Powered By Blogger

Selasa, 01 April 2008

MUHIBAH KULINER

Hari ketiga suamiku di tanah air. Katanya dalam SMS dia sedang makan Coto Makassar. Terbayang olehku kuah kentalnya yang merendam daging-daging jerohan musuh utama kami para sepuh. Maklum urusan kolesterol disitu bisa merambat sampai ke rumah sakit. Ih, ngeri. Bergidik bulu kuduk di tengkukku. Aku tidak ingin selain aku, suamiku juga ikut mencicipi kasur rumah sakit walau bagaimanapun empuknya.

Kujawab SMSnya dengan sepotong pesan agar dia berhati-hati terhadap asupan makanan selanjutnya. Aku tahu, dia sendiri cukup cermat menjaga pola makannya. Tapi, aku juga tahu di Indonesia dia serasa hidup dalam surga. Segala rasa makanan ada di hadapannya. Menghampiri begitu saja tanpa diminta.

-ad-

Aku ingat di muka rumah besar kami. Segerobak martabak manis setiap sore selalu menanti untuk dijemput pembelinya. Tidak pernah lama dan tidak pernah sempat menjadi dingin berdebu, martabak-martabak "kosongan" yang betul-betul tanpa isi apa-apa selain selai kacang dan susu kental manis itu berpindah ke mobil-mobil penggemarnya. Minimal ke tangan pejalan kaki yang tinggal di sekitar situ seperti diriku.

Dulu, sore hari jam setengah lima, aku kerap membeli barang sewajan untuk kupersembahkan kepada suamiku. Bapakku juga suka akan rasanya yang manis legit. "Martabak Singgalang", begitu bunyi tulisan di kaca gerobaknya. Dengan seribu rupiah dikala itu, kami serumah sudah bisa puas menikmatinya sambil menyeruput teh kental cap botol dari bungkusnya yang hijau tua atau secangkir kopi tubruk. Penjualnya dua bersaudara. Yang seorang lelaki separuh baya berpostur gemuk yang sudah setia berdiri mengocok adonan sejak tahun enampuluhan di Pasar Mawar yang kini telah berubah wajah. Anehnya, sekalipun kini dia diasisteni lelaki muda usia yang gesit karena posturnya yang langsing, rasanya tetap sama. Legit, manis semanis budi bahasa penjualnya. Bahkan mengalahkan rasa Martabak Bangka di Gang City atau Jalan Ranggagading. Martabak itu hanya satu sisi dari wajah kuliner kampung halamanku.

Di tengah pasar ada lagi bakmie bakso yang sedap seperti namanya. Jangan tanya soal halaal tidaknya. Sekalipun penjualnya babah dan tacik tapi semua pegawainya serupa denganku. Sawo matang dengan logat daerah yang kental. Yang setiap waktu shalat bergantian menghilang satu demi satu ke Masjid Agung di sisi pasar. Jubelan pembelinya di kios sempit yang pengap berasap itu, luar biasa. Ada kepala-kepala tanpa jilbab, namun tak sedikit yang rapat hingga menjuntai ke dada. Termasuk guru-guru dan kepala sekolah di sekitar pasar tempat aku menyekolahkan anakku

Dimana-mana bakso pasti seragam. Yang membedakan Mie Bakso Sedap dari Mie Bakso Bandung langgananku lainnya di bawah Toko Ramayana adalah bentuk bakmienya. Bakmie di situ terasa buatan sendiri. Bahkan aku pernah menyaksikan tacik sedang berkutat sibuk membanting adonan serta membentuknya di samping adonan-adonan pangsit siap goreng.
Tacik agak gemuk dan senang mengobrol denganku. Katanya, dia selalu mengupayakan bahan segar dari kualitas unggul. Daging sapinya dibeli dari pak Haji pengusaha daging di kios Nyalindung di deretan terbelakang Pasar Anyar itu..Sayurannya, caysiem baru petik yang diturunkan petani dari truck yang melaju membelah Jalan Raya Puncak. Ditambah irisan ayam dan jamur masak aduhai sedap sekali rasanya. Air liurku menetes disini.

Bakso Bandung itu juga punya rasa tersendiri. Sama-sama sedap, bahkan yang ini sedikit lebih "prestigious" karena dikelola dengan sangat hati-hati. Kiosnya jauh lebih sempit, namun terbuka lebar dan tidak berjejalan. Hanya ada lima meja kapasistas empat orang menyebar di situ. Tak ada pula mesin gilingan es batu seperti di Sedap. Yang ada hanya sebuah koelkast kecil tempat menyembunyikan beberapa botol teh Sosro, Fanta, Sprite atau Coca Cola. Aku tahu pemiliknya juga seorang Tionghoa. Tapi, ceu Tati dan teman-temannya yang jelas muslimah itulah yang mengundang selera untuk selalu duduk mencicipi rasanya. Dengan harga sedikit di atas Bakmie Bakso Sedap, dia punya kulifikasi Sedap Plus. Sepi dan bersih, itulah kelebihannya.

