Powered By Blogger

Rabu, 16 April 2008

DIORAMA DRAMA

Lembayung jingga menusuk mata. Aku baru setengah perjalanan menuju pusat kota tempat janjianku dengan suami. Malam ini rencananya kami akan mengundang tamu kehormatan kami bersantap malam di sebuah restoran di pinggir laut di pusat kota. Suatu kejadian yang sangat jarang kami lakukan. Biasanya kami mengundang tetamu penting di rumah dinas suamiku, atau setidak-tidaknya di restoran di pinggiran kota yang sepi. Tapi berhubung tamu kami kali ini adalah orang penting yang cukup istimewa, kami kesulitan untuk mengadakan jamuan di rumah maupun di restoran yang lengang. Semua kembali terpulang kepada keterbatasan waktu luang tetamu kami.

-ad-

Jam enam lima belas petang. Sebentar lagi hampir setengah tujuh. Aku pasti sudah akan sampai di hotel dimana suamiku menunggu tetamu kami yang menginap disitu.Dadaku berdegupan tak menentu. Seperti baru sekali ini saja layaknya aku bertemu dengan orang-orang penting. Padahal, tetamu yang satu ini sudah sekian kalinya menjadi tamu kami baik di Singapura dulu maupun sekarang. Orangnya cukup santai dan gayanya sangat casual. Kami biasa bicara bebas dengan mulut yang menganga lebar-lebar menderaikan tawa di sela-sela pembicaraan yang ringan. Tapi tak urung sore ini jantungku berpacu jua.

Mobil di depan kami melaju teratur, tanpa tarikan gas dan injakan rem. Memang di sore hari begini, biasanya kendaraan akan melaju berlawanan arah denganku. Jadi, seharusnya hatiku tenang. Kuhela nafasku dengan tarikan yang berat. Lalu kuhempaskan begitu saja mengisi ruang-ruang kosong di mobil dinas suamiku yang hanya diisi aku dan supir kami saja. Kami saling terdiam sebab memang tak ada yang harus dan patut untuk dibicarakan. Tubuhku terasa letih, selelah pikiranku setelah tiga hari keluar rumah terus-menerus.

-ad-

Sudah jadi bagian dari tugas kami untuk keluar menemani tetamu-tetamu dinas yang berkunjung ke tempat tugas kami. Jika para istri, maka tugas kaum ibulah untuk mengantarkan berkeliling kota maupun medampingi dalam setiap kegiatan mereka disini. Semuanya biasa kami lakukan dengan senang hati dan rela, karena justru dengan tugas semacam ini kami bisa ikut jadi bagian orang-orang penting dan karenanya tahu banyak tentang kehidupan orang-orang penting. Begitupun kali ini. Aku tetap senang melaksanakan tugasku. Namun entah apa sebabnya badanku seperti menolak diajak jalan. Karena itu hari ini aku memutuskan untuk berbaring-baring saja di rumah sambil menanti saatnya suamiku memanggil untuk menemuinya.

-ad-

Berjalan bersama mereka sangat senang rasanya. Gelak tawa dan ramainya dunia mewarnai detik-detik kebersamaan kami. Juga kemarin dulu dan kemarin. Namun entah bagaimana aku seperti pohon layu kurang siraman, Rasanya tak bergairah. Dan itu menjadi pemicu suamiku mengguyurkan tegurannya padaku. "Kamu jangan melepas mereka sendirian dong, jadilah nyonya rumah yang baik," tegurnya ketika rombongan tetamu kami pergi bersama-sama pemandu wisata dari suatu biro perjalanan. Padahal saat itu aku bukan mau lepas tangan. Aku merasa tidak perlu lagi mengikuti mereka ketika sudah kami daftarkan untuk ikut rombongan wisata. Rencananya aku akan minta tolong temanku menjemput mereka di objek wisata yang terakhir untuk kemudian menemani tetamu makan malam. Badanku terasa lesu luar biasa. Penyakit lamaku seperti kambuh. Menginfokan bahwa aku butuh "bertapa" barang sehari. Aku menjelaskan duduk soal dan rencana kami hari itu sebagai jawaban atas teguran suamiku. Kemudian hari itu berlalu tanpa nikmatnya madu. Aku sebagai pesakitan yang terhukum oleh sikap dan kesalahanku yang sepele.

-ad-

Mobil berhenti di tengah keramaian di entrance hotel. Tak ada tanda-tanda teman-temanku duduk disana siap melanjutkan tugas mendampingi tamu untuk makan malam. Kuhampiri supir suamiku yang sedang duduk di tengah-tengah simpang-siur dan lalu-lalangnya peserta konferensi dari dan ke convention centre di seberang hotel. Waktu kutanyakan kemana rombongan temanku dengan tetamu, dia cuma menggeleng menyatakan tidak tahu. Maka kumasuki kedai kopi di sudut dalam hotel sambil menyapukan pandangan mencari mereka. Tidak seorangpun disana. Lalu aku menelpon temanku menanyakan keberadaan mereka. Ternyata mereka masih ada di suatu tempat dan belum mau pulang. Walaupun katanya tetamu kehormatan kami sudah tahu bahwa akan ada jamuan makan malam untuk beliau menemani suaminya. Kebetulan nampak olehku sosok suamiku. Dengan setengah hati aku mohon diri karena aku menganggap tetamuku tidak mau ikut makan malam. Suamiku mengangguk mendengar penjelasanku, lalu mengantarku masuk kembali ke mobil siap pulