Powered By Blogger

Jumat, 11 April 2008

DI BALIK BILIK RINDU (II)

Rindu itu nyaris terhapus, bersama mendaratnya Singapore Airlines 840 di Bandara Internasional Cape Town. Kulihat serombongan penumpang turun dari bis yang membawa mereka ke ruang tunggu dari landas pacu. Tak salah lagi, sekalipun dalam jumlah besar, tapi aku bisa menandai mana bapaknya anak-anakku. Sepucuk rambut di kepalanyapun sudah cukup bagiku untuk menyerukan namanya. Aku menghambur ke pelukannya. Menumpahkan semua kerinduanku di dadanya, menciumi tangan itu yang sudah sangat sering membimbingku. Lalu pipi kami pun beradu. Pagi yang indah nyaris tanpa angin menghangatkan hati kami. Tuhan maha kasih, diantarkanNya kembali imamku ke rumah kami di perantauan ini. Karena seharusnya memang dia ada disini, dimana aku telah mengikutinya dengan suka rela dan penuh cinta.

-ad-

Dia sibuk menyelesaikan semua tugasnya, mengarahkan rombongan pejabat yang tiba dari Jakarta bersamanya. Kemudian dia mulai sibuk mengerahkan anak buahnya dan mengecek apa yang telah mereka persiapkan untuk rombongan tetamu yang banyak itu. Aku melihat kesungguhan padanya. Masih tetap sama seperti dulu ketika dia mengungkapkan cita-citanya menjadi pelayan masyarakat alias abdi negara.

Kopor-kopor itu agak lama baru terkumpul dan dapat kami muat ke dalam mobil besar yang telah kami sewa. Namun kulihat semua dilakukannya dengan teliti. Timbul kebanggaanku terhadap suamiku, yang senantiasa cermat dan tak pernah menyepelekan sesuatu. Betapapun sibuknya dia. Baru sejam kemudian kami dapat duduk berdua, berdampingan tanpa siapapun di dalam kendaraan dinasnya, melaju menuju rumah. "Andrie semakin mantap ditinggal," ujar suamiku membuka percakapan. "Bagaimana perkembangan kemajuan sekolahnya?" tanyaku. "Menjadi lebih baik. Sekaligus komitmennya untuk menjadi dirinya sendiri, semakin kental," urainya lagi sambil menatap wajahku. Di matanya tersimpan rindu yang belum terpuaskan. Balik kutatap wajahnya, "maksud bapak?" tanyaku minta penjelasan. "Rambutnya mencapai dada sekarang, sepanjang rambut mbak Tetty Kadi, tapi itu tidak membawa pengaruh buruk terhadap perilakunya." Jawab suamiku. Mulutku ternganga. Terbayang di mataku, seorang pemuda dengan wajah yang menajadi "cantik" atau bahkan "kelaki-lakian dan kasar".

"Bapak buat potretnya?" tanyaku sangat ingin tahu."Jangan kuatir, semua terekam khusus untuk ibu yang telah melahirkannya." begitu jawab suamiku menyungging senyum seraya menepuk HP di genggaman tangannya. "Aku juga bawa foto Miranda," sambungnya tanpa kutanya menyebut nama bidadari kecil cintaku yang terakhir. "Dia juga berjilbab seperti neneknya, masya Allah tingginya sudah mendekati dadaku," urai suamiku sambil tersenyum. Semuanya membuncahkan rindu semata. Dan kebahagian itu.

-ad-

Menurut mas Dj anak kami tengah melakukan penelitian lagi. Kali ini tentang band favoritenya dari negeri Ratu Elizabeth yang akan dikaitkannya dengan peta politik internasional. Rasanya waktu cepat berlalu. Masih kuingat betapa dulu melewati beberapa musim anakku masih seorang bocah yang tiada berdaya. Karena seringnya berpindah-pindah sekolah dari satu negara ke negara berikutnya dengan bahasa yang berbeda, anakku tidak menguasai hitungan serta pengetahuannya pun terbatas. Mereka berdua -lelaki-lelaki kecilku- pernah tinggal kelas karenanya. Dan itulah penyebab anakku membulatkan tekad untuk tinggal menyelesaikan sekolah di tanah air.