SMS itu memanggilku lagi. Ada dia di seberang sana. Katanya, dia akan pergi tidur sekarang. Dan dia bilang, dia akan memperhatikan semua peringatanku. "Terima kasih untuk semua perhatian dan kasih sayangmu," tutupnya. Kucium layar hand phoneku dengan gemas, seakan-akan aku sedang menciumi dirinya, belahan jiwaku yang sudah menyatu dalam segenap kehidupan serta tarikan nafasku selama tiga puluh empat tahun lamanya.

-ad-

Di ruang makan kudengar suara anakku menyetel TV yang disetnya menjadi tontonan film. Kulongokkan kepalaku, dan kudapati adegan-adegan bayi mungil menangis keras di layar kaca. "Oh, kamu menonton video bayimu sendiri?" tanyaku mendekat. Dia tersenyum manis. "Memory," katanya. "Times flies so fast," sebutnya lagi kali ini sambil mengunyah keripik kentang rasa asam yang diambilnya dari kantong hijau. "Ya, dulu kamu masih menetek padaku," jawabku menjejerinya. "Sekarang makananmu sudah beginian, junk food yang nggak bermutu," sindirku. Matanya melirik padaku mempersilahkan aku duduk di sampingnya. "Ibu mau?" tanyanya lugu.

Aku menggeleng bahkan mulai berceramah padanya. Tentu tentang masa lalu dan makanan itu. "Apa nama klinik bersalin tempat lahirmu?" tanyaku memancing percakapan. "RS Azra," tempat dimana aku dirawat untuk DBDku tahun 2003 katanya. "Disitu ya dik, di depan RS ada soto mie yang lezaaaaat sekali," kataku seraya menelan liur. Potongan-potongan tomat yang segar berpadu dengan kubis dan daging-daging berlemak serta gorengan terigu berisi bihun disiram kuah bening bermain-main di mataku. Anakku menatapku. "Ibu suka ya?" tanyanya lugu. " Ya lah, jajanan ibu waktu masih sekolah dulu," jawabku santai.  Lalu memori itu melayang-layang lagi, membalik ingatanku ke masa-masa berseragam hijau putih di SMA Negeri I Bogor.

-ad-

Di sisi kiri sekolah, ada mushala cukup luas untuk civitas academica melaksanakan ibadah.
Setiap giliran sekolah siang -maklum waktu itu sekolah negeri kekurangan lahan sehingga dua sekolah disatukan- ada saja orang beribadah sore disitu. Tapi lebih ramai lagi justru anak-anak yang memanfaatkan waktu istirahat untuk jajan dan mengobrol. Kami biasa mangkal di daerah sebelah kanan sekolah yang merupakan lahan SMP N I. Di balik pagar kawat berduri pembatas Gang Selot, berderet tukang makanan. Mulai dari kedai gerobak penjual permen dan sejenisnya, kue basah, doclang, soto mie, mie bakso Jawa hingga es baik cendol maupun es puter. Doclang pernah jadi satu favoriteku. Isinya sederhana, cuma berupa ketupat yang dicampur tahu goreng serta kerupuk disiram dengan bumbu kacang kental bercampur kecap. Tapi rasanya, mak nyuss, kata pak Bondan Winarno sekarang, sih.

Di sebelahnya adalah mamang ampiran favoriteku. Ya si soto mie itu. Aku biasa menghabiskannya semangkuk dengan taburan seledri-bakung dan bawang goreng yang minta spesial banyaknya sampai-sampai suatu hari si mamangnya mengeluh rugi melayaniku. Biasanya Sulistyaningwati sahabatku berambut tebal panjang ikut juga memesan semangkuk disertai es cendol yang aku akhirnya ikutan juga memesan.Dalam hal ini aku ekstra hati-hati, sebab takut ketahuan mas Dj yang asyik mengobrol dengan teman-teman seangkatannya di sudut lain sekolah kami. Mas Dj sangat benci melihatku menyeruput es cendol. "Nanti kamu batuk lagi," begitu selalu peringatannya berulang-ulang sehingga aku terpaksa merelakan cacing tanah menghabiskan semua cendolku yang melorot ke bawah karena kutumpahkan dari gelasnya.

Kini di depan video anakku sambil merabai rambutnya yang tebal aku terkikik sendiri. Mengingat baru saja aku memperingatkan mas Dj untuk berhati-hati menyantap Coto Makassar. Oh Allah! Dunia terasa seakan terus berputar. Bagai roda. Dari masa silam ke masa kini, kembali pula akhirnya ke masa silam. Kusudahi kenanganku samil meneguk segelas air putih dari dispenser kami yang berjudul :H2O pada gallonnya. Selamat malam sayangku, ibu mau tidur. Bersama mimpi-mimpi itu. Mimpi indah tentangmu, tentang anak-anak kita dan tentang kehidupan kita dulu, kini dan nanti.

18 komentar:

  1. Aduh teh udah jauh juga masih aja ingat sama martabak singgalang pasar mawar. Jadi ingat jaman dulu deh.
    selamat bernostalgia ya teh.

