Powered By Blogger

Rabu, 28 Januari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (II)

Suamiku baru saja tiba di rumah, bersamaan dengan pembantuku membukakan pintu untukku dan Elis. Elis mengangguk menyapa suamiku yang masih lengket berpeluh. "Silahkan masuk Lis," kataku sambil langsung menuju dapur. Nia pembantuku sibuk menerima belanjaan dari tangan kami.

Aku membuka koelkast dan menuangkan dua gelas jus apel untukku dan Elis sambil mengajaknya ke ruang tamu. Suamiku pergi mandi mengusir ketidak-nyamanan yang didapatnya dari olah raga tadi.

Kami teruskan mengobrol seraya menunggu suamiku siap bergabung. Biasanya sehabis olah raga, suamiku akan sangat lama di kamar mandi.

"Ya, kamu bersalah," kataku pada akhirnya tanpa bermaksud menghakimi Elis. "Kamu tahu bahwa antara Taufik dan Ami tidak lagi harmonis, kenapa kamu turut menyumbang kebekuan itu? Taufik bukan lelaki untukmu. Maaf Elis, dalam agama kami, tak dibenarkan sepasang lelaki dan perempuan berdua-dua saja. Meski pun tanpa berbuat apa-apa. Sebab, kitab suci  kami mengatakan, di antara yang sepasang itu ada setan mengganggu di tengahnya," ucapku sambil tersenyum meredakan ketegangan yang muncul sejak di kereta tadi.

Aku tak memberi kesempatan Elis untuk menyela. Maka selepas bicara sepanjang itu segera kuteguk minumanku sekalian mempersilahkan Elis juga.

Elis bereaksi dengan menundukkan kepalanya, lalu dia berucap pelan, "ya, aku tahu Nik. Itulah sebabnya aku mendoakan mereka berdua. Ditelannya ludahnya sendiri sehingga kusodorkan gelas jus itu ke tangannya. Elis menerimanya dengan baik, mencoba tersenyum lalu meneguknya sedikit.

-ad-

Dalam cerita Elis, Ami sama sekali tak menyadari kebekuan suaminya. Dituturkannya bahwa Ami tak merasa aneh. "Dari dulu mas Opik memang pendiam Lis," papar Ami. "Dia cuma bicara kalau ketemu orang yang cocok atau topik yang menarik."

Ami mengira beban pekerjaan Taufik yang beratlah penyebab semakin diamnya Taufik. "Mas Opk pekerja keras, dari dulu dia nyaris selalu pulang malam. Tak heran kalau sekarang dia ada pada posisi yang baik ini," cerita Ami pada Elis dengan kebanggaan seorang istri yang tulus.

Kudengar Taufik memang punya posisi cukup penting di kantornya sehingga banyak orang yang iri kepadanya. Bahkan kudengar di kantornya yang sekarang, Taufik punya posisi kunci mendampingi pimpinan kantornya.

Taufik nyaris selalu pulang dalam kelelahan. Hanya anggukan kepala yang diperoleh Ami setiap dia mempersilahkan makan malam. Juga hubungan mereka yang dingin di ruang pribadi mereka, dianggap Ami sebagai akibat kelelahan fisik Taufik semata.

Ami perempuan ceria itu selalu punya permakluman untuk suaminya seluas samudera. Hatinya tulus, bening sebening birunya lautan. Semua pekerjaan rumah tangga dilakukannya berdua dengan pembantunya tanpa mengeluh. Juga ketika dia harus berpayah-payah ke pasar dengan belanjaan berat bahkan menjemput anak-anaknya sendiri berjalan kaki dari sekolah menembus dinginnya es yang beku di rerumputan jalanan.

Bagi Ami kehidupan semacam itu adalah konsekuensinya menikah dengan seorang Taufik yang terlalu baik dan santun di masa lalu. "Mas Opik sangat perhatian dan sayang padaku. Dulu, tanpa mas Opik mungkin aku tak ada yang mau," cerita Ami pada Elis.

