Lina dan kematiannya mengingatkanku akan makam leluhur kami. Ada orang tuaku,mertuaku dan sebagian kerabat suamiku di Taman Pemakaman Umum Blender, Kebon Pedes, Bogor. Bukan suatu daerah yang "elite" karena tersembunyi di balik perkampungan padat penduduk yang sebagian adalah pengusaha susu sapi murni. Bau kotoran kambing dan sapi merebak di dekat pintu pemakaman, berasal dari hewan-hewan yang digembalakan atau dikandangkan di dekat situ. Sebuah kanaal kecil melintas di dekatnya, juga nyaris sangat keruh karena banyak muatan yang digulirkan orang seenaknya di situ.
Di situ, di makam-makam itu aku dulu sering menyepi. Menghabiskan waktuku sendiri, mengunjungi makam bapak mertuaku yang waktu itu masih calon. Terutama saat hatiku sedang gundah. Makam bapak hanya berupa sebuah nisan bersemen dengan taburan sepihan batu marmer kecil di atasnya, terletak jauh di dalam sana. Pada sebuah blok yang dinamakan blok lama, menuju ke perkampungan di kejauhan yang berbatasan dengan desa yang sekarang lebih terkenal sebagai Cimanggu Bharata.
Di daerah makam bapak banyak guguran kamboja putih yang menyerak tak beraturan dijatuhkan angin dari pohonnya yang rindang disitu. Aku biasa memungutinya, memilihnya dengan cermat satu-persatu sampai kudapat jumlah serta kondisi yang kuinginkan. Biasanya, kuntum-kuntum segar yang baru jatuh akan jadi bagian dari ritualku menjenguk "rumah" bapak. Lalu diamku mengumbar doa tahlil serta obrolan dari hati ke hatiku dengan Allah serta dengan bapak. Aku tidak lagi peduli apakah bapak bisa mendengarnya, yang pasti aku merasa harus dan ingin bicara padanya. Sebab bapak tak pernah menolakku. Bapak tak pernah membantahku. Dan yang jelas, kurasakan bapak menyayangiku sebagaimana orang tuaku sendiri.
Saat itu aku bisa berlama-lama disitu. Sampai Iman seorang pemuda desa setempat tiba-tiba menegurku entah datang darimana. Lalu dia menyabitkan lumut yang menempel di nisan bapak untukku serta menyapu kotoran yang ada. Seperti biasa aku tahu, Iman mengharapkan sesuatu dariku. Sekedar upah, sekalipun dia tahu anak sekolah semacam aku tak mungkin mengantungi uang banyak. Tapi Iman tak peduli dan dia terus saja mengganggu saat-saat kebersamaanku dengan bapak. Semuanya bermain-main di ruang khayalku. Di sini, di Cape Town yang jauh.
-ad-
Bapak. Kemudian Mama. Lalu Ibu. Diikuti Bude Is kakak Mama dan diakhiri Bapakku. Semua meninggalkan kami satu persatu. Bapak dan Mama menyerah diterjang ganasnya kanker. Ibu mengakhiri serangan panjang sirosis hati, sementara Bude Is pergi begitu saja. Dan bapakku, perokok sejati itu tumbang di tangan stroke dan serangan pada jantungnya.
Semua telah berlalu. Seperti berlalunya KRL di rel besi di sebelah timur sana. Mula-mula sebuah gerbong kehidupan yang kosong. Kemudian padat terisi, berjalan menjalar, lari, hingga tiba di stasiun terakhir. Jika aku boleh mengibaratkan Beos sebagi akhirat, di situlah letaknya kenikmatan atau bahkan kesengsaraan. Tergantung darimana kita menyikapinya. Ada deretan penjual makanan mulai dari gorengan tahu Sumedang hingga buah-buahan dan minuman botolan. Ada bahan bacaan, bahkan banyak juga barang-barang lain yang seharusnya tidak ada di situ. Tapi di situ juga letaknya ketidaknyamanan. Banyak debu, peminta-minta yang kerap mekmaksa hingga copet dan jambret. Itulah Beos, stasiun terakhir kereta yang melaju dari kotaku
-ad-
Bapak bukan satu-satunya anggota kerabat kami yang menetap lebih dulu di Blender. Sebelum Mama ada Romo Said serta istrinya, Bude Tinah, kerabat bapak. Walaupun bukan keluarga sekandung, tetapi hubungan mereka sangat akrab. Konon dulu, di masa mudanya mereka sering saling berkunjung dan duduk-duduk menghabiskan waktu sambil bermain ceki. Sejenis kartu yang aku sendiri tidak pernah tahu macamnya. Konon biasanya para priyayi menggelar meja dan kartu ceki sambil berjudi. Tapi mereka tidak. Bapak paling anti berjudi. Bapak hanya senang menghabiskan waktu sambil mengasah otak. Tidak lebih, begitu pernah kudengar penuturan Mama.
