Powered By Blogger

Sabtu, 09 Agustus 2008

"SI BEBEK JELEK" : KILAS BALIK ANAKKU (IV)

Semua manusia kuakui memang punya ciri khas sendiri-sendiri. Tak terkecuali anakku. Dia pendiam, tapi periang. Dia tak banyak bicara, tapi di satu sisi dia akan sangat ceriwis membahas segala sesuatu hingga mendasar. Itulah dia.

Anak kecilku "tak pernah ada" dalam barisan anak-anak staff di kantor suamiku. Entah apa sebabnya, setiap dinas membutuhkan anak-anak kecil. dia tak pernah terpanggil. Bagi kami itu bukan suatu masalah. Toch di setiap kesempatan upacara HUT RI mau tidak mau dia ada sebagai barisan aubade yang jadi kewajiban. Disitu dia akan berdiri sebagai tanda bahwa dia WNI sebagaimana kami, sekalipun dia punya dua kewarganegaraan.

Namun demikian anakku tetap saja dikenali orang. Lebih-lebih lagi tingkahnya yang selalu serius sangat janggal untuk anak sebayanya. Daya fantasinyapun cukup tinggi. Dengan mudahnya dia akan mereka-reka cerita seputar kejadian yang baru dilihatnya seakan-akan kejadian itu benar-benar terjadi pada keluarga kami.

Kuingat guru kelas satunya di Volkschule Oskarspielgasse pernah menanyai kami mengenai professi bapaknya. "Dia menceritakan tentang pergumulan seorang polisi melawan penjahat dan pemabuk di depan kelas. Apakah polisi itu bapaknya? Katanya, dia menganggap polisi itu hero lho." Cerita Frau Martina, guru pendamping khusus untuk anak-anak pendatang kepada Woro kemenakan suamiku yang sengaja ikut kami sambil mengawasi anak-anakku.

Woro hanya bisa berpikir keras. Sampai akhirnya dia tiba pada suatu kesimpulan bahwa Andri-ku tengah menceritakan pengalamannya menonton orang membuat film beradegan seperti itu di depan appartemen kami.

Rumah kami berpindah dari Hofzeile di muka Kedutaan Besar Pakistan ke daerah khusus perumahan di Sickenberggasse. Letaknya agak di ujung kota, tidak begitu padat lalu lintas namun cukup ramai. Gedung-gedung tua menghiasi kedua sisi jalanannya yang dibelah oleh rute strassenbahn yang membentang dari timur ke barat. Dan di sebelah utara, Sungai Donau yang sangat terkenal lewat gubahan Wolfgang Amadeus Mozart sebagai "The Blue Danube" mengalir deras. Di musim panas, manusia-manusia bertebaran di sepanjang tepiannya nyaris tanpa benang sehelaipun. Semua asyik menikmati Wina yang hangat dan bersih.

Disitulah kami tinggal selama dua tahun terakhir. Dan dari jendela kamarku di lantai empat terlihat jelas suasana di jalan raya, termasuk kegiatan orang membuat film laga tadi. Si kecil menyeret kursi dan naik ke atasnya sambil berdiri merapat ke jendela. Matanya nyalang tak berkedip lama sekali dan asyik sendiri. Agaknya kejadian itu amat menggores di hatinya dan terus dikenangnya sampai lama.

-ad-

Anakku duduk sebangku dengan Bibijana Reinvartova, putri diplomat Slowakia, negeri tetangga Austria yang jadi teman baik suamiku. Kami tidak pernah menyuruhnya duduk bersama Bibi, tapi merekalah yang memutuskan sendiri. Di hari pertama sekolah, kami hanya mengantarkannya sampai ke dalam kelas dan memperkenalkannya pada si gadis. Keduanya nampak senyum malu-malu. Tapi agaknya hanya sejenak. Setelah itu mereka menjadi teman baik sebagaimana pertemanannya dengan Pauline dan Theresia di Kinder Garten dulu.

