Powered By Blogger

Kamis, 29 Januari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (V)

Ada e-mail di inboxku. Sangat panjang dari Elis. Aku menunda membacanya sebab aku harus merapikan rumah dulu. Aku bukan perempuan yang tak tahu mengurus rumah tangga dan minta semuanya beres di tangan pembantu. Kupikir Ami juga begitu, sebab sering kami bertemu di kios mesin cuci atau di super market.

Pagi ini aku hanya membaca koran Jakarta dan koran daerah kami saja dulu, sekedar menjaring info dari tanah air yang mungkin bisa digunakan sebagai bahan diskusi dengan suamiku. Malu juga rasanya kalau berhadapan dengan dia hanya bicara masalah yang ringan-ringan saja.

E-mail yang kubuka siang itu melanjutkan kisah Taufik dengan Ami dan Elis. Kisah liburan mereka yang kemarin diulang lagi.

Kelihatan di situ Taufik adalah lelaki yang otoriter. Persis cerita kemarin, apa yang diinginkan Taufik harus selalu dituruti. Sebab, jika dilawan, hasilnya hanya mulut Taufik yang terkunci rapat dan sikap Taufik yang dingin. Belum lagi jika ternyata apa yang diputuskan istrinya tidak berhasil baik, Taufik akan marah-marah menyalahkan istrinya tanpa peduli dalam hanya sekali bicara yang mantap menusuk kuping.

"Dia juga nggak sabaran lho," begitu bunyi salah satu kalimat Elis. istrinya dituntut untuk jadi co-pilot, pembaca peta yang baik. Tapi, belum lagi sampai ke tempat yang dituju, Taufik sudah menanyakan ini dan itu yang rupanya sudah dihafal di luar kepala sebelum perjalanan dimulai. "Itulah salah satu bukti dia pembelajar yang baik," kata Elis di e-mailnya.

Elis berkisah bahwa Ami harus tahu dengan tepat di mana akan keluar highway, ke mana harus belok mencapai tujuan, lewat berapa lampu merah dan sebagainya. Padahal, Ami 'kan tidak diberitahu sebelumnya untuk mempelajari peta sesuai tujuan yang dikehendaki suaminya. Duh, repot juga batinku sambil mengelus dada.

"Sepanjang jalan akhirnya Ami lebih banyak tidur atau menyimak lagu dan berdendang mengikuti lagu dari recorder yang diputar suaminya. Aku sendiri hanya kadang-kadang mengobrol dengan Taufik. Terutama kalau dia mengeluhkan istrinya yang dianggap membosankan dan penidur.  Aku sedih mendengar dan menyaksikannya. Padahal seandainya dia tahu, Ami 'kan jadi begitu sebab dia tidak mau mengajaknya mengobrol. Betul nggak sih, Nik?"

Aku menghela nafas. Akhirnya perjalanan mereka tidak memenuhi harapan Elis untuk bersenang-senang. Semua tempat ingin dikunjungi Taufik, jadi mereka tak sempat berlama-lama di suatu lokasi. Tak seperti seharusnya orang berwisata. "Pokoknya ngeselin deh," gerutu Elis.

Di malam ketiga yang akhirnya jadi malam terakhir mereka menginap, keadaannya bahkan lebih susah lagi. Digambarkan Elis, mereka terlalu banyak membuang waktu di jalan di tempat yang tidak perlu. Melewati suatu daerah dengan pantai ramai, Ami ingin belok. Taufik menurutinya karena anak-anak mereka juga mendukung. Akibatnya, mereka terlalu malam mencapai kota tujuan di mana penginapan mereka sudah juga dipesan Taufik lewat internet. Dan celakanya, itu sebuah hotel Bed and Breakfast yang tak menyediakan resepsionis selewat pukul sembilan malam. Jadi, setiap pemesan yang check in kemalaman, tak akan pernah bisa masuk ke hotel.

Dan itulah yang terjadi pada mereka. Taufik menyalahkan Ami, sedangkan Ami juga tak mau kalah menuduh Taufik tidak mau berterus terang soal peraturan di penginapan murahan itu.

