari 5 kali dan harus dimakan oleh pasien sedapat mungkin. Menurut anak saya, keadaan perut saya yang penuh itulah yang menyebabkan saya tak dapat tidur. Dia teringat episode kejang otak di kampung halaman ketika saya memaksakan diri mengejan untuk buang air besar. Saya pun sepakat dengannya. Karena itu kemarin, saya mengeluhkan hal ini kepada salah seorang dokter saya. Beliau berjanji akan meresepkan obat pencahar yang langsung akan dimasukkan lewat anus. Tetapi saya tunggu sampai sore obat itu tak ada juga. Maka saya menagih kepada salah seorang perawat yang justru mengatakan sama sekali tak tahu-menahui soal pemberian obat itu. Kemudian saya katakan kalau memang begitu saya minta dipompa saja. Waktu itu sudah lewat tengah malam. Perawat mengatakan tidak berani melakukannya. Sebab akan sulit mencari alatnya di tengah malam buta begini. Dia malah menyuruh saya melupakan semuanya dan mencoba untuk tidur saja. Ah! Mana mungkin saya dapat tidur dengan perut yang begitu penuh. Akhirnya saya nekat untuk dimintakan sedikit obat tidur kepda dokter jaga. Ternyata usulan ini bahkan ditolak keras oleh pihak rumah sakit. Alasannya, penderita asma yang sedang dalam serangan akan sangat berbahaya jika menelan obat tidur. Bahkan jika saya meminta untuk dipompa untuk mengosongkan perut saya, itu pun tidak boleh sembarangan. Alasanya kadar sel darah merah (hemoglobin) pasien harus dicek terleih dahulu. Sebab jika jumlahnya tidak sesuai, pasien bisa kejang otak seperti yang saya alami beberapa minggu yang lalu. Akhirnya dalam keputusasaan saya hanya bisa mengatupkan mata, mengosongkan pikiran dan mengenang semua kebaikan Allah satu setengah jam lamanya. Tak lama kemudian adzan kaji mulai dikumandangkan orang di masjid-masjid, yang sayangnya hanya bisa saya tangkap melalui layar televisi. Pagi telah tiba bersama akhir pekan yang tak begitu cerah. Akan tetapi kata anak saya sahabatnya semenjak sekolah dasar memutuskan akan berangkat dari Bogor untuk menjenguk saya. Dan barangkali juga bibi saya dari Matraman berkenan datang sepulangnya dari gereja. Tapi saya telah berjanji kepada pelawat dan anak-anak saya untuk tidak banyak mengobrol. Sekarang saya putuskan untuk beristirahat tidur saja. Semoga tercapai istirahat yang cukup sebagai penebus ketidak tiduran saya di hari kemarin.

Benar saja, kira-kira pukul setengah 2 bibi saya datang cuma berdua bersama putrinya. Beliau adalah mantan perawat RSCM semasa gadisnya. Dan tak dinyana lima menit kemudian teman-teman maya saya mantan blogger Multiply juga datang menjenguk. Jeng Ari Wijaya, jeng Rengganis, jeng Ana yang belum pernah saya kenal tiba-tiba masuk ke kamar perawatan saya bersama cucunda Bimo putra kesayangan jeng Ari yang belum pernah saya lihat di dalam gendongan ibunya. Setelah itu masuklah jeng Tintin Sjamsudin yang rupanya hingga hari ini meski sudah terpisah "kampung" masih rajin saja berkunjung ke blog saya ini. Tak cukup hanya itu, sahabat anak saya semenjak SD ternyata juga jadi datang bersama ibunya, Puji Nurhayati dengan menumpang kereta Commuter Line. Mereka beramai-ramai datang dari rumah masing-masing demi menunjukkan simpatinya kepada kami sekeluarga. 

Teman-teman maya saya katanya amat terkagum-kagum sebab nyaris setiap hari dalam keadaan sakit begini di ranjang RS, masih terus setia menulis menuangkan semua kisah hidup dan pengalaman saya. Jadi mereka berminat untuk melihat sendiri bagaimana keadaan fisik saya yang sesungguhnya. Ada kepedihan campur kekaguman yang menggenangi pelupuk mata mereka. Mereka tak mengira keadaan saya sudah sedemikian buruknya. Tapi mereka sekaligus menghargai dan terkagum-kagum kepada kedua anak saya yang dengan sepenuh bakti dan kasih sayang mau berbuat apa saja untuk saya, termasuk membantu mengetikkan jurnal-jurnal ini; yaitu jurnal yang menurut para pembaca saya ditulis dengan hati yang penuh makna. Untunglah para tetamu saya sadar diri. Mereka tak berlama-lama di tempat saya. Satu demi satu mereka berpamitan untuk mempersilahkan beristirahat. Kata mereka kondisi saya betul-betul nampak lemah, lelah dan kesakitan. Sikap mereka yang penuh pengertian ini, rupanya terpantau juga oleh perawat yang kemudian menyampaikan kepada saya kegembiraannya. Sebab tetamu saya bukan tipe mereka yang iseng berlama-lama mengobrol mengganggu jadwal istirahat pasien.  

