Powered By Blogger

Selasa, 05 Agustus 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU (I)

Menulis itu tidak mudah. Jika tak ada desakan yang timbul dari "dalam sana" sekalipun ingin menulis, tetap tak akan pernah terukir satu katapun di layar komputer ini.

Sudah dua hari aku ingin mengisi lembar-lembar MPku sebagaimana biasanya. Apalagi ada sederet PM masuk dari anakku di Jatinangor sana. Rasanya ingin aku menulis sesuatu, sekedar menuliskan kenangan tentang dia. Bocah lelakiku yang kini sudah jadi seorang lelaki dewasa.

-ad-

Andri-ku lahir hampir duapuluhdua tahun yang lalu, ketika daun-daun mapple di Kanada tengah menguning kering siap diterbangkan angin dan jatuh ke tanah menjadi hamparan permadani alam. Perutku dibuka dokter Douglas Black suatu sore di awal minggu kedua Oktober. Suamiku ada di sisiku, menemaniku menyaksikan kelahiran anak kami. Ada kelainan pada letak kandunganku, sehingga dokter memutuskan untuk membedah perutku. Pembedahan perut yang pertama kalinya untukku. Karenanya tak heran, suamiku bersedia untuk menemaniku di dalam ruang bedah yang sejuk berpendingin itu.

Langit-langit tinggi yang bersih, dilengkapi dengan lampu-lampu yang besar menyala sangat terang. Aku dibaringkan pada sebuah kasur tinggi setelah dokter menyuntik syaraf punggungku untuk mematikan rasa sakit yang sayangnya gagal, sehingga membawaku kepada keadaan antara sadar dan tidak. Belum lagi nafasku mulai berulah kehabisan oksigen sebagaimana biasanya.

Sayup-sayup kudengar kegiatan medis menyayat perutku, perintah dokter kepada para medis dan lengkingan nyaring bayiku. Juga pembicaraan ahli anestesi dengan suamiku mengenai kondisiku, bahkan bujukan suamiku untuk menyemangatiku. "Istighfar ya dik, ingat kau harus bertahan untuk dia. Anak kita. Dia sudah lahir. Bayi lelaki yang lengkap sempurna," bisik suamiku lembut di telinga sambil menggenggam jemariku dan sekali-sekali membelai pipiku yang dingin dengan punggung tangannya.

Rasanya kejadian itu belum lama berlalu. Bayi lelakiku yang cuma dua kilo lima setengah ons telah merajai hatiku. Membuat hari-hariku terpaku padanya dan menjadikannya sebagai pengobat dinginnya winter di belahan bumi utara.

Sering dia kubaringkan di dadaku, lalu kami bercakap-cakap. Aku dengan segala ceritaku, dan dia dengan gumaman bayinya yang membuncah bersama serpihan-serpihan ludahnya. Juga kaki-kaki kecil itu, begitu senang menendang-nendang tak tentu arah, seakan meluapkan semua enerjinya. "Peek-a-boo....." katanya dari balik pintu sambil menyembunyikan tubuhnya di situ. Lalu teriakan-teriakan melengking yang sangat nyaring akan terlontar kalau aku berhasil menemukannya dan menangkapnya ke dalam pelukanku. Ah, hari itu. Kemesraan yang selalu terjaga bersama keceriaan anakku.

-ad-

Ayahnya sendirilah yang menggendongnya ketika pulang dari Ottawa General Hospital. Dan ayahnya pula yang memberinya nama dipetik dari nama ayahnya sendiri. "Nama yang janggal," begitu kata Yang Mulia Duta Besar Adiwoso Abubakar, pimpinan kantor kami berikutnya. Tapi suamiku tak peduli. Baginya suatu keinginan besarlah untuk memberikan nama sang ayah pada anak kami. Selain itu kami memang ingin sesuatu yang lain. Sesuatu yang dapat menjadi ciri khas pada anak kami.

Keinginan kami sudah terbukti. Saat bayi-bayi sebayanya mulai berjalan dan memanjat-manjat, anak kami cenderung duduk dan asyik dengan mainan di sekitarnya. Jika didekatkan kepada sebuah tape recorder, dia akan duduk menikmati, memperhatikan, bertepuk tangan sesuai dengan irama lagu yang terdengar. Seringkali diikuti dengan memencet-mencet berbagai tombol di situ. Tak jarang cassette kami rusak karenanya. Tapi kami tak pernah berkeberatan. Aku justru menaruh kebanggaan atas ketertarikan bayiku.

