Powered By Blogger

Jumat, 08 Agustus 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU (III)

Dering telepon selulerku berbunyi ketika aku sedang mempersiapkan kegiatan pagi hari di dapur belakang. Aku terlambat melihatnya. Tapi segera setelah selesai dengan kegiatanku dan masuk ke kamar untuk mencuci gelas bekas minum suamiku, suara renyah suamiku mengusikku. "IPK Andri,  tiga koma limapuluh enam ya?" tanyanya bernada retorika. Aku mengangkat bahu, "belum tau. HP ku sedang kuisi baterai," jawabku seraya menunjuk Samsung hitam clamshell kesayanganku yang kuhiasi dengan wajah Andri pada layarnya di atas buffet dekat jendela.

Bergegas kuambil dengan degupan kencang. Adrenalinku melonjak bahkan sebelum aku membaca sendiri massage anakku. Dengan mendengar namanya disebut atau menatap fotonya saja aku sudah senang bukan main. Akhir-akhir ini rinduku sedang memuncak. Maklum selama hidup, kami tak pernah berjauhan lebih dari setengah tahun.

"Ibu, bapak, Kartu Kemajuan Studi (KKS) transkrip nilai sudah keluar. IP semester 4, terbagus yang pernah kuhasilkan :3,56!" tulisnya jam enam pagi waktu disini. Aku segera mengucap syukur. Menengadahkan wajah ke langit sana, berharap Tuhan menemukanku dalam keadaan bahagia, Aku memuji namaNya. Tuhan Maha Agung! Kerja keras suamiku dan anak kami tak sia-sia. Disini suamiku berusaha untuk memenuhi semua literatur yang diperlukannya dan menjadi mentor dalam memahami semua mata kuliahnya, disana anak kami tak putus-putusnya menekuni semua beban pelajarannya.

"Anakku, mas, syukurku pada Allah. Terima kasihku padamu yang telah menghadiahi kami dengan kesungguhan menggapai cita-citamu. Aku bangga padamu yang tahu bagaimana caranya menghargai kerja keras ayahmu. Diupayakannya semua kebutuhanmu dan kau manfaatkan usaha ayahmu dengan sangat baik. Rasakanlah debur hatiku yang tiada pernah putus mendoakan keselamatanmu dan memohon agar Allah menanamkan cinta kasih padamu." Balasku panjang lebar. Kudengar kicau burung pagi di atas pohon alpukat dan cemara menjadi semakin riang, lebih riang dari hari-hari biasanya. Hawa yang sejuk berubah menjadi hangat terbawa hatiku yang bahagia. Bahkan rasanya suamkiku menjadi semakin tampan hari ini, ah, aku semakin mencintainya. Dan merasakan betapa perjodohan yang Allah atur untuk kami adalah karunia terindah sepanjang hidupku.

-ad-

Untuk mencapai keadaannya sekarang, Andri-ku butuh perjuangan keras. Dia murid tertua di kelasnya, Hiubungan Internasional sebuah universitas negeri di ibu kota propinsi sana yang sudah lama pindah lokasi ke daerah.

Dia duduk di SD agak lambat. Di usia tujuh tahun dia baru boleh duduk di kelas satu, sesuai dengan peraturan pemerintah Austria, negara tempat permukiman keluarga kami yang kedua kalinya di luar negeri. Sebelumnya dia menghabiskan waktu hampir dua tahun setengah di Kinder Garten St. Paul milik gereja Katholik di sekitar appartemen kami.

Di situ dia menjadi satu-satunya murid Asia. Tapi ada juga murid asing dari Zambia, kakak-beradik Mattatiya, Pauline dan Lucky. Pauline itulah salah satu sahabat anakku. bersama-sama dengan Theresia yang kecil mungil, berhidung sangat sempurna serta bola mata coklat tua sewarna rambut keritingnya. Setiap hari kuperhatikan dari balkon rumah kami sambil mengasuh si bungsu, dia menarik-narik gerobak kecil yang ditunggangi Pauline maupun Theresia secara bergiliran. Gadis-gadis itu kelihatan senang dan tertawa terkekeh-kekeh sambil merebahkan badannya sangat santai. Kaki mereka dijulurkan ke atas, tangan-tangan kecil itu merentang bagaikan menjaring angin, layaknya kelakuan perempuan kaya raya di dalam film. Perjaka kecilku juga akan turut tertawa-tawa senang sambil bertepuk-tepuk tangan setiap dia berhasil menarik sang gadis ke sisi lain halaman sekolah. Tante Hemma guru mereka juga nampak tertawa-tawa senang seraya menggeleng-gelengkan kepala. Andri kecil kami memang kuat. Tak sekalipun dia mengeluh meskipun penyakit asthma warisan dari kami giat menyerangnya setiap malam menimbulkan batuk-batuk hebat yang diakhiri dengan muntah. Hanya sekali-sekali dia kelihatan layu dan kehilangan tenaga.

