Powered By Blogger

Kamis, 29 Januari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (IV)

Hari ini aku janjian mau ketemu Elis lagi. SMSnya mengabarkan dia akan datang berakhir pekan di rumah kami. "Tapi aku ke gereja dulu ya, Nik" pesan Elis. Aku mengiyakan dengan tak sabar. Kebetulan hari ini suamiku ada turnamen melawan olahragawan tuan rumah, pemilik hall yang disewa orang-orang Indonesia setiap minggu. Dengan begitu aku punya waktu berdua-dua dengan Elis sampai sore. Alangkah bebasnya kami mengobrol nanti, pikirku. Aku tahu suamiku paling benci kepada perempuan banyak cakap yang suka membicarakan orang lain. Anti ngrasani, begitu kalau orang Jawa bilang. Kurasa hampir setiap lelaki juga bersikap begitu.

-ad-

Sepiring pisang goreng hasil karyaku yang lembut namun menggembung besar-besar sudah kusiapkan untuk menemani obrolan kami. Balitaku juga tampaknya tak sabar lagi menunggu kedatangan Elis dengan cerita-ceritanya serta pelukannya yang senantiasa hangat. "Tante Lis jadi datang  ya bu?" tanyanya dengan mulut monyong membulat. Aku mengangguk sambil menyuapinya makan yoghurt Danone rasa strawberry yang sangat disukainya.

Maka ketika tengah hari bell pintu berbunyi si kecil langsung berlari menghambur menyongsong tetamu kami. "Tante Lis, tante Lis datang," teriaknya berapi-api.

Aku meletakkan perabotan masak yang baru saja kucuci di rak piring dan segera membukakan pintu untuknya. Lis sudah masuk dipersilahkan oleh Kurniasih pembantuku.

Kami berpelukan sejenak kemudian duduk d ruang tamu. Balitaku sibuk naik ke pangkuan Elis sambil menebarkan buku ceritanya yang baru. "Tante Lis, aku kemarin beli buku ini. Tante bisa bacanya nggak?" kata anakku sambil menyandarkan kepalanya yang ditumbuhi rambut lebat di dada Elis. Matanya yang sayu menatap Elis penuh harap.

"Ayo mas, nanti dulu dong. Tante Lis kan baru datang," sergahku yang segera disanggah Elis dengan sikapnya yang senantiasa manis kepada siapa saja.

"Iya mas, bisa. Nanti tante baca ya.Tapi tante boleh minta minum dulu nggak?"

Anakku mengangguk sementara aku langsung beranjak mengambilkan minum untuk kami semua. Anakku mendapat jatahnya dalam gelas Bobo yang kudapat di sebuah toko di Amsterdam ketika kami berwisata ke sana. Mereka menerimanya dengan senang.

Elis segera hanyut dalam upacara baca cerita dengan anakku. Aku sendiri ke dapur membantu Nia menyiapkan makan siang kami. Sebentar lagi setengah satu siang. Waktunya mengumpan cacing-cacing Melayu di perut kami dengan makanan assembling Eropa.

-ad-

Anakku ditaklukkan Elis dengan setumpuk kertas dan sekotak crayon. "Mas menggambar yang bagus ya? Satu untuk ibu, satu untuk bapak, satu untuk tante Lis," bujuk Elis supaya kami bisa leluasa mengobrol. Aku minta diri sebentar untuk menunaikan shalat dhuhur.

"Ini gambar matahari, yang ini kucing nenek Ingrid, itu kolam ikannya,' kudengar anakku menjelaskan apa yang digambarnya pada Elis.

"Hati-hati ikannya dimakan kucing lho mas," timpal Elis.

Anakku berhenti menggores-goreskan carayonnya lalu berganti menatap Elis. "Eh, iya tante. Aku ganti aja gambarnya ya?" Kudengar tawa renyah Elis, lalu anakku sibuk minta kertas baru dari Kurnia. Memberi kami kesempatan untuk mengobrol. Kami berpindah ruang ke ruang keluarga.

