Powered By Blogger

Jumat, 23 Januari 2009

HARUSKAH PERJALANAN WAKTU MENGUBAH MANUSIA?

Aku meluangkan waktuku di kampung dengan mengunjungi teman karibku di SMA yang kebetulan guru anakku dulu. Sebaris SMS diikuti telepon cepat mengembalikan keakraban kami. Dengan perjanjian, aku berdua anakku mengunjunginya di rumahnya -masih yang dulu- peninggalan kedua orang tuanya.

Kawanku tidak berubah. Dia masih seorang periang yang senang bergaul. Kesederhanaannya justru menjadi daya tarik untuk senantiasa dekat dengannya. Dia tak memilih-milih kawan, sekalipun tak semuanya diakrabinya. Karena itu dari mulutnya meluncur banyak info mengasyikkan tentang teman-teman lama kami. Ada yang sudah sukses menjadi orang nomor satu di perusahaannya dengan foto nyaris tiap hari terpampang di media massa, ada yang biasa-biasa saja, tapi ada yang justru sekarang jadi panutan kawan-kawan kerena statusnya berubah jadi pemuka agama. Semua itu menimbulkan kerinduanku pada mereka.

Rumah kawanku masih di dalam gang yang sebagian besar dihuni oleh kerabatnya sendiri. Dan disitu pula dia menetap nyaris seorang diri. Kesendirian yang dinikmatinya dengan sempurna tanpa mengeluh bahkan tak juga menghujat Yang Punya Kuasa  yang telah menetapkan jalan hidup manusia. Aku terkagum-kagum padanya.

-ad-

Kami bertiga, aku, dia dan anakku sepakat menjenguk sahabat anakku di SMA dulu yang kebetulan jadi murid kesayangannya. Kabar yang diterima anakku, temannya baru keluar dari perawatan di Rumah Sakit akibat kelelahan fisik mengingat selain kuliah, dia juga punya pekerjaan yang sudah ditekuninya sejak di SMA.

Dengan menumpang angkot melewati rumah orang tuaku, kami bisa mencapai rumahnya. Sebuh perkampungan di dalam jalan raya yang menghubungkan kota Bogor dengan desa-desa Kabupaten di utaranya. Temanku melirik padaku waktu angkot melintasi rumahku, katanya pada anakku, "di situ dulu ibu-bapakmu menahbiskan cintanya."

Rumah teman anakku terasa ramai penuh kehangatan, meski kami tahu dia hanya semata wayang setelah kakaknya berpulang dalam satu kecelakaan tragis di tengah kota beberapa tahun yang lalu.

Seorang perempuan cantik seumuran kami mempersilahkan kami duduk setelah mengatakan bahwa anaknya sedang bersembahyang di masjid. Nampaknya dia seorang wanita karier, pejabat di sebuah instansi pemerintah, berlainan dengan diriku yang hanya bergulat di dapur keluarga. Terpelajar, demikian kesan pertama yang kutangkap pada wanita ini. Kemudian juga pada suaminya yang datang dengan anaknya berdua dari masjid. Bahkan sang ayah begitu mempesona dengan sapaan dan uluran tangannya yang hangat. Aku bersyukur dalam hati karena anakku tidak salah memilih teman bergaul sekalipun kami meninggalkannya seorang diri di Indonesia.

-ad-

Teman anakku seorang pemuda tampan yang kelihatan enrjik, juga cukup menyenangkan. Bahkan sangat santun, sebagaimana diungkapkan sahabatku. Katanya, muridnya yang satu ini sangat menaruh perhatian terhadap para guru serta gemar menolong sekalipun dia sudah jadi public figur di kota kami.

Sahabatku sangat terkesan ketika suatu hari dia diantarkan dan ditemani ke toko sepatu sampai mendapat sepatu yang cocok. "Saya dibimbingnya untuk menyusuri pusat perbelanjaan yang ramai dan dia rela mengambilkan sepatu yang ingin saya coba sambil melepaskan sepatu di kaki saya," cerita temanku terkagum-kagum sebab temanku sudah sangat butuh pertolongan setelah tubuhnya digerogoti penyakit. Subhanallah, batinku, ternyata masih banyak orang tua yang berhasil menjadikan manusia santun berbudi. Semakin kagum aku pada pemuda satu ini yang berkulit bersih, berwajah tampan sebulat rembulan empat belas yang bening bersinar di langit fajar. Kulirik anakku, dia sedang asyik memperhatikan sahabatnya seakan melepas rindu.