Tante Hemma dan teman-temannya sangat sayang padanya. Sekalipun dia berbicara dalam bahasa Jerman yang terbata-bata, tapi dia jadi sumber inspirasi bagi gurunya. Gurunya pernah bilang, bagaimana dia merasa tersentuh melihat cara anakku memperlakukan kawan-kawannya dengan lembut. Dan, konon menurut gurunya, dia seperti memiliki kemampuan nalar yang tak dimiliki anak sebayanya.

Kuakui semua itu benar adanya. Sebab di musim winter 1991, dia pernah pulang ke rumah dengan membawa gelak tawa yang tak habis-habisnya dan cerita mengenai "kebodohan" anak-anak sekelasnya. "Tadi St Nichols's Fest," celotehnya membuka pembicaraan. "Anak-anak mengira St Nichols itu orang yang tidak dikenal," sambungnya. "Dia dielu-elukan anak-anak yang mengharapkan hadiah, kata anak-anak St Nichols itu kiriman Tuhan untuk memberi hadiah kepada anak-anak baik, padahal aku tahu itu bapaknya Angkilika," ceritanya sambil tersenyum. Anakku memang selalu bertutur dalam bahasa Indonesia baku sebagaimana gaya penuturan pada buku, serta tak pernah berhasil menyebut nama Angelica, salah satu teman sekelasnya dengan benar.

Kami duduk di muka telvisi bersantai-santai. Badannya dirapatkan ke dadaku, matanya menatap tajam dengan senyum yang mengembang lebar. "Darimana kamu tahu itu bapaknya Angelica mas?" tanyaku. "Ibu tidak lihat, tapi aku lihat. Bapaknya Angkilika datang, lalu masuk ke garde robe dengan membawa tas. Lalu dia keluar dari situ sudah pakai baju St Nichols dengan membawa karung hadiah yang tadi pagi disiapkan tante Evi dan tante Hemma," jawabnya. "Aku katakan pada mereka, itu 'kan bukan St Nichols, itu bapaknya Angkilika. St Nichols itu tidak ada. Dia itu bapaknya Angkilika berganti baju. Aku tahu tadi bapaknya Angkilika datang membawa tas dan masuk ke garde robe memakai baju ditutupi jacke. Aku tanya, bapak, bapak kenapa menjadi St Nichols? Dia tidak menjawab ibu, dia cuma tertawa. tante-tante itu juga tertawa ibu," celotehnya lagi sambil mempermainkan bajuku dengan nada riang pada suara bocahnya yang berat. "Aku betul ya ibu?" tanyanya minta kepastian. Konon lanjutnya, St Nichols "jadi-jadian" itu memberinya cium dan pelukan hangat sambil mengusap-usap rambutnya. "Berarti iya 'kan? Bapaknya Angkilika menipu 'kan? Dan bapaknya Angkilika mau minta maaf 'kan?" katanya lagi seakan minta pembenaran. Aku tersenyum dengan sejuta bintang di dadaku menyala terang. Kuraih kepalanya dan kuciumi sepuas hati. Betapa aku beruntung mendapat anugerah anak yang tak mudah ditipu. "Iya kan bu?" desaknya lagi. Aku mengangguk, dan mengatakan apa adanya. Sejurus kemudian dia bertepuk-tepuk tangan sendiri merasakan kepuasa batin yang dalam.

-ad-

Guru kelas anakku selalu mengatakan dia pendiam. Tapi, kalau dia sudah mau bicara, maka dia akan mendominasi pembicaraan dan tak memberi kesempatan orang lain untuk menyela. Aku membenarkan dalam hati. Dan pembicaraannya soal St Nichols palsu itu salah satu contohnya. Setiap orang dberitahunya dengan bersemangat. Dan tak seorangpun diijinkan bertanya sebelum dia selesai bicara. Anakku sayang, kau memang unik, bisikku ke hatinya.

Hari ini episode itu membayang lagi. Mengingatkan padaku bahwa anakku memang patut menerima nilai sedemikian besarnya itu, sebab semua diperolehnya dengan pengamatan semata. Seperti dia mengamati ayah Angelica ketika memerankan St Nichols sekedar untuk memenuhi ritual anak-anak menjelang natal di belahan bumi sebelah barat sana. Terus terang Andri, aku menghargai caramu berpikir. Di balik sujud syukurku kusampaikan pula permohonanku agar Allah menuntunmu kelak menjadi salah satu pembaharu bangsa. Negeri kita masih membutuhkannya, anakku...........

20 komentar:

  1. Selamat mas Andri dengan hasil yang sangat memuaskan( cumlaude),maju terus dan tetap semangat.Engkau adalah salah satu penerus bangsa pengisi kemerdekaan RI.Merdeka mas!!!

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah. Betapa bahagia Ibu memiliki putra yang pintar, lembut hati, jujur, sholeh, dan peduli dengan sekitar. Insyaallah Mas Andri menjadi salah satu pemaju Bangsa dan Negara Indonesia, amien ya robbal alamien.

