Powered By Blogger

Sabtu, 31 Januari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (VI)

Aku harus berupaya mencari jalan mendekati Ami. Itu sudah tekadku, karena setelah kudengar dan kusimak cerita Elis, aku yakin Ami sesungguhnya kesepian. Di muka umum memang nampaknya dia harmonis bersama suaminya. Juga anak-anaknya cerah ceria. Tapi sesungguhnya, mereka adalah para pemain sandiwara yang berhasil.

Di acara arisan ibu-ibu Indonesia yang dikelola bu Shinta yang diperistri seorang diplomat Malaysia, aku sengaja menjejeri Ami. Ada juga teman-teman lainnya di situ. Kami mengobrol apa adanya. Ami nampak begitu natural dan santai. Keceriaan juga tak luntur dari wajahnya yang kuning langsat. Sungguh menakjubkan.

"Bu Taufik kebagian tugas kantin hari apa?" tanyaku memancing pembicaraan.

Dia menghentikan suapan mie pada mangkuknya dan menjawab santai, "Selasa depan bu Tri, kenapa?" matanya menatap lurus padaku.

"Saya boleh ikutan bantu-bantu? Kebetulan saya santai lho hari itu," jawabku meredakan keteganganku sendiri. Padahal dadaku berdegup, harap-harap cemas.

"Oh, bu Tri kebagian kapan, sih?" tanyanya membalas.

"Sudah Kamis yang lalu dengan bu Edward," jawabku santai. "Saya tahu bu Taufik masakannya enak, nanti kalau ada sisa saya mau beli untuk anak saya di rumah," kataku memberi alasan. Padahal aku sedang mencoba untuk akrab dengannya.

"Saya berdua dengan bu Narto. Kalau bu Narto setuju boleh juga. Tapi masakan bu Tri sebetulnya kan juga enak mbok jangan gitu tho," jawabnya disertai senyum dan mata yang sengaja dikedipkan.

"Apa nyebut-nyebut nama saya?" seru bu Sunarto dari sisi meja. Dia sedang mengambil makan siangnya. Sepiring nasi dengan pepes ikan yang nampaknya white sea bass yang gurih. Dagingnya yang putih gemuk berpindah sebagian ke piring bu Narto.

"Ini ada angin segar. Tiba-tiba bu Tri menawarkan cuci piring di kantin giliran kita," jawab bu Taufik menjelaskan.

"Oke, oke boss!! Most welcome! Mimpi apa ya?" seru bu Narto setengah berteriak.

Aku terkikik tak dapat menahan geli sekaligus bersyukur, sebab bagiku pintu persahabatan bisa segera dibuka. Aku berjanji datang pada waktunya, lalu mulai makan sendiri sambil sekali-kali juga mengobrol dengannya. Bagiku Ami memang menyenangkan. Ramah dan bersahabat serta senang bergurau.

-ad-

Kami beriringan di atas bus kota yang melintasi depan kantor suami kami menuju ke rumah. Bu Narto mengambil arah yang berbeda karena rumahnya tak jauh dari kantor.

Aku mulai membuka diri dengan menceritakan keluargaku dan persahabatanku dengan Elis.

"Ya, Elis memang menyenangkan," kata Ami. "Dulu dia sering main ke rumah saya juga bahkan anak-anak akrab kepadanya. Tapi sayang sekarang dia sibuk ya?" sambungnya seakan minta pendapat.

"Betul, usahanya makin maju sekarang. Yati orang kepercayaannya yang memegang kantor di Indonesia juga bilang begitu. Dia yang dulu mengenalkan kami pada Elis.Yati teman satu kampung denganku," terangku pada Ami.

"Sayang ya, Elis orang pintar, tapi belum juga punya pacar," kata Ami lagi keluar dari konteks pembicaraan kami.

"Padahal cantik lho," imbuhku.

"Dan kenapa dia mesti bingung-bingung sih, kan ada mahasiswa karya siswa yang juga masih membujang serta kelihatannya setara dengan dia. Apalagi yang dicari. Pendidikan sama tinggi, punya pekerjaan tetap dan yang penting sama-sama seagama," kata Ami lagi sambil menatap kolam di tepi jalan yang kami lalui. Angsa-angsa di musim panas begini bebas  berenang-renang dengan merdeka.