Kami tak lama bertandang, karena kami ingin memberinya kesempatan istirahat. Tapi ibunya tak bersedia keluar rumah waktu kami hendak minta diri selagi ayahnya pergi menemani tetamu mereka yang banyak menyemarakkan rumah mereka tadi. Kami hanya titip salam sebelum melangkah keluar halaman dengan pikiran masing-masing. "Ah, begitu sibuk si ibu di dalam merapikan bekas menjamu tetamu nampaknya," bisikku pada sahabatku. Dia tersenyum penuh arti, "perempuan itu terasa dingin," jawabnya tak jelas. Aku menangkap maksudnya lalu mencamkannya dalam hati. Dingin jugakah diriku terhadap tetamu? Batinku mawas diri. Aku merasa bersyukur atas pelajaran hari itu, bahwasannya aku harus berkaca dari cermin yang tak sengaja dihamparkan Allah di hadapan kami. Lalu kaki kami naik ke atas angkot yang membawa kami ke jurusan berbeda siang itu.

-ad-

"Lie, besok pagi anak-anak kelas PasPal akan dibawa Tono ke Talaga Warna. Aku dan Noni akan ikut atas ajakan Tono sendiri. Bahkan begitu dia tahu kamu ada di rumah, dia bilang kamu diminta ikut, kami tunggu pukul enam pagi di muka pintu utama KRB" begitu bunyi SMS di layar ponselku dari sahabatku itu.

Segera kuputar otakku untuk mengingat-ingat sosok Tono. Kami memang berbeda jurusan, karenanya wajar saja aku tak begitu ingat dia. Tapi SMS Mia yang menjanjikan persahabatan abadi sangat menggoda.

Tanpa ragu aku menyetujui maksudnya lalu bergegas menuju ke kios buah di dekat rumah untuk memperoleh bekal persahabatan besok. Juga kupersiapkan pakaian senyaman dan sebaik mungkin untuk menimbulkan kesan yang mendalam pada teman-temanku. Aku tersenyum sendiri. Rasanya seperti gadis yang akan berangkat kencan pertama. Semua diatur rapi agar jadi landasan untuk membina hubungan yang tak lekang oleh jaman.

Menunggu pagi aku nyaris tak dapat tidur. Berulang kali kupesankan pada anakku untuk membunyikan alarm pada ponselnya supaya aku tak kesiangan. Sungguh suatu perbuatan yang menggelikan. Namun itulah justru awal dari kebahagiaanku.

Aku jadi bertemu dengan mereka yang tak seberapa banyak jumlahnya. Hanya sektar lima belas orang, kawan-kawan akrab Tono semua. Tapi tentu saja ada yang juga pernah sangat dekat denganku. Tame, karibku sejak SMP yang juga adik guruku dulu.

Tame datang dengan istrinya perempuan Priangan yang lembut dengan kulit putih semulus hatinya. Kami cepat menjadi akrab kembali setelah kutanyakan kabar keluarga Tame satu persatu mulai dari kakak-kakaknya hingga dik Rini, adik bungsunya yang dulu tak kenal malu-malu. Lega rasanya hatiku mendengar mereka semua baik-baik saja, bahkan Rini telah jadi mutiara berharga bagi kaum ibu di Nusa Tenggara berkat pendidikan kebidanan yang dipimpinnya disana. Adapun Tame sendiri menurut pengakuannya hanyalah pegawai di bank pemerintah yang dipimpin oleh teman sekelasku lainnya. Inilah perjalanan waktu.

-ad-

Tono dan istrinya seorang perempuan ibu kota yang terpelajar ternyata sangat menyenangkan. Dia tak menganggap aku sebagai pendatang baru sekalipun aku datang dari kelas SasSos. Tugas dan kewajiban Tono sebagai salah satu tenaga ahli di Departemen Kehutanan kali ini dimanfaatkannya untuk mengenalkan alam dan mengajak keluarga kami berpartisipasi dalam program penghijuan.