Kupakaikan setelan jas dengan kemeja dan dasi kupunya di hari besar itu. Sebab di Austria tak ada ketetapan memakai seragam sekolah sebagaimana di Indonesia. Dia nampak gagah dan tidak canggung lagi, sekalipun di punggungnya sebuah tas besar tergantung berisi buku-buku tulis dan seperangkat perlengkapan sekolah lainnya cukup berat.

Anak-anak nampak menggenggam sebuah contong kertas berhias pita dan plastik bermotif cantik di tangannya. Agaknya itu adalah hadiah suka cita dari orang tua yang bahagia ketika mendapati anaknya diterima di kelas satu Sekolah Dasar. Suatu hal yang baru kami ketahui, sehingga tidak kami persiapkan lebih dulu. Untung, sekretaris suamiku yang menikahi wanita Austria menangkap ketidak mengertian kami, sehingga di sore hari dia membekali suamiku secontong alat-alat tulis dan permen sebagai hadiah bagi anak kami. Dan anakkupun tersenyum bahagia.

Aku mengantar dan menjemputnya setiap hari sesuai dengan peraturan di Austria. Anak-anak kecil diharapkan datang dan pergi dengan orang tuanya guna menghindari kejahatan yang tak diinginkan. Setidak-tidaknya, di Austria sana anak-anak diwajibkan dijemput di pintu appartemen supaya naik ke atas lift dengan ditemani orang dewasa. Kami selalu menikmati saat-saat ini bersama-sama. Berjalan berbimbingan menapaki coble stones yang licin dan dingin di sepanjang gang itu. Lonceng gereja selalu kedengaran berdentang nyaring memanggil kami untuk segera menuju ke sekolah tak jauh dari situ. Kucium dahinya, dan kuucapkan selamat belajar. Tak lupa kutuntun anakku untuk membaca doa belajar sebagaimana anak muslim lainnya sebelum dia melangkah naik di gedung tua itu. Matanya senantiasa penuh suka cita.

Sampai di suatu saat dia mulai merasa jemu dengan sekolahnya. Sebab dia tidak diikutsertakan dalam semua pelajaran bersama-sama anak-anak lainnya. Guru kelasnya yang tua memisahkan dia dan anak-anak asing lainnya untuk belajar sendiri di bawah bimbingan Frau Martina, gadis cantik berwajah khas Eropa Timur atau mendekati Italia.

Pagi hari -saat itu- akan jadi acara mogok mandi. Dia cuma berguling-guling di atas kasurnya sambil mengakibatkan tilam tidur kotor tak beraturan. Begitu selalu setiap hari hingga menguras kesabaranku.

Tapi suamiku betul-betul seorang pendidik yang baik. Dimintanya aku diam. Dan dengan caranya sendiri dia memaksa anakku untuk merapikan semua kesemrawutan yang diciptakannya sendiri dalam marahnya. Sesungguhnya hatiku tak tega. Tapi kami memang telah sepakat untuk seia-sekata dalam mendidik anak-anak, sehingga aku hanya bisa memendam perasaan kasihanku ketika menyaksikan anakku membersihkan sendiri kasurnya dengan terpaksa, atau bahkan harus tidur lagi dalam keadaan tempat tidurnya kotor.

Namun tak urung di waktu kami berdua-dua, kukorek apa yang menjadi pokok kemarahan anakku. Dia tidak pernah mau berterus terang. Kupikir dia cemburu kepada adiknya yang dibiarkan bangun siang karena tidak harus mengejar waktu ke sekolah. Tapi dugaanku keliru. Dia tak pernah marah-marah pada si adik. Bahkan kebiasaannya bermain bersama semakin erat. Maka kusimpulkan bahwa dia tidak menyukai cara gurunya mengajar. Sebab suatu kali pernah terlontar bahwa dia duduk di kelas yang berbeda dengan anak-anak sekelasnya. Dan ibu guru kelihatan sangat sayang pada Patrick, salah seorang temannya yang bertubuh tambun.