"Pokoknya capek deh. Semalaman kami berkeliaran di jalanan mencari penginapan yang terdekat. Anak-anak mereka tertidur kelelahan di kiri-kananku. Sementara Ami pada akhirnya juga ikut tertidur. Atas inisiatifku aku merobek hotel directory dalam yellow pages milik hotel yang kebetulan bisa kuambil atas bantuan penghuni yang mau masuk ke kamarnya. Aku sibuk menelepon satu-satu hotel yang ada. Sayang semua fully booked. Yang ada, tempat di luar kota kira-kira empatpuluh kilometer jauhnya dari situ. Atas saranku Taufik menurut.

Kami berupaya mencarinya. Tapi, kami tak sampai-sampai juga. Di kiri-kanan kami hanya hutan lebat dan gunung besar laksana raksasa hitam akan menelan kami di kegelapan malam. Ami yang turut terbangun nampak diam membisu kepanikan di kursinya di samping Taufik. Dari belakang kuperhatikan matanya sering mengatup tapi bukan tidur. Ketika kami tiba di kota tujuan, hotel itu tak nampak juga.

Kami mencari pos polisi untuk minta penunjuk arah, tapi tak ada seorang pun di sana. Akhirnya aku menelepon resepsionis hotel itu. Dia memberikan arah yang sesungguhnya mudah dicapai. Tapi entah apa sebabnya, kami selalu kesasar dan kesasar ke luar kota lagi menuju kegelapan fana itu tadi. Tak satu pun terlewati yaitu lahan pekuburan yang sepi ditandai oleh salib tinggi menjulang di bagian muka." Aku bergidik membacanya. Terbayang olehku suasana malam mencekam yang mereka alami dalam diam dan suasana yang penuh pertentangan.

Akhirnya menurut e-mail Elis, mereka sampai di hotel menjelang pagi. Tepatnya pukul setengah empat. Taufik merencanakan istirahat hingga pukul sembilan, dan akan melanjutkan perjalanan ke suatu tempat bergengsi yang masih sangat jauh dari situ. Siapa pun kenal kota kecil yang cantik dan terkenal kaya itu.

Sebelum masuk kamar, Elis memutuskan bicara baik-baik menyatakan penolakannya untuk ikut Taufik. Dia memutuskan untuk pulang mengingat hari Senin dia harus kembali menjalankan usahanya. "Ada kereta yang disambung bus untuk sampai ke rumah," kata Elis pada Taufik. Ami ternganga mendengarnya. Ami sungguh tidak siap ditinggalkan Elis serta amat menyesal telah memaksa Elis untuk ikut serta dalam liburan itu yang  sesungguhnya memang sejak semula direncanakan Taufik tanpa dirinya.

Kata Elis, Taufik juga kecewa dan marah. Dia bersikeras untuk menahan Elis sehingga terjadilah pertengkaran yang tak perlu di gang tempat kamar mereka berada.

Percakapan pertama yang kemudian dilontarkan Elis di ruang makan adalah "saya putuskan pulang naik pesawat dari kota terdekat, pak Taufik. Saya sudah menjajagi kemungkinan itu, dan kata resepsionis di lobby tadi, mereka bisa menyediakan shuttle untuk mengantar saya ke airport pukul sebelas nanti."

Taufik terlongong-longong dibuatnya. Dia tak menyangka Elisabeth begitu keras hati. Dan keras kepala pula, menyamai dirinya. Sementara itu Ami tak mendengar sebab tengah asyik melayani anak-anaknya mengambil sarapan. Lobby hotel masih penuh meskipun sudah mendekati pukul sembilan. Maklum musim liburan musim semi di Eropa.

Begitu Ami dan anak-anaknya duduk, Elis mengutarkan keinginannya secara terbuka.  Nampak jelas dari raut wajah Ami, ia sedang berupaya memahami perasaan Elis. Karenanya dia tidak bicara apa pun. Kepalanya ditundukkan menghadapi sepiring orak-arik telur serta roti. Akhirnya Taufik mengerti keinginan Elis dan memutuskan untuk pulang hari itu juga dengan akibat kebisuan yang makin menjadi-jadi sepanjang perjalanan beribu-ribu kilometer jauhnya itu.