-ad-

"Kau ingat 'kan ceritaku mengenai perjalanan long week-end dengan Ami yang membosankan itu? Atau haruskah aku mengulanginya lagi?" tanya Elis memulai.

Aku mengangguk dan mengulang inti cerita Elis yang dibenarkan olehnya. Bahkan kali ini diungkapkan seluruhnya tanpa tedeng aling-aling.

Suatu hari sepulang mengantar Elis berbelanja mingguan, Taufik menceritakan rencana liburan long week-end nya ke bagian selatan negeri tempat tinggal kami. "Kita berangkat Kamis siang, pulang hari Senin malam, dijamin banyak tempat yang bisa kita lihat. Aku bosan dengan rutinitas di sini," begitu Taufik menawarkan.

Mengingat Elis sendiri belum pernah berkelana ke sana, dia sangat setuju bahkan segera menghubungi Ami keesokan harinya untuk minta ijin ikut. Apa daya Ami merasa belum tahu, sehingga Ami mengatakan tidak akan ke mana-mana di week-end yang direncanakan suaminya itu.

Elis merasa tak enak hati, dan semakin yakin bahwa antara Taufik dan Ami ada sumbatan komunikasi yang mengganggu seluruh sendi-sendi kehidupan perkawinan mereka, yang kini bahkan melibatkannya sendiri ke dalam posisi serba salah. Elis cuma menggigit bibirnya, kemudian berbalik menyuruh Ami untuk menanyakan rencana itu kepada Taufik sendiri. Sekaligus di dalam hatinya sudah bertekad untuk tidak ikut serta. Bahkan dia berencana untuk memperbaiki hubungan kedua sahabatnya ini dengan meminta mereka pergi sekeluarga saja. Tanpa dirinya di antara mereka.

"Bu Ami, menurut saya mungkin pak Taufik lupa belum menyampaikan kepada bu Ami. Atau memang maaf, ini jadi pembuktian kepada bu Ami bahwa apa yang saya katakan tempo hari bahwa antara bapak dan ibu kurang komunikasi itu betul," begitu kata Elis mengulang pembicaraannya pada Ami. "Ada semburat wajah kaget pada Ami. Tapi dia mengucapkan terima kasih juga, sih," jelas Elis padaku.

"Ya lah Lis. Kaget tentunya dia tahu bahwa suaminya mengajak perempuan lain pergi liburan sementara dia tidak pernah diajak bicara,' sahutku cepat.

"Dalam rencananya apa kekasih gelap pak Taufik mau dihadirkan juga?" tanyaku.

"Oh nggak, perempuan itu sudah dipulangkan ke Indonesia sebab dia juga wanita karier. Dan tinggal di sini 'kan tidak bisa lama-lama. Dia masuk dengan tourist visa nampaknya," jawab Elis. "Rasanya dia cuma tiga bulan disini." Elis meneguk teh panas yang disajikan Nia.

"Perempuan itu kerja di mana?" tanyaku penasaran.

"Di sebuah pemerintahan daerah. Kata Taufik mereka bertemu di daerah waktu Taufik mengantar investor ke sana," jawab Elis.

"Dari mana kamu tahu?" selidikku penasaran. "Elis tahu sama orangnya, ya?"

"Nggak, tapi kami pernah berkenalan waktu kami berpapasan di jalanan. Aku mau pulang, dan Taufik keluar dari penginapan perempuan itu bersamanya. Biasa, mau JJS."

"Apa reaksi mereka waktu kepergok?" tanyaku makin penasaran.

"Biasa aja tuh, sudah mengantisipasi mungkin," jawab Elis. "Tapi sehabis itu, kalau jalan denganku kukorek keterangan darinya dan keluarlah pengakuan itu. Entah benar entah tidak, mereka dulu bertemu karena pekerjaan waktu perempuan itu mengurus tetamu asing bawaannya dari Jakarta. Sejak itulah mereka berdua akab."