Anak-anak kami diajaknya serta, dan diajarinya menanam sengon di area hutan lindung Talaga Warna setelah mereka dibiarkan beraktifitas dengan permaianan alam yang tersedia disana. Dalam pada itu, kami duduk-duduk menikmati sunyi sambil mengenangkan masa lalu. Sepiring ubi bakar, jagung, oncom goreng dan lontong yang entah disediakan oleh siapa menemani kami. Bagiku serasa di surga, mengingat di perantauan aku tak akan mungkin menemukan sebagian besar makanan khas kegemaranku ini. Teman-teman sengaja menyodoriku banyak-banyak sambil mengurut dada dan tersenyum, "oh kasihan........kasihan si bule dari negeri hitam........." Maka kucubiti setiap tangan yang menggodaku dengan kemesraan yang hangat. Pagi berembun itu jadi merebak cuaca dengan sinar mentari yang tiba-tiba mengintai di puncak pepohonan rindang.

Menurut Mia, dan juga teman-teman yang lain, aku adalah diriku. Makhluk "aneh" yang dari dulu gemar "berjalan sendiri". Maksudnya, walau telah panjang kaki melangkah, tapi aku tak terbawa arus, aku tetaplah diriku yang dulu yang selalu ingin tampil apa adanya. Dan itu kuakui kebenarannya. Haruskah aku tampil beda hanya karena aku telah mendunia? Aku tak butuh jawabannya. Sebab apapun yang akan dijawabkan orang untukku, aku telah bertekad untuk tetap menjadi diriku. Perempuan desa yang apa adanya. Ya, inilah aku. Boleh bukan?!

32 komentar:

  1. Boleh tante.. Apa adanya kan lebih baik drpada meng ada2. Iya kan? Hehe

    BalasHapus
  2. Hehehe..... iya ya? Tante kok ngiseng banget sih week-end gini........

    BalasHapus
  3. be your self aja and be confidence with it...

    BalasHapus
  4. menurut saya, waktu tidak akan bisa merubah apa apa, tp dengan seiring berjalannya waktu semua bisa berubah

    BalasHapus
  5. memang sudah selayaknya kita berpegang pada prinsip yg kita yakini,,,
    :)

    BalasHapus
  6. Tapi diluar itu, asyik bgt pastinya ketemu sama sahabat lama yg udah lama gak ketemu... :)

    BalasHapus
  7. Okay! I Will Nyo......... Insya Allah. Thank's a bunch!

    BalasHapus
  8. Oh iya, gitu ya? Aduh tulung mas, aku takut berubah, nanti nggak ada yang bisa mengenali lagi......

    BalasHapus
  9. Ya, betul. Saya setuju sekali mas! Apa kabar? Selamat akhir pekan, semoga bahagia.

    BalasHapus
  10. Luar biasa deh, maklum udah tigapuluhdua tahun nggak ketemu. Dan mereka nggak ngusir saya walaupun saya bukan dari kelas mereka. Malah saya disambut hangat, aduhai......!! Ternyata mereka rutin ketemuan. Dan bulan depan rencananya mereka ke Pangalengan, yah sayang saya dah pergi lagi...........

    BalasHapus
  11. terima kasih, mbak...
    kebetulan senin liburan imlek. jadi agak panjang liburannya...:)

    selamat berakhir pekan juga...
    salam buat keluarga
    :)

    BalasHapus
  12. hehehe Mbak Julie sudah berubah Loh! dulu gak main MP sekarang main MP, hehehehehe.....

    BalasHapus
  13. Benul Boendo....perjalanan waktu mengubah manusia...
    ada yang lucu tentang waktu atau Usia....disaat usia tertentu manusia mengalamu PUBER...ha....ha....ha...

    Tapi yang pasti masalah waktu hanya ada 1(satu) yaitu sekarang karena jika kemarin berarti telah lewat dan esok/ lusa kita tdk tahu apa yang akan terjadi....berarti sekarang saat kita berbuat...

    BalasHapus
  14. seneng Bun kalau punya teman yang longlasting dan bisa saling menjadi panutan dalam kebaikan. rasanya hidup yang pendek ini bisa menjadi sangat berarti.

    perubahan memang tak terelekkan.

    BalasHapus
  15. persahabatan bagai kepompong... sayangi teman hadapi perbedaan...

    pernah denger lagu 'kepompong", kan, tante? indahnya...

    BalasHapus
  16. sahabat sejati adalah sahabat yang dapat menerima apa adanya ... pelajaran berharga sekali ceritanya bunda..tx

    BalasHapus
  17. Soal ngMp? Iya sanggat merubah saya. sebab, Mp saya nggak saya pake mainan, malah saya pake nyari teman jadi saya pelihara bener, hehehe..... mudah-mudahan persaudaraan kita lenggeng ya mas Sigit?! Nuwun.

