Amat bahagia saya karenanya. Terlebih-lebih dokter onkologi saya ketika memeriksa kondisi terakhir saya minggu lalu menyatakan kegembiraannya atas kondisi saya. Sebab seperti dokter bedah umum dan sinshe mengatakan, tumor itu sudah mengecil setelah dua kali dikemoterapi. Artinya dapat disimpulkan dokter telah menemukan obat yang cocok untuk saya.
Meski obat-obatan yang akhirnya diberikan bukan dari jenis terbaru yang mahalnya luar biasa itu, tetapi dokter menyimpulkan bahwa pengobatan dengan obat yang saya peroleh berkat jaminan kesehatan dari pemerintah ini cukup bagus untuk menerapi sel-sel ganas saya yang agresif itu. Jadi sangat boleh jadi rencana operasi saya akan dipercepat. Kemoterapi saya hanya butuh tiga kali saja, tidak empat kali sesuai rencana. Baru setelah dioperasi, kemoterapi ini akan dilanjutkan setahun penuh.
Saya begitu bahagia mendengarnya, seperti halnya dokter ketika memegang massa tumor saya di ruang pemeriksaan kliniknya. Sebab saya memang amat berharap bisa sembuh segera mengingat penyakit dan keadaan saya terbukti merepotkan banyak orang. Bayangkan saja, teman-teman baik saya di seluruh penjuru dunia tergerak untuk mencarikan biaya pengobatan saya. Jadi, bagaimana mungkin saya tak ingin lekas sembuh, bukan?
***
Prosedur persiapan kemoterapi sudah saya lakukan semuanya dengan lancar minggu lalu. Syarat-syarat administratifnya tak bermasalah, bahkan kini semua komponen biaya pemeriksaan didanai pemerintah pula. Lalu hasil pemeriksaan laboratorium dan rekam jantung saya pun memuaskan. Tidak saja hanya memadai untuk menjalani kemoterapi, melainkan juga tak ada yang di bawah angka standar. Padahal menilik pengalaman di ruang kemoterapi tiga minggu yang lalu, banyak pasien yang terpaksa disuntik obat-obatan dulu untuk menormalkan kondisi tubuhnya. Ada yang dikarenakan kekurangan haemoglobin (sel darah merah), leukosit (sel darah putih) maupun thrombosit (bekuan darah di dalam pembuluh darah) bahkan tekanan darahnya terlalu tinggi. Padahal itu semua harus dikondisikan normal supaya obat-obat kemoterapi yang akan diberikan dapat diterima tubuh dengan baik. Sebab jika tidak, pasien akan menjadi lebih sakit lagi sebagaimana yang biasa dijumpai pada pasien-pasien yang tengah dikemoterapi.
Dokter dan perawat sebetulnya senang atas kondisi saya ini, namun mereka tentu saja tak bisa lepas dari keheranannya mengingat tubuh saya nampak amat bugar dan tak pernah terlihat sakit sebagaimana penderita kanker lainnya. Saya pun mengakuinya, sebab semua orang memuji saya sebagai pasien dengan kondisi istimewa termasuk dokter di Puskesmas desa saya serta pengurus Yayasan Kanker Indonesia.
Ini kembali diulang para perawat yang sabar-sabar di RS tempat saya berobat tadi pagi. Jadi ceritanya, dengan penuh semangat saya berangkat sepagi mungkin ke RS akan dikemoterapi. Dalam bayangan saya, ketika saya sudah bertemu muka dan bicara lisan dengan Perawat Kepala, ibu Maria yang cantik hatinya saya pikir obat-obatan sudah tersedia untuk saya di hari Sabtu ini sesuai perintah kemoterapi dokter onkologi saya.