***

Semalam peristiwa yang buruk kembali terjadi atas diri saya. Saya muntah-muntah sehingga mengganggu tidur kami sekeluarga. Peristiwanya berawal dari rasa sakit tumor saya yang sedang bertumbuh terus di tulang selangka saya. Tulang selangka itu berhubungan langsung dengan kelenjar ketiak saya yang sudah dibuang pada operasi di bulan Juni, sehingga kini lengan dan tangan saya menjadi cacat. Seperti biasanya di rumah peristiwa ini amat menyakiti saya, sehingga seringkali saya menjerit-jerit tengah malam hingga memanggil-manggil nama onkologis saya tanpa disadari. Jadi tadi malam saya melapor kepada perawat yang segera menghubungi onkologis saya mengenai keadaan saya. Dokter Bayu menyuruh perawat untuk menambahkan dosis obat anti nyeri dari 50 mg menjadi 100 mg. Hal ini dilakuannya sebab saya terbukti tak bisa lagi menerima pereda nyeri dari jenis morfin yang dulu biasa saya gunakan jika saya sedang dirawat di RS. Apa daya, dosis yang ditingkatkan itu justru membuat perut saya berontak sehingga saya muntah-muntah tengah malam sampai pagi. Si bungsu Haryadi bangun sebentar namun kemudian segera tertidur kembali sebab dia sudah sangat kelelahan tidur di rumah sakit selama 3 minggu menjaga saya. Sedangkan Andri kakaknya memilih untuk terus berjaga hingga pukul 3 pagi sebab perawat di RS ini apalagi di saat akhir pekan jumlahnya sangat sedikit sehingga sulit untuk segera melayani pasien. Contohnya tadi pagi pada pukul 2 walau sudah dipanggil-panggil, perawat datang melayani saya setengah hati. Dia hanya mengelap mulut dan ceceran muntahan di dagu serta dada saya. Selebihnya anak saya Andri harus membuang sendiri bekas muntahan saya. Perawat pun mengatakan minta maaf sejak sore sebab sebagian mereka memang sedang libur sehingga digantikan sementara oleh perawat-perawat dari Ruang ICU. Saya diminta menahan nyeri supaya bisa tidur nyenyak. Terpaksa saya mencobanya dan akhirnya dapat tertidur sekitar 2 jam saja. Meski demikian, saya tetap bersyukur karena saya masih bisa melaksanakan sembahyang subuh saya. 

Hari ini anak bungsu saya minta izin untuk pulang ke rumah barang sehari. Sebab, selain dia perlu merebahkan diri yang benar, pakaiannya pun nyaris kotor semua. Selain itu, rumah kami yang terpaksa dibiarkan kosong hanya dititipkan kepada satpam tentu saja perlu dibersihkan. Semula Andri kakaknya berkeberatan. Tetapi saya bisa mengerti keinginannya. Sehingga, saya carikan solusi yang baik. Saya tawari mereka untuk menelepon adik mantan suami saya guna minta tolong menggantikan si bungsu menjaga saya. Sebab saya khawatir, perkiraan si kakak bisa terbukti yakni saya tiba-tiba memburuk kembali ketika hanya dijaga seorang diri oleh salah seorang anak saya. Si bungsu semula menolak usulan saya bahkan mengatakan bahwa kakaknya mau menang sendiri. Dugaan ini saya bantah melalui alasan bahwa jika memang terbukti terjadi hal-hal yang mengkhawatirkan lagi pada diri saya, tentu si kakak akan memerlukan teman berbagi rasa guna meredakan pikirannya serta meringankan tugas-tugasnya dari satu tempat ke tempat lain di dalam rumah sakit ini. Maklumlah sistem kerja BPJS-JKN masih belum berjalan dengan baik. Apalagi yang saya tawarkan untuk mengganti si bungsu bukan orang lain bagi kami. Adik ipar saya ini suami-istri justru perawat utama saya ketika saya sakit di Singapura dari tahun ke tahun. Mereka memang ditugasi mantan suami saya untuk merawat saya semasa itu. Akhirnya anak bungsu saya berhasil juga membujuk kakaknya sehingga si kakak tak lagi berkeberatan ditinggal pulang semalam dan ditemani oleh bibi mereka. 

Pagi hingga siang hari ini saya juga merasa seperti mendapat rahmat. Meski nafas saya tak kunjung membaik, tetapi dua orang kemenakan saya yang datang menjenguk hanya bertandang sebentar saja, juga tidak mengobrol lama-lama bahkan meminta saya untuk segera beristirahat tidur. Sampai sekarang nyaris pukul 3 sore alhamdulillah saya tidak menerima tamu siapapun juga lagi kecuali melihat ada panggilan telepon tak terjawab di ponsel saya yang berasal dari Amie teman SMP hingga SMA saya. Agaknya ketika dia menelepon tadi, saya benar-benar mematuhi nasehat kemenakan-kemenakan saya untuk tidur.

Dalam tidur itu saya tidak merasa nyenyak. Tubuh saya tetap tidak bugar. Tetapi apa lagi kah yang dapat kami lakukan untuk membantu keadaan ini. Tak lain dan tak bukan hanya melipat tangan berdoa memohon kepadanya agar masih tetap mendampingi kami. Tiada yang lebih indah selain kepercayaan kita kepada tuhan yang maha berkehendak pemilik alam semesta.

(bersambung)

Jumat, 14 Februari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (176)

aru-paru saya bermasalah kembali. Mulai kemarin sore, tiba-tiba saya merasa sesak nafas lagi. Padahal, sudah dua hari saya tidak memakan oksigen. Sebab, direncanakan tadi pagi hari Kamis (13/2) saya akan mulai dengan program radiasi yaitu penyinaran dengan sinar-X yang amat kuat untuk menghambat tumor-tumor yang tumbuh sangat banyak dan cepat di tengkorak kepala saya. Tumor-tumor inilah yang membuat saya sangat kesakitan dan nyaris tak berdaya sehingga perlu dirawat di RS. Padahal selain itu, saya punya tumor lain yang juga semakin mengkhawatirkan di tulang selangka saya (tulang supraklavikula) di daerah bahu. Tumor yang itu akan dihambat dengan obat kemoterapi yang selama ini belum terbeli disebabkan harganya yang terlalu mahal. Sayangnya, kondisi pernafasan saya justru menjadi penghambat dimulainya program radiasi. 