Cemburu, itulah pokok soalnya. Pelan-pelan kukatakan bahwa dirinya adalah murid istimewa. Kemudian keluarlah ceritanya tentang dua orang bersaudara pengungsi Yugoslavia yang bernama Anita dan Milan serta Natascha yang juga ditempatkan di satu kelas yang sama dengannya. Baru kusadari bahwa dia menjadi murid kelas khusus anak-anak asing. Maka kusampaikan kepadanya sebagai anak-anak yang punya bahasa lain selain bahasa Jerman, mereka berempat termasuk anak-anak istimewa. Ada kelebihan bahasa lain yang tak dipunyai teman-teman sekelasnya. Sementara pada waktu itu Bibijana sudah pulang kembali ke Bratislava yang kebetulan jaraknya cuma satu jam perjalanan dari Wina.

Anakku kemudian mengerti dan mulai bisa menerima keadaan, sehingga praktis semua mata pelajaran yang diikutinya menghasilkan nilai 1 di raport. Nilai 1 adalah nilai tertinggi yang setara dengan nilai 10 pada sistem penilaian di Indonesia. Bahkan menurut guru kelasnya, tulisan tangan anakku adalah tulisan tangan terapi yang pernah dilihatnya sepanjang mengajar. Lega sekali rasanya hati kami.

Namun sayang, penyakit asthmanya menjadi semakin sering kambuh sehingga aku membawanya berobat secara teratur kepada ahli paru kanak-kanak, Dr. Wang, di Kinderspital. Termasuk menemaninya menjalani operasi amandel yang merupakan operasi kedua sepanjang hidupnya setelah operasi penurunan testis di usia delapan belas bulan dulu.

Obat-obat hirupan rutin diberikan kepadanya melalui "spacer" yang berupa tabung yang digunakan untuk menyalurkan obat dari dalam tabungnya ke mulut. Sayang seringkali tak membawa hasil. Meskipun begitu, secara ajaib dia masih tetap dapat mengikuti sekolah dengan baik termasuk kelas pelajaran Agama Islam yang diajarkan seminggu sekali di waktu petang di sekolah lain di wilayah tempat tinggal kami yang jauh dari rumah.

Disana dia akan dikumpulkan bersama murid-murid sekecamatan mulai dari kelas 1 hingga 3 SD. Diantaranya dengan mbak Trisna putri teman kami serta Mustafa anak seorang imigran Turki. Ustadznya sendiri seorang Turki yang sangat disiplin. Semua buku harus terjaga kerapiannya, terutama Al Qur'an. Ada sedikit coretan disana, meledaklah marahnya dalam bahasa yang sangat tak sedap di dengar di telinga. Anakku senantiasa berusaha mematuhi perintah ustadznya, termasuk duduk diam dan menyimak.

Sayang suatu hari Ustadz Hashem, begitu namanya marah-marah setelah mendapati Mustafa tidak menyimak dengan baik serta tidak mengerjakan PRnya. "Dimana ibumu? Perempuan tidak bertanggunhjawab!" hardik ustadz dengan garang. Mukanya menatap lurus dan tajam ke wajah bulat telur Mustafa yang menunduk kaku ketakutan di bangkunya. "Ibuku pergi kerja," katanya lirih. "Apa tugas bapakmu kalau dia masih juga harus bekerja sendiri?" cecar ustadz galak itu lagi. Kulihat mulut kecil itu terkunci rapat. Mukanya pias menunduk takut. "Dengar kataku, kamu tidak boleh berangkat ke sekolah sendiri dan belajar tanpa pengawasan orang tuamu, tahu?" bentak ustadz Hashem lagi sambil menghampiri meja Mustafa kecil. Lengannya mencengkeram kerah baju si kecil. "Lihat padaku, jangan kau diam!" diangkatnya wajah mungil yang kini mulai digenangi air mata. Kulihat anakku menunduk ketakutan juga. Aku ada di bangku belakang atas suruhan ustadz bersama para ibu lain yang juga mengantarkan putra-putri mereka. Perlahan-lahan Mustafa menjawab, suaranya bergetar hebat, "aku tidak punya bapak........." seketika pecah tangis mengisak yang kelak kutahu juga menggetarkan hati anakku.