    BalasHapus
  18. Oh ya betul kang Dalang. Aduh, saya jadi takut belum berbuat apa-apa. Maksudnya belum mandi sore, belum nyiapin makan malam buat keluarga, belum ngancingi jendela rumah dan pintunya............. Yuk ah, saya pamitan dulu.

    BalasHapus
  19. Heu-euh bener banget haiya, wong ya temen-temen saya ada yang udah jadi lemu tur gede duwur, padahal dulu langsing banget. Ada yang udah butak ditutupi sorban kaji karena merasa udah lebih sempurna (ibadahnya) daripada waktu muda. Macem-macem deh. Seru ketemu teman-teman walaupun sebagian justru saya rasanya baru kenal.

    BalasHapus
  20. Wah, belum tuh. Disini nggak ada satsion radio bahasa Indonesia. Pastinya bagus ya. Iya rasanya persahabatan juga bagus sekali. Jadi sandaran buat hidup, barangkali kesulitan kita tahu harus nyari bantuan kemana. Sebaliknya tentu kalau mereka butuh bantuan, kita nggak sungkan-sungkan mengulurkan tangan, karena mereka pasti nggak mengatakan kita menolong karena kita punya pamrih. Iya toch?

    BalasHapus
  21. Ah, cuma sekedar nulis aja kok mbak Tatiek, bukan buat dipelajari sih maksudnya. Cuam saya ingin rasa bahagia saya diterima teman-teman lama terekam di dalam diary saya. Terima kasih ya mbak udah rajin nengokin saya. Salam untuk si kecil, udah pada sehat 'kan sekarang?

    BalasHapus
  22. alhamdulillah khansa sehat bunda, sy senang gaya bhs dan dgn kisah2 bunda... :)

    BalasHapus
  23. Trima kasih. Memang dari dulu kalau saya ngisi buku harian, ya udah gini sih bahasanya. Aduh jadi tersanjung. Makasih banget mbak Tatiek, jangna nyanjung teru ya, nanti saya ke-ge-er-an terus kesandung, sakit!!!

    BalasHapus
  24. sama kalo gitu, saya juga seorang perempuan yang apa adanya. hehehe...

    BalasHapus
  25. Bu Julie pasti banyak tmnnya ya...orangnya suka bersilaturahmi..

    BalasHapus
  26. Enak 'kan jadi orang apa adanya, bukan ada apa-apanya? Jadi kemana-mana nggak takut-takut, nggak sungkan-sungkan, nggak malu-malu dan nggak kudu ja'im yang penting mah........

    Apa kabar bu?

    BalasHapus
  27. Alhamdulillah kalau diangggap beghitu sih. Padahal menurut saya biasa-biasa aja. YAng lebih banyak temannya dari saya justru lebih banyak lagi. Mbak Lia belum tau aja........ :D

    BalasHapus
  28. Rasanya perjalanan waktu mau nggak mau akan selalu mengubah manusia, minimal dari segi fisik Bu, hehehe...
    Mungkin juga dari segi kedewasaan, bagaimana menyikapi sesuatu dsb. Ketika ada yang bisa mempertahankan kebaikan dalam dirinya dari waktu ke waktu, ya bagus berarti.

    BalasHapus
  29. Oh iya ya?! Saya aja sekarang jadi gendut walaupun kalo kata temen-temen saya nggak berubah. Maklum dari dulunya memang nggak pernah langsing hihihi......

    Ah kalo gitu saya mau bersyukur sekarang.

    BalasHapus
  30. Sebetulnya biasa aja mbakyu. Tapi kalo saya nggak nyatet di diary saya ini, nanti malah lupa babar blas. Maklum sekarang saya merasa cepat lupa. Tapi anehnya, masa lalu saya nggak pernah bisa lupa. Sampe keluarganya Tame saya inget detail. Yang bingung malah Tame dan istrinya. Maklum saya sampe tahu bahwa bapaknya Tame dulu pelukis untuk Herbarium Bogoriensis dan menularkan bakatnya kepada Tame.

    Tame sekarang kerrja di Bank, tapi dia tetap melukis dan menulis katanya sih sudah hampir jadi buku. Sementara saya ya gini-gini ajalah.

    Kumpul-kumpul itu ternyata memang menyenangkan mbakyu.

    BalasHapus

Pita Pink