Ami terlahir sebagai anak bungsu dari keluarga besar yang hangat. Kasih sayang melimpah padanya sehingga dia tumbuh jadi gadis manja. Apalagi kondisi kesehatannya kurang baik. Sehingga Ami selalu saja hidup dalam pengawasan ketat keluarganya, termasuk dalam pengawasan Taufik waktu itu. "Ayahnya begitu mempercayaiku, dia diserahkan sepenuhnya dalam genggamanku sebelum kami resmi menikah," papar Taufik.

"Sedemikan eratkah hubungan mereka sebelum menikah?" selidikku meski aku tak yakin Elis mempunyai jawabnya. Dan Elis mengangguk, "ya, orang tua mereka bersaudara jauh, kerabat tepatnya."

"Jadi pernikahan itu terjadi atas perjodohan yang dipaksakan orang tua mereka?" selidikku lagi lebih dalam. Kali ini Elis menggeleng, "bukan. Katanya sih orang tua mereka mulanya malah tak tahu mereka telah berpacaran, cinta monyet gitu lho."

Aku mengangguk menarik nafas panjang sambil mencoba memahami situasi awal pernikahan kedua sahabat dari sahabatku itu.

Orang tua mereka begitu surprise begitu mengendus hubungan cinta mereka. Maka jadilah mereka sepasang pengantin yang ditahbiskan orang tua mereka sebelum masanya. Orang tua Taufik begitu bahagia mendapati calon besannya, selagi orang tua Ami juga tak kalah senang menemukan Taufik yang terkenal santun dan baik budi sebagai kekasih Ami. Bahkan Ami dititpkan orang tuanya ke tangan Taufik dengan bayaran amanah, dimana mereka menikah dalam keadaan masih suci beberapa tahun kemudian.

Di mata ibu Taufik, Ami adalah perempuan terpelajar yang sopan dan rendah hati tak sebanding dengan kedudukan orang tuanya yang menyolok di mata masyarakat. Ami tak segan-segan bertandang dan membantu-bantu di dapur rumah keluarga Taufik yang menjorok di dalam gang sempit berdesak-desakan jendela bertemu jendela, pintu beradu pintu.

-ad-

Suamiku selesai membersihkan diri lalu ikut mengobrol bersama kami. Balita kami asyik menyusun puzzle tak jauh dari kami di play pen-nya.

Pembicaraan kami beralih ke masalah-masalah umum sampai tiba saatnya makan siang yang kami lanjutkan dengan bermain scrabble bersama. Anak kami tertidur lelap di pangkuan Elis sahabatku yang pandai bercerita. Tapi sejujurnya pikiranku tidak ada di papan scrabble itu. Sambil bersila di lantai aku terus terkenang akan cerita Elis tentang Ami sampai mengacaukan permainanku.

Ketika akhirnya Elis minta diri, kami mengantarkannya sekalian. Sebab anak kami ingin sekali keluar rumah sore itu. Elis melambaikan tangannya dari pintu building tinggi tempatnya bermukim. Satu-dua penghuni di situ tampak duduk-duduk di cafe di lantai dasar sambil mengobrol santai. Senja yang hangat membawa kebersamaan yang erat di hati manusia-manusia itu. Tidak seperti cerita Elis tentang Ami dan Taufik. Aku menelan ludah merasakan kepahitan yang tiba-tiba meracuni jiwa dan pikirankku.

Kami mengasuh buah hati kami di taman di dekat kantor suamiku. Papan luncur tinggi padat dikerumuni barisan anak-anak kecil. Si kecil segera berlari menghampiri angsa kayu yang berdiri berdampingan dengan kuda di sisi kiri taman. Aku mengikutinya dan menaikkannya ke atasnya. Dia berayun-ayun senang di sana terangguk-angguk ke depan ke belakang. Suamiku sibuk merekam keceriaan anakku dengan kamera yang tak pernah lepas disandangnya setiap kami keluar dengan anak kami. Di perutku, janin kecil menendang-nendang senang.