Padahal tadi pagi, sesuai rencana dokter, pada pukul 10 saya akan menjalani pemetaan sasaran radiasi sesuai dengan prosedur yang seharusnya. Meski dikatakan dua mesin radiasi tidak dapat berfungsi semua, akan tetapi keadaan saya yang mengkhawatirkan membuat dokter-dokter yang menangani saya atas permintaan onkologis saya dr. Bayu Brahma, Sp.B (K) Onk mengutamakan mesin yang masih cukup baik untuk saya pakai terlebih dulu. 

Saya dibawa dengan ranjang kamar perawatan saya dengan terlebih dulu melepas kantong transfusi darah saya dan menggantinya dengan infus, namun tetap menggendong tabung oksigen portable menuju ke klinik instalasi radioterapi. Di lantai bawah tanah kamar dingin itu, banyak pasien menunggu. Kebanyakan adalah pasien rawat jalan dengan wajah aneka rupa dan kulit menghitam di sana-sini karena efek radiasi. Memang biasanya pasien radiasi tidak menginap di rumah sakit melainkan pergi-pulang setiap hari. Terkecuali pasien-pasien yang sudah sangat tidak berdaya dan hanya bisa berbaring-baring saja. Ketika minta persetujuan untuk radiasi di counter BJPS-JKN dulu, anak saya sempat ditanya mengapa pasien menginap. Untunglah mereka bisa menerima penjelasan kami yang diajarkan oleh dokter ahli radioterapi dr. Dewi S. Soeis, Sp.Rad. (K) Onk. Pasien-pasien di ruang tunggu klinik radioterapi kebanyakan mengarahkan pandangannya ke arah saya. Agaknya mereka di dalam hati merasa lebih beruntung dibandingkan saya, sebagaimana dulu saya juga merasa demikian jika melihat pasien-pasien serupa saya sekarang yang banyak lalu lalang di lantai bawah tanah itu. 

Setelah menunggu sekitar setengah jam, akhirnya saya dibawa masuk ke dalam klinik. Di situ saya dipindahkan ke meja radiasi yang amat keras serta sempit. Kepala saya tidak diberi bantal. Hanya dialasi dengan semacam bantalan kecil seukuran bantal bayi yang diberi lekukan di tengahnya dan terasa amat keras guna menahan kepala dan leher pasien yang akan dikerjai agar tidak bergerak-gerak. Rasanya tentu saja sangat tidak nyaman. Apalagi diposisikan dalam keadaan datar di saat pasien sedang terengah-engah kena serangan asma. Di atas meja itu, kepala saya akan dibuatkan topeng yang dimaksudkan untuk menjaga dan menahan daerah-daerah yang tidak ada tumornya supaya tidak tersentuh sinar-X yang amat kuat itu. Tentu saja mula-mula muka saya dibekap dengan semacam cetakan topeng yang terasa hangat terbuat dari campuran karet dan plastik. Meski di bagian hidung, diberi berlubang untuk memudahkan pernafasan yang dalam hal saya terpaksa dibantu oleh tabung oksigen. Tapi tentu saja saya tetap tersiksa kepayangan. Dokter dan para teknisi berulang kali menyatakan minta maaf. Mereka membicarakan tumor-tumor saya yang nampak oleh mereka secara kasat mata. Diraba-raba dan ditunjuknya satu demi satu yang katanya amat banyak padahal saya tahu tumor saya jauh lebih banyak lagi terletak agak ke belakang kepala saya. Sebetulnya, saya ingin memberitahukannya akan tetapi saya tidak mungkin bersuara. Sehingga, dokter Dewi akhirnya bisa merasakan bahwa saya amat kepayahan di balik topeng itu. Mulut saya sudah menganga-nganga mencoba menghirup udara yang betul-betul amat saya perlukan untuk paru-paru saya. Layaknya jadi seperti ikan kehausan oksigen. Padahal, proses pemetaan baru berlangsung separuh jalan. Namun mengingat kondisi saya saat itu, dokter Dewi tidak berani melanjutkan lagi. Akhirnya, proses pemetaan dihentikan dulu dan akan dilanjutkan esok hari dengan langkah selanjutnya berupa penggambaran tumor sasaran radiasi. Proses pekerjaan tadi pagi akhirnya menjadi sia-sia belaka. Saya dibawa kembali ke kamar perawatan saya sambil merasakan sesak nafas yang semakin menjadi-jadi. Namun dalam pada itu, hiburan datang tanpa terduga. Sahabat-sahabat lama saya semasa saya tinggal di Wina, Austria 23 tahun yang lalu datang menjenguk saya. Masing-masing berkorban menumpang bus Transjakarta Busway untuk menunjukkan simpati, doa, dan pengharapan mereka atas keadaan saya dan bagi kesembuhannya. Subhanallah ternyata nyaris tak ada teman-teman yang melupakan saya dan anak-anak, apalagi membenci kami seperti isu yang dihembus-hembuskan orang tak bertanggung jawab yang nampaknya kurang suka terhadap saya. Menjelang sore, kemenakan bos saya di penugasan pertama 28 tahun yang lalu tiba-tiba menelpon menanyakan keadaan saya dan tempat perawatan saya. Mereka mengatakan akan berkunjung setelah mendengar keadaan saya yang terakhir dari banyak orang yang katanya amat memprihatinkan.  