Band itu jadi satu kegemarannya. Di hampir setiap kesempatan dia selalu tampil menyanyikan lagu-lagu mereka, meniru penampilan dan gaya para personalnya. Sangat mirip. Bahkan ketika dia menyelesaikan SMAnya teman-teman sekelasnya bersibuk ria mencarikan band pengiring sekedar ingin melihat anak kami tampil di atas panggung pesta perpisahan sebagai duplikat penyanyi utama band itu untuk kenang-kenangan. Bahkan ketika dia sempat berdua-dua denganku, selalu dia meraih mikropon untuk menyanyikan lagu-lagu yang disukainya itu sambil mengajak aku turut menyanyi bersamanya. "Makna syairnya dalam dan bermutu," katanya ketika kutanyakan mengapa dia begitu tergila-gila. Karenanya di saat-saat kesendirianku dibalut rindu padanya, sering pula kulantunkan lagu-lagu kegemaran anakku. Sebagai makna cintaku padanya.

-ad-

Mobil kami berhenti di drive-way di depan rumah tanpa terasa. Keasyikan mempercakapkan anakku di sela-sela kesibukan suamiku mengecek anak buahnya melaksanakan tugas, mengakibatkan aku tidak sadar bahwa hari sudah lewat pukul sembilan. Kesibukan membongkar-muat bawaan suamiku menjadi acara yang paling menyenangkan. Tak sabar aku ingin melihat potret anak dan cucuku. Tapi suamiku justru mengeluarkan sebuah "Ayat-Ayat Cinta" dari tumpukan buku-buku yang dibelinya di Jakarta. "Ini khusus untuk ibu," katanya mengulurkan buku itu kepadaku. "Ceritanya sangat bagus, bapak sudah nonton rame-rame," katanya menjelaskan. Buku dan film yang bikin heboh di Jakarta itu memang sesungguhnya menarik minatku juga. Tapi aku memang sengaja tidak meesannya sebelum dia berangkat dulu. Aku takut dia tidak mengerti, karena sesungguhnya kami memang dua manusia yang unik. Aku sangat gemar membaca, terutama sastra. Tapi suamiku tidak. Dulu ketika sekolah, sekalipun dia dua tingkat lebih tua daripadaku, tapi semua pekerjaan rumah sastranya akulah yang menolong mengerjakannya. Namun dalam satu hal, kami nyaris sama. Aku dan dia tidak pernah melewatkan waktu dengan menonton film karena menurut kami, menonton bukanlah sesuatu yang mengasyikkan. Pemeran dan tokohnya semata-mata pilihan sieneas. Aku tidak bisa mengreasikan sendiri sesuai daya khayalku. Padahal menurutku, dengan membaca aku bisa menokohkan semuanya menurut seleraku. Si baik kutokohkan dengan wajah sahabatku, sedang si jelek kutokohkan dengan wajah orang yang tidak begitu cocok denganku. Aha! Begitu naifnya. Karena itu, di bilik ingatanku hanya terbentang rangkaian panjang perjalanan mubihah menyusuri toko-toko buku baik di Bogor maupun di seputar kota Bandung. Terutama di Bandung, dimana ketika itu uang saku kami sudah mencapai jumlah yang lumayan untuk membeli buku-buku kesukaan kami. Sahabatku mas Dj biasanya akan memilih buku-buku politik dan sejarah serta gerografi sosial sebagaimana bidang ilmu yang diambilnya. Tapi, aku akan sibuk mencari tidak hanya buku-buku pelajaranku melainkan juga sederet buku-buku sastra yang lumayan berisi. Lalu aku akan menceritakan kembali isinya kepada mas Dj. Di sana, di teras rumah orang tuaku atau di sudut rumah mbah Mochtar, induk semang yang kami tumpangi semasa mahasiswa dulu.
Padahal aku tahu, dia hanya pura-pura tertarik untuk mendengarkannya.

-ad-

Persinggahan kami yang pertama adalah Toko Buku Gramedia di bekas Bioskop Panti Karya, Jalan Merdeka, Bandung. Waktu itu Gramedia merupakan toko baru dengan desain dan gaya penataan toko yang baru. kami bebas melihat-lihat apa saja dengan nyaman, kemudian mengumpulkannya di dalam keranjang-keranjang plastik transparan sebelum diserahkan ke kasir untuk dibayar. Biasanya selalu saja ada yang kami beli. Terlebih-lebih jika kebetulan kami bertemu dengan mas Adnan, iparku yang kedua serta keluarganya. Mbakyuku akan menyuruh aku mengekor di belakang mas Adnan supaya dibayari. Lalu setelah itu kami dibawa makan malam yang tidak bergaya mahasiswa. Sepiring soto sulung yang lezat atau ayam bakar dan sate pasti akan terhidang di muka kami.