Juga di saat anak-anak sebayanya asyik berlari-lari dengan temannya, anak kecilku baru tertatih-tatih dan sering menyeret siapa saja untuk menemaninya belajar jalan. Sehabis itu duduk santai dan memperhatikan orang-orang dewasa mengobrol. Mulutnya yang mungil sering berceloteh sendiri menimpali segala pembicaraan kami sehingga meninggalkan gelak tawa. "Kamu kayak orang dewasa ya," komentar tante Wieke sahabat kami yang kebetulan putri Duta Besar kami. Diciumnya pipi anakku yang membulat merah dengan gemas. Dicubitinya sampai puas. Kemudian, dia menghadiahkan sepotong baju biru muda bergambar layang-layang sebagai hadiah tanda cinta pada anakku. Baju yang kemudian kerap aku kenakan pada tubuh anakku sebab senantiasa menambah seri pada wajah bayinya.

-ad-

Kami berganti mobil segera setelah Andri lahir. Dari Honda Accord hatchback dua pintu, jadi Toyota Camry empat pintu putih cemerlang. Sebagai ungkapan kebahagiaan hatiku, kata suamiku waktu itu. Dengan mobil itu kami bawa dia berkeliling ke desa-desa di sekitar Ottawa menikmati tenangnya alam. Kadang mobil kami parkir di tepian Saint Lawrence River. Kadang juga di Ottawa River sambil mencoba naik perahu yang akan berputar-putar mengelilingi belakang Gedung Parlemen hingga mencapai Wisma Duta di Rockliffe. Gemericik air menimbulkan perasaan senang di hati. Sejuk menyirami jiwa. Lebih-lebih ketika kubiarkan bayiku ikut menjajal lapisan tebal salju di Gatineau di seberang Ottawa River pada ketinggian sebuah bukit bersama para pemain ski. Matanya yang kecil akan membelalak bola, atau bahkan meredup dan berkejap-kejap seiring dengan jatuhnya serpihan es di wajahnya. Tapi kaki dan tangan itu tak pernah kehilangan ceria geraknya. Senantiasa terus bergejolak sambil mulutnya menggumamkan sesuatu.

Pada umur setahun, aku mencobakan sebuah lagu anak-anak yang sering kudendangkan dengan menekan-nekan bilah keyboard sebisaku. Tak dinyana, mulut mungil anakku segera bersenandung sambil tak lupa bertepuk-tepuk tangan kecil "Anambul, anambul, ......" serunya menatap padaku dengan sorot mata berbinar. Aku menghentikan permainanku dan menatapnya takjub. Mulut itu turut berhenti, kemudian menjerit meraung-raung sambil menendang ke sana-ke mari. Dia baru berhenti dan kembali berlagu ketika aku mengulang permainanku sampai selesai. Lalu dia menangis lagi dan minta aku mengulanginya, "lagi, lagi, lagi....." Aku terpana! Anakku mengenali lagu "Ambilkan Bulan" yang biasa kudendangkan menjelang dia tidur. Dan dia begitu menikmatinya.

Sejak itu anakku dan keyboard nyaris tak pernah lepas. Dia mempermainkannya baik dengan jari-jari mungilnya, bahkan sekali-sekali dengan menginjaknya. Aku tidak pernah memarahinya. Kubiarkan dia berpuas-puas diri dengan keyboard itu sekalipun pada akhirnya rusak ketika dia sudah betul-betul bisa memainkannya.

Anakku. Dia memang lain dari teman-teman sebayanya. Dengan mudah dia akan menerima ajakan kami makan bersama dengan didudukkan pada high chair, kursi makan bayi yang khusus kami beli untuknya. Dan piring bergambar snow man pemberian kakek Millar tetangga di sebelah rumah kami di Coronation Avenue, Alta Vista, Ottawa jadi saksi matanya. Sepiring nasi dengan lauk-pauk Indonesia lahap disantapnya dari sana. Termasuk rendang dan gulai otak yang atas keinginannya sendiri masuk ke dalam mulut mungilnya.