Di atas Stassenbahn 37 yang menuju ke rumah anakku bilang, "Ibu, kasihani Mustafa. Dia tidak punya ayah, dan ibunya juga tidak di rumah. Ibu jangan pergi kerja seperti itu ya? Aku takut dimarahi ustadz," Lalu digenggamnya tanganku erat seperti tak boleh jauh darinya.

Kusadari anakku Andri, sangat lembut dan berperasaan halus. Menggelitik jiwaku dan menyebabkan aku ingin senantiasa membahagiakannya. Seperti hari ini ketika dia jauh dariku, di kampung halaman sana sedang mencari bekal hidup untuk diri sendiri dan keluarganya kelak. Andriku, ya ibu tahu kau punya tekad untuk senantiasa bisa menjadi orang berguna supaya kau tak dihina orang seperti ayah Mustafa temanmu yang tak pernah jelas dimana rimbanya itu. Maka aku harus menanggung semua rinduku. Demi masa depanmu yang bahagia, bukankah sebaiknya begitu?

23 komentar:

  1. salut sm anaknya,

    sm mamaknya juga..

    BalasHapus
  2. Huhu.. Haru. Bagus skali Bunda kisah nya. Sebaiknya di Novel kan, pasti bagus :)
    tfs Bunda..
    Suatu pengalaman hidup yg kaya dan penuh warna.

    BalasHapus
  3. Tercekat baca bagian Ustadz membentak Mustafa... Kok gitu amat ya...

    BalasHapus
  4. Poor Mustafa. Aku bisa membayangkan bgm wajah nya. Disiplin skali y ustadz nya..

    BalasHapus
  5. stujuu... bikin novel aja bun. kikikiki...

    BalasHapus
  6. Terima kasih ya bang. Mamaknya mah nggak ada apa-apanya. Wong sekolahnya juga dulu nggak tammat. Jadi, emmimpin anak-anakku hanya kupakai naluri kewanitaanku saja sebagai dasar. wanita itu mudah tersentuh jadi tak boleh aku marah-marah dan berlakku kasar pada anakku. Gitu bang.......

    BalasHapus
  7. Insya Allah, kalau ada penerbit tertarik mau ngambil saya kasihkan. Tapi naga-naganya nggak ada nih........

    Soal pengalaman saya memang banyak. Dan ini sengaja saya simpan dan saya tulis untuk pelajaran ornag banyak, trutama anak-anak saya sendiri. Terima kasih ya mbak udah mau mampir ke rumah saya.

    Semoga bapak cepet kuat lagi ya mbak, teruslah berbakti untuk beliau.

    BalasHapus
  8. Saya juga kget kok! Saya denger dan lihat sendiri. karena disitu kan muidny apaling cuma lima. Nah orang tua diwajibkan nganter. Yang nggak punya kendaraan tentunya nggak akan pulang, makanya disuruh ikut masuk dan duduk di pojok belakang kelas. Tapi nggak boleh ngobrol sendiri. Memang sangat disiplin. Anak saya aja pernah dimarahin karena nggak hafal salah satu surah pendek yang jadi PR.

    BalasHapus
  9. Kukukuku....... siapa yang berniat menerbitkan? Anda adalah orang kesekian yang menganjurkan lho teh.......