-ad-

Pagi sekali kukirim e-mail kepada Elis untuk memintanya melanjutkan kisah Ami yang membuatku penasaran. Aku tahu, setiap pagi acara pertama Elis adalah membuka e-mailnya mengecek pekerjaan yang masuk untuknya hari itu serta laporan dari Yati di Jakarta.

Semalaman aku nyaris tak dapat tidur, pensaran akan kisah Ami. Sebab selama ini di mataku hubungan Ami dengan suaminya baik-baik adanya. Entahlah di belakang itu, aku tak tahu sebab aku jarang sekali bergaul dengan ibu-ibu Indonesia yang jumlahnya cuma segelintir di kota tempat tinggal kami.

"Nonik, maaf aku baru sempat menjawab rasa penasaranmu," kudengar suara Elis di seberang sana dari telepon kantornya. Hari sudah sore, pertanda dia sudah hampir menuntaskan semua pekerjaannya hari itu.

"Nggak 'pa'pa," balasku ringan meski hatiku penuh harap. "Aku tahu kamu sibuk, 'kan wantia karier," sambungku sambil memperdengarkan tawa. Elis membalasnya dengan tawa juga. Seketika tergambar di rongga mataku lesung pipit yang molek itu.

Taufik sekarang sedang menyelesaikan sekolahnya, dia belajar lagi untuk mengejar gelar master sesuai tuntutan jaman. Maklum pekerjaannya memerlukan ilmu yang mutakhir dengan persaingan personal yang ketat. Tapi Ami tidak pernah tahu hari-hari apa saja dia di kampus, maklum Ami tipe perempuan kuno yang tabu memaksa suaminya bicara seperti diajarkan ibunya. "Biarkan suamimu punya waktu dan rahasia untuk dirinya sendiri," pesan ibunya dulu. "Kamu jangan kelihatan terlalu mengejar-ngejar lelaki dan ingin mendominasinya." Petuah yang termakan dalam-dalam di ingatan Ami dan menjadi patokannya di dalam menjalin hubungan dengan Taufik hingga mereka beranak dua.

"Kami kerap pergi bersama seperti aku denganmu akhir-akhir ini. Tapi Taufik tidak pernah ikut, dan Ami selalu mengira suaminya sibuk dengan pekerjaan serta tugas-tugas kuliahnya sekalipun di hari libur atau akhir pekan," urai Elis.

"Padahal dia di mana?" tanyaku ingin tahu.

"Dia di suatu tempat dengan perempuan lain. Akulah saksi kuncinya, karena perempuan itu selalu datang dari luar kota dan diinapkan Taufik di dekat tempat tinggalku."

"Kau tega membiarkan Taufik mengkhianati istrinya?" tuduhku sembarangan.

"Hm, dengar Nonik, ya, tidak Nonik. Aku bukan tipe perempuan seperti itu. Karenanya pernah kuminta Ami untuk menelepon Taufik menanyakan keberadaannya. Tapi memang kasihan, HP-nya dimatikan, membuat Ami yang lugu semakin yakin bahwa Taufik berada di ruang kuliah dan bukan ruang-ruang lain."

"Siapa perempuan itu, kau kenal?" tanyaku lagi.

"Tidak. Konon bekas mitra kerjanya di Indonesia dulu. Tapi aku sama sekali tidak mengenalnya. Percayalah. Aku bahkan pernah menanyakan hal ini pada Taufik sendiri. Menurutnya, Ami sudah tahu dan tidak cemburu."

Semakin pusing aku mencernanya, Dalam jaman modern seperti ini ternyata masih ada perempuan lugu yang mudah dibodohi lelaki. Walau dalam hatiku aku tidak yakin akan pengakuan Taufik. Terbayang wajah Ami yang selalu ceria, tentu akan terlipat lesu kalau saja dia tahu pengakuan suaminya kepada perempuan lain yang bukan apa-apanya tentang hubungannya dengan perempuan lain lagi. Sungguh suatu cinta yang pelik, yang membutuhkan tangan-tangan kesabaran untuk menguraikan kekusutannya.