Sampai sekarang Andri-ku adalah lelaki yang tak rewel. Dia sanggup menjalani hidup macam apa pun dan makan dengan gaya apa pun. Betul-betul cerminan dari seorang lelaki Indonesia yang tangguh. Dan sepanjang masa akan kuingat bahwa kegemaran anak lelakiku ini adalah perkedel jagung ditemani sayur lodeh atau urap yang selalu dipelesetkannya menjadi "yurep". Kadang aku harus menahan sebak setiap aku menghidangkannya di meja makan keluarga kami kini. Teringat anakku yang harus keluar rumah mencari makan malam yang disukainya sendiri.

-ad-

Kami membawanya pulang ke Indonesia ketika umurnya menjelang dua tahun. Di rumah sewaan kami dia menghabiskan hari-harinya seorang diri. Bernyanyi dan membuka-buka buku itulah kegemarannya. Walaupun ada satu-dua jenis mainan anak-anak, tapi dia nampak tak begitu tertarik. Hidupnya hanya diisi dengan menyetel cassetes yang tidak saja berisi lagu kanak-kanak, melainkan juga lagu-lagu dewasa dari koleksi Koes Plus dan Koes Bersaudara. Kalau sudah begitu, dia akan asyik sendiri. Bergoyang-goyang di muka cermin, menepuk-nepukkan tangan mungilnya ke kedua sisi telinganya sambil mendendangkan "Oh penyanyi tua......" terus-dan-terus berlagu. Seringkali aku terkikik geli dan menjadikannya sebagai penghibur hati. Maklum saat itu hidup sedang terasa berat seiring dengan kehamilanku yang ketiga.

Di kampung Kebon Jeruk yang masuk wilayah Kedung Halang anakku jadi salah satu kesayangan orang banyak. Mulutnya senantiasa berceloteh bak orang dewasa. Juga ketika dia ikut inang pengasuhnya berbelanja ke warung ibu Suryadi dan ibu Sar Utomo. "Budhe, atu mau beli tempe tiga ratus, itan pindang satu teranjang dengan tantung tiga itat," katanya memesan belanjaan. Lain kali dia menunjuk barisan aneka sayur sambil memerintahkan penjualnya untuk mengambilkan sayur lodeh. Tingkahnya sangat lucu dan mempesona. Apalagi dia tidak pernah keliru melafalkan "R" dan hanya "terpeleset pada huruf "K" yang dilafalkannya sebagai "T". Semua orang seketika jatuh hati padanya. Termasuk gadis cilik bernama Ita dan Lilis.

-ad-

Dua gadis berumur kira-kira delapan dan sepuluh tahun setiap siang pasti nongkrong di teras rumah sewaan kami. Penampilannya sangat berani. Matanya bulat bola dan liar. Mulutnya tak pernah berhenti berceloteh, sekalipun hidungnya sering basah oleh ingus yang meleleh. Kaki-kaki itu kelabu, terbawa oleh udara kering yang menyengat kota Bogor.

Dengan penasaran kudekati mereka. Kubiarkan mereka bermain-main dengan Andriku, sambil kukorek latar belakang keluarganya. Ita yang kecil mengatakan bahwa kedua orang tuanya bekerja. Dia belum bersekolah karena orang tuanya tidak menyekolahkannya. Di rumahnya ada seorang adiknya lelaki yang kadang-kadang memang ikut main ke rumah kami. Konon menurut Ita, rumahnya di Gang Mangga, di belakang rumah kami dekat kantor Polres Kedung Halang. Kadang-kadang aku iba melihatnya, sebab dia sangat menikmati semua mainan anakku yang tak seberasa banyak sambil melirik ke piring makan anakku.

Kata Lilis, Ita adalah kawan mainnya. Dia sendiri bersekolah kelas empat SD sedangkan ibunya bekerja di rumah orang kaya. Lilis senang duduk-duduk membacakan cerita untuk Andri sambil membaca untuk dirinya sendiri hingga terkantuk-kantuk dan tidur mendengkur di lantai teras kami yang sejuk.

