Powered By Blogger

Rabu, 01 April 2009

ANAK-ANAK TANPA DOSA DI BALIK RUMAH YANG TERBELAH

Malam temaram di lembah bukit batu. Sepasang manusia menekur di tanah yang basah. Angin sepoi mengoyak pengap yang dihembuskan ombak samudera. Keduanya bicara dengan mata hati.

 

Sang lelaki menyampaikan isi perasaannya. Dalam kalimat-kalimat tegas yang tak minta penjelasan.

 

Si perempuan menajamkan telinganya, lalu mengasah lidahnya. Sebaris kata meluncur tegas, tangkas tanpa kesia-siaan.

 

Lelaki itu menghunjam jantungnya. Dengan sekali tatap yang bulat penuh. Di mulutnya ada sumpah serapah, yang membantunya melenguhkan kepahitan.

 

Perempuan itu tak tinggal diam. Sepantun lagu disenandungkannya serupa gita malam yang dibawa angin turun ke kaki gunung. Bening bola mata itu tetap menyala di dalam cekungannya yang  jernih yang tertutup embun.

 

~ 00000 ~

 

Anak-anak mereka di dekatnya. Bersandar pada malam yang menggelayutkan kelam.

 

Anak-anak tak berdosa itu. Korban nafsu birahi dan egoisme orang tuanya.

 

Anak-anak itu tetap pada harkatnya. Manusia-manusia kecil yang tak pernah minta dilahirkan. Yang tak tahu harus berpegangan kemana. Anak-anak yang tiada dosa.

 

Di persimpangan jalan, bahtera mereka terkandaskan ombak. Yang melambung memantul jauh naik ke daratan. Anak-anak itu berada di atasnya. Pada palka kapal yang menyusupkan angin.

 

Dalam diam mereka merunduk. Menepiskan gundah yang singgah di jiwa. Mengapa bumi akan terbelah? Rintih hati lelaki kecut yang jadi bagian dari lakon orang tuanya meletup keras.

 

Lelaki muda itu mereguk anggurnya. Yang tertuangkan tiba-tiba di piala-piala cinta. Padanya, pada anggur itu diharapkannya ada kehangatan, juga kenikmatan walau cuma semu semata.

 

Lelaki muda itu melepas gundahnya. Dia menelan ludahnya sendiri. Membaurkan wangi anggur yang bercampur khamar dengan kenisbian dirinya.

 

Lelaki itu tampil perkasa.

 

Digamitnya lengan sang bunda. Perawan suci yang tak tertakdir lahir sebagai perawan. Diremasnya ujung jemari rapuh itu. Dan dibalurinya dengan kehangatan yang menjalari kulit lelakinya.

 

“Ibunda, tataplah mataku. Ada kesungguhan padaku. Pada kelamnya bola mataku yang mengandung kepedihan itu. Ketika aku bersaksi bahwa bunda cuma perempuan ternista.”

 

Getar-getar bening suaranya mendawai biola. Menusuk telinga dan jantung siapa saja yang disapanya. Menegaskan kesungguhan yang apa adanya. Lelaki itu anak kecil yang tiba-tiba menjelma makhluk dewasa.

 

Sang bunda mengulum senyum. Mengulurkan jabat hangat digenggaman kedua kepalnya. “Terima kasih anakku. Engkau telah bersaksi untuk kebenaran Tuhanmu.”

 

~ 00000 ~

 

Lelaki tua itu jatuh terduduk. Terperangah dalam kepogahannya sendiri yang dulu pernah dibangunnya dengan kebanggaan yang tiada tara.

 

Ingin dia bicara banyak-banyak. Melibas kendala yang tiba-tiba datang menghadangnya. Tanpa dinyana, tiada terduga.

 

Lelaki itu mabuk kepayang. Meronce-ronce rangkaian kata yang siap tertumpah dari benaknya. Berputaran dia di atas kursinya. Lelaki itu terbebat bingung.

 

Di susurinya sudut-sudut mata buah hatinya. Juga sisi-sisi lidah anak wayangnya. Setelah itu dia menyelam ke kedalaman hati anaknya sendiri. Tak ada noda tertumpah melekat disitu.