Perkataan Elis seakan-akan menggantung di langit-langit rumahku dan siap untuk menimpaku seandainya aku kurang waspada atau ada angin kencang mengguncangnya. Bergidik aku dibuatnya. Kubayangkan kejadian itu menimpa rumah tanggaku. Duh, amit-amit, jauhkanlah Tuhanku, batinku meminta pada-Nya.

-ad-

Dan perjalanan itu jadi sesuatu yang dipaksakan baik bagi Elis maupun Ami serta anak-anaknya sendiri. Taufik mengaku belum sempat bicara pada keluarganya waktu Ami menanyakan rencana itu atas suruhan Elis.

Rizqi anak sulung mereka protes keras pergi pada hari Kamis, karena sekolah baru libur hari Jumat. "Sekolah setengah hari aja kang, kita berangkat habis makan siang, biar bisa banyak yang dilihat kesesokan paginya," kata Taufik pada anaknya seakan memerintah. Semenrara itu Ridho si bungsu sudah kelihatan sangat gembira. "Iya kang, kita senang-senang. Apalagi tante Elis mau ikut kata mama," begitu kira-kira penggambarannya.

Di mata kanak-kanak Ridho, Elis tak lain pengasuh anak yang baik dan sabar. Begitu juga bagi Ami, Elis akan jadi penengah kebisuan antara dirinya dengan Taufik yang kini mulai disadarinya ada benarnya. Walau ketika itu menurut Elis, Ami belum tahu keberadaan perempuan selingkuhan itu beberapa waktu lyang lalu plus intensitas hubungan gelap jarak jauh suaminya. Elis belum hendak membukanya pada Ami, sebab dia masih ingin mengupayakan pendekatan yang positif untuk merukunkan kedua sahabatnya kembali.

Ternyata menurut Elis, Taufik termasuk tipe pria keras kepala. Apa yang dikatakannya semacam sabda. Dan apa yang diinginkannya adalah sesuatu yang harus dicapai. Tak heran dalam pekerjaannya Taufik senantiasa menghasilkan pemikiran yang gemilang. Dan dalam sekolahnya dia selalu jadi siswa yang menonjol meski pun belum tentu yang terbaik.

Pendek kata Taufik adalah pekerja keras. Suamikupun pernah mengatakan itu. Walaupun bukan teman sekantor, tapi suamiku sering juga berhubungan kerja dengan Taufik.

Perjalanan itu jadi juga dilaksanakan hari Kamis siang. Rizqi memberengut di jok belakang mengapit adiknya yang duduk di tengah dengan santai. Suasana sangat tegang. Elis tak banyak bicara, kecuali mengobrol dengan Ridho. Ami sendiri juga cuma menimpali pembicaraan di belakang, sebab Taufik seakan menatap lurus ke depan berkonsentrasi pada jalanan yang lebar dan menjemukan.

Mereka tiba di tujuan pertama pada jam makan malam. Setelah check out di hotel kecil yang dipesan Taufik lewat internet, mereka bergegas mencari makan malam. Kali ini nampak Ami yang memaksakan kehendaknya untuk mencari restoran Cina supaya anak-anak mereka dapat nasi, begitu alasannya. Padahal Taufik mengindikasikan makan di restoran terdekat.

Keesokan paginya Elis mendapati Taufik dan Ami beserta kedua anaknya sudah duduk manis di ruang makan. Mereka menyantap makanan dalam diam. Taufik nampak berkonsentrasi pada leaflets yang dipungutinya dari rak di dekat meja resepsionis. Anak-anak mereka ikut menyumbang saran, selagi Ami mengobrol dengannya. Pengalaman malam pertama di jalan yang senyap, katanya. Maksudnya, Taufik langsung tertidur kelelahan sampai pagi sekali pun mereka hanya sekamar berdua di ruangan yang sempit. Elis mencoba tersenyum tapi kecut.

-ad-

"Tante, gambaranku sudah selesai. Hadiahnya apa?" seru anakku sambil menyorongkan beberapa lembar kertas berisi coretan-coretan tak jelas ke hadapan Elis.

"Ini untuk siapa? Dan gambarnya apa?" tanya Elis.