Jika kami tidak bertemu dengan keuarga mbakyuku, kami akan melanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri Braga mulai dari ujung hingga ke ujung lagi. Sangat banyak toko di situ, setidak-tidaknya tiga buah diantaranya milik Penerbit Indira dan Toko Buku Mawar. Lalu perjalanan masih akan berlanjut hingga ke ujung Asia Afrika guna melihat-lihat koleksi Toko Buku Sumur Bandung dan Karya Nusantara yang cukup tua diakhiri masuk Toko Palos di belokan Alun-Alun Kota Bandung. Perjalanan kami baru akan berakhir setelah kami berjongkok di muka penjual bahan bacaan bekas di belokan Kantor PLN Kota Bandung untuk menjemput National Geography terbitan lama atau Majalah Psikologi Anda dan Ayah-Bunda untukku. Tak terkatakan puasnya hati kami, sampai kami lupa bahwa memesan makanan di salah satu kedai pinggir PLN butuh waktu. Sebab, di akhir pekan sangat banyak orang menghabiskan waktu di sana. Perut yang menjerit minta diisi itulah yang kemudian mengistirahatkan kami sebelum pulang naik kendaraan tua yang sangat unik. Body-nya terbuat dari kayu, nyaris tanpa model. Setirnya terletak miring di sisi kanan, sehingga posisi supir yang mengemudikannya ikut-ikutan miring. "Palih dieu.... palih dieu..... palih dieu......" begitu seru sopirnya mencari penumpang yang searah dengan kami menuju Gang Tilil di dekat tempat tinggal kami tak jauh dari kampus di Dipati Ukur. Opelet itu jadi satu kenangan yang membangkitkan rindu kami pula.

-ad-

"Ibu melamun?" tanya suamiku menyentakkan aku. "Ah, nggak," jawabku sekenanya. "Aku hanya ingat betapa bapak dulu selalu mengutamakan uang saku kita untuk membeli buku sebanyak ini," kataku sambil menggambarkan tebalnya tumpukan buku yang kami pindahkan ke kamar sewaan kami sebulan sekali. "Ya, buku kan banyak manfaatnya. Ni, satu lagi khusus untukmu," kata suamiku sambil menyodorkan sebuah lagi. Karya Cipta Gesang. "Halah bapak, saking cintanya pada penyanyi keroncong, dua kali aku dihadiahi buku ini," kataku sambil menerima dan meneliti isi buku itu. Buku tebal bersampul coklat yang sama persis dengan oleh-olehnya di Singapura dulu waktu dia pulang tugas ke Indonesia. "Oh ya,?" serunya seperti tak mengira. "Ya Allah, waktu cepat berlalu ya, kita sekarang sudah jadi tua rupanya, dan maaf, bapakpun seperti aku mulai sering-sering lupa," jawabku. "Ya sudah, simpan saja lagi. Dua kali aku mengenangmu kalau begitu" katanya sambil masuk ke kamar hendak mulai membongkar kopor pakaian dan mandi bersiap-siap ke kantor. Aku tersenyum sendiri.

-ad-

Gesang, lagu keroncong dan kami berdua adalah suatu kesatuan. Selagi anak-anak muda meninggalkan keroncong, kami justru menjadi penikmat utama. Sekalipun mas Dj tidak pandai main musik, tapi dia sangat menikmati suaraku melantunkan keroncong walaupun hanya sekelas penyanyi kamar mandi setelah bapakku melarangku masuk dapur RRI Bogor. Dan "Keroncong Berjumpa Diri" adalah favoriteku selain keroncong-keroncong klasik lainnya. Bahkan di pesta pernikahan kami, aku dan mas Dj senaja memutar "Stambul Baju Biru" yang saat itu lagu baru di bawah label Toto Salmon. Begitulah kami, manusia yang unik dan nyaris tiada duanya.

"Biarkan aku menghadiahimu dua buku pak Gesang," kata suamiku sambil memasuk-masukkan pakaian bersih ke lemarinya, sementara aku mengumpulkan yang kotor. "Itu pertanda, aku selalu ingat engkau dan cintaku yang pertama sekali dua kali dan masih berkali-kali lagi," lanjutnya sambil menutup kopornya yang telah kosong. "Dengan sepenuh kerinduankah?" pancingku. "Ya dong, karena asmaraku hanya membara di dadamu," jawabnya sambil mencubit pipiku lalu menghilang ke dalam kamar mandi.

Di sana, di bilik mandi kami, ada rindu yang minta dipuaskan. Mungkin nanti malam, setelah semua sepi dan dunia ini hanya jadi milik kami berdua saja lagi. Lalu kututup layar kamar tidur kami berdua.

