Powered By Blogger

Rabu, 27 Agustus 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU (VI)

Sudah lama tidak kujejakkan tanganku di blog ini. Ada sepercik perasaan ragu untuk mengetik. Aku tidak tahu apa yang harus kutulis. Dan aku tidak akan mampu sembarangan menulis, sebab, aku membuat blog ini dengan satu tujuan ingin membagi pengalaman dengan teman-teman yang kebetulan bersentuhan dengan blogku.

Belum setahun aku menggeluti dunia tulis-menulis dengan buku harian elektronik. Biasanya dulu aku menuliskannya di dalam sebuah buku tulis biasa. Bahkan kadang-kadang juga di dalam benakku saja. Kusimpan rapi dengan catatan, suatu saat aku memerlukannya bisa kubongkar dengan mudah.

Ucapan yang terakhir kuketik ini nampaknya mustahil untuk orang lain. Tapi tidak untuk diriku. Aku bisa mencatat secara imajiner dan membacanya dengan cara yang sama. Percaya tak percaya, aku sudah membuktikannya dan semua itu dibenarkan adanya oleh keluargaku yang takjub "membaca" kembali buku harian imajinerku. Oh-la-la......

-ad-

Terlahir sebagai manusia biasa, aku hanyalah sepenggal budak nafsu. Nafsu untuk marah-marah, nafsu untuk mengumpat dan segala nafsu-nafsu apapun. Kadangkala nafsu marah-marahku ini justru menjadi beban berat, sebab anak dan suamikulah yang menanggung akibatnya. Tapi itu dulu........., dulu......... sekali ketika aku masih jadi seorang wanita yang sempurna dengan segala kelengkapan organ tubuhku. Sewaktu aku belum menjadi diriku yang sekarang, yang sudah rusak dan cacat disana-sini dimakan usia.

Untungnya aku punya suami dan anak-anak yang sabar. Mereka termasuk manusia langka yang patut mendapat penghargaan tertinggi karena sanggup mendampingi hidupku tanpa mengeluh.

Kesabaran anakku masih ada sampai dia tammat SD. Padahal deraan coobaan di sepanjang perjalanan hidupnya mengikuti tugas orang tua berpindah-pindah negara tidaklah mudah.

Kami kembali ke Indonesia dari Wina, Austria disaat Andri baru duduk di awal kelas 2 SD. Kami masukkan dia ke SD Negeri di pusat kota yang mudah dijangkau dengan kendaraan umum dari rumah dan dekat dengan pusat perdagangan sehingga memudahkannya mencari kebutuhan sekolah kelak.

Suamiku punya prinsip yang sama denganku, yaitu tidak mengenal kendaraan pribadi. Adapun alasannya adalah karena kampung halaman kami, Bogor sudah penuh sesak oleh mobil-mobil pribadi dan angkutan kota sehingga tidak perlu ditambah lagi dengan kendaraan rumah tangga kami. Suamikupun terbiasa berangkat bekerja naik kereta ke Jakarta, yang telah terbukti memperluas pergaulan dan persaudaraan dengan sesama pelaju yang mencari nafkah di ibu kota negara.

Andri datang di SD Negeri Pengadilan 2 sebagai murid tertua di kelas. Ini baru kusadari kemudian. Sebab ternyata di Indonesia mulai timbul kebiasaan menyekolahkan anak di kelas 1 SD pada umur enam tahun. Berbeda dengan kebiasaan di Austria sana yang menyaratkan bilangan tujuh tahun.

Guru kelasnya sangat keibuan dan sabar, ibu Itjeu Mudrikah. Seminggu setelah anakku diterima di sekolah itu, akan segera berlangsung ulangan umum, katanya. Tapi khusus untuk anakku tentu akan diberikan kemudahan di dalam penilaian, mengingat kepindahan kami dari luar negeri. Betul saja, anakku memang tidak menguasai materi yang ditanyakan di kertas ujian, sebab semua pelajaran Indonesia jelas berbeda dari pelajaran sekolahnya di Austria sana. Namun bu Itjeu begitu baik hati sehingga anakku masih mendapat kesempatan untuk terus belajar di kelas dua.