"Itu mobil bapak, terus ada polisi mengejar-ngejar bapakku karena nggak pake belt," jawab anakku lucu. Elis tersenyum seraya membelai rambutnya.

"Untuk ibu mana?" tanyaku tak mau kalah, "yang bagus itu ya?" kuambil selembar dari tangannya.

"Eh, semua juga bagus bu," puji Elis.

Anakku menyodorkan helaian bergambar ikan di dalam kolam, yang kali ini tanpa kucing. "Ini, tapi kucingnya sudah pergi. Ini bunga mawar yang kemarin ibu tanam," kata anakku sambil menunjuk hasil goresannya yang coreng moreng. Tapi aku bangga padanya.

"Ini untuk tante Elis," dia menggambarkan payung berbunga-bunga dengan tetets-tetes hujan.

"Lho kok payung sih?" tanya Elis berpura-pura tak suka.

"Iya, kan kalau nanti hujan tante ke stasiun bawa payung aja," jawabnya lucu.

"Oh ya, sudah sore," tiba-tiba Elis seakan diingatkan anakku untuk minta diri. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat. Sebentar lagi tentu suamiku sampai di rumah.

"Tante pulang dulu ya?" kata Elis. "Nonik, permisi ya, besok kuteruskan lagi kalau ada waktu," pamitnya padaku.

"Hadiahnya mana tante?" todong anakku.

Elis pura-pura kaget, membelalakkan matanya yang sipit. Tapi tak urung dia merogoh tasnya mengeluarkan sekotak coklat yang rupanya sudah disiapkan sebagai oleh-oleh untuk anakku. "Oh ya lupa, ini mas. Jangan lupa nanti malam sikat gigi baik-baik ya biar gigimu nggak busuk dimakan ulat yang juga suka gigi busuk, apalagi gigi manis bekas permen."

Anakku menerimanya dengan senang hati. Ia mengucapkan terima kasih sambil mengikutiku membuka pintu rumah. Dari dalam Nia menyusuli Elis dengan sekantung pisang goreng di dalam plastik. "Ini untuk bu Elis minum kopi di rumah, ibu buat banyak kok," katanya. Elis menerimanya dengan tersenyum, "terimakasih bik, terimakasih ya Nik."

Senja itupun berlalu dalam balutan rasa pansaranku juga. Entah sampai kapan akan terjawab.

(BERSAMBUNG)

22 komentar:

  1. Oh ya? Awas jantungmu copot nduk! Dicekeli sing kenceng kuwi.......... hihihihi.....

    BalasHapus
  2. Duh segitunya......? Nggak salah Lel? Malu.com. Soalnya bukan pengarang sih yang nulis.

    BalasHapus
  3. Terima kasih abangku. Semuga abang suka membacanya. Maklum ya bang, saya bukanlah pengarang atau sasterawati begitu. Hanyalah seorang suri rumah sahaja.
    Apa khabar bang?

    BalasHapus
  4. Apa sih teh?! Penasaran ya?! Oke deh, nanti diterusin. Sekarang mah saya mau ngerjain pekerjaan rumah tangga dulu atuh.......

    BalasHapus
  5. Istilah Oma Irama jadi "PENASARAN" menunggu kelanjutannya.

    BalasHapus
  6. Eh....eh....., ada penyanyi dangdut dateng. Selamat dateng bu!

    Bu, kalo ngisi kuesioner yang dari bulletin DWP tolong minta rubrik sastra seperti ini ya bu. Soalnya bulletin kita kan garing, jadi perlu ada penyegaran macam ini. SAya yakin banyak teman-teman kita yang sesungguhnya punya kemampuan nulis. Cuma nggak tersalurkan, karena di bulletin kan nggak ada wadahnya. YA toch?!