***

Hari ini Jumat (14/2) keadaan saya semakin memburuk. Pagi-pagi sekali sesak nafas saya sudah menjadi-jadi. Apalagi sudah nyaris 5 hari saya tidak bisa buang air besar (BAB) lagi. Dada saya terasa amat berat. Nafas saya memburuk membuat saya hampir terkena status asmathicus yakni serangan asma yang sudah sangat berat yang bisa membawa kematian. Padahal, obat-obat asma saya dosis tinggi yang selama ini diamsukkan ke dalam darah saya yang terhubung lewat infus sudah dihentikan selama dua hari. Keadaan ini cukup mengejutkan para perawat. Begitu selesai mandi dengan cara dilap di atas tempat tidur, kedua telapak kaki saya pun tiba-tiba terasa amat dingin. Sehingga, saya minta kantong buli-buli berisi air panas untuk menghangatkannya dan perlu meminjam selimut anak saya yang dibawa dari rumah untuk melapisi selimut rumah sakit yang sesungguhnya sudah cukup menghangatkan. Tak lama kemudian, sambil menunggu jam kerja dokter, untuk mendapatkan pemeriksaan, saya diinhalasi yakni diuapi dengan menggunakan obat yang dimasukkan ke dalam sebuah alat lalu dihubungkan dengan oksigen dan dibekapkan ke hidung serta mulut saya. Namun itu tak banyak menolong. Dalam pada itu, anak saya Andri segera melaporkan keadaan saya kepada dokter Bayu sebagai dokter utama komandan dari pengobatan saya. Padahal, beliau ternyata sedang bertugas di luar RS. Tetapi beliau dengan segala tanggung jawabnya segera bertindak. Rumah sakit dihubungi begitu pula kami. 

Pukul delapan dokter spesialis paru datang memeriksa kondisi saya. Beliau pun nampak amat terkejut. Kemudian obat-obatan asma saya kembali ditingkatkan. Setelah itu, masuklah spesialis bedah tulang yang merasa bersalah karena kemarin telah memaksa saya untuk mulai melatih gerakan-gerakan tubuh saya terutama di bagian kaki. Agaknya beliau lupa bahwa saya tidak sebugar pasien-pasien lainnya, disebabkan kondisi paru-paru saya yang asmatis. Jadi pada akhirnya, dokter Achmad Basuki menyatakan minta maaf dan menunda semua latihan fisioterapi untuk kaki saya. Agak siang, masuklah dokter jaga yang masih amat muda. Katanya namanya dokter Naya. Beliau bertanya-tanya mengenai kondisi saya yang saat itu sudah memakai oksigen lagi dalam kapasitas yang besar. Kemudian beliau keluar untuk berbicara dengan para perawat. Setelah itu, perawat pun memanggil anak saya karena ada dokter mencari membicarakan kelanjutan rencana perawatan saya hari ini. Rupanya, dokter Bayu sebagai komandan mereka meminta saya untuk kembali dipindah ke ICU, setidak-tidaknya ke HCU (High dependency Care Unit). 

Ternyata, di ponsel anak saya ada juga instruksi dokter Bayu untuk segera mencarikan tempat bagi saya di ICU atau di HCU. Anak saya pun bergegas memenuhi perintah itu. Sayangnya, baik ICU maupun HCU penuh semua. Bahkan di HCU sudah ada 3 pasien mengantri. Demi mendengar SMS tadi, saya menjadi semakin ngeri. Terbayang oleh saya suasana para pasien di dalamnya yang serba membutuhkan segala alat untuk menolong kondisi mereka, yang menurut anak saya memang betul-betul memprihatinkan. Bahkan, ada yang lehernya sudah dibolongi sehingga membuat keluarganya sendiri tak tega untuk melihatnya. Saya katakan kepada anak saya untuk menjawab SMS dokter Bayu dengan penolakan perawatan di sana. Namun sekaligus saya berjanji untuk tidak menerima tetamu kecuali keluarga saya yang sudah barang tentu ingin menjenguk saya sendiri setelah menerima laporan anak saya tentang kondisi terbaru saya. Kalaupun mereka datang nanti, saya sudah berjanji tidak akan banyak bicara mengobrol melayani mereka. Dokter Bayu tidak menjawab panjang lebar tapi masuklah dokter Naya yang mencoba membujuk saya agar mau dipindah sesuai dengan instruksi dokter Bayu. Tetapi saya tetap bersikukuh untuk menolaknya sambil memperlihatkan SMS antara kami dengan dokter Bayu. Saya katakan pada dokter Naya bahwa saya pun merasa amat menyusahkan dokter Bayu yang sudah jelas-jelas berupaya keras menolong saya. Apalagi dokter-dokter di kampung halaman konsulen beliau semua menghendaki agar saya dibawa kembali ke kantor beliau di RS Dharmais. Itu artinya, sarana pengobatan di RS di kampung kami tidak memadai untuk menangani saya. Mereka hanya menghendaki kelak jiwa saya sembuh boleh kembali kepada mereka untuk mengontrol kesehatan saya. Dokter Naya dan para perawat mengatakan saya tak boleh punya rasa bersalah kepada dokter Bayu. Sebab, dokter Bayu cuma menjalankan tugasnya sesuai dengan yang diamanahkan oleh profesi tanpa pamrih. 

Entah bagaimana terjadi, kini kamar perawatan saya sudah menyerupai ruang ICU dengan segala peralatan medis tertancap di sana sini untuk saya pakai. Apalagi kemudian dokter ahli jantung datang memeriksa kondisi saya serta memerintahkan perawat untuk memeriksa kondisi jantung saya secara intensif dengan alat EKG. Setelahnya, obat-obat jantung saya diganti dengan yang lebih ringan. Akan tetapi, tensi, pernafasan, kadar oksigen, dan irama jantung saya terus dimonitor melalui sebuah mesin yang terhubung selama 24 jam ke tubuh saya. Dokter jantung mengatakan saya tidak boleh terlalu lelah baik menerima tamu apalagi berlatih fisioterapi. Saya diharapkan bisa menyaring tetamu saya dan beristirahat banyak. 