Dia memang menunjukkan minat dan kesungguhan. Apalagi sifatnya yang cenderung pendiam, kalem ditambah dengan kacamata yang sudah lebih dari setahun dipakainya, menjadikan dia sebagai anak yang khas dan mudah dikenali. Suatu hari dia pulang membawa sebuah pertanyaan dengan sorot mata yang polos, "Ibu, apakah artinya culun?" katanya sambil menatapku. Aku ganti menatapnya. Ada rasa ragu untuk menjawab, sebab aku khawatir melukai perasaannya.

Pelan kutanya dia dengan lebih dulu mengelus-elus rambut lebatnya yang turun bagai topi. Kutatap kedua bola mata jernih di balik kacamata itu, "Ada yang mengatakanmu culun, sayang?" kataku berhati-hati balik bertanya. Dia menggeleng, bibir lebar itu terbuka lagi, "Tidak. Tapi teman-temanku mengatakan culun. Apakah culun itu, ibu?' tanyanya berulang. Aku menarik nafas, lalu menjawab, "ibu juga tidak begitu tahu. Barangkali itu bahasa Sunda yang ibu sudah lupa, Besok ibu cari tahu jawabannya, ya," kataku setengah berjanji. Dia terdiam, mengangguk dan meninggalkanku dengan sebuah tanda tanya. Tapi dalam hatiku aku merasa yakin bahwa teman-temannya ada yang mengatainya "culun" demi melihat penampilannya yang lain dari teman-temannya.

Saat aku berangkat mengambilkan raportnya kira-kira tiga minggu kemudian, barulah pertanyaan itu terjawab. Secara tidak sengaja aku bertemu dengan teman SMPku di muka pintu kelas. Susi, temanku itu ibu dari salah seorang teman sekelas anakku, nampak terkejut juga menjumpaiku di muka kelas yang sama. Dengan senyumnya yang lebar seperti dulu yang senantiasa menampakkan deretan giginya yang rapi, dia segera menyapaku hangat. Nyaris memekik malah, karena dibumbui oleh ketidakpercayaan. "Julie! Oh, kamu ada disini? Betul 'kan murid baru itu anakmu?" sergap Susi tanpa memberi kesempatanku bicara. Aku hanya bisa memeluknya hangat, melepas kerinduan yang tiba-tiba terbangkit.

Aku menangguk sambil memperkenalkan anakku. Niatnya aku juga ingin mempertemukan kembali suamiku, tapi ternyata sudah keduluan olehnya yang nampak asyik mengobrol sendiri dengan uda Artje, suami Susi. Kami berkumpul berempat diiringi anak-anak kami yang mengikuti dengan pandangan tak mengerti. "Ini Oski anakku. Minggu-minggu lalu dia bilang, ada murid baru di kelasnya, pindahan dari luar negeri, belum mengerti apa-apa....." kata Susi memulai obrolan kami. "Ini Andri," sambutku memperkenalkan anakku yang kemudian meraih tangan Susi untuk diciumnya dengan santun.

"Susi penasaran waktu minta Oski menunjukkan anak baru itu tadi," begitu kata uda Artje. "Tapi begitu lihat dia, aku segera bisa menduga bahwa dia anakmu. Sebab mukanya sangat mirip mukamu. Dan kau juga tidak berubah sejak dulu,' sambung Susi kemudian bertubi-tubi. Kami semua tergelak mendengar komentar Susi. Waktu yang telah lama berlalu dianggapnya tak merubah wajahku sama sekali.

"Iya 'kan Ki, mama bilang, anak itu teman anak mama," kata Susi pada anaknya, seorang lelaki sedikit lebih tinggi dari anakku dengan kulit dan wajah juga mirip Susi walaupun tidak persis betul. Dielus-elusnya pula kepala itu dengan sayang.

Dari pertemuan tidak sengaja itu, aku jadi tahu kenapa anakku menanyakan istilah culun. Agaknya anak-anak di kelasnya memandang dia dengan aneh sebab anakku tidak begitu paham bahasa pergaulan sehari-hari dan selalu nampak serius, Belum lagi dia cenderung senang menyendiri di kelas. Anakku, itulah jawaban dari pertanyaanmu, batin hatiku dengan lega.

-ad-

Di akhir tahun ajaran, dia naik kelas juga dengan peringkat di bawah walaupun bukan yang terendah. Dia bahkan menyumbangkan suaranya di acara samen yang jadi kebiasaan penanda akhir tahun ajaran di kampungku. Kami beberapa orang tua murid beramai-ramai menyiapkan makan siang dan menggelar doa syukur di rumah salah satu anak yang rumahnya terdekat dari sekolah.

