Powered By Blogger

Minggu, 06 April 2008

JALINAN KEKELUARGAAN

Semalam aku tidur sangat nyenyak. Maklum di luar hujan mulai mengguyur, sehingga nikmat rasanya bersembunyi di balik selimut tebal. Dan semalam itu, aku tidak mimpi sama sekali. Betul-betul lena sampai pagi. Sampai saraf di otakku membangunkanku menyuruh sembahyang. Kuteliti jam di HPku. Lima kurang lima menit. Saat yang tepat untuk bangkit, mandi, membersihkan tubuh dan menghadap Tuhan. Ritual pagi yang siapapun pasti melakukannya.

Kasur di sebelahku amat rapi. Tidak segorespun bergeser. Bahkan rambut-rambut halus yang baisa aku punguti kini tak nampak. Kehangatan yang baisa menyentuhku sedang absen. Kesadaranku kini kembali sempurna. Pemiliknya sedang menjemput kerinduan, bermandi keringat nun di keelokan nusantara, di Jakarta sana. Senyum mengembang di sudut bibirku.

Kumasukkan kakiku ke sandal biru muda yang nyaris rapat hanya menyisakan ruang depan untuk memamerkan jari pada matahari. Atau lebih tepatnya pada angin, di musim gugur yang di Cape Town ini nyaris tiada tanda. Tak juga daun-daun kuning yang berjatuhan satu demi satu. Hanya angin dan keringnya bunga-bunga biru semacam lily yang mengitari seluruh perkampungan rumakulah yang jadi pertanda.

Di kamar mandi aku usapkan air yang mengalir jernih di pipa kraan. Sejuknya menyuruh aku untuk bergegas mandi. Lalu segera aku berpakaian siap utnuk membuka ayat-ayat Tuhan sebelum tiba waktunya shalat subuh. Di sini subuh akan berlangsung agak "siang". Kira-kira setengah enam. Pagi yang senyap ini memaku hasratku hanya kepada Sang Empunya. Lalu mulutku yang belum lancar membaca mulai mengeja, menyahuti bunyi cengkerik di luar jendela.

-ad-

Kemarin pagi masuk SMS dari anakku ketika aku menanyakan keadaannya. Maklum sudah sembilan bulan kami terpisah, dan belum sekalipun aku sempat melihat wajahnya. Biasanya kami senantiasa berhubungan lewat suara, Jatinagnor-Cape Town, mengikuti luangnya waktu belajar anakku. "Aku lagi nunggu bapak di pool Cipaganti," katanya di layar HPku. "Dimana, di Jatos atau kamu ke Jakarta, kamu di Cikini?" balasku bertanya. "Ya, aku di Cikini. Bapak OTW," jelasnya pula. Tak lama kemudian SMS itu datang lagi dengan ucapan "Kami sedang berdua-dua, sekarang kami mau makan siang." Terbersit kebahagiaan di situ. "Selamat makan, nikmati kebersamaan kalian yang langka dan cuma datang sejenak," balasku. Terbayang dua sekawan yang sangat kompak, bapak dan anak. yang selama ini senantiasa saling mendukung dan menyayangi. Dari belakang anakku berpenampilan mirip bapaknya. Bahkan gaya dan cara jalannyapun setali tiga uang, sekalipun wajahnya adalah punyaku asli.

-ad-

Kebersamaan mereka betul-betul cuma sejenak. Belum lagi sore di Cape Town, sudah masuk pemberitahuan suamiku bahwa anak kami sudah kembali ke Jatinangor dijemput dan diantar mbak Tetty Kadi, sahabat keluarga kami. Rasanya seperti mimpi, percaya tapi tak percaya. "Kenapa bapak menyuruhnya pulang?" sesalku. "Maaf, malam ini bapak ada acara penutupan Rakor, dan besok pagi diminta stand by untuk suatu urusan pekerjaan,' jelasnya. Hampir saja air mata ini tumpah (lagi) seandainya tidak kusadari bahwa pekerjaan suamiku memang butuh pengorbanan. Beginilah agaknya, suamiku memang pencinta pekerjaan, sebagaimana anakku juga pernah membuat istilah yang sama untuk dirinya "aku ini pencinta sekolahan". Hanya senyum kecut yang sempat kusunggingkan.

-ad-

Surprisse ku tidak habis-habisnya. Selagi aku membayangkan suamiku terpaku di hotel untuk pekerjaannya, tiba-tiba masuk SMS yang tidak kuduga. "Bapak dalam perjalanan ke Bogor. Naik mobil pak Bambang, utamakan nyekar," begitu bunyinya. Pak Bambang supir pribadi kami disini meninggalkan keluarganya di Indonesia. Dan hubungan baik kami menguntungkan suamiku. Keluarga pak Bambang ikhlas mengantarkan suamiku menuju ke Bogor. Indahnya ikatan kekeluargaan yang dijalinkan Allah terasa sekali pada kami. Aku tiba-tiba teringat ke masa silam. Masa dimana orang tuaku masih ada dan juga punya hubungan sangat baik dengan orang-orang yang membantu di rumah kami.