-ad-

Sesudah itu hubungan mereka merenggang. Bahkan semua barang pemberian Taufik berupa majalah, buku-buku dan kepingan-kepingan CD yang dibayari Taufik sewaktu mereka masih sering berbelanja berdua dikembalikannya dengan sempurna tanpa sisa.

Tak ada lagi waktu yang dihabiskan bersama keluarga Ami. Namun kata Elis, dia sempat "menyidangkan" Taufik di apartemennya supaya kelak tak ada rasa dendam yang mengakibatkan permusuhan di antara mereka.

Taufik mengaku sekali lagi lelah menghadapi istrinya yang kurang inisiatif, tidak pernah bergaul ke luar rumah dan jorok. Tapi kini da sudah mencabut tuduhan pemalasnya. Taufik mengaku menyesal telah menikahi Ami. Mata lelaki itu basah sebelum Elis menanyainya macam-macam hal.

Taufik meminta maaf atas keterbatasannya berkomunikasi dengan istrinya. Dia merasa tak sanggup menyampaikan semua perasaannya karena dia tahu istrinya sangat lemah dan tak bisa mandiri. Dia takut pernyataannya akan membuat penyakit istrinya semakin sering kambuh sehingga menyusahkan semuanya.

Lelaki itu minta maaf pada istrinya melalui Elis. Katanya, dia senantiasa teringat ibunda Ami yang mewanti-wanti menitipkan anaknya ke tangannya dulu dengan pesan untuk menerimanya apa adanya jika dia memang mencintai Ami setulusnya. Cinta seorang remaja sesungguhnya, yang kemudian tumbuh menjadi keterpaksaan karena dia sendiri tiba-tiba merasa bangga menikmati peran barunya sebagai lelaki jantan perkasa dan berwibawa, pelindung dewi cilik yang tiba-tiba dihadiahkan Allah ke tangannya. Semuanya serba tiba-tiba dan tak terencana. 

-ad-

Aku kini tiba-tiba merasa kasihan kepada Taufik. Ah, lelaki. Mengapa demikian garis nasibmu? Kurang kasih sayang orang tua, kemudian terperosok ke dalam lubang penyangga kehidupan orang lain pula? Aku menyesal telah membenci Taufik pada mulanya.

Tapi aku juga sekaligus kasihan kepada Ami yang tak tahu bagaimana sesungguhnya perasaan Taufik. Maka aku bertekad mulai besok akan mencoba mendekati Ami dan menjalin hubungan lebih baik lagi dengannya. Barangkali Ami kelak membutuhkan jasa seseorang sahabat, seperti dia pernah membutuhkan jasa Elis sebelum Elis mengalihkan hubungannya kepada kami si pendatang baru. Kututup jendela e-mailku. Lalu aku melanjutkan pengembaraanku berselancar di dunia maya.

(BERSAMBUNG)

33 komentar:

  1. seandainya suami-istri itu bisa menemukan kunci komunikasi tanpa emosi ya tan ...

    BalasHapus
  2. Iya mbak, tapi kalo yang satu kepribadiannya introvert ya bakalane ora gampang mbak hehehe..... biar ceritanya rame ah!

    BalasHapus
  3. cerita bersambung ya mba Julie?...wah harus baca yg sebelum2nya nih.

    BalasHapus
  4. cerita bersambung ya mba Julie?...wah harus baca yg sebelum2nya nih, sepertinya men

    BalasHapus
  5. cerita bersambung ya mba Julie?...wah harus baca yg sebelum2nya nih

    BalasHapus
  6. cerita bersambung ya mba Julie?...wah harus baca yg sebelum2nya nih

    BalasHapus
  7. Iya mbak Dewi. Nyobain kayak mas Sugadiawara itu lho. Barangkali aja mampu. Tapi kalo nggak menarik maaf ya, maklum saya cuma ibu rumah tangga biasa yang nggak pernah kerja kantoran. Jadi bahasanya suka seenaknya.