Suatu hari kudapati Andri memintakan makan kepada inang pengasuhnya untuk gadis-gadis itu. Ketika kutanyakan padanya kenapa dia lakukan itu, dengan mulut bocahnya dia berkata. "tata-tata belum matan, tasian, ya bu?" Lalu dia berlalu menghampiri mereka kembali. Kuikuti dirinya, dan kusaksikan dia sedang menyuruh dua tetamunya untuk duduk menunggu. Tak terasa hatiku bergetar. Aku semakin merasa bahwa anakku memang unik.

Sayang Ita dan Lilis kemudian tak pernah datang lagi. Menurut ibu Yani tetangga kami yang sangat berkecukupan, orang tua mereka melarang anak-anaknya main jauh-jauh. Entah apa sebabnya. Barangkali mereka pernah memergoki anak-anaknya tertidur di teras kami? Atau justru dia tersinggung sebab ternyata ibunya Lilis bekerja sebagai pembantu padanya? Aku tak tahu, Aku hanya berdoa semoga mereka mendapat perhatian yang lebih baik dari orang tua mereka di balik kemiskinan yang menghimpit keluarga mereka di tengah kota Bogor yang mulai menjadi metropolitan ini.

Andri-ku. Si perjaka yang setali-tiga-uang dengan bapaknya dulu. Selalu memperhatikan teman-teman perempuannya dan bersedia membantu kesulitan mereka. Seperti apa yang dilakukannya padaku. Maka ingatankupun kembali melayang ke masa sekolah. Kepada gadis-gadis berambut panjang. Ira, Lily, Nida, Ida, Euis, Wiwin dan sederet nama lagi yang akan senantiasa lekat dalam ingatanku bersama-sama dengan nama Herry dan Mirza. Akupun tersenyum sendiri. Membayangkan "pola dasar" yang telah terlukis pada anakku yang unik. Buah cintaku dengan mas Dj yang kami "petik" di musim gugur delapanpuluhenam di Ottawa, Kanada.

39 komentar:

  1. Tentang bebek jeleknya belum diceritakan ya Bunda, nunggu lanjutannya ah...

    BalasHapus
  2. Ya.. Dah hbis ya. Cerita nya mengalir, jadi ga kerasa Bunda.. Asyik ya punya Bunda suka nulis :)
    ditunggu part II nya ya..

    BalasHapus
  3. Ah enggaklah mas. Ini sekedar merekam kenangan tentang anak saya sebelum saya jadi pikun. Terima kasih ya udah ikutan mampir kesini.

    BalasHapus
  4. wah mas andri pasti berkaca kaca membacanya, saya baru di posisi cerita ibu ini sekarang hihi,,, Insaallah soon saya akan lebih menikmati hari2 bersama monster monster kecil saya. kalau disini tidak bisa enjoy 100% bawaan kebanyakan pekerjaan rumah dan tidak bisa kemana2 sama sekali cuma ngendon dirumah terus hiks,,,

    BalasHapus
  5. Lha itu ada di video tutorial feat john lennon. Masa' iya ada anak mahasiswa penampilannya "ngemproh" gitu...... Nggak sedap dipandang 'kan? Ya jeleklah!!

    BalasHapus
  6. Insya allah akan ada part selanjutnya. Terima kaih ya mbak. Saya juga suka tulisan mbak Nailah kok, yang menurut saya bagus tuturannya. Bapak udah membaikkah?

    BalasHapus
  7. Sing sabar ya nduk, sayang. Nanti ada saatnya mereka membahagiakanmu dengan caranya sendiri. Lihat dan tunggu saja nanti. Tapi kembali lagi kepada cara kita mengasuhnya. Kalau pake cara yang lembut, "monster" itu akan takluk di tangan pengasuhnya. Tak dongakna ya......

    BalasHapus
  8. sedetik yang telah berlalu adalah petunjuk untuk sedetik yang akan datang..

    sesuatu yang positif atau baik jika ada bekasnya dan dapat dilihat orang lain saya yakin akan jadi ilmu bagi orang yang akan datang...

    bahkan keburukan itu juga pelajaran buat yang akan datang, setidak tidaknya, jadi pelajaran jangan pernah melakukan keburukan yang sama...

    jadi...
    terus menulis aja bunda..
    mungkin buat saya tidak seberapa, tetapi belum tentu buat yang lain...

