Powered By Blogger

Rabu, 28 Januari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (III)

Telepon di dalam saku celana panjangku bergetar ketika aku baru melangkah keluar dari Taman Kanak-Kanak tempat aku menyekolahkan anakku. Elis di seberang sana menanyakan keberadaanku. Mendengar jawabanku Elis mengatakan ingin mengajakku minum kopi pagi itu di sebuah pusat pertokoan di stasiun kereta bawah tanah tak begitu jauh dari daerah tempat tinggalku. "Aku ada di sini sedang menunggu klien-ku," alasannya.

Aku sepakat dengannya. Segera kuayunkan langkah menuju stasiun kereta kira-kira satu kilo meter dari sekolah anakku. Kurasakan bunga-bunga musim semi bermekaran begitu indah menyemarakkan suasana hatiku yang senang mendapat kabar bahwa Elis akan segera menuntaskan ceritanya yang membuatku penasaran. Sesungguhnya aku hanya ingin mencontoh apa yang bisa kujadikan pelajaran dari kehidupan perkawinan Ami dan Taufik.

-ad-

Elis ada di pojokan, dengan pakaian kerja biru muda. Segar sekali ia di pagi itu. Matanya yang kecil didandaninya sedemikian rupa dengan bingkai perona mata yang tegas, sehingga membuatnya lebih membelalak. Diam-diam aku mengaguminya.

Dia menarikkan kursi untukku di sebelahnya serta memesankan sepiring croisant dengan segelas coklat susu panas kegemaranku. Di hadapannya, sepiring croisant juga menghampar bertemankan capuchino yang mulai dingin. "Silahkan minum duluan Lis," kataku sambil mencari posisi yang nyaman.

Elis mengangguk seraya mempermainkan sendok kopi di cangkir demi tasse yang masih penuh itu. Stasiun pagi itu agak sedikit lengang. Mungkin para pegawai banyak yang belum kembali dari cuti paskahnya. Tukang bunga di muka kedai kopipun baru saja tiba menggelar dagangannya. Kuntum-kuntum lily putih serta cassablanca yang jadi kegemaranku berseri disana memadati ember-ember plastik merah.

"Suamimu sudah ke kantor?" tanya Elis membuka percakapan.

Aku mengangguk mengiyakan. "Terus gimana ceritanya, Lis?" serbuku tak sabar.

"Eh, kemarin sampai di mana, ya?" Elis balik bertanya.

"Hmmm, Taufik bersama perempuan lain," jawabku yakin.

"Oh ya, bukan bersama, membawa perempuan itu tepatnya. Dia mengundangnya dari Indonesia," jawab Elis mengoreksi ucapanku. Maksudnya tentu dia ingin menekankan bahwa keberadaan perempuan itu adalah atas permintaan Taufik.

"Aku kemudian mengundang Taufik ke rumahku dan menanyainya. Aku sangat kasihan kepada Ami. Perempuan itu terlalu lugu dan tak pernah punya bayangan buruk sedikitpun akan suaminya. Padahal, aku sudah berkali-kali pergi hanya berdua dengan Taufik, bahkan hampir setiap minggu Taufik justru mengajakku berbelanja untuk kebutuhanku sehari-hari. Padahal lagi, kulihat Ami selalu berjalan sendiri memenuhi kebutuhan keluarganya baik ke toko maupun ke pasar," papar Elis. Matanya menerawang jauh selagi tangannya diletakkan pasrah di sisi kiri dan kanan cangkirnya.

Aku meneguk coklat susuku yang baru saja diantarkan pelayan. Croisant kami masih terbiarkan begitu saja, padahal asap mengepul-ngepul dari atasnya pertanda baru dikeluarkan dari mesin penghangat.

"Jadi dasarnya kau cemburu kepada Taufik yang mendatangkan perempuan itu dari Indonesia?" sindirku dalam gurauan.

"Hey, common! Bukan begitu ya........" sahut Elis seru sambil mencubit lenganku. Tak urung ia tertawa memperlihatkan putih mutiara di giginya yang besar-besar.

"Ups! Maaf! Terus kenapa dong?" berondongku.

Menurut Elis, antara dia dengan Taufik tak ada rasa apapun. Dia hanya suka dengan cara kerja Tufik yang efisien dan menunjukkan kecerdasan sehingga semua urusan kantornya dengan Taufik tak perlu makan waktu lama. Selain itu Taufik pria yang lembut dan penuh perhatian. Itulah sebabnya dia merasa betah bergaul dengan Taufik, dan juga Ami, tegasnya.