Dokter saraf pun setuju dengan pendapat dokter jantung. Saya tidak dianjurkan untuk menguras tenaga, termasuk harus menunda pengobatan radiasi saya yang memang sesungguhnya sudah sangat mendesak dilakukan. Untunglah menjelang sore, dokter radioterapi juga datang memeriksa kondisi saya dan sepakat mengatakan bahwa radiasi harus ditunda sampai keadaan saya membaik. Bahkan beliau menyimpulkan sendiri saya tidak bisa berbaring datar pada masa sekarang, disebabkan kondisi pernafasan saya yang payah. Artinya, radiasi saya tertunda lagi oleh kondisi saya sendiri. 

Hari ini yang datang menjenguk betul-betul cuma keluarga saya. Itupun hanya setengah jam saja. Sebab, anak bungsu saya secara tegas telah menolak teman-teman Dharma Wanita Persatuan (DWP) saya serta handai taulan yang ingin datang. Walaupun katanya mereka kemarin sempat mencari saya di ICU. Namun saya sudah keluar dari sana. Maafkan saya teman-teman semua. Saya sampaikan terima kasih kepada anda semua yang setia dan punya segudang cinta kepada saya dan anak-anak. Percayalah suatu hari nanti kita akan berjumpa kembali. Saya tetap menggengam harapan hidup dalam kepercayaan saya kepada Allah yang amat saya muliakan. Selamat malam! 

(BERSAMBUNG)

Rabu, 12 Februari 2014

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (175)

h Tuhan, tak disangka takhayul orang Jawa seringkali benar adanya. Selama dua hari telapak tangan kanan saya terasa gatal. Semula saya kira merupakan efek samping salah satu pengobatan saya. Tetapi walau saya sudah menggaruknya sedemikian rupa, gatal itu tidak juga berkurang. Secara iseng saya teringat mitos orang Jawa bahwa jika tangan kanan gatal, maka akan memperoleh rezeki. Anak saya Andri cuma tertawa sambil mengatakan itu kepercayaan musyrik tak ubahnya seperti mitos yang mengatakan bahwa jika kita mengelus patung perempuan tidur berbaring di salah satu sudut alun-alun kota Brussel, Belgia maka kita bisa kembali lagi ke sana. Saya pun sepakat dengannya. Namun tak disangka, kemarin pagi tiba-tiba teman kuliah ketika saya muda dulu Doddy Hudaya menelepon dari Bandung. Beliau menanyakan kabar dan rencana pengobatan saya, sambil menanyakan tempat perawatan saya. Menurutnya, jika ada kesempatan, teman-teman kuliah saya ingin menengok ke Jakarta. 

Sebetulnya, Rani Purbani adik kolega saya di Kementerian Luar Negeri sudah dua kali datang menjenguk saya bersama kakak iparnya dan teman SMA mantan suami saya yang kebetulan bersahabat dengan mereka. Pada waktu itu, Rani alias Ani begitu ibu mungil ini biasa disapa, sempat meminta nomor akun tabungan anak saya tanpa diketahui tujuannya. Karena setengah memaksa, anak saya pun memberitahukannya. Ternyata yang terjadi setelah telepon dari Doddy, purna tugas dosen di Bali, tadi pagi Sabtu (8/2) masuklah kiriman yang diberitakan oleh Ani sebagai tanda cinta dan simpati dari teman-teman kuliah saya. Lagi-lagi saya bersyukur alhamdulillah Allah telah menggenapi nyaris semua biaya kebutuhan hidup anak-anak saya yang akhir-akhir ini selalu berkurang dari sumbernya disebabkan hal-hal yang tak terduga maupun terpakai oleh biaya perawatan saya. Ya, legenda itu memang mitos berbau takhayul. Tetapi nyatanya begitu kiriman itu tiba, gatal-gatal di telapak tangan saya pun hilang. Kadang-kadang hal yang demikian memang menakjubkan dan sulit dipercaya. Namun itulah kuasa Tuhan. 

***

Setelah menerima pemberitahuan dari Ani bersyukur dan mengucap terima kasih, meluncurlah si bungsu Haryadi ke sekitar rumah sakit untuk mencari kebutuhan kami yang tak ada di dalam gedung rumah sakit. Tak terasa sudah lebih dari 10 hari saya terbaring di RS Dharmais. Anak-anak yang mendampingi saya berkorban sedemikian rupa tidak pernah pulang ke rumah di Bogor dengan bertahan menginap di rumah sakit beralaskan tikar sembahyang saja. Karena itu, mereka cukup tahu apa saja kebutuhan yang dapat kami penuhi dari dalam gedung rumah sakit dan mana-mana yang harus dicari sendiri di luaran sana. Termasuk kebutuhan makan mereka yang seringkali harus dipesan dari restoran di sebuah pertokoan tak jauh dari seberang rumah sakit. Matahari ternyata mengecoh. Di luar, hujan turun rintik-rintik. 

Keadaan saya ini yang masih serba dihantui ketidakjelasan pengobatan membuat perasaan masih tidak begitu tenang. Namun tadi siang Darmasita teman saya kuliah lainnya, yang kebetulan kakaknya sedang dirawat di RS ini juga menghibur saya dengan menegaskan bahwa jika kita memohon kepada Allah saja dengan tingkat kepasrahan yang tinggi, disertai permintaan yang masuk di akal maka kita akan terselematkan dari pintu kematian. Katanya dia kerap mengalaminya sendiri ketika dia terserang suatu penyakit yang cukup mengkhawatirkan. Ita teman saya itu, tadi duduk berlama-lama mengobrol dengan saya dengan maksud menghibur. Dia membawa cerita mengenai kekinian teman-teman kami baik kisah sukses maupun pengurangan yang menghampiri satu-dua orang di antaranya. Karena begitu lama, kakak iparnya segera memanggil-manggil untuk kembali ke ruang perawatan kakaknya. 