Secara mengejutkan, si "culun" menyanyikan sebuah lagu sekolahan yang ternyata diakui gurunya malah belum pernah diajarkan kepada murid-muridnya. "Terima Kasihku Guruku", dinyanyikannya dengan sempurna tanpa contekan. Bersama dengan itu dia menghampiri bu Itjeu dan mencium tangannya. Bu Itjeu, guru kelas anakku terperangah, terdiam sejenak, sebelum meneteskan air mata dan dengan suara bergetar menyatakan terima kasihnya atas kejutan yang "dihadiahkan" anakku secara tidak terduga.

Anakku bahkan kemudian menjadi salah satu murid yang paling mengejutkan gurunya ketika di kelas empat. Peringkatnya bisa mencapai kesembilan, sekalipun di tidak ikut les tambahan sama sekali baik di kelas maupun di rumah. Aku hanya membelikannya setumpuk buku penunjang serta membahasnya bersama-sama sambil mengajak teman-temannya yang sudah menjadikan rumah kami sebagai rumah kedua mereka, untuk bermain cerdas cermat.

Selain itu, dia juga satu-satunya murid yang berani mengemukakan keberatannya atas penilaian gurunya yang keliru pada lembar pekerjaannya. Minatnya akan pelajaran sejarah sudah sangat kelihatan saat itu. Ketika gurunya keliru mengetik soal dan menganggap justru anakku yang keliru memberikan jawaban pada salah satu soal sejarah, anakku balik bertanya, "Bu guru, mana tulisan Islam, pada soal yang ibu ketik ini?"

Ketika itu gurunya mempersalahkan jawaban anakku atas pertanyaan "Kerajaan apakah yang pertama di Indonesia?". Sang guru menghendaki jawaban kerajaan Samudera Pasai, sementara anakku bersikukuh untuk menjawab dengan Kutai, mengingat dia betul-betul yakin bahwa kerajaan pertama di Indonesia menganut agama Hindu, bernama Kutai. Ditunjukkannya soal ketikan bu guru yang dimaksudkan anakku. Cerita anakku kemudian, "Bu guru kebingungan sendiri,bu. Berarti jawabanku betul," celotehnya sambil tersenyum padaku.

Lain kali, dia juga protes karena jawaban soal bahasa Indonesia yang diambilnya dari Kamus Besar Bahasa Indonesia justru disalahkan. Namun untuk menghindari rasa malu gurunya, anakku meminta aku mengemukakan keberatan lewat buku penghubung. Dan hasilnya, ternyata diakui gurunya benar serta gurunya bersedia memperbaiki nilai anakku.Anakku memang unik.

Siapa pernah melihat seorang anak lelaki tertarik pada sejarah? Kalau ada, itulah saingan anakku. Di kelas empat itu juga ketika sekolahnya melakukan karyawisata ke Lubang Buaya dan Ancol dia membuat kejutan.

Dengan santainya dia meneliti satu demi satu objek di dalam Lubang Buaya sambil minta penjelasan padaku yang memang sengaja ikut mendampingi. Ternyata guru memang hanya memberikan penjelasan sepintas seakan-akan tanpa niat menambah ilmu. Akibatnya kami terlambat kembali ke atas bus dan jadi sasaran kemarahan orang banyak.

Hasilnya, disaat anak-anak diminta mengumpulkan hasil karya tulisnya unuk diikutkan lomba tingkat kota, karya tulis anakku digugurkan begitu saja. Ibu guru yang "cemerlang" itu menganggap karya tulis anakku yang lengkap serta teratur sebagai hasil karyaku. Padahal, aku hanya duduk mendampinginya dan memberikan pengarahan selagi dia mencoret-coret di atas kertas buramnya. Ibaratnya, aku hanya sebuah buku referensi saja.