    Silahkan mengikuti dan menyimak, jangan lupa komennya kalo perlu! Terima kasih ya mbak.

    BalasHapus
  8. Dahsyat Bunda. Saya ulangi lagi, saya berani bertaruh, kalo naskah ini dikirim ke lomba Cerbung/Novelet, bakal jadi pemenang, ke-3 itu minimal :D

    BalasHapus
  9. Keren bunda. jujur kadang saya bersikap seperti taufik tanpa saya sadari. Btw bunda ada facebook gak?

    BalasHapus
  10. Mbak, kontakku tdi ada yang bilang gitu juga. Dia malah mau promosiin blogku ke milis. Soalnya blognya dia (dia punya satu di lahan ini dan satu di lahan lain) dipromosiin ornag dari milis ke milis, terus sekarang lagi dalam proses editing mau naik cetak di anak perusahaannya Gramedia. Keren bo!! Dia maksudny akepengin begitu juga buat aku. Hahaha..... memangny amenarik beneran sih? Kok aku rada bingung setengah nggak percaya.

    Terima kasih apapun ynag ada. Jangan diketawain ya mbak. Terlalu sederhana kok, tadinya dimaksudkan untuk pembelajaran hidup kita juga. Itu di bawah ada yang merasa tuh. Yuk ah, saya parani dulu. Takut beliau kecewa.

    BalasHapus
  11. Duhai Jiwa yang penuh bermata, maafkan saya terlebih dahulu. Saya tidak bermaksud menyindir siapa-siapa. Ini hanya permainan kata sekedar ngisi blog sambil mengasah jiwa orang yang mampir kesini. Maaf ya, tapi insya Allah saya harap dengan baca ini mas mata jiwa berhenti bersikap merendahkan kaum perempuan dong..........?

    Oh ya, saya orang kuno nggak punya FB. Maaf lagi ya. Habis kata anak saya yang bungsu saya cuma cocok di Mp biar bisa ngoceh panjang lebar kayak gini. Hehehe........

    BalasHapus
  12. masih ada sambungannya kan?
    kalo saya sih tetap menyalahkan Taufik... harusnya dia tidak mencari-cari kesalahan dan kelemahan istrinya dong. bagaimanapun istri itu harus dibimbing. betul kata ibunya Ami harus menerima kekurangannya.
    gimana si Ami mau gaul, kalo perkawinannya aja penuh penyiksaan batin.

    BalasHapus
  13. Masih, lagi dicoba mikir terusnya mau saya gimanain supaya makin seru dan makin rame kata yang baca. Terima kasih ya Wat, udah sabar dan rajin nongol kesini.

    BalasHapus
  14. Semangat bun! *Nyemangatin bunda, biar PD dikirim ke penerbit!!

    BalasHapus
  15. iya tambah sambungannya dung mbak............kalo gini kan gantung ceritanya bikin penasaran................

    BalasHapus
  16. MUngkin bisa di tilik lagi asal muasal taufik bersikap begitu. Setiap perilaku pasti punya masa lalu

    BalasHapus
  17. Oh ya, bener juga ya mas Andra. Tunggu ya lanjutannya, ibu rumah tangga ada planning ke pasar pagi ini hehehe...... terima kasih.

    BalasHapus
  18. Tengkyu! Ayo keplok yang keras!!!! *Lalu aku memukul-mukulkan kedua telapak tanganku saling beradu, sesudah itu aku membungkuk hormat sambil mengangkat sedikit rok ku di depan nak Lina*

    BalasHapus
  19. Memang aku lagi bikin dik Lely penasaran. Enaknya terus digimanain ya ceritanya? Kasih saran dong........

    BalasHapus
  20. Kalo rame ayo keplok nak Siti!!!!

    BalasHapus
  21. Terbawa alur cerita jadi " semakin sebel sama pak Topik" Bener tuh Koment Bune Yasmin.Oce banget.karangannya.

    BalasHapus
  22. Mbok jangan menghakimi dulu tha mbakyu........ mana tau yang njelehi memang si dik Ami, kepiye hayo kalo gitu?