"Siapa maksud bu Taufik?" tanyaku nyaris tak mengerti.

"Itu oom Baskara yang dosen. Kurang apa coba? Eh, jangan panggil saya ibu dong, panggil saja Ami," katanya tiba-tiba. Kelihatan sekali dia ingin lebih akrab juga denganku sehabis kubantu di kantin tadi.

Pucuk dicinta ulam tiba pikirku sambil mengingat-ingat sosok Baskara yang dimaksudkan Ami. Aku memandangnya dengan cermat, mungkin nampak olehnya dahiku berkerut. "Ya deh, terima kasih bu, eh, mbak Ami. Panggil juga saya Nonik ya, seperti kebanyakan sahabat-sahabat saya memanggil saya termasuk Elis," kataku.

"Lho bukan namanya Retno?" tanya Ami padaku.

"Ya mbak, tapi di rumah panggilan kesayangan saya Nonik. Ngomong-ngomong mas Bas yang mbak maksud yang mungil putih rambutnya disisir klimis itu bukan?"

Ami mengangguk. "Nah, itu dia. Dia 'kan masih sendirian. Kemarin dulu saya ketemu ibunya di kios mesin cuci secara nggak sengaja. Ibunya bilang baru pulang nengok adiknya mas Bas di Eddinburgh sekalian mampir kesini kasihan sama bujangan," jelas Ami.

Kini giliran aku yang mengangguk mengerti. Aku kemudian minta ijin untuk datang belajar masak di dapur mbak Ami. "Suami dan anak-anak saya suka sekali makan rendang dan gudeg mbak Ami, jadi saya kepengin diajari," alasanku.

Ami menyetujui lalu kami menyepakati waktunya sebelum bus sampai di pemberhentian rumahnya. Dia turun lebih dulu setelah sekali lagi menebar senyumnya yang ramah, yang seakan tanpa beban dan bukan sesuatu yang semu. Aku betul-betul terkagum-kagum padanya.

-ad-

Dari acara kantin dan masak-memasak itu aku bisa mengenal Ami lebih jauh seraya mencoba menjauh dari Elis. Aku takut jika terlanjur terlalu dekat dengan Elis, hubungan kami akan rusak sebagaimana hubungannya dengan Ami.

Namun sekali-sekali kami masih tetap saling berkunjung atau mengirim kabar baik melalui telepon maupun E-mail. Bagaimana pun Elis tidak punya kesalahan dan masalah apapun denganku.

"Lis," kataku suatu hari memberanikan diri. "Kenapa tak terpikir olehmu untuk berkenalan lebih dekat dengan mas Baskara sih? Menurutku dia cocok jadi pendampingmu lho."

"Apa, mas Baskara?! Yang dosen UI itu? Kok tiba-tiba kamu bicara begitu sih?" sambut Elis seperti terkejut. Alisnya dempet menyatu di tengah membentuk jembatan antara kiri dan kanan matanya.

"Ya, dia. Apa yang kurang padanya, coba? Seiman, sama-sama berpendidikan tinggi, punya pekerjaan tetap lagi," gurauku sambil mencubit pipinya di meja makan kami. Suamiku tersenyum menyaksikan kami.

"Alah, mulai deh, woman affair. Aku mau tidur siang aja ah dengan Buyung," kata suamiku seraya beranjak pergi ke kamar dengan menggandeng anak kami.

"Selamat tidur," balas kami serempak seperti dikomando. Lalu kami asyik meneruskan oborlan kami. Kujanjikan padanya untuk membantunya berjodohan dengan Baskara lewat sembahyang malam yang kurencanakan sesegera mungkin. Dan mulai minggu depan kusarankan dia berdoa di gereja dengan doa-doa novena serta rosario seperti yang dulu kerap dilakukan Astari sahabatku di SMA kalau kami mau ujian.

Buah dari doa-doa kami adalah kedekatan Elis dengan Baskara secara tidak terduga separuh ajaib. Suatu pagi, sebelum sempat makan pagi Elis telah menyambar telepon dengan memutar nomorku. "Nik, kamu sudah berdoa untukku ya?" suaranya terdengar sangat ceria.

"Ya, ada apa?" sambutku tak mengerti.