"Ami itu lho, hatinya suci. Dia bukan tipe perempuan pencemburu. Sekaligus dia tipe ibu rumah tangga yang baik. Dia mengalahkan semua keinginan pribadinya untuk seluruh keluarganya, bahkan jika perlu untuk orang-orang lain yang disayanginya. Kau lihat, Ami tidak pernah outing dengan ibu-ibu yang lain dan menghabiskan waktu keluar-masuk toko di down-town. Baginya itu pemborosan belaka. Ami bilang, dia menyisihkan gaji suaminya untuk memenuhi uang kuliah suaminya karena dia tahu suaminya pembelajar yang baik dan dia ingin suaminya punya masa depan yang lebih gemilang. Belum lagi kau tahu, Ami tak pernah ikut kursus ini-itu, karena dia menganggap kursus bahasa kedua anaknya lebih penting untuk menunjang keberhasilan mereka di sekolah. Kursus bahasa 'kan mahal ya?" kata Elis seperti tak minta jawaban. Aku mengangguk setuju. Ya, di negeri tempat tinggal kami ini tak ada apapun yang murah. Termasuk biaya pendidikan tentunya.

"Kalau begitu kau betah bergaul denganku juga kerena suamiku menyenangkan untukmu dan mau diminta menemanimu?" ledekku sambil tertawa.

"Sembarangan!" semprot Elis pura-pura marah. "Bukan itu, karena aku merasa betah bergaul dengan keluargamu," protesnya. "Lain 'kan?!"

Aku mengangguk mengiyakan sambil mulai mengunyah croisant yang kulumuri butter kesukaanku. Di emplasemen stasiun, kereta bawah tanah datang dan pergi berganti-ganti menyuarakan deritan rem dari rangkaian gerbong-gerbongnya meningkahi pembicaraan kami.

"Lis, kau sudah mencoba menyadarkan Ami akan kebutaannya?" tanyaku.

Elis membuang pandangannya jauh ke kerumunan penumpang yang naik-turun eskalator di dekat kedai kopi kami. "Secara terang-terangan sih tidak. Aku tak akan melakukannya. Aku takut memperuncing masalah. Cuma pernah kukatakan kepadanya bahwa antara dirinya dengan Taufik kurang berinteraksi. Dan komunikasi adalah kunci yang pas untuk menumbuhkan hubungan yang sehat."

"Apa rekasinya?" potongku tak sabar.

"Kata Ami, dia sudah terlalu biasa didiamkan suaminya. Dan dia tidak menuntut apa-apa sepanjang suaminya tidak mengabaikan anak-anak mereka serta masih menafkahinya setiap hari. Kau tau Nik, tiap hari Taufik pasti pulang ke rumah sekali  pun sudah terlalu malam untuk ukuran orang pulang kantor. Dan untuk Ami itu bukan masalah. Sebab Ami menduga Taufik sibuk dengan sekolah dan pekerjaannya. Padahal Taufik hanya sekolah seminggu dua kali Selasa dan Jum'at malam." Kata Elis panjang-lebar.

"Jadi Ami tidak merasa ada yang salah dalam pola interaksi mereka?" tanyaku lagi sambil menilai pola hubunganku dengan suamiku sendiri. Ya, suamiku juga termasuk tipe lelaki pendiam dan pekerja keras yang giat . Dalam hatiku mulai timbul rasa was-was. jangan-jangan suamiku juga "sealiran" dengan Taufik, batinku. Tapi, ah, tidak mungkin. Suamiku masih menggauliku dengan baik, dan perhatiannya tak juga berkurang. Buktinya, dia masih mau membantuku mengasuh anak serta menemaninya bermain. Bahkan kehamilanku kali ini juga senantiasa dalam pengawasannya.

Elis menggelengkan kepalanya sambil terus menatap kejauhan itu. "Nggak, menurut Ami sejak mereka pacaran memang Taufik sudah pendiam, dan sekalinya marah, dia akan mengurung diri berlama-lama di kamarnya tanpa bicara. jadi dia sudah terbiasa dibegitukan," jawab Elis.

Menurut pengakuannya, asal setiap malam suaminya pulang ke rumah dan memberi mereka semua biaya kebutuhan rumah tangga, sudah cukup.

Aku menggeleng tak habis pikir. Ternyata, ada manusia sesederhana itu. Tapi kemudian senyumku mengembang sendiri, ah ya, aku juga tak jauh dari sifat Ami, batinku, Asal suamiku masih menafkahi dan pulang tiap hari, cukup sudah.

Terbayang di benakku anak-anak Ami yang kesepian dan merindukan bapaknya setiap malam. Pasti di saat Taufik pulang, anak-anak itu sudah tertidur kelelahan menunggu di muka televisi.