Waktu saya memeriksakan diri ke klinik onkologi, dokter saya yang baru pulang dari workshop panjangnya di Spanyol memerintahkan kemoterapi saya ketiga pada hari ini. Prosedur kemoterapi langsung dipersiapkan, termasuk pemesanan obat kemoterapi ke apotik RS. Ketika resep obat-obatan itu kami serahkan ke apotik, pegawai apotik tidak mengatakan obatnya harus dicari dulu. Juga ketika saya bertemu dengan Zuster Maria, beliau pun tidak mengindikasikan bahwa obat kemoterapi saya belum ada. Jadi saya berasumsi hari ini saya akan menjalani kemoterapi ketiga, dan setelahnya segera dioperasi.
Nyatanya, sesampainya di RS petugas di bagian pendaftaran pasien kemoterapi menyatakan saya masih masuk daftar tunggu pasien kemoterapi. Artinya belum bisa dikemoterapi hari ini disebabkan sudah ada pasien-pasien lain yang mendapatkan gilirannya. Barulah saya kemudian menyadari bahwa RS ini punya keterbatasan ruangan sebagaimana RS besar yang menjadi pusat penanganan penyakit kanker nasional, RSKD di Jakarta tempat pertama kali saya dibawa teman-teman saya dari DWP Kemenlu berobat. Di sana meski tersedia banyak tempat tidur dan ruang rawat kemoterapi, tetapi pasiennya tetap kedengaran mengeluhkan lamanya jadwal tunggu giliran. Dua orang ibu penderita kanker payudara yang mengobrol di dekat saya kedengaran seperti bersungut-sungut menyesali dirinya yang masih harus menunggu waktu. Persoalannya, beliau memang bukan penduduk Jakarta melainkan pasien dari daerah yang dikirim berobat ke RSKD. Sehingga mereka harus mencari penginapan di luar RS sampai tiba saatnya dikemoterapi. Berbeda dengan saya yang bisa pulang ke rumah karena kampung saya hanya di selatan Jakarta saja. Apalagi dokter onkologi saya pun berpraktek di kedua RS ini. Jadi, seandainya saya tidak kunjung mendapat ruangan di RSKD saya dengan mudah dikemoterapi di kampung saja meski ruangan juga terbatas. Sebab, pasien di sini tentu saja tak sebanyak di rumah sakit pusat itu.
Jadi ketika saya ngotot sudah bicara langsung dengan Perawat Kepala, petugas di bagian pendaftaran menyuruh saya masuk ke ruang kerja Zuster Maria. Kebetulan sekali perawat onkologi yang mengasisteni dokter saya juga ada di situ. Bersama-sama keduanya menjelaskan bahwa saya diminta bersabar menunggu panggilan bu Maria. Sebab, meski saya sudah disuruh dokter menjalani kemoterapi di hari tertentu, tetapi dokter sama sekali tidak tahu apakah obat serta ruang rawat kemoterapi siap untuk saya gunakan. Dalam kasus saya, ruangan sudah terisi penuh oleh pasien-pasien yang jadwalnya juga tertunda di minggu lalu. Apalagi apotik belum memberikan lampu hijau tentang ketersediaan obat-obatan yang akan saya pakai.
Dari pembicaraan yang menyenangkan dengan bu Maria serta bu Nining dua perawat favorite saya, jelaslah bahwa di RS daerah obat kemoterapi tak mudah didapat. Pertama-tama tentu saja apotik harus mengecek ketersediaannya di gudang RS. Jika tidak ada atau tidak lengkap, mereka harus memesannya ke Jakarta. Artinya dibutuhkan waktu yang agak lama untuk menyiapkannya sebelum akhirnya obat-obatan itu diolah kembali sehingga betul-betul siap dimasukkan ke tubuh pasien. Kalau tidak salah sih istilahnya "dioplos". Yang saya ketahui dari salah seorang pasien yang pernah menjalani kemoterapi di RSUPN "dr. Tjipto Mangoenkoesoemo", di sana obat-obatan tidak dioplos oleh pihak apoteker melainkan diserahkan langsung kepada perawat yang bertugas di ruang kemoterapi. Penyebabnya sangat boleh jadi karena meluapnya pasien yang harus dikemoterapi. Jadi sesungguhnya, dikemoterapi di RS di daerah amatlah menguntungkan pasien. Dengan begitu meski pasien harus sedikit bersabar, tak ada salahnya sama sekali. Toch semua berproses dengan baik. Pasien akan menerima obat yang betul-betul baru dengan dosis yang tepat di bawah pengerjaan apoteker RS.