30 komentar:

  1. Uhu... ikut seneng bu Julie ;-)

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah... sudah berkumpul kembali...
    ngiring bingah tehhhh...

    BalasHapus
  3. wah .. sama denga si suamiku budhe .. senengnya lagu keroncong apalagi lagunya gesang ...
    dulu pertama kali kita bersatu, tape recordernya jadi rebutan ... suara yang ada pun jadi serabutan ... sebentar lagu gigi atau dewa ... sebentar kemudian ... bengawan solo yang kedengeran ... riweuh ... kata tetangga yang denger ...

    BalasHapus
  4. Bu, oplet kayak apa ya?? saya ampe ga inget dulu sempet ada oplet di Bandung... gg Tilil mah deket rumah saya yang di Sukaluyu atuh hehehe

    BalasHapus
  5. Selamat berkumpul kembali ya bu .... duh senangnya ...

    BalasHapus
  6. Lha itu tandany wong Jowo asli. Toss ayo mas!

    BalasHapus
  7. Rindu lukisan mata suratan....... Eh bukan ya, wong ini kan bukan jaman baheula.

    BalasHapus
  8. Kayak opelet Dago yang ke Stasion Hall. Gang Tilil itu deket Caladi (pabrik kaus C-59), berarti ananda jamannya opelet melaju di jalan raya belum lahir atuh ya, secara saya mah tos nini-nini....... Punten atuh, kapayunan.

    BalasHapus
  9. Sama 'kan? Tapi sekarang lagi sibuk nemenin delegasi IPU yang lumayan besar jumlahnya. Jadi, ya masing-masing aja lagi kecuali malam hari. Selamat kangenan dan kelonan jeng. Awas jangan lupa anak-anak juga kangen lho.

    BalasHapus
  10. pagi juga, udah senam pagi nih? Ayo sekarang ngopi bareng ibu. Ada lumpia istimewa lho.

    BalasHapus
  11. selamat pagi juga Ibu...

    aku mau dong lumpia istimewa-nya.

    BalasHapus
  12. "Itu pertanda, aku selalu ingat engkau dan cintaku yang pertama sekali dua kali dan masih berkali-kali lagi," lanjutnya sambil menutup kopornya yang telah kosong. "Dengan sepenuh kerinduankah?" pancingku. "Ya dong, karena asmaraku hanya membara di dadamu," jawabnya sambil mencubit pipiku lalu menghilang ke dalam kamar mandi.

    Romantis sekali....

    BalasHapus
  13. kalau anak saya bisa baca mungkin akan bilang, "deeeuh, beduan lagi niiih ... lupa sama seby" ... :)
    Selamat berkumpul kembali 'nte ... salam buat om

    BalasHapus
  14. Ih, jadi malu. Nenek ketauan genitnya.........

    BalasHapus
  15. Yaaaaaa...... asyik! Jangan diintipin ya kang? Terima kasih ucapannya dan salam untuk oom Dj nanti disampein.

    BalasHapus
  16. Alhamdulillah ......ikut senang mbak Juliie sudah kumpul kembali......

    BalasHapus
  17. waaaaaaahh... ngapain tuh mbak??!!!!!!!! hihihihihihihihih...

    BalasHapus
  18. Terima kasih ya bu Lelly. Salam buat anak-anak.

    BalasHapus
  19. Iya, pinter!! Ayo tepuk tangan buat Mama!!

    BalasHapus
  20. uhuy.....senangnya.....selamat berkangen-kangenan di bilik rindu ya ibuku sayang....salam hormat juga buat bapak, senangnya...senangnya......

    BalasHapus
  21. Ya, terima kasih. Tapi belum sempat kangen-kangenan wong pekerjaan suamiku langsung numpuk lagi. Eh ya, ada salam dari bu Rina. Beliau nginep di rumahku. Tapi kami belum sempat ngobrol lagi karena beliau pergi pagi pulan jam satu malem.

    BalasHapus
  22. salam kembali untuk bu Rina ya bu, salam kangen dan rindu selalu.....terimakasih....

    BalasHapus
  23. gak berhenti-henti rasa kagum dengan tulisannya bu julie, yang menerawang jauh, mengingat-ngingat masa lalu. emang betul2 berbakat.

    BalasHapus
  24. YAh, memang saya seneng melamun. Jadi bakatnya selain bakatul ya bakat melamun itu.

    BalasHapus

Pita Pink