Powered By Blogger

Kamis, 15 Januari 2009

PANGGUNG KEHIDUPAN (cerita seorang pemudik)

Malam pertama aku meniduri kembali kasurku. Bantal penyangga kepalaku sudah kempis, menanti untuk segera diganti baru. Seprainya juga mulai pudar kehilangan warna, berselaput dingin karena lama menganggur.

Di sisi kananku anak bungsuku merebahkan diri setelah lelah duduk di pesawat yang mendaratkan kami dari Afrika Selatan. Cepat sekali dia menjadi lelap menyisakan dengkuran-dengkuran halus yang sudah lama tak kudengar lagi. Maklum selama ini kami tidur di kamar kami masing-masing. Inilah malam pertama aku menjejerinya lagi, sekedar mengulang masa manis ketika dia kanak-kanak dulu. Tadi siang dia bilang memang ingin tidur di kamarku untuk memuaskan rindu. Ada-ada saja.

Penjaga Pos Kamling kedengaran mengobrol di luar sana. Biasanya dulu aku membekali mereka sethermos kopi sebagai peneman malam-malam yang dngin. Tapi kemudian warga sekampung memrotesku, karena dengan dibekali kopi dia jadi malas keliling kampung dan luput memantau maling yang memang senang berkeliaran di desa kami. Kini mereka cuma berteman hawa dingin yang dibawa langit gelap di angkasa sana.

-ad-

Aku merindukan suamiku sekalipun kami baru sehari berpisah. Biasanya bersama suara angkot yang pertama lewat di jalanan sana dia sudah bersiap mandi untuk mengejar kereta yang akan membawanya ke kantor di ibu kota.

Kamar mandiku masih tetap kering. Handdoek kami berjejer dua di jemuran, menjuntai rapi minta dipakai. Kulangkahkan kaki untuk mengambil air sembahyang. Lamat-lamat dari luar kamar kudengar suara televisi memperdengarkan tausiyah dari seorang perempuan yang asing di telingaku, lalu langkah kaki orang keluar dari kamar mandi umum kami. Subuh merebak tiba, menyenggol kelopak-kelopak bunga kertas dan kemuning di halaman rumahku.

-ad-

Lantunan doaku begitu panjang sehingga ketika aku beranjak keluar kamar TV One telah membunyikan siaran berita pagi. Anggota keluargaku sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Si sulung menyeterika seragam pabriknya untuk kerja hari itu, selagi kakakku menyiapkan sarapan pagi seadanya.

"Dunia industri sedang resah sekarang," buka kakakku sambil menghirup seteguk teh manis. Aku mengambil tempat di seberangnya, sibuk mengunyah gethuk dari pasar kemarin dan menatapnya lurus-lurus. "Ya bu, kemungkinan pabrikku juga akan mengurangi pegawai," sahut si sulung sambil merapikan bajunya. Tangannya masih berkutat dengan kancing teratas tanda dia belum siap berangkat. Wajahnya yang mungil nampak semakin mungil, dihiasi senyum yang samar.

Kemunduran ekonomi di seluruh dunia rupanya telah berimbas ke rumah kami. Anakku sebagai salah satu pelengkap penderita terpaksa pasrah nasib dengan gaji yang tak kunjung naik sejak beberapa tahun belakangan sekalipun beban tugasnya justru bertambah. Akuntan senior di pabriknya harus rela beredar kemana-mana hingga keluar kota kalau tak sudi menganggur. Dan itu dialami anakku sendiri.

"Kamu nggak mau tinggal di mess pabrik, mbak?" tanyaku memberi saran untuk menghemat pengeluarannya setiap hari. Maklum jarak dari rumah kami ke pabrik lebih dari tujuh puluh kilometer, mengingat dia bekerja di perbatasan dengan kabupaten Bekasi.

Dia menggeleng santun sambil mulai menyendok nasi ke piringnya. "Aku lebih rela tinggal di rumah daripada meninggalkan ibu sendirian," jawab anakku sambil menunjuk kakakku, ibu kandungnya yang asyik mendengarkan berita di televisi.

Dari dulu keluarga kami memang terbiasa saling menjaga dan merawat. Ketika aku kelas dua SMP dan baru mulai menjalin cinta dengan soul mate abadiku, Nan, lahir dari rahim kakak sulungku yang sedari muda telah terbiasa bekerja keras seorang diri sambil merawat kedua orang tua kami yang beranjak renta.