Kedua perawat favorite saya tadi memuji saya sebagai pasien tersiap dan tergagah. Tentu saja mereka mengacu kepada penampilan saya yang semakin gemuk, segar seperti bukan pesakit kanker. Saya kemudian membuka rahasia perawatan saya di sinshe. Mereka sama sekali tidak melarang karena saya katakan saya mengatur asupan obat itu sedemikian rupa sehingga tidak berbenturan antara obat dokter dengan obat herbal itu. Akhirnya mereka malah seperti ingin mempertemukan saya dengan seorang pasien yang masih muda, janda beranak satu yang kelihatan terpukul ketika mengetahui dirinya terserang kanker.
Zuster Maria Perawat Kepala di RS "Karya Bhakti" Bogor
Teh Nining di sebelum memulai tugasnya sedang menerima pengarahan dari atasannya
Pernyataan saya ditanggapi dengan tawa berderai disertai decak kagum mereka hingga suara kami terdengar jelas di luar ruangan. Karenanya perawat dari klinik dokter spesialis syaraf yang bertempat di ruangan sebelah terganggu lalu melongokkan kepalanya ke dalam ruang kerja Zuster Maria yang segera saya sambut dengan seruan nakal. "Ampun pak, ada pasien sedang narsis, sabar ya.........."
Tawa kami semua semakin berderai mewarnai pagi hari yang tidak membuat saya stress sama sekali. Ah, apa gunanya pula stress karena penyakit kanker sudah jelas bisa diobati dan ada pihak-pihak yang bersedia mengulurkan bantuan antara lain Pemerintah Daerah melalui Jaminan Kesehatan Daerah, bukan? Semoga saja masih banyak pejabat yang terketuk hatinya untuk membantu sebanyak-banyaknya pasien kanker yang tak mampu membayar biaya pengobatannya. Sebab itu tadi, kanker itu penyakit orang kaya, yang artinya kalau tidak punya uang banyak tak bisa berobat. Lagi pula kalau pun punya uang banyak, jika dokter yang menangani tidak teliti, sudah barang tentu harta benda yang dikumpulkan berdikit-dikit habis tak bersisa seperti saya alami di masa lalu. Penyakit saya datang berulang setiap tahun menggerogoti kesehatan, kesabaran serta tabungan kami. Duh, capek deh!
(Bersambung)
Ada salam dari Ibuku, Mbak
BalasHapusHari Kamis lalu Ibuku datang dari Jakarta, dan kuceritakan tentang teman baruku yang "perkasa" :)
Salam kembali ya jeng. Semoga ibunda senantiasa sehat walafiat. Sebetulnya saya nggak perkasa, cuma nggak boleh sampai "tumbang" kan?! :-D
Hapusbunda keliatan sehat, senang liatnya..:)
BalasHapussemoga terus dan terus semakin sehat dan sembuh total..!
amiinnnn...
*peyukkk*
Yang jelas obat dan terapi sinshe itu ada manfaatnya di tubuh saya, jadi kelihatannya saya sehat. Amin-amin-amin, semoga jeng Rin juga segera sehat dan pulih total.
HapusHari ini sepedaan lagi? Jangan jauh-jauh dulu, nggak usah nekad lah. Okay kan?!
Peluk balik ah.......
Haaaa.... berkat pasien narsis, wajahnya Zuster Maria jadi ikut nampang di sini..
BalasHapusEmbeeeeerrrrr....... tapi beliau juga kepengin nampang katanya, soalnya pasiennya "ajaib" hahahaha.........
Hapus