    BalasHapus
  9. Iya, ya mas. Insya Allah. Terima kasih juga untuk pendapat dan pertimbangannya. Tapi maaf, gaya tulisannya "emak-emak" banget, nggak bisa "trendy" gitu....

    Ini hanya penggalan kehidupan yang saya lalui bersama salah satu anak saya. Moga-moga ada manfaatnya buat yang baca deh kalo gitu.......

    BalasHapus
  10. ah budhe .... masa anak sendiri dibilang bebek jelek sih ...

    BalasHapus
  11. Berbahagialah ibu Yulie, mempunyai ingatan yang luar biasa kuat, tentang peristiwa2 masa lalu baik yang peristiwa besar ataupun kecil,juga nama2 seseorang yang pernah ibu kenal dahulu.Bravo.....Saya tunggu lanjutan2 ceritanya.Salam.

    BalasHapus
  12. Aduuhhh...Andri budak teh meni bageur pisan.
    Siapa dulu dong Bunda n Ayahnya.... :))

    BalasHapus
  13. waduh ada akyu disitu....hihihi
    tante..andri ngapain d jatinangor?kuliah d unpad kah?trs..tinggal dmn?
    salam tuk Andri..

    BalasHapus
  14. Lha, inget cerita fairy tales waktu kanak-kanak dulu nggak? Ada lho yang judulnya "The Ugly Duckling". Jadi si bebek jelek ini kemana-mana selalu nggak "pas" karena beda sendiri......... xixixixixixi...... sorry ya Ndrie!

    BalasHapus
  15. Alhamdulillah bu, kalo nginget yang begitu saya masih "cerdas" (lha yen maem sup ayam, nginceripun endas, dados cerdas). Tapi menawi bab pelajaran, jangan ditanya, membuat suamiku ngauk karena malu punya pacar bodoh!!

    BalasHapus
  16. Muhun saur nu sanesna mah kitu. Bu Wieke dulu pernah sangat ngefans sama dia. Katanya, bocah cilik kayak bapak-bapoak gitu........ Tapi anak saya (culangungna teh, geuleuheun ka anjeunna, karena katanya anak diplomat kok mau-maunya jadi diplomat lagi. Nyiksa anak karena ekolah si anak pindah-pindah sehingga bakal jadi koraban seperti diriku. Soalnya dia dulu korban waktu krismon justru dipindah ke Belgia dan pulangnya tidak diwaktu yang tepat). Nuhun ya tante Edi.

    BalasHapus
  17. Iya, tuh, Ira temen di SMP. YAng lain-lain terus main bareng sampe SMA.

    Andrie kuliah di FISIP Unpad, rumahnya nyewa kamar di belakang RM Ampera yang punyanya pengusaha perlengkapan naik gunung Alpina itu.

    BalasHapus
  18. nice story bunda... :D semoga aku bisa ngambil hikmah dari cara mendidik bunda terhadapa anak2 bunda yaaa... :)

    BalasHapus
  19. Terima kasih. Semoga ada manfaatnya. Saya cuma sekedar berbagi kisah ngasuh anak mbak. Kalo mau dipetik silahkan, dengan senang hati. Selamat ngasuh.

    BalasHapus
  20. Antara iya dan nggak. Sebab dia nggak pernah keluar kalo nggak disamperin sama sepupunya dari Bndung. Entah males jalan sendiri, entah memang takut di jalan. Yang jelas kalo pulang ke Bogor sih sekarang senengan naik bis, muter lewat Jakarta daripada langsung naik travell. nggak ada yang ngajarin padahal mah. Anak tante semua memang dibiasain naik kendaraan umum aja, termasuk ke kampus. Motor juga nggak tante kasih sih. Takut dipake kelayapan nggak puguh....... *nenek-nenek possesive mode on*

    BalasHapus
  21. pasti si Aa Andri seneng bgt baca kisah Bundanya. Bun... pinter bgt sih merangkai kata sdemikian indahnya. Lulusan sastra ya Bun..?

    BalasHapus
  22. Alah, si doi mah sebel bacanya ge. Saya bukan lulusan mana-mana, cuma sempat kuliah sampe semester sepuluh di fakultas yang sekarang disebutnya fikom, tanpa pernah lulus. Dasarnya saya seneng ngabaceo teteh........

    nuhun ya udah nyamperin "si bebek jelek".