Pekerjaan kakakku sebagai guru menggugah hatiku untuk berbagi tugas merawat dan mengasuh anak-anak, sehingga anak-anak itu terbiasa beribu padaku. Dan sebagai imbalannya kakakku sekarang berperan menggantikan fungsi nyonya rumah di rumah tanggaku yang jadi dua semenjak salah satu anakku menolak ikut pindah lagi ke luar negeri.

-ad-

Nan mengusap mulutnya dengan paper napkins yang biasanya kutaruh dekat meja makan tanda dia hampir berpamitan. Kutatap sekali lagi sosoknya. Kecil namun tidak ringkih, dengan sorot mata penuh gairah."Hati-hati di jalan ya mbak," pesanku sebagaimana lumrah diucapkan seorang ibu. Dia mengangguk sambil mencium jemariku. "Semoga kamu jadi juara utama seterusnya," sambungku sambil tersenyum mengenang kembali doa ibuku kala melepasnya ke sekolah di masa bocah dulu. Diana tersenyum mengerti, "ah, ada-ada aja juara apa'an?" sahutnya. "Bikin aku ingat eyang putri," lalu tawa itu berderai membuka ritual pagi sebelum melangkah keluar rumah. Kakakku mengiringkannya hingga ke pintu pagar sambil mengawasinya naik kendaraan umum di muka rumah. Betapa puas kusaksikan kembali upacara-upacara kecil keluargaku seperti dulu yang lama menghilang dari kehidupan kami terbawa keadaan di tanah rantau.

Lalu kubayangkan sepanjang perjalanan gadisku menuju kantornya, sebuah pabrik pemintalan benang. Dua kali naik angkot disambung bus antar kota yang kemudian dilanjutkan angkot dua kali lagi serta ojek motor. Kutahu pasti itu, sebab kabupaten Bekasi tak bisa dibilang dekat dari rumah kami. Sambil mengguyur tubuh di kraan shower bilik mandiku kupintakan pada Allah semoga anakku menerima kebahagiaan sebagai balasannya.

-ad-

Kupunguti semua cucian kotor dan kubawa ke area sumur untuk kucucikan. Pembantuku nampak mengguyurkan air ke dalam ember yang kukira belum bersabun. "Teteh, kenapa teteh nggak langsung nyuci di mesin?" tanyaku mengejutkan Nur. "Kurang bersih, bu," begitu jawabnya spontan. Ada rasa kurang suka tergurat di wajahnya ketika pertanyaan itu kulontarkan. Aku mengangguk-angguk sepaham. Tapi hasilnya, di sore hari aku cukup kecewa. Kemeja putihku masih penuh noda selagi kain-kain lain juga tidak begitu bersih.

"Susah untuk menerapkan teknologi maju kepada para pembantu rumah tangga," begitu kata kakakku waktu kusampaikan kekecewaanku akan cara kerja pembantu kami. "Apalagi pada Nur, dia tidak mau ikut apa kata kita. Sekali waktu dulu dia malah mogok kerja dan megunci diri berlama-lama,' sambung kakakku. Aku terlongong-longong.

Nur sudah empat tahun bersama kami. Kerjanya rajin, tapi semaunya sendiri. Menyapu dan mengepel dilakukannya serba kilat, padahal dia tidak pernah ditugasi memasak mengingat kami lebih suka ke dapur sendiri. Karenanya aku pernah mengungkapkan untuk mengupah seorang pembantu lagi agar beban kerjanya ringan. Tapi, waktu itu dia menolak dan mengatakan sanggup mengerjalan semuanya sendiri termasuk memasak, katanya. Karenanya kakakku menaikkan upahnya menjadi lebih tinggi daripada upah pembantu di kampung kami. Luar biasa, perempuan keras kepala itu masih juga teguh pada sikap dan sifatnya rupanya. Aku menelan ludah pahit, mencoba mencari jalan keluar.

Tanpa banyak bicara aku mencucinya kembali dengan cairan pemutih, selagi dia mengawasiku. "Ibu cuma butuh pakaian bersih," jawabku tanpa ditanya. Kulirik mulutnya mulai mengerut tanda tak berkenan. Dan di dalam kamarnya kakakku memandang sambiil mengurut dada. Aku tak berlama-lama di sumur, segera kutuntaskan cucianku sebelum gema adzan maghirb memantul lewat layar kaca.

-ad-

Anakku mengucap salam menyambut diriku yang sudah membukakan pintu sebelum dia mengetuknya. Isya hampir tiba. Aku segera teringat suamiku. Dulu biasanya aku membuka pintu untuknya, menyodorinya segelas air dingin serta sepiring tahu Sumedang yang mengepul panas. Lalu kami mengobrol sejenak sebelum dia membersihkan badan dan aku melanjutkan tugasku menutup meja makan malam.