Tentu saja menghadapi kenyataan ini anakku sangat kecewa. Mukanya terilipat ke dalam menunjukkan luka hatinya, "Besok ibu bicara dengan gurumu, siapkan kertas burammu yang kemarin. Akan aku tunjukkan pada beliau," hiburku. Upayaku membuahkan hasil, guru kelas anakku mengakui kekeliruannya sekalipun sebetulnya sudah merugikan anakku. Tanpa minta maaf, perempuan yang mendapat sebutan terhormat "Ibu" itu hanya mengatakan mempercayai anakku, namun semuanya sudah terlambat. Tanpa kata maaf sepotongpun. Luar biasa. Anakku hanya bisa menangguk kecewa, namun justru semakin menajamkan keinginanya untuk menjadi pendidik. "Kalau aku jadi guru, tidak boleh begitu, ya bu?" katanya, Sejak itu, pintu kamar anakku berubah fungsi menjadi papan tulis raksasa penuh coret-moret hasil pembelajaran anakku untuk "murid-murid" khayalannya.

-ad-

Anakku yang unik. Di saat aku kesepian seorang diri ditinggal seisi rumah ke tempat tugas masing-masing, aku hanya bisa mengenangkan Andri anakku yang satu itu. Ada saja memori yang melekat kuat padanya. Pada pribadinya yang selalu menimbulkan rasa sayang setiap orang yang mendekatinya.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Di seberang lautan sana dia menuliskan "Bu, Kartu Kemajuan Studiku ada yang salah hitung oleh Fakultas, dan sudah dikoreksi. Hasil IPK (kumpulan semester 1-4) jadi lebih tinggi dari awalnya 3.08 jadi 3.16." Aku cukup lega dan bersyukur. Dulu memang anakku tidak mengerti apa-apa ketika baru masuk universitas, sehingga saat itu nilai-nilainya tidak memuaskan. Namun alhamdulilah, seiring berjalannya waktu, kini dia bisa memperbaiki hasil studinya. Dan aku tahu, itu semua karena kerja kerasnya semata. Kalau kusimpulkan, sekarang rupanya anakku sudah mulai mengerti caranya belajar di universitas. Maklum, sudah menyelesaikan tahun kedua.

Tidak terasa, waktu berjalan begitu saja. Anakku yang dulu bocah SD sudah jadi mahasiswa rupanya. Ha-ha! Tugasku tinggal sedikit lagi mendampinginya ke dunia kerja. Dan seketika anganku melambung jauh menyusuri awang-awang membayangkan anakku betul-betul berdiri di muka papan tulis dengan ditatap oleh puluhan pasang mata yang percaya padanya.

8 komentar:

  1. Tambah kagum saja saya. Kemauan untuk adaptasi, berani membela kebenaran dengan cara yang sopan, mau bekerja keras, sungguh aset yang sangat berharga untuk masa depan.

    BalasHapus
  2. Terima kasih mbak. Mohon maaf ya, saya menuliskan ini bukan dengan maksud untuk memamerkan anak saya. Cuma sekedar menuliskan kembali apa yang saya rekam di otak sebelum pikun. Dia juga menikmatinya dari komputer di warnet di Jatinangor sana. Dan, kok ya belum pernah protes atas kekeliruan catatan saya......

    Semoga ada manfaatnya untuk dia sendiri kelak kalau mendididk anaknya.

    Terima kasih sekali lagi, mbak Leila.

    BalasHapus
  3. Justru kekaguman itu bikin saya jadi tambah bisa mereka-reka, apa saja yang mungkin bisa saya lakukan untuk membimbing anak-anak kelak. Teruslah berbagi, Bunda :).

    BalasHapus
  4. salut deh..saya harus banyak belajar...

    BalasHapus
  5. Insya Allah saya teruskan kalau ada manfaatnya untuk orng lain. Silahkan lho kalau mau diserap. Tapi saya bukan pendidik lho sebetulnya.......

    BalasHapus
  6. Terima kasih. Tentu mbak lebih baguslah daripada saya, namanya juga orang muda.

    BalasHapus
  7. waduh eta budak pasti ngala ka ibuna, pinter... ,meskipun kata-kata diatas ibuna sok nafsuan, nafsu marah-marah. kalo saya sih sukanya nafsu makan.

    BalasHapus
  8. Can nepi ka ambek--ambekanana tah..... Tunggu berikutnya. Sagala rupa "dampratan" bin "kutukan" (eh, ketang, paralun, amit-amit!!!) kaluar di bog berikutnya.

    Euweuh nu pinter di saya mah, ngan ukur "balaga" jeung loba omong. Da kaci aya guru ge dilawan ku anak saya mah. Guruna di Belgia jeung di SMA 6 (Bogor) tepi ke ngurut dada baring jeung nyebut " Tobat!!"

    BalasHapus

Pita Pink