-ad-

Ada para pembantu yang ganti-berganti ikut di rumah orang tuaku. Yang pertama kukenali adalah mbok Rah. Namanya Mudjirah. Umurnya ketika itu kira-kira tiga puluh lima tahun, seorang janda dengan anak gadisnya sebaya mbakyuku Ieneke. Mbok Rah dan Si Sur alias Suryati menempati bagian belakang rumah, di daerah dapur. Mereka berdua inang pengasuh kami yang setia. Konon, sebelum aku lahir mbok Rah sudah ikut bersama kami, dan baru berganti majikan ketika aku duduk di kelas satu SR. Sebagai upahnya, selain mendapat uang bulanan, Si Sur dimasukkan ibuku ke SR Gadis di daerah Panaragan dimana SD Negeri Panaragan yang terkenal itu sekarang berada, yang dipimpin oleh Tante Siregar yang cantik dengan wajah mirip indo. Di tangan mbok Rah aku bertumbuh. Makanan yang masuk ke perutku adalah hasil karyanya. Dia yang pergi ke Pasar Mawar dan mengolahnya menjadi hidangan, serta dia juga yang menyuapkannya ke mulutku yang dari dulu terkenal tidak begitu doyan makan. Tapi, jangan ditanya, soal jajan pasar akulah penggemar paling utama. Biasanya aku berjongkok di muka bibi sayur yang juga membawa dadar gulung diwarnai merah jambu, atau di muka mamang penjual gethuk gula merah. Ada kalanya aku nongkrong menunjuk oli jepret, sejenis gethuk singkong yang sangat khas bertabur gula dan bumbu cabe. Mbok Rah selalu tahu apa mauku, termasuk grontol jagung yang lezat gurih. Pokoknya dia akan selalu mengupayakan apapun yang aku mau. Mbok Rah sangat sayang padaku.

-ad-

Kebersamaanku dengan mbok Rah berakhir ketika suatu hari dia pamitan mau pindah ke Kota Paris, suatu perkampungan di belakang rumahku. Orang-orang terpandang dan terpelajar banyak tinggal di situ, diantaranya keluarga bu Tati, guru Taman Kanak-Kanak di Jl. Merdeka. Di rumah merekalah mbok Rah ingin tinggal. Kami tidak tahu apa daya pikatnya. Yang jelas di suatu siang dia mengungkapkan niatnya sambil membenahi baju-bajunya dan minta permisi. Ibu kami sempat mengingatkan bahwa keputusannya yang mendadak sangat mengejutkan, dan menurut ibuku belum dikaji dengan baik. Tapi entah bisikan siapa yang mengalahkan ibuku. Yang jelas, mbok Rah dan Si Sur terus saja pergi tanpa bisa dicegah lagi.

Tapi besok siangnya, Si Sur tiba-tiba sudah nongol di rumah kami sambil meletakkan tas sekolahnya di ambin dapur. Dia minta minum dan sedikit makanan tanpa malu-malu. Lalu sebagaimana hari-hari sebelumnya, menggabungkan diri bersama kakakku dan gadis-gadis prawan kencur lainnya yang asyik main gatrik di halaman depan. Sesudahnya dia seperti enggan pergi, begitu dan begitu saja, hingga aku dibawanya ke rumah ndara Tedjo, majikan mereka yang baru. Aku tidak tahu apa yang jadi pembicaraan, sebab waktu itu aku sendiri masih terlalu "bocah" untuk mengerti. Yang jelas, beberapa hari kemudian rumah kami kembali seperti semula.

-ad-

"Bu Insinyur, ada orang masuk ke dalam rumah," begitu tiba-tiba lapor pak Atjih tetangga di seberang rumah kami. Sekalipun yang insinyur itu ayahku, tapi ibuku cukup paham juga maksud pak Atjih. Ayahku sedang tidak di rumah, berangkat ke Irian Barat untuk memimpin tim pertanian disana. Waktu itu Papua baru akan masuk ke dalam bagian RI. Di rumah kami hanya ada satu lelaki dewasa, yaitu pak-dhe ku yang kebetulan belum menikah. Ibu bergegas ke belakang mencari pak-dhe yang kedapatan sedang asyik ura-ura di kamarnya. "Kangmas, kae ana wong mlebu ngomah seka mburi," bisik ibuku. Pak dhe sempat terperanjat sejenak, sebelum kemudian dengan berjingkat-jingkat menuju bagian terbelakang rumah yang berupa dapur dan gudang diikuti ibu yang takut-takut. Belum sempat pak-dhe mengintai, kedengaran isak tangis seorang perempuan. Lalu dialog ibu-beranak yang menyayat hati, "aluwung awake dewe nderek nang kene ndhuk. Arepa uga ora kepenak, nanging kowe isih bisa bebas lan sekolah," tercermin betapa wanita dewasa itu sangat mendambakan kebebasan bagi putrinya serta pendidikan yang memadai. Begitu cintanya tercurah dalam nada kepasrahan campur kepahitan.