"Ibu, ibu pasti ingat bapak ya?' berondong anakku menggodaku. "Ini aku lho bu, bukan bapak," dikedipkannya sebelah matanya ke arahku. Aku tersenyum mengiyakan. Rumah ini terasa sepi tanpanya. Tanpa suamiku pusat segala kehidupan kami. Perlahan-lahan pandanganku mengabur. Ah, aku rindu padanya. Tiba-tiba malam ini, aku rindu melihat sosoknya berdiri di pintu rumah dan mendaratkan hidungnya ke pipiku seperti biasanya.

Kubalikkan badanku menuju kamar. Disana kuukir semua rasa cintaku dalam selarik doa yang kutujukan kepadanya, Semoga Allah berkenan menjaganya di tanah rantau sana dan kelak mempersatukan kami kembali disini, di bumi tercinta ini untuk menjalani lakon dalam pangung kehidupan. Ada peran pemberi, ada peran penerima. Ada peran yang menyenangkan, ada juga peran nestapa. Dimanakah kami akan berada? Kupintakan semoga Allah menempatkan kami di sisi kebahagiaan semata walau dalam serba keterbatasan kami sebagai manusia.

"Tamba ngantuk........." kudengar seruan komedian Tukul Riyanto dari televisi di ruang makan. Aku tersentak sendiri sambil memerhatikan jam yang telah beranjak makin malam. Sambil menutup kembali pintu kamar kulihat kakakku dan anak-anak kami sedang asyik bercengkerama sambil menikmati makan malam. "Ayo bu makan dulu......" ajak si bungsu seraya menggeser duduknya ke kursi di dekat jendela memberi kesempatan padaku untuk duduk di "kursi kerajaan"ku dulu. Kuambil sepotong tempe dan sesendok capcay dari warung kegemaranku, "Hosana". Lalu aku mulai menyuap menyukuri nikmat yang masih dijejalkan Tuhan melalui kerongkonganku tembus ke perut. Alhamdulillah, inilah hidupku.

26 komentar:

  1. mudik ke kampung halaman ternyata ingat suami terus ya.
    jauh dimata dekat di hati.

    BalasHapus
  2. Hahaha..... iya ya, nyonya...... soalnya kan biasanya ge mbukain pintu pas maghrib mah buat tuan rumah. Hehehe......

    BalasHapus
  3. wah...serpih2 kenangan masih rapi tersimpan dalam memori

    BalasHapus
  4. Bun! Pulang kampungnya bisa jadi novel!!

    BalasHapus
  5. Maklum ibu-ibu kurang gawean mas. Maaf...... matur nuwun udah ikutan baca tulisan ora nggenah.

    BalasHapus
  6. Justru anyel kok mbakyu. Lha jeneh, yang kerja pada semaunya sendiri. Pada akhirnya sampai di klimaks, rewang sayapun minggat tanpa pamit dan baru balik lagi setelah saya pergi. Huahahaha......

    BalasHapus
  7. Iku jenenge wong kurang gaweyan mbak, Semua ditulis, terus ditaruh disini. Jane ya ngisin-isini, tapi mungkin malah bisa jadi pelajaran buat orang lain sih, ya udah saya tulis aja.

    BalasHapus
  8. Tapi lina seneng kok bun, cara cerita bunda, santai tapi hangat... pendiskripsianny jg jelas....

    BalasHapus
  9. Ah, masa' iya sih. Justru bertele-tele mbosenin gitu ko. Banyak lho yang protes, tapi dasar nenek-nenek keras kepala (sama dengan pembantuku) ya jalan terus, EGP 'kan?! Nuwun ya mbak.

    BalasHapus
  10. Kan tergantung lingkup ceritanya bun! Misalnya antara cerpen ma novel, kan beda. Cerpen emang serba sekilar, novel kan pendiskripsian tempat memang dibuat jelas..kata bu guru dlu sih.. ayo bun nulis lagi!! (hayyah...lina sok tau!)

    BalasHapus
  11. Tante, aku tersentuh dengan bagian ini. gimana ya rasanya merindukan seseorang yang benar-benar mengayomi kita?

    minta doanya ya Bundaku...

    BalasHapus
  12. Ya deh didoain mbak. Rasanya merindukan dan dirindukan ya gitu itulah mbak, sulit tergambarkan. Pokoknya kalau dia nggak kelaihatan rasanya dunia sepi aja walupun sesungguhnya berisik bukan main (karena rumah kami sebetulnya terletak di pinggir jalan raya yang sekarang jadi jalan alternatif, berisike poll!)