Romo Said berpulang ketika suamiku sudah kuliah. Suatu siang ketika suamiku datang menjenguk di sisi pembaringannya Romo mengatakan harapannya ingin mencicipi bakso yng dibeli dari uang gaji suamiku. "Kowe kudu dadi pegawe negeri ya nak, mbesuk aku mbok tukokna bakso. Mesthi rasane enak," begitu keinginan Romo di balik pesan singkatnya pada suamiku yang diperlakukan macam anaknya sendiri. Seingat suamiku dia mengiyakannya. Tapi belum sampai suamiku lulus kuliah, Romo sudah keburu berpulang. Dan bakso itu hanya sebuah keinginan yang tak terwujud.
-ad-
Kali ini suamiku sudah bisa membelikan bakso untuk Romo Said. Kali ini juga suamiku sedang bertugas ke Indonesia. Menurut rencana dia akan berziarah di akhir pekan, guna membersihkan makam-makam orang tua kami. Maklum di Bogor tanah makam sudah sangat sulit didapat. Kunjungan ke makam menjadi suatu keharusan jika tidak ingin mendapati makam leluhur sudah ditempati jasad lain akibat proses sewa-beli lahan. Sebelum mas Dj berangkat, aku pernah mengingatkannya seraya berseloroh, "inilah saatnya bapak mewujudkan janji membelikan semangkuk bakso untuk Romo Said." Suamiku hanya tersenyum melirik padaku. Dia tak menyangka, aku masih ingat akan janjinya dulu. Puluhan tahun yang lalu.
"Ya sudah, jangan paksakan diri ke makam. pekerjaan bapak lebih utama,' begitu tulisku di atas layar HP menjawab kabar dari suamiku. Rupanya dia tidak punya waktu untuk naik KRL pulang kampung menjenguk makam. Tapi aku tahu, di dalam hatinya dia sangat kecewa. karena baginya makam orang tua kami adalah warisan yang utama. Menurut suamiku sekalipun makam tidak berarti apa-apa, tapi makam jualah yng membantu mengingatkan kita untuk mengisi hidup ini dengan amal dan kebajikan. Karena, suatu saat nanti di tanah jugalah kita akan menetap. Membaur, melebur abu menjadi satu dengan alam.
Suamiku benar semata. Lalu terbayang lagi di mataku sepinya pekuburan itu. Hanya desiran angin serta rengek kambing di kejauhan. Sekali-kali di waktu tertentu, adzan kaji dan shalawat badar serta tausiyah ulama menggema dari masjid dan langgar-langgar di kejauhan yang menyusup dibawa angin menembusi sepinya alam. Di situ juga kelak kami akan terbaring. Dengan Iman menyabiti rumput serta lumut di sisi nisanku. Dan dengan IMANku kepada Illahi Rabbi. Kelak jika saatnya tiba.........
iya, memang penting mengingat mati itu,... huhmm..
BalasHapus:)
Betul nak. Terlebih-lebih untuk makhluk seperti saya yang pernah lolos dari saringan kematian, harus tahu diri.
BalasHapusI understand that the end is unavoidable, but may Allah let you have a long and happy life. (My mom translated for me, thanks mom!)
BalasHapusAmin. Thank's to your mom, Siapa sih namanya?
BalasHapusMengingat kematian memang terbaik. Bagian yang paling susah adalah menghindar dari orang bergosip.. karena disitu banyak banget syaitannya dan kita keasyikan. Tabungan amal kita jadi berkurang. Semoga kita bisa mengurangi segala sesuatu yang sia-sia di dunia ini ya bu Julie. Gak mudah menjadi orang yang benar di jalan Allah... hiks...:-((
BalasHapusBetul. Mari kita sama-sama mengingat akan mati supaya takut berbuat dosa.
BalasHapusMakasih kembali.....
BalasHapusyg ini lho mommynya
lely
semoga kita termasuk golongan org-org yg tdk merugi kelak......
BalasHapusSemoga (duh...., sambil menadahkan tangan, menatap ke lagnit dan mencucurkan air mata).
BalasHapusIya sekarang tau, yang berjilbab dan cantik itu. Semoga persahabatan kita abadi ya dik.
BalasHapusiya siich paling cantik serumah (jagoannya 4) hehehe. Insya Allah
BalasHapusSama dunk. Anak-anak kandung saya juga laki semua. Ada keponakan perempuan tapi sekarang udah nggak ngikut wong udah pada tua, giliran jaga rumah sama yang satunya udah berumah tangga.
BalasHapus