    BalasHapus
  10. produseri sendiri bun.. bikin aja novel virtual. pasti deh banyak peminatnya :)

    BalasHapus
  11. BU JUlie, YG Pak Ustad itu beneran ustad? KOk Ustad kayak begitu sih?? kalo yg ngerti agama bener mah harusnya juga ngerti gimana cara mendidik anak dengan jalan Islam. NGgak ada tuh DI Hadist kalo Rasulullah berbuat kayak begitu ke Anak. Ahh Pak Ustad,,,

    BalasHapus
  12. ...boleh jadi kemarahan sang Ustadz sesungguhnya dialamatkan pada orang tua Mustafa... Bukan hal mudah dan sederhana menjadi seorang pendidik memang.Saya bahkan baru mendapat keluhan dari seorang principle sekolah nasional plus di tanah air. Kehabisan jurus menghadapi polah anak didiknya, seorang guru trainee menselotip mulut sang anak didik dengan selotip untuk mendisplay karya anak-anak di kelas. Murkalah sang Bunda, mengeluhkan luka jiwa anaknya yang semalaman mengigau ketakutan... Duh.. saya miris membayangkan putusnya dawai-dawai halus dalam jiwa sang anak.. Khawatir ingatan itu berada di sektor yang un-delletable dalam benak sang anak..

    BalasHapus
  13. Ah masa' iya sih? Nenek tuwek suka nggak pe-de-an mbak Ratih.....

    BalasHapus
  14. Ustadz beneran, wong semua guru agama itu dikirim dari Islamic Centre of Vienna di sekitar Donau Centre itu. Saya lupa deh distrik apa namanya, tapi yang jelas disitu ada mesjid besar yang jadi pusat peribadatan semua muslimin dan muslimat.

    Sya nggak tau apa sebabnya, anak saya naik kelas dua SD usttadznya diganti perempuan Mesir yang cantik hatinya dan wjahnya. Sabaaaar banget.

    BalasHapus
  15. Ustadz beneran. Kan setiap guru agama itu dikirim dari Islamic Centre (yang lokasinya di deket Donau, dimana ada mesjid raya yang jadi pusat kegiatan semua ummat Islam).

    Untungnya anak saya kelas dua, ustadznya diganti ustadzah muda cantik sehati-hatinya, asal Mesir. Kami juga nggak tau apa sebabnya tuh.........

    BalasHapus
  16. Boleh jadi iya. Karena Mustafa datang ke sekolah sendiri, pas ditanya nggak bisa jawab (kayak nggak pernah belajar di rumah), dan Qur'annya kelihatannya ditulis-tulis namanya gitu. Gurunya ngambek. Sebab merasa orang tua Mustafa kok nggak ada perhatian banget sama anaknya. Padahal udah tau kalau ke sekolah harus dianter-jemput (lha anak kelas satu SD, bayangin.........)

    BalasHapus
  17. Matur nuwun bu. Saya tinggal sebulan menanggung rindu kok. Libur Ramadhan nanti dia akan ke tempat kami. Sabaaaar!!

    BalasHapus
  18. Hi hi... persis anak saya Yasmin...

    BalasHapus
  19. Horeeeeeeeee! Yes! (Sambil mengepalkan tangan...)

    BalasHapus
  20. Horeeeee! yes!!! (sambil mengepalkan tangan)

    BalasHapus
  21. Saya rasa dia stress dengan kebiasaan baru, kegiatan sekolahnya di SD. Lama-lama juga nggak kok.

    BalasHapus
  22. Aku juga bingung mbak, ankku nggak pinter ngitung, tapi kalo nulis jelas tebal-tipisnya dan kayak tulisan ibu-ibu jaman dulu. Malah aku yang nggak bisa nulis tangna (jelek banget), sama dengan bapaknya dan adiknya.

    Di SD di Indonesia, tulisan tangan dia dijadikan contoh menulis halus di kelas. Kalo nginget-nginget geli juga, lha merasa diri nggak bisa nulis, kok punya anak malah dijaikan contoh di sekolahnya. Saya itu sejatine isin......

    BalasHapus

Pita Pink