***

Dari obroloan dengan anak-anak saya, barulah saya sekarang menangkap dengan jelas apa yang terjadi di awal-awal perawatan saya di RS di kampung halaman yang menyebabkan saya akhirnya dilarikan ke RS Dharmais. Selain kaki saya patah akibat kelalaian saya sendiri, saya juga pernah mengalami masa kritis berupa kejang otak. Namun ketika itu alhamdulillah saya masih bisa dituntun untuk mengucap istighfar dan memuji keagungan tuhan oleh zuster Nina perawat yang sedang menangani saya saat itu. Fasilitas dan pelayanan RS di kampung sebetulnya sangat baik. Jauh lebih memuaskan dibandingkan di RS yang sekarang. Kecuali kelengkapan alat-alat kesehatannya. Maklum lah RS di kampung masih belum diambil alih oleh pemerintah daerah. Meskipun seperti halnya RS ini, mereka dulu dimiliki oleh partai politik terbesar penguasa orde baru. Di sana para perawat rajin sekali berkeliling menengok pasien sambil menanyai ini-itu. Ketika membagikan obat, pihak keluarga pasien bahkan diminta untuk menandatangani persetujuan penerimaan obat. Lalu setiap kali terjadi pergantian rute tugas, mereka akan berkeliling kamar untuk menyampaikan adanya pergantian petugas itu. Belum lagi jika pasien membutuhkan mereka, hanya dengan sekali menekan bel mereka sudah datang merespons. 

Walaupun sama-sama menempati ruang VIP, di rumah sakit yang sekarang ini terasa kurang tertata perabotannya. Bayangkan saja, lemari pakaian hanya berupa sebuah rongga di dinding yang tinggi menjulang tanpa ada sekat-sekat untuk menaruh barang pakaian termasuk fasilitas gantungan baju. Ruang tamu pun hanya terisi sebuah love seat tanpa ada meja tamu. Apalagi ruang makan lengkap terisi seperangkat meja makan. Bandingkan dengan RS di kampung di mana ruang tamu terisi seperangkat sofa, ruang makan juga lengkap, dan lemari merupakan lemari yang wajar. Di muka kamar mandi dilengkapi dengan jemuran handuk. 

Tadi pagi ketika saya bangun pukul 4 untuk menunggu subuh, saya betul-betul mengalami hal yang mengecewakan. Infus saya habis. Saya memanggil perawat tetapi mereka baru datang setengah jam kemudian ketika saya mengebel untuk kedua kalinya. Itupun mereka bilang infus saya belum kering lalu saya ditinggalkan begitu saja dengan janji akan menyiapkan infus selanjutnya. Tetapi nyaris setengah jam juga mereka baru kembali lagi yang ternyata menyadari kekeliruannya sendiri sebab telah mengambil infus yang salah yang tak berisi obat. Baru setelah lewat pukul 5, sambil memandikan saya mereka mengambilkan stock yang sesuai. Alangkah kecewanya hati saya sebab merasa terabaikan. Hal yang demikian ini tak pernah terjadi pada pelayanan RS di kampung halaman. Satu hal lagi yang berbeda, dokter jaga pun tidak pernah mengecek pasien dari kamar ke kamar melainkan hanya menetap di IGD dan baru akan bertidak memberikan instruksi kepada perawat melalui telepon bila diperlukan. Tidak seperti di kampung halaman yang setiap hari dokter jaga akan berkeliling dengan sendirinya memeriksa dan menyapa pasien dari kamar ke kamar. Alangkah rindunya saya pada suasana di kampung halaman.

Ini hari minggu (09/02). Alhamdulillah saya bisa memenuhi nasihat dan permintaan perawat untuk beristirahat dengan baik guna mempersiapkan operasi penyambungan tulang yang sudah tertunda seminggu lamanya. Sejak kemarin perawat satu-satunya yang amat menaruh perhatian kepada pasien ini, meminta saya untuk tidak banyak menerima tamu. Andaikata terpaksa, tetamu yang datang sebaiknya tidak dilayani dengan mengobrol panjang lebar. Sebab hanya sekedar untuk berbicara pun, saya memerlukan banyak tenaga. Dengan kata lain, kebanyakan bicara membuat kapasitas nafas saya turun drastis yang mengakibatkan nafas saya terengah-engah. Akan tetapi sebetulnya mustahil untuk memnuhi permintaan itu, karena para tetamu umumnya sangat penasaran ingin mengorek keterangan dari diri saya sendiri. Begitupun saya tidak puas jika tidak menjawabnya sendiri. Semalam saya sempat merasakan ketegangan yang sangat, hingga otot-otot tubuh saya terasa kram. Tetapi saya mendapat nasihat dari salah satu penjenguk saya bahwa untuk menekan stress dan kegundahan sebaiknya saya banyak-banyak makan cokelat. Karena kandungan zat di dalam cokelat merupakan relaksan yang amat baik. Saya mlelemanfaatkannya dengan menyantap es krim cokelat yang berisi cokelat yang kental. Terbukti, setelah menyantap 2 buah es perlahan-lahan saya bisa tertidur nyenyak hingga subuh. Sedangkan hari ini hanya ada tetamu satu keluarga saja yakni putri-putri bibi saya bersama suami dan anak-anaknya sepulang dari gerja. Beruntungnya mereka sadar diri tidak berlama-lama di kamar saya.