Seakan mengerti isi pikiranku, Elis segera berkata, "tapi aku salut terhadap Taufik lho. Dia tetap mengupayakan pulang tiap malam pada pukul delapan sebab anak-anak mereka senantiasa dibiasakan ibunya menunggu untuk makan malam bersama. Sekalipun makan malam yang sepi itu. Yang tak ada keributan orang mengobrol seperti di keluargamu," Elis menyunggingkan senyumnya. Hatiku berbunga-bunga dipujinya. Keluarga kami memang senang membicarakan apa saja sambil makan.

"Ya, tapi kau selayaknya bicara pada Ami. Juga pada Taufik untuk mengakhiri semua affairnya demi anak-anak tak berdosa itu," desakku. "Apa sih yang diungkapkan Tufik padamu mengenai Ami?" tanyaku kembali ke pokok masalah soal pembicaraan pribadi antara Elis dan Taufik di kamar apartemennya yang hampir terlupa kutangkap.

"Oh, ya, kamu masih butuh tahu itu?" ledek Elis. Tanpa menunggu jawabku dia melanjutkan. "Kata Taufik, dia bosan dan lelah menghadapi Ami. Sejak dulu Ami tidak berubah. Ami tetap perempuan desa yang lugu tak mengenal dandan dan tak mau berkembang. Ami dinilainya juga pemalas."

Aku terperangah mendengarnya. Luar biasa, Ami yang selama ini kelihatan manis dan menawan apa adanya, ternyata dinilai terlalu kampungan oleh suaminya sendiri yang menikahinya sekian lama tanpa paksaan siapapun. Tak percaya aku mendegarnya. Apalagi setahuku Ami termasuk ibu-ibu yang aktif mengurusi segala kegiatan sosial kemasyarakatan di kantor suaminya sekaligus disukai orang banyak.

"Masya Allah Lis! Sebegitu kah? Menyakitkan sekali. Ami tahu tuduhan itu?" tanyaku.

Elis kembali menggeleng. "Tapi aku sudah mengatakannya sehabis kami libur bersama suatu hari, yang menjeratku ke dalam keadaan yang serba menyiksa."

Aku segera ingat Elis pernah bercerita bahwa dia pernah berkeliling ke bagian selatan negeri ini bersama keluarga Ami ketika aku mencari tahu tentang sebuah tempat wisata di daerah selatan sana. Elis bisa menceritakannya dengan detail.

Tiba-tiba HP di meja kami berdering. Elis cepat mengangkatnya dan bicara dengan seseorang yang menunggunya, "Oke, Nonik, klienku sudah kembali. Aku harus kerja dulu. Sampai jumpa lagi ya?!" katanya sambil mengelap mulutnya sebelum menjabat tanganku dan melangkah ke meja kasir akan sekalian keluar.

Aku mengangguk dan mengiringkannya dari belakang masih dengan sejuta tanya dan galau yang sama. "Terima kasih Lis, selamat kerja. Kalau ada waktu lanjutkan lagi ya, aku penasaran," ucapku sambil keluar stasiun menuju ke rumah. Di luar sana matahari hangat menyembul terang, mengisap embun yang disisakan dingin malam di taman-taman kota.

(BERSAMBUNG)

27 komentar:

  1. wah...makin dibuat penasaran, nihh...
    ditunggu lanjutannya...:)

    BalasHapus
  2. saya save smuanya dulu ah, tante,,, biar bacanya enak :)

    BalasHapus
  3. Oh maaf pak, maklum saya bukan pengarang seperti panjenengan sih. Jadi ceritanya nyicil. HAdooooh bingung!

    Nuwun!

    BalasHapus
  4. Yes, sure! Boleh-boleh aja mbak. Soalnya panjang-panajang. kalo kata temen-temen di kampung tante, pantesnya jadi novellete. Tapi tante nggak berani, kurang pede.Soalnya nggak mutu lah...........

    BalasHapus
  5. Duuh, kesihan Ami. Udah berhati suci, dianggap membosankan hanya karena lugu dan gak dandan? Kan mestinya tinggal bilang aja si Topik itu sama isterinya, bawa stylish ke rumah, beres kan? Dasarnya aja dia mentang2 udah mapan, jadi pengen selingkuh.
    *ikut emosi dan gak sabar cerita selanjutnya*

    BalasHapus
  6. Soft copy-nya dikirim ke lomba Cerita Bersambung di majalah wanita, Bunda. Saya berani tarohan, akan tampil sebagai salah satu pemenang. Bahkan papan atas.

    BalasHapus
  7. lho...just feel free...saya juga masih tahap belajar..belajar dan belajar...
    :)
    ayo, sinau bareng...nek panjenengan kerso...:)

    BalasHapus
  8. laki-laki ada juga yg model gitu kalo sudah mapan, istri teman berjuang dikala susah jadi membosankan dikala sukses.........
    ditunggu kelanjutannya...........