    Terima kasih atas pujiannya yng nggak sebanding dengan "percobaan mengarang" saya. Hhahaha........

    Maka sekarang saya tak sedikit mbungkuk, cincing rok dan kaki sebelah mundur ke belakang, topi saya angkat saya sampaikan, "terima kasih dan permisi.........." besok balik lagi ya, masih penasaran tha?

    BalasHapus
  23. bunda, makin dibaca makin penasaran....padahal kalo aja Taufik mau buka komunikasi dengan istrinya, pasti RT mereka lebih indah...semua kuncinya memang 'KOMUNIKASI'.

    BalasHapus
  24. Iya betul, itu juga yang ada di milis yang saya terima. Pasangan suami istri yang kurang komunikasi itu lho. Mbak Kris pasti terima juga 'kan?

    BalasHapus
  25. Sepertinya Ami dan Taufik tidak pernah duduk bareng mengevaluasi bersama ke arah mana perkawinan / keluarga mereka dibawa. Biasanya dalam evaluasi tsb menyangkut visi keluarga, serta apa yg menjadi hambatan pencapaian visi tsb. Kalo bicara hambatan, tentu akan mengupas apa yg tidak disukai oleh masing-masing terhadap pasangannya. Tentu saja selama evaluasi harus dg kepala dingin, ego ditanggalkan dulu; sehingga dapat titik temu dan tidak saling menyalahkan. Kondisi romantis bisa diciptakan selama proses evaluasi tsb. Ini juga catatan buat pasangan muda lho, hehehe, agar tidak mengalami kondisi yg parah spt kehidupan Ami & Taufik.

    BalasHapus
  26. The point is : They naever communicate about anything alias nggak pernah ada komunikasi lagi, ceritanya begitu.

    Memang novel ini antara lain dibuat untuk memberikan contoh kesalahan-kesalahan di dalam membina sebuah rumah tangga. Dulu saya juga bikin novel yang memberikan panduan untuk kasus menyelesaikan perceraian di pengadilan agama. Saya posting di situs yang satunya, karena bukan fiksi walau novel. Tapi sekarang sudah saya cabut karena banyak yang menyarankan ditawarkan aja ke penerbit. Sudah saya cabut, saya kirim ke "M" penerbit islami nomor satu di Jawa Barat. Eh, ditolak dengan segala macam alasan. Ya sudah.

    Begitulah kalau saya mengerjakan novel atau posting memang saya upayakan yang bermakna bagi pembaca. Sayang tulisan saya bukan tulisan sastrawati sih jadi ya apa adanya, bukan?! Saya apresiasi kesabaran pak Iwan mau baca-baca di site saya. Terima kasih banyak atas segala perhatian dan kebaikannya. Salam hangat.

    BalasHapus
  27. Iya, mbak Julie, kalo cerita novel tentang kesalahan-kesalahan jadi seru, tapi kalo kisahnya tentang contoh2 yg baik malah jadi datar kisahnya, gak seru. Padahal dua-duanya punya maksud pembelajaran, hehehe...

    Insya' Allah, nanti malam sebelum tidur atau setelah subuh, saya lanjutkan lagi. Sangat menarik untuk disimak kalo dalam suasana tenang.

    BalasHapus
  28. Iya, kata orang-orang novel saya isinya menggemaskan bikin orang kepengin marah aja hehehe....... Jadi bacanya mesti dalam keadaan tenang, biar nggak kepancing emosinya ya mas.

    BalasHapus
  29. Penokohannya lebih suka yang ini drpd kerlingan bu. Awal2 seru ni, kita liat penutupnya.

    BalasHapus
  30. Hehehe.... bisanya muji mulu, nanti kalo saya mangkak nggak jadi nerusin nulis lho. Pan udah berasa ngetop gitu hehehe.........

    Maaf ya lagi berenti nulis di sini, pikiran saya masih belum tenang. Baca kan jurnal di rumah saya satunya?

    BalasHapus
  31. Iya, saya kenal kok sama kembarannya Ti-el Ti-el.

    Terima kasih ya atas pertemanannya. Salam kangen untuk neng Yanti cantik.

    BalasHapus

Pita Pink