    BalasHapus
  3. Amin.

    salam buat abg saya tu bunda. Dr anak ibunya yg terdampar di lampung. Hehe

    BalasHapus
  4. Anak memiliki keunikannya masing-masing...

    BalasHapus
  5. 3.56 yah? wah selamat atas kerja kerasnya mas andri. Klo diinget2 lagi, IPK semester 4 ku dulu cuma sekitaran 2.60 and ngejar setengah mati dapet IPK sedikit tipis di atas 3 waktu lulus, kebanyakan maen Futsal di Koridor kampus Darmaga and ngembangin pikiran sendiri. Hihihihihihi.

    Nb. Selamat menumbuhkembangkan dan memperkaya karakter diri mas andrie...

    BalasHapus
  6. Mas andrinya masih ingat Ayahnya angkilika nggak ya?? hihi,,, Eh bu berarti anak2 ibu bisa berbahasa Jerman, Ingris, Indonesia, Jawa, terus apa lagi bu?? sampe sekarang masih pada bisa ato sudah lupa?? saya ini lagi bingung juga menerapkan bahasa ke anak. maunya sih nantinya bisa semua jadi kemana2 bisa berbicara dengan keluarga besarnya.

    BalasHapus
  7. Dia bukan yang terbaik di kelasnya budhe. Tapi amin. Matur nuwun sebesar-besarnya.

    BalasHapus
  8. Doakan ya bu. Saya juga sangat berharap. Sebab saya tau komitmennya untuk membahagiakan dan "membesarkan" orang lain dari kecil sudah kental.

    BalasHapus
  9. Semoga si ABG (yang ini bukan Ayam Baru gede) baca sendiri ya bang.......

    BalasHapus
  10. Iya betul Anak saya yang unik ya satu orang ini.........

    BalasHapus
  11. Lha anak saya kalo sudah disuruh ngerjain hitungan ya bablas pasti nggak lulus-lulus mas Andi. Persis emaknya. Dulu juga jatuh di statistika sosial doang. Tapi hafalan, memang alhamdulilah dia kuat.

    Walaupun begitu saya tetap surprisse sebab ini lonjakan yang sangat tinggi di banding semester lalu yang tiga koma dua puluh sekian itu. Terima kasih atas perhatian mas Andi dan doanya.

    BalasHapus
  12. Anak saya cuma bisa bahasa Perancis dan Inggris, plus Jawa (dan Sunda pasif). Karena kami pindah dari Austria pas kelas dua SD semester pertama akhir.

    BalasHapus
  13. Kalo udah baca gini jadi nyesel karena belum manja2in anak2 mumpung masih bisa.. (kebanyakan sih hehe) tapi biar deh, ntar saya gendongin satu2 keburu gede dan tahu2 udah kuliah.. Hiks..

    BalasHapus
  14. Betul teh Rin. Hidup kita nggak panjang-panjang. Dari satu periode ke periode berikutnya singkat banget. Nikmatilah saat kebersamaan dengan anak-anak selagi mereka masih bisa dipeluk-peluk dan masih mau nempel ke kita. Gede sedikit, mereka sudah punya dunia sendiri yang kita nggak bisa mengerti dan kita nggak boleh ikuti....... Selamat ngasuh. Semoga anak-anak bahagia bersama ibu bapaknya.

    BalasHapus
  15. si bebek ternyata pinter juga :D prok..pro..prok... hehehehe...

    BalasHapus
  16. Kekritisan berpikir dan keberanian berpendapat... yang begini pasti ada andil orangtua juga (lewat stimulasi dan motivasi).

    BalasHapus
  17. Terima kasih ya teteh. Semua ini 'kan diupayakan soalnya umurnya udah ketuaan untuk ukuran orang Indonesia. Jadi kalo kita pantau dia pasti sehari-harinya cuma belajar aja. Di waktu santai baru dia main musik dan nyanyi-nyanyi itu tadi.....

    BalasHapus
  18. Mungkin ya mbak Leila. Nanti dalam momong buah hati upayakan aja bermesra-mesra dan mendengarkan apa yng ditanyakan anak-anak kita. Jangan prnah nggak dijawab. Kalo kita bingung, kita ajak cari jawabannya di perpustakaan. Dulu saya begitu sama dia...... Buku jadi rujukan di waktu saya udah kehabisan kata. Terima kasih ya mbak udah dateng ke rumah ini.

    BalasHapus
  19. Ha...ha....ha..... nenek katrok ternyata melese No alias salah paham
    Yang 3.56 adalah IPnya semester kemarin. IPKnya cuma tiga lebih gak segede itu......

    Lha ya itu No, kalo orang kuno kan dulunya nggak pake IP jadi dijelasin ya ngerti-ngerti juga....... tapi sekarang udah paham kok. Halah!! Maap ya, telah terjadi unsur penipuan tidak sengaja.

    BalasHapus

Pita Pink