    BalasHapus
  9. Rupanya, jiwa jurnalistiknya diiplementasikan menjadi penulis handal. Mungkin beberapa saat kemudian jadi buku ya bu?!

    BalasHapus
  10. Eh....heh..... sabar mbak Niken. Ini cuma cerita kok. Kalau sampe bikin orang terhanyut, saya mohon maaf........

    BalasHapus
  11. Lha?! Lakukah dijual? Saya nggak pe-de mbak. Maklum aslinya saya cuma ibu rumah tangga. Yang lain kan pengarang betulan. Terima kasih masukannya. Belum saya salin tuh postingan-postingan ini. Nanti saya minta anak saya aja yang nyalin. I'm too lazy too copy all of my wrtitings. Terima kasih bener ya mbak.

    BalasHapus
  12. Silahkan diamat-mati pasti ada dik Lelly. Bahkan mungkin nggak jauh-jauh amat. Di sekitar kita lho.

    BalasHapus
  13. Xixixixixi...... saya jadi tersipu-sipu malu pak. Orang bilang sih begitu. Tapi saya nggak pe-de. Saya nggak menganggap tulisan saya layak dijual pk. Doain aja deh ada yang tertarik beli, baru saya lepas ke penerbit.

    Terima kaish ya pak Ika. Tulisna bapak juga menarik kok pak. Ada isinya yang menarik orang untuk datang baca-baca di blog bapal walaupun bapak tukang insinyur di kebun sayur, iya 'kan?!

    BalasHapus
  14. Eh adalah......... masa' iya bisa ilang? Semua orang yang kemarin baca udah pada komen lho di bagian kedua. Cari lagi deh. Yang keempat juga baru sedetik ynag lalu disubmit. Terima kasih perhatiannya ya mbak. Penasaran ya?

    BalasHapus
  15. Kasihan kenapa teh? Kasihani saya juga dong........ *tanganku menadah minta dikasihani teh Ratih..........*

    BalasHapus
  16. abis berangkat pagi pulang malam, ya jelas aja, si Ami pakaiannya Daster terus.
    hehhe.... nyindir diriku sendiri nih. mudah2an suamiku gak bosen deh

    BalasHapus
  17. Pelajaran kali ya buat kita. Kalau di rumah jangan dasteran. aku punya temen. Dulu waktu di LN masih penganten baru punya balita. Kerjanya jadi "ibu asuh" para karyasiswa.

    Begitu dia pulang karyasiswa pada nyari rumahnya di Indoensia. Salah satunya berhasil ketemu. Dia bertamu di waktu pagi, saat temenku si nyonya rmah belum siap. Dia lagi beberes pake daster (mungkin rambutny ajuga diroll tapi aku nggak nanya). Eh, pertanyaannya, " Permisi, ibunya mas Yanto ada?" Ya temenku yang ibunya mas Yanto itu kaget dong, wong dia itu yang dicari. Terus dia jawab "Oh ada pak, tunggu sebentar. Silahkan duduk dulu." Dia masuk ke dalam dan merapikan diri.
    Begitu dia siap keluar lagi, yang kaget tamunya............ hahaha.....!!!

    Pelajaran ya bu Yudi, biarpun kita lagi di Indonesia.

    BalasHapus
  18. jadi mikir: " apa ya pendapat si ayah tentang istrinya yang rada males ini?" diblakang sana ...

    BalasHapus
  19. Ati-ati lho, survey membuktikan, kemungkinan ditinggal lunga! Amit-amit. Gih sana buruan resik-resik, ngurus rumah dan dandan juga yang rapi! Bikin mas Toro klepek-klepek memujamu nduk........

    BalasHapus
  20. sekali baca langsung 2 bagian (bagian II dan III).
    Sepertinya Elis sudah memahami sedemikian dalam kondisi hubungan antara Ami dan Taufik, namun tidak mampu berbuat apa-apa untuk memperbaikinya.

    Insya' Allah, nanti malam dilanjut lagi, bacanya nyicil ya, Bu Julie :)

    BalasHapus
  21. hahaha... bisa juga demikian ya, mbak Wati :)
    masak di rumah harus pakai pakaian kantoran. ah, Taufik ini ada-ada aja alasannya, cuma melihat dari sisi luarnya aja...

    BalasHapus
  22. Xixixixi... pak Iwan gemes ya?! Tapi bu Wati, kita dandan rapi deh kalau suami pulang. Nggak rugi juga kok kalau rapi, asal jangan pake baju kantoran. Cukup ganti dasternya dengan baju yang buat ke pasar itu lho.

    BalasHapus
  23. Silahkan pak Iwan. Ini kehormatan untuk saya, sebab pekerjaan iseng saya dibaca orang. Terima kasih ya.

    BalasHapus

Pita Pink