Pamanku melangkah maju, bersama ibuku. Simbok Mudjirah ada di kamarnya yang dulu, Sedangkan tangannya mengosongkan kembali kopor kayunya, menumpahkan isinya ke atas  dipan beralas tikar dan menaruh isinya di lembari tembok. "Nyuwun pangapunten, ndrara putri, dalem mboten saestu pindhah. Pejah gesang aluwung nderek mriki," sambatnya sambil menjatuhkan diri di kaki ibuku. Dengan arif ibu mengangkat kepalanya, Lalu simbokpun mulai dengan kisahnya yang seru. Simbok bilang majikan barunya sangat galak. Selain itu Suryati tidak diijinkan masuk ke dalam rumah induk semangnya dan tidak pula diperbolehkan bersekolah, terlebih-lebih setelah mengetahui ibuku yang membayarinya. Ibuku turut larut dalam kegetiran sang janda. Keduanya bertangis-tangisan, seperti dua makhluk bersaudara kandung saja layaknya. Malam itupun jadi penanda bahwa antara kami terjalin rasa kekeluargaan.

Tapi nafsu manusia memang besar adanya. Setelah setahun bergabung kembali bersama kami, tiba-tiba mbok Rah kembali mengajukan penguduran diri. Kali ini tidak main-main. Mbok Rah akan jadi warga ibu kota, dengan bekerja pada seorang artis di Jakarta. Manusia sejujur mbok Rah sampai hati mengungkapkan bahwa mak Emul tetangga kami di pinggir Kanaal Cidepit lah yang akan mengantarkannya ke rumah juragan Ivo. Ibuku tidak melarangnya. Kali ini malah mendoakan kebahagiaannya.

Mbok Rah memang bahagia. Ketika Aas anak mak Emul pulang dari rumah majikan mereka itu, di tangannya ada sebuah vulpen Ero bergurat-gurat biru tua serta jepit-jepit rambut plastik model baru. "Kiriman untuk eneng dari mbok Rah," katanya waktu menyampaikan titipan itu padaku. Kami tercengang dan tercenung sendiri. Inikah artinya persaudaraan yang sejati? Tidak mengenal jarak apapun. Tidak kilometer, juga tidak antara "orang gedongan" dan "orang rendahan". Di hadapan Allah semua manusia sama. Tergantung bagaimana kita menjalankan inti ajarannya. Seperti yang hari ini terjadi kembali pada keluargaku, dengan ikhlas keluiarga pak Bambang mengantarkan suamiku cuma-cuma membelah Jakarta yang padat, menembus hujan yang lebat, menuju Bogor kampung halaman kami. Semoga Allah memberkati mereka.


8 komentar:

  1. Enak ya kalo punya hubungan tali silaturahmi yang kayak gini, jadi udah kayak keluarga sendiri.

    BalasHapus
  2. Memang. Sebaiknya kayak begini sih kiat kita menata hubungan, itu ajaran ortuku dulu. Terima kasih komennya.

    BalasHapus
  3. Mbak Julie... tulisannya sejuuuuuuk banget.... serasa bisa menikmati apa yang mbak Julie rasakan. Subhanalloh...

    BalasHapus
  4. Ah, bisa aja mbak Fuzna. Tulisan saya sih biasa (kalo menurut saya). Dangkal nggak bermakna. Cuma berisi pengalaman hidup yang bisa saya ceritakan dan saya rekam buat anak cucu saya. Terima kasih komennya ya mbak. Saya juga suka kok dengan tulisan-tulisan mbak Fuzna yang berisi sari dari berbagai pemikiran para pemikir. Semoga Allah merahmati mbak dengan kesehatan yang baik supaya bisa terus menulis untuk kami. Salam hangat!

    BalasHapus
  5. sekarang mah udah pulang atuh? apa belom juga? kasian si teteh sendiri. tapi ga sepi kan? masih banyak teman...

    BalasHapus
  6. Belum pulang dek, baru pulang lusa. Biasa, pekerjaan di Jakarta masih belum beres. Tapi saya mah nggak kesepian, soalnya MP disini kan nggak pake di banned. Hayu we asik.........

    BalasHapus
  7. Ya. Kebetulan juga semua memory saya sampe yang kelihatannya sepele selalu "nemplek-plek" di ingatan saya. Maklum, saya senang nyimpen barang-barang lama.

    BalasHapus

Pita Pink