Guna persiapan operasi besok, ternyata saya harus diamnbil darah dua kali. Pertama-tama tengah hari, katanya untuk persiapan bank darah. Sore harinya mereka mengambil untuk pemeriksaan darah rutin guna mengecek kadar hemoglobin. Saya amat kecewa mendapati kenyataan ini. Sebab semua vena saya sudah sulit dicari. Karena sifatnya yang halus lembut, tipis sudah pecah-pecah dan bengkok-bengkok. Saya menanyakan mengapa pengambilan darah itu tidak sekaligus saja tadi siang. Kata mereka, karena dokter yang memerintahkan pemeriksaan darah sama sekali tidak mau tahu kondisi pasien. Namun untunglah efek dari es krim cokelat itu meredam ketegangan saya. Proses pengambilan darah saya lebih mudah dari biasanya. Saya berharap ini adalah tusukan terakhir menjelangan operasi. Artinya, besok pagi saya jadi dioperasi. Semoga hal itu terjadi. 

***

Pada akhirnya saya menjemput harapan kembali. Berharap akan seperti matahari di luaran sana hari senin (10/02), dokter-dokter bebulat tekad untuk mengoperasi saya. Ini akan menjadi bilangan ke-13 operasi sepanjang hidup saya. Mula-mula sekali pada pukul 7 pagi dokter Agus yang akan melakukan pembiusan, mengecek kesiapan saya. Dalam keadaan saya sudah tidak wheezing, yaitu itu nafas saya sudah tidak berbunyi memburung. Beliau menganggap kondisi paru-paru saya sudah cukup prima. Jadi, langkah pertama tindak pengobatan saya bisa dilaksanakan. Beliau bilang pagi ini operasi akan telah maksimal. Pukul setengah sembilan, perawat pun medorong tempat tidur saya ke ruang bedah di lantai 3. Tak ada rasa takut, ngeri, dan hal-hal serupa yang menciutkan hati. Saya begitu siap akan menjalani operasi ini. Akan menjadi lebis siap lagi ketika saya masih menunggu giliran pemakaian ruang operasi. Di dalam sana para perawat pria menyambut saya dengan cekatan dan menanyai beberapa hal yang berkaitan dengan operasi saya. Di antaranya menanyakan siapakah yang melakukan operasi terakhir untuk membuang payudara saya dan bilakah itu terjadi. Saya masih bisa menjawab dengan jelas. Hingga akhirnya betul-betul didorong ke dalam ruang bedah setelah didahului doa keluarga saya yang hanya terdiri dari kedua anak saya. Itu bedanya persiapan operasi di tanah air dan di luar negeri. Di sana, saya hanya disuruh minta diri kepada keluarga saya. Di dalam ruang operasi ternyata dokter-dokter yang akan menangani saya sudah siap. Seperti biasa, dokter Agus dengan senyumnya yang menyejukkan menyapa saya terlebih dahulu. Kata beliau, pembiusan akan dimulai. Saya jawab bahwasanya saya ingin mempermudah tugas para tenaga medis di dalam menusukkan jarum-jarum yang akan mereka pakai untuk bekerja. Untuk itu, saya sudah bicara dengan onkologis saya, mohon agar ketika saya dioperasi dapat ditanampkan sebuah alat yang difungsikan sebagai semacam pembuluh darah. Sebab tahulah sendiri, pembuluh darah saya baik di tangan maupun di kaki sudah rusak semua sehingga sulit dipakai. Tetapi onkologis saya mengatakan beliau tidak dapat memasangnya sendiri. Sehingga  ketika ada dokter lain yang bisa melakukannya, beliau mengizinkan. Hal itu tanpa disadari ternyata sudah tertangkap telinga dokter Achmad Basuki yang sudah berganti rupa mengenakan pakaian bedah sehingga membuat saya pangling. Beliau langsung menyahut bahwa itu akan dilakukannya tetapi tidak permanen. Direncanakan hanya untuk kebutuhan sekarang saja. Walaupun demikian, saya sudah cukup merasa senang. Sebab kaki yang dipakai menginfus saya selama 2 minggu sudah menjadi amat bengkak kehilangan rasa pula. Setelah itu saya tidak ingat apa-apa lagi. Saya terjaga kemudian di ruang ICU persis seperti keinginan dokter Agus yang disampaikannya sebelum saya jatuh terlelap. 

Teman-teman saya ternyata banyak yang datang. Ibu ketua DWP Kemenlu, menunjukkan perhatian dan tanggung jawabnya yang besar turut menemani anak-anak saya di ruang tunggu ICU. Hal serupa dilakukannya pada operasi saya yang terdahulu. Begitupun kemudian istri dari Inspektur Jendral Kemenlu yang merupakan sahabat akrab saya juga nekat datang bersama pengurus Dharma Wanita di bagiannya. Meski beliau tahu pengunjung di ICU sangat terbatas tapi beliau tetap nekat masuk menjenguk saya sambil mengatakan kepada perawat setengah berbohong bahwa dia adalah kakak saya. Kebetulan pula beliau akan betul-betul berpamitan untuk mengikuti mutasi suaminya sebagai duta besar di KBRI Beijing. Dalam keadaan masih belum terjaga benar, saya sempat melihat sosoknya satu-dua menit menyapa saya dengan menyebut namanya mengatakan akan minta diri sambil mendoakan saya. Kak Didot, begitu beliau biasa saya panggil memang selalu punya perhatian khusus bagi saya. Sebab saya pun tahu beliau tak memiliki banyak sahabat yang karib. Kasih dan sayangnya yang tulus tak bisa saya nafikkan. Ada sedikti torehan air mata ketika beliau bertatap muka dengan saya meski cuma sejenak. Saya berada di ruang ICU selama satu hari penuh pasca operasi yang cuma memakan waktu satu setengah jam saja. Menurut anak-anak saya, ketika operasi baru selesai dokter Ahmad Basuki langsung menjelaskan jalannya operasi beserta hasilnya. Semua dikatakannya mulus. Tanpa penyulit di bagian pernafasan. Katanya tulang saya langsung disambungkan dengan  plat titanium yang lebih bisa ditoleransi oleh alat-alat pemindai yang biasa digunakan di pintu-pintu masuk bandara mauapun toko-toko. 