"Ya 'kan?! Katakan ya," desaknya. "Semalam aku bermimpi si mata Teddy Bear itu datang ke rumahku," celotehnya sangat riang. Aku bisa membayangkan keceriaan di pipinya yang membulat kemerahan dengan lesung yang dalam.

"Si mata Teddy Bear, siapa?" tanyaku tak mengerti. Hampir saja aku kehilangan kesabaran sebab dia kurasa mengganggu di pagi buta itu saat aku harus menyiapkan sarapan pagi suamiku dan anak kami.

Tapi tawa renyah disertai jawaban spontan itu meredamku jua. "Mas Baskara, pak dosen, percayalah dia datang di mimpiku. Apa maknanya ya?" kudengar jawaban itu terlontar ringan.

"Oh........, dia," aku terkikik geli. Terbayang mata Baskara yang kecil dan melengkung naik pada sudutnya. "Ya, sudah dong. Sudah berkali-kali, kamu juga sudah jadi baca novena dan rosario toch?" balasku senang bukan main.

"Tentu. Terima kasih ya Nik. Moga-moga ini kabar baik buatku. Doa kan lagi ya?" pintanya seraya menutup telepon disertai terima kasih serta pernyataan maaf telah menggangguku.

Aku tersenyum lega. Terbayang di mataku Baskara dengan tubuhnya yang lincah sedang berjalan menghampiri Elis seperti setengah berjingkat seakan-akan menghindari air yang menggenang di halaman gereja ketika hujan baru saja reda. Semoga Tuhan menjodohkan mereka, pintaku sekali lagi.

(BERSAMBUNG)

19 komentar:

  1. Assalamu'alaikum Bunda, apa kabar di Cape Town?

    BalasHapus
  2. selamat malam bunda...apa kabar..?
    kangen deh.
    sehat2 aja khan bund...???

    BalasHapus
  3. Bun, kok kosong ya? Apa ga bisa tbaca lewat hp lina ya bun??

    BalasHapus
  4. Wis saiki wis ana isine. Maaf tadi kesalahan pencet tombol. Jadi kosong hehehe......

    Durung bobok tha nduk?

    BalasHapus
  5. Mbak, aduh maaf. Iki lho wong nini-nini salah emncet tombol dadi isih kosong wis kadung launching hehehe......

    Silahkan dinikmati sambil momong putranda yang manis-manis iku. Matur nuwun ya mbak.

    BalasHapus
  6. Sudah bisa baca bun! Bunda pinter bgt motongnya, bikin penasaran!

    BalasHapus
  7. Dereng bun, ngenjang malm senin krja malem, jadi bsok siang mau bobok ae...

    BalasHapus
  8. ini cerita fiktif ya budhe? ko namanya jadi retno? ...

    harusnya aku baca dari awal kali ya ... biar ngga bingung ... mundur ah ...

    BalasHapus
  9. wah.. aku mesti baca dari yang pertama niy.. hehe, telat ya

    BalasHapus
  10. Nah, nek ngawur wae siapa dong yang mau balik ke siteku? Hahaha.......

    BalasHapus
  11. Kerjanya di kilang apa tha mbak Lin? Ya wis, semoga sukses aja deh. Rejekinya barokah pula!

    BalasHapus
  12. Iya nak...... kasihan bikin bingung. Iki lagi njajal-njajal ae. Mana tau ada peminat melamar naskahku. Ke-ge-er-an si budhe..........

    BalasHapus
  13. Silahkan mas Pry. Ini sekedar coba-coba. Jangan dinilai seperti menilai punya penulis Ruang Melati kita itu lho. Yang nulis kan nenek-nenek isneg.

    BalasHapus
  14. Bingung .......... kata salah satu kontak saya asli. Malah aslinya lebih gila! Pokoknya anggep aja ini pemebelajaran, karena kata kontak saya, ada di kehidupan nyata. Anake malah 10 gila?!!!! Udah gitu eh, si nyonya baru minta cerai juga karena nggak kuat ngopeni anak suaminya yang 10 itu.

    Selamat menerka ujung-ujungnya ya mbak Indah.

    BalasHapus
  15. Nggak, saya pake Julie Andra. Kan ini bukan kish saya neng......

    Hahaha...... makin seru makin kepengin ngerti terusannya? Harap rajin-rajin kesini. Kalo ini jadi film, mau membintangikah?

    BalasHapus

Pita Pink