 

Lelaki itu menekuri tanahnya. Sebelum dia menemukan kembali jati dirinya.

 

Dia bukan pembohong. Tidak juga anak kecil itu. Dia juga bukan pembohong.

 

Lelaki itu membuang pandang ke sela-sela rimbunan pohon untuk mencari sinar gemintang yang biasa menggantung di angkasa malam. Adakah disana keberaniannya tersimpan?

 

Lelaki itu tak dapat berkata-kata lagi. Dia menunduk menganggukkan kepala. Menekuri apa yang tercatat dalam lemari ingatan istri dan anak-anaknya sendiri. Lelaki itu tak bisa membantah.

 

~ 00000 ~

 

Malam itu, semburat bulan tak lagi hadir. Semua hanya menyisakan kelu yang kelam.

Anak-anak manusia itu kini akan mengakhiri lakonnya, ataukah memperjuangkan munculnya lelakon baru?

 

Lelaki itu, perempuan yang jadi istrinya, juga anak-anak buah cinta mereka sama berharap. Semoga kedamaian menemani mereka kembali. Menjemput semua keresahan yang bermuara pada kebosanan hidup sepasang anak manusia. Yang telah lelah mengembara, menggembalakan cinta putih mereka di padang-padang rumput bertahun-tahun lamanya. Tanpa jeda.

 

(Tertulis di Bishopscourt, April Mop 2009)

13 komentar:

  1. Pemilihan kata-katanya..DHASYAAAAT!!

    BalasHapus
  2. Kenapa mengakhiri lakonnya? Kalau memulai yang baru hal yang wajar. Apa karena Aril mop sehingga harus ada yang di luar kebiasaan....
    salam

    BalasHapus
  3. Oh gitu ya? Jadi tersanjung. Aduh. Terima kasih ya mas Andra.

    BalasHapus
  4. Tentu karena prahara pak.
    Doakan semoga tidak berakhir tragis untuk mereka.
    Anak manusia memang terkadang tidak tahu diri, sudah bahagia minta yang lebih bahagia lagi. Mungkinkah???

    Nyuhunkeun pidu'ana para sepuh pikeun anjeunna. Hatur nuhun sateuacanna.

    BalasHapus
  5. semoga harapan untuk kedamaian cepat di dapatkan sebagai buah dari pengembaraan mereka.

    BalasHapus
  6. bukankah ini satu penghinaan ya.. ora ngartos juga aku. kok sama ibunya ngomong begitu..

    BalasHapus
  7. Insya Allah, manusia 'kan cuma bisa berkehendak, tapi Allah juga yang akan menimbangnya kemudian, layakkah untuk dikabulkan? Terus do'akan ya mbak. Saya juga terus berdo'a dan ada bersama mereka. Terima kasih sebelumnya.

    BalasHapus
  8. Ini bisa bermakna beda-beda, tergantung darimana kita melihat dan menangkapnya jeng. Mungkin bagi jeng Dian yang nggak mengenal mereka dan jauh dari keseharian mereka, maknanya jadi begitu. Tapi bagi si bunda yang ada selalu di sisinya, katanya bukan hal yang menghina. Malah, hal yang emngangkat derajat sang bunda.

    Aneh 'kan? Bingung aku juga. Udah baca yang sebelumnya jeng?

    BalasHapus
  9. Semua pastinya berharap yang terbaik ya, utamanya ya 'tidak terbelah' itu. Belum terlambat, kan?

    BalasHapus
  10. Wah, kebetulan saya nggak mengalaminya. Jadi mari kita tanyakan sendiri kepada tokohnya. Hallo.......????

    Doakan aja, mudah-mudahan masih ada jalan untuk saling melemahkan ego masing-masing dan bersatu dalam kehangatan yang penuh damai sep[erti dulu. Amin.

    BalasHapus
  11. anak2 itu adalah tiang penyangga bagi bahu yang kian rapuh..
    anak2 itu adalah bongkahan suci yang dulu berdiam dalam keihlasan utk dilahirkan..

    BalasHapus
  12. Sepertinya memang begitu. Alangkah indahnya jika itu terjadi.

    Terima kasih jeng Erji main ke sini hehehe........

    BalasHapus

Pita Pink