    BalasHapus
  2. Yup! Secara sekarang dia mangkal di depan rumah ortuku. Martabak Singgalang, belum ada yang ngalahin. ponakanku juga kalo mudik dari Bandung pasti minta sajen martabak Singgalang, enggak mau dibeliin dimana-mna termasuk di Air Mancur

    BalasHapus
  3. Masih ada sekarang juga yah Mak, martabak singgalang..

    BalasHapus
  4. Gang Selot, tahu slawi na ehmmmm

    BalasHapus
  5. Pernah beli roti di Delicious Bakery di Pasar Mawar?

    BalasHapus
  6. Huwaaaaaaa.....baca tulisan Mbak Julie jadi laper nih....
    Secara ngomongin makanan yang enak2 muluuuuuu...... :))

    BalasHapus
  7. Masih A. Di depn rumah simbah di pertigaan Perintis Kemerdekaan dengan Dr. Sumeru. Berapa ya, sekarang sewajannya?

    BalasHapus
  8. Baheula mah can aya tahu selawi. Ya itu jejeran makanan yang dulu ada, emak nggak kelewat satupun. Malah di belakang, di rumah penjaga sekolah ada juga kantin dagang comro sama buras.

    BalasHapus
  9. Pernah, sampe sekarang ge masih. Baca postingan-postingan ema nu pertama. Manehanana aya di dinya. Roti penthungnya (French breadnya) sangat laris. Dateng jam sepuluh, rotinya belum mateng. Dateng jam satu, rotinya udah habis dibeli ekspatriat yang mau pada makan. Repot, kudu ninggal duit di manehna. Emak punya utang tiga ringgit duit baheula yang gambar ibu petani warna biru sama si babah Delicieus. Tulisan dia begitu, memang nggak lazim buat kita, bukan Delicious seperti yang A Bagdja mau. Ada lagi di Kebumen, tempat nini-moyang saya, toko kue sejenis dia namanya Lezad dengan d bukan denga t seperti seharusnya. Whuallah!! Bingung-bingung........

    BalasHapus
  10. Lapar? Hayu cari makan malem. Atau mau nganjang ka Bogor?

    BalasHapus
  11. 'nte Julie (smoga berkenan)... setelah dibaca, ternyata PoI (Point of Interest)'nya hanya masalah sms dari om DJ, tetapi kemudian bisa dirangkai dgn kenangan dan kejadian lainnya... menjadi sebuah tulisan yg sangat apik dan enak tuk dinikmati dan dibayangkan (lezatnya makanan) .... hemmm jadi mau hunting wisata kuliner bogor, kang Bagja hayuk dijadwalkan :)

    BalasHapus
  12. Iya begitu. Gaya penulisan saya memang antik begini. Saya juga bingung, mengapa saya suka tiba-tiba mellow dan kepengin balik ke masa lalu melulu. BTW kalo hunting makanan sama si Aa Bagdja, nitip perut ya? Biar ikutan makan dan kenyang.

    BalasHapus
  13. jadi kangen Indonesia nich....cerita makanan mulu, mana pembukaannya dgn coto makassar lagi....itu makanan khas sulsel.....secara suami org sulsel hehehe...

    BalasHapus
  14. We...he....he.... ngiler nih ye? Afif ngerti nggak? Dia dunk nggak mungkin ngiler.........

    BalasHapus
  15. Iya.......sampe ngeces.....untung tdk ngidam.....
    anak-anak tdk terlalu doyan yg spicy begitu, tapi anehnya rawon sama opor doyan, lidahnya sudah campur baur.......

    BalasHapus
  16. Owey..... sust dulu air liurnya sono! Anak-anak memang paling demen opor karena enggak pedes dan not too spicy.

    BalasHapus
  17. eh ari si ibu.... ngomong2 ampe apal gitu cerita duit jaman baheula, sekarang kalu naro kaca mata suka lupa gak dimana nya?........aku pernah inget ada yang cerita katanya gitu cerita/kejadian baheula masih terekam dengan jelas tapi ari naro kaca mata suka lupa dimananya......

    BalasHapus
  18. Iya bu, kalo soal utang biar sedikit saya nggak bisa lupa (tapi kadang-kadang pura-purra lupa, contohnya sama si babah toko Delicieus itu). Soal kacamata, saya nggak pernah keilangan, lha wong saya nggak bisa hidup tanpa kacamata sejak umur 12 tahun. Mata saya astigmatism berat (kata dr.Suprayitno). Tapi soal pelupa, saya ratunya bu. Lha adakalanya, nyebut nama restoran tempat kita pesan makan siang untuk di kantor aja, mikirnya lamaaaaaa banget. Pas udah kesebut, salah pula. Yang disebut nama restoran di Belgia. Padahal namanya jauh beda. Yang satu Simply Asia, yang disebut China Express. Payah 'kan? Masa lalu inget, masa kini ngilang tanpa jejak. He..... nenek!!

    BalasHapus

Pita Pink