    BalasHapus
  13. Subhanallah...saya suka sekali dengan gaya penulisan bunda...saya hrs banyak elajar nich :) Barakallah ya bunda..slamat berkumpul dengan keluarga

    BalasHapus
  14. Setuju...dari dulu kukatakan demikian ..tapi bu kita tak percaya saja...sayang khan kalau pemikiran yang bagus tersebar pada wilayah terbatas...?
    Sudah kusarankan untuk dikumpul dan dibawa ke penerbit yang bagus (misal Gramedia & associates)..
    Semoga segera ada penerbit bagus (jkt-Bgr-Bdg) mau menjemput naskah naskah bagus ini..supaya segera bisa jadi buku menarik & manfaat ....karena menunggu bu kita yang masih sibuk di Afsel mah pasti masih lama kombali ke Bogor lagi......
    (He he he belajar sajak tapi enggak bisa..)

    BalasHapus
  15. memang gaya ceritanya tidak diragukan lagi, yang lebih aku kagumi adalah cara membangun rumah tangga yang begi tu damainya, dan begitu indahnya.

    BalasHapus
  16. selalu ... dan tetap enak untuk dilihat tulisan2 nte' Julie - kalau dibaca apa lagi, lebih bermanfaat. Mohon maaf kemarin tdk bisa ikutan ngariung di Bogor, pas lagi ada jadwal site visit ke M.Teweh Kalteng, jadi tidak bisa ketemuan ... :)

    BalasHapus
  17. TErima kasih, sekarang mah udah misah lagi. SAya udah di perantauan. Soal tulisan, biasa aja deh kayaknya. Cuma catatan harian seorang ibu rumah tangga, yang sayang kalo dihapus hihihi......... isin!

    BalasHapus
  18. Suuuuiiiit...... suuuuuiiiiit!! ada yang ngefans berat nih ama si nini? Isin..... di abdina!
    Nuhun ah kang.

    BalasHapus
  19. Soalnya saya sama suami udah jalan dari remaja dulu (belum boleh berdua-dua ya udah rame-rame dulu). Jadi ibaratnya kami jadi "window case"nya keluarga. SEmua orang kalo nyontohin bagaimana sebuah hubungan dibangun, nengoknya ke rumah saya. Jadi, pahit getirnya saya mesti dilawan aja dengan pengertian dan toleransi yang tinggi supaya tampilannya manis selalu. Begitulah ceritanya.

    Terima kasih ya mas Sigit udah mau datang ke tempat saya lagi.

    BalasHapus
  20. Iya, saya udah menduga kalo mas Harris sama mbak Sita nggak kelihatan berarti lagi survey ke luar Jawa.

    Sebetulnya kemarin itu cuma keinginan mempertemukan anak-anak saya sama teman-teman lamanya yang sebagian adalah kontak-kontak saya plus kepengin ketemu kontak yang ternyata masih baraya dari pihak bapaknya anak-anak. YA udah saya minta tolong kang Bagdja aja untuk ngontak mereka. Eh, surprise bagi diri saya, lha kok yang datang justru kebanyakan saya nggak kenal. TApi malah saya beruntung, jadi punya teman dan saudara lebih banyak lagi tuh.

    Insya Allah nanti mah kalau saya pulang habis kita kumpul di rumah saya aja deh. Doain aja niat baik ini nggak terhalang apapun.

    BalasHapus
  21. asal masih di kasih kesempatan untuk datang dan belajar dengan Mbak Julie, saya akan datang lagi.

    tp memang engan pengertian dan toleransi tidak cuma membuat tampilan yang manis, tp memang sungguh kenyataannya akan menjadi manis,

    terimakasih atas penjelasannya.

    BalasHapus
  22. Nah ini prakarsa baru lagi - banget satuju....
    Asyik pan ngariung dirumah Bu/Pak Konjen (tapi di Bogor, Cimanggu - ulah tebih teuing ka Afsel... he he he)...ngobrol..dan ..ngopi cap Liong...waktunya laluasa.....kita yang anak buah mah ngikut aja......

    BalasHapus
  23. Justru akang nu bapa buah kang. Da pun bojo mah kalem teuing..........

    BalasHapus
  24. Aku memang nggak bisa pisah lama-lama sama orang rumah tuh mbak, mmmmm jadi gimana ya?

    BalasHapus

Pita Pink