    BalasHapus
  23. walaah ga lulus aja bisa selembut gini tulisannya, pernah nerbitin buku ya bun..?
    btw si Aa beneran sejelek bebek bun..? Hihihihi...

    BalasHapus
  24. wah.... senengnya nostalgia ya Bu...aku juga jadi ikut merasakan.... anak2 sekecil ini, kalo aku liat foto2 mereka waktu lebih kecil lagi, aku kangennnn sama mereka dulu and suasana tiap umur mereka berkembang. sekarang juga aku enjoyyyy sama mereka lucu walo suka bandel, tapi buat ketawa mulu yang ada....

    BalasHapus
  25. Belum, nggak ada lah teh yang mau beli tulisan saya.

    Mau lihat penampilan Andri? Samperin aja videonya yang saya kasih judul tutorial feat john lennon. Itu penampilan dia, "semrawut".

    BalasHapus
  26. Rekam dalam otak ya teh Echi. nanti disaat mereka dewasa, buat yang kayak gini. Seneng untuk kedua-duanya. ya untuk kita ortunya dan untuk dia karena mungkin dia nggak begitu ingat apa yang diperbuatnya waktu kecil dulu.

    BTW si bungsu kapan dioperasinya? Cuma bisa doain aja ya.

    BalasHapus
  27. Mas Andri nya sekarang dah lancar ngucapin huruf "K" kan yah? hihihihhiihi. Lucu denger ceritanya, jadi inget ponakan sendiri. Menarik ceritanya, and mo baca postingan lanjutannya. Hihihihiihihi...

    BalasHapus
  28. Udah, sekalipun kalo ngomong suarnya berat. Ada kisahnya juga tuh dia jadi begitu. Cuma saya belum sampe kesono. Makasu=ih ya mas Andi, udah diampirin.

    BalasHapus
  29. alhamduliolah ga jadi jumat ini. kmrn kita minta sama drnya untuk ditunda sampe bener2 hrs dicabut, jd skrg dikasi treatment dulu sampe 3 minggu. baru di examine lagi...

    BalasHapus
  30. Bu Julie memang top deh. Tulisan Ibu mengalir dengan indah, dan saya suka sekali membacanya.

    BalasHapus
  31. Bu Manik, "bebek niku pancen elek, ning nggih sampun dinyek tha......"

    Lha wong saya ini nggak pinter ngarang. Semua cuma kisah anyata yang saya tulis di diary. Jadi ya persis kayak geraknya bibir saya yang "nyablak" kata orang di Jakarta sih......

    Matur nuwun kersa pinarak mriki. Apa kabar di Pabrik? Sukses selalu srikandiku!

    BalasHapus
  32. Sinten ingkang ngenyek tho Bu. Sak estu lho... sae sanget. Panjenengan saged dados penulis ingkang misuwur kados Ibu A Majestica.
    Soal pabrik, alhamdulillah semuanya lancar. Satu pabrik sedang dilakukan Turn Around ( perbaikan rutin). Terima kasih atas pemberian semangatnya Bu. Ibu tetap menjadi contoh kami baik dalam bergaul, bersikap, dan dalam mendidik putra-putra. Nuwun.

    BalasHapus
  33. We lha mekaten tha? Saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Jesti. Dia sekelas dengan Rachmi Doeriat dan ada lagi yang tidak pernah kedengaran jadi penulis sekalipun dengan nama samaran, namanya Ratna. Itu dulu para penulis di sekolah kami. Waduh, kok jadi inget jaman dulu........

    Terima kasih kalau menganggap ada yang bisa dipetik dari diary saya. Memang saya mengempi ini (apa ya istilahnya yang tepat), untuk memasarkan pengalaman hidup saya. He...he....he...... Selamat kerja ya bu!

    BalasHapus
  34. ita dan lilis apa kabarnya sekarang mbak?

    BalasHapus
  35. Enggak tahu lagi, sejak saya pindah rumah terus hilang kontak, karena kampungnya jauh sih dari rumah saya sekarang.

    BalasHapus

Pita Pink