***

di dalam ruang ICU

Di dalam ICU sana sudah barang tentu suasana sepi. Ditingkahi bunyi alat-alat medis saja. Dan ternyata Subhanallah, saya merupakan pasien teringan. Hanya sebuah selang yang dipakai menyedot lendir dan dahak dari alat pernafasan saya. Saya diminta perawat untuk menelan selang yang sangat kecil dan putih namun panjang itu yang diumpamakannya sebagai bakmie. Meski tidak nyaman tapi tak ada cara lain. Saya pun melakukannya. Sehingga membuat kerongkongan dan tenggorokan saya teriritasi. Rasanya sangat kering di situ. Membuat saya segera ingin minum beberapa jam kemudian waktu saya sudah boleh mulai makan-minum lagi. Tapi tentu saja, saya hanya boleh meneguk sesendok-sesendok air putih hangat. Perawat melakukannya begitu hati-hati hingga saya selamat keluar dari ICU. Bayangkan saja menurut cerita anak saya, ada pasien yang sudah berhari-hari terbaring di ruangan itu. Bahkan pihak keluarga masing-masing pasien sampai menggelar tikar di ruang tunggu dan bermalam di sana. Saya sebetulnya direncanakan dokter untuk dipindah ke ruang HCU barang semalam. Akan tetapi tiba--tiba beliau berubah pikiran demi melihat yang dinilainya sangat prima. Saya sudah tidak tergantung lagi pada oksigen, juga sudah mulai lancar berbicara.
Tersenyum di ruang ICU
Saya langsung dikembalikan ke kamar perawatan saya dengan obat-obat penahan nyeri diganti dengan jenis morphin. Obat-obatan ini ternyata berupa selembar plastik tipis yang cukup ditempelkan ke dada pasien. Sayangnya, efeknya terlalu keras untuk saya sehingga malam harinya saya mulai muntah-muntah hingga pagi. Hanya dengan menelan tiga sendok bubur pun, saya langsung muntah. Oleh sebab itu saya mencoba mengganti makanan saya dengan satu-dua keping biskuit beserta teh panas. Akan tetapi itupun bukan merupakan pilihan yang tepat. Saya terus-terusan muntah hingga menjelang pagi sampai subuh. Sudah barang tentu tidur saya dan anak saya terganggu semua. Untunglah pagi-pagi sekali, dokter Achmad Basuki yang mengoperasi saya sudah datang menjenguk. 




Demi mendengar laporan saya dan perawat, dokter Baksuki mengatakan ternyata saya tidak cocok diberi obat penahan nyeri dari jenis morphin itu. Karenanya, obat akan diganti dari jenis lainnya yang dimasukkan ke dalam infus sebagai suntikan. Dan itu sudah terlaksana tadi siang. Alhamdulillah saya sudah bisa merasa nyaman dan tidak muntah-muntah lagi. Selanjutnya hari ini saya diprogram untuk kembali ke instalasi rehabilitasi medik. Tangan saya yang limfedema memang sudah sangat lama tidak difisioterapi secara benar. Sebab selain kondisi tubuh saya semakin melemah, yang mengakibatkan saya sulit bepergian jauh, Jakarta pun kerap dilanda banjir. Tetapi berhubung saya terpaksa dirawat inap, maka fisioterapi segera berlanjut kembali bersama-sama dengan fisioterapi pemulihan tulang kaki yang patah. 

Saya dilayani oleh jeng Anisa yang sudah biasa memfisioterapi tangan limfedema saya. Gadis belia itu kemudian membawa masuk kepala tata usaha Instalasi Rehab Medik yang menurut pengakuannya sudah lama merindukan kedatangan saya. Akhirnya sambil difisioterapi, kami saling mengobrol melepas rindu. Kegiatan fisioterapi selanjutnya terpaksa dilakukan di kamar rawat inap saya. Dilatih gerak pada bekas operasi saya oleh fisioterapis yang kami hanya pernah dengar namanya yakni pak Buwana. Orangnya berpembawaan lembut namun punya semangat yang tinggi untuk memaksa pasiennya menggerak-gerakkan anggota tubuhnya yang memerlukan fisioterapi. Alangkah bahagianya saya dilayani beliau. 

Adapun mengenai program pengobatan saya selanjutnya kini menjadi jelas juga. Besok, kamis  (13/02) saya akan mulai diradiasi yang didahului dengan program simulasi untuk menghambat tumor-tumor di tulang tengkorak kepala saya. Ini direncanakan 10 kali. Masing-masing akan berlangsung selama 10 menit saja. Bersamaan dengan itu tumor di tulang selangka saya dan supraclavicula yang besarnya semakin menakutkan akan dilanjutkan dengan kemoterapi. Dokter ahli kemoterapi, akan mengganti obat-obatan saya menjadi lebih mudah dimasukkan namun efeknya lebih dahsyat. Diharapkan kemudian tumor yang mulai menyerang tulang paha saya juga bisa segera dihambat entah bagaimana caranya, sebab dokter ahli bedah tulang belum menceritakannya kepada saya. Program pengobatan saya masih panjang. Tapi saya tidak boleh takut menjalaninya. Sebab saya sangat ingin membalas kebaikan dan bakti anak-anak saya, serta onkologis saya yang budiman. Para relawan kanker yang lagi-lagi datang menjenguk kembali memberikan moral support dengan menyatakan persetujuannya. Perhatian orang-orang terhadap saya memang tidak ada habisnya. Subhanallah!

(bersambung) 
Pita Pink