    BalasHapus
  7. trus mbak?! ayo dong dilanjutin! btw, dulu aku punya temen akrab, Fauziah namanya. Ortunya termasuk orang2 yg aku kagumi, karena anak mereka 10, tapi kompak banget. until 1 day, bapaknya ceraikan ibunya karena mau kawin lagi sama satu dokter. alasannya di pengadilan "istri saya kampungan. lain dgn calon istri saya yg baru, seorang dokter, berpendidikan, berpikiran luas. Saya tidak perlu bertengkar untuk memperebutkan hak anak, biar istri saya ambil mereka semua bila mau. Saya bisa dapat anak lagi dari wanita yg bisa melahirkan anak2 yg cerdas dari wanita yg cerdas ".

    gue inget banget kata2 setan tua itu. gue dan mama gue, ada di ruang pengadilan, nemenin ibu Fauziah, gue cuman kelas 2 SMP waktu itu, tapi gue udah bisa ngerasain sakitnya hati ibu si Fauziah dibilang begitu. ngeliat dia hanya menunduk sedih, malu, bingung dgn masa depan yg gelap dgn 10 orang anak, aku pengen banget kemplang kepala bapaknya dari belakang. untung alhamdullillah, sebelum gue buat itu, si pak hakim udah maki2 si Om duluan! pake bilang "Astagfirullah al adziiiim... Ya Allah.. sampai hati kamu berkata seperti itu?!" dan semua anak sepakat minta tinggal sama bapaknya, supaya bapaknya bertanggungjawab membiayai mereka, bukan karena gak mau tinggal sama ibunya. pinter juga tuh anak2. akhirnya, si om dan dokter itu cerai lagi, karena si dokter gak tahan sama permintaan2 10 orang anak!

    BalasHapus
  8. Dear jeng Dian, aku terpesona banget begitu baca reply yang satu ini! Ternyata karanganku ada tandingannya yang lebih heboh lagi! Alamak........!! Terima kasih sejujurnya. Dirimu yang telah berhasil menggugah minatku untuk meneruskan cerita ini menurut "fantasi" di angan-anganku yang nyata.......... (ternyata ada nyatanya juga nih........)

    Gimana launching bukunya?

    BalasHapus
  9. terusin mbak! dun worry! terusin aje!

    BalasHapus
  10. Oke deh, sip! Aku kerjain pesenannya.

    BalasHapus
  11. Penyanyi dangdut datang nyamperi penyanyi keroncong untuk kolaborasi, Kalau ngamen, pepak biar banyak yang nanggap,Kemarin questioneir sudah kami isi,termasuk minta rubrinya ditambah,termasuk yang seperti ini.

    BalasHapus
  12. Iya dung mbak............bukan pengarang tapi penulis bo.............hehehe apa bedanya yach??? yg penting pandai menghanyutkan pembaca......(kek air aja hehehe).

    BalasHapus
  13. Toss!! Sama! saya juga minta rubrik beginian, bahkan remaja dan anak-anak plus kuliner nusantara LN dan konsultasi hukum. Matur nuwun, mudah-mudah dikabulkan. Maklum isinya monoton, cuma bis abuat ngincengi sohib kita siapa ada dimana itu aja kan selama ini, kurang komunikatif.

    Inget nggak mbak, waktu kita masih muda dulu ada novel karnagannya Titiek Viva, tapi belum sampai selesai, bu Titiek Vivanya wafat. Ceritanya menarik, baru sampe postingan di Manila begitu............. Andaikata sekarang ada Titiek-Titiek lain di bulletin kita kan segar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam. Saya anak bungsu bu Titiek Viva. Kalau kebetulan ketemu karyanya, mohon update di sini ya. Terima kasih...

      Hapus
  14. duh tnt Elis kok cepet banget sih pulangnya. jadi gak sabar nih menanti kelanjutannya. hehehe... mewakili bu julie...
    pisang goreng kembung itu karna pake telor ya?

    BalasHapus
  15. langsung ke cerita selanjutnya ... heehehe

    BalasHapus
  16. Pisang goreng? Kalo saya bikin, pake telur, susu, mentega cair sama baking powder jangan lupa taburi vanilla biar wangi. Nah saya rasa yang bikin mengembang telur, baking powder sama menteganya kali ya? Nggak tau deh yang mana.........

    BalasHapus
  17. Hahaha...... nak Siti mulai penasaran.........

    BalasHapus

Pita Pink