Bersamaan dengan itu kudengar suara mobil suamiku di garasi kami. Kututup segera telepon Elis dengan rasa penasaran yang semakin memuncak. Insya Alalh besok sore giliran aku yang akan meghubungi Elis lagi untuk kelanjutan kisah unik ini.

Kudapati suamiku masuk disambut si kecil di tangga garasi. Aku mengucapkan salam sambil membawakan segelas air putih di gelas bir yang kami sulap sebagai gelas untuk suamiku. Rumah tanggaku terasa damai. Semoga selamanya begini.

 

(BERSAMBUNG)

23 komentar:

  1. yg tdk sabar menunggu lanjutannya...................;

    BalasHapus
  2. Hallo, kemana aja nih? Cepet amat masuknya? Kabar baik 'kan? Sabar ya........ udah malem mau tidur dulu ah.

    BalasHapus
  3. Ye..... kok nggak sabar sih? Sabar...... penoton harap tenang.......

    BalasHapus
  4. Halah! Sabar pangkal subur jeng!

    BalasHapus
  5. Kan baru pulang............terus kecapean abis.......(lelah jiwa raga.........). Alhamdulillah sekarang dah lumayan. Kalo mbak sudah di Cape town lagi kan ? Berapa lama di Indonesianya ??

    BalasHapus
  6. aduh jangan sampe suamiku kaya gitu. amit2.

    BalasHapus
  7. Amin. Aku juga amit-amit jabang bayi. Repot!

    BalasHapus
  8. Ya pastilah. Masa' pastiles hehehe...... benang aja bahasa Jawanya bolah bukan boles huuuuuuu........!!

    BalasHapus
  9. Oh mas Topik.dikau kelihatan KALEM tapi kalempit lempit perbuatanmu.(istilah Jawanya)

    BalasHapus
  10. Te o pe apa maksudnya tua, ompong tur peyot? Ora lah mbak, aku durung tua-tua nemen tur durung peyot. Nek ompong sih pancen iya........ kekekek.........

    Matur nuwun ya mbak. Selamat kerja. Udah sana ke kilang, jangan menthelengi komputer aja. Nanti yang punya kilang ngamuk.

    BalasHapus
  11. Duile, si budhe, kayak ini kisah nyata di depan budhe aja. Apa iya mas Taufik kalem? Wah, kalo gitu bener yang ngalem saya ya?! Ke-ge-er-an duluan nih saya. Kok seakan-akan saya bisa bikin novel sekelas sastrawan.........?

    Ini ada di bayang-bayang lho budhe.........

    BalasHapus
  12. Hidup DWP Deplu,punya penulis Wanita yang handal.maju terus pantang mundur.Bikin novel jeng.Pertama2 bagi ke DWP Iskandar Syah,baru kirim ke SOFIA,Wah enake rek,kari obo.

    BalasHapus
  13. Nggak ada DWP Iskandarsyah bu........ Kalo Sofia ada, ketuanya ibu Adi hartomo teman saya yang ayu (atine juga ayu).

    BalasHapus
  14. Rek gambar kucing kula nderek dateng wingking........
    Nek mpun rampung mangke kula abani njenengan, "mbak,,,,,,,,,, udah.............!!" ning njur tutupan geronone nggih? Ndak mambet!

    BalasHapus
  15. Memang lagi njajal-njajal nak atas "petunjuk" beberapa orang fans di dunia maya. Mohon doa resatunya ananda Siti sing ayu.

    BalasHapus
  16. Penasaran aku....mba...dah cocok jadi novel nih.

    BalasHapus
  17. Silahkan diteruskan. Tapi aduh, malu lah kalo jadi novel. nggak sebanding sama namanya. Kurang keren ini sih.......... nggak ada yang belilah kalo saya jadiin novel sungguhan. Anyway, terima kasih ya mbak udah mau ke rumah saya ini.

    BalasHapus
  18. ya Ampyuuunnn..., aku gak habis pikir bun, suami yang diam / calm dirumah, ternyata "ramah" diluar...aku mo lompat lagi ke Page III...setelah pesan2 berikut..(balik kerja dulu..hehehe..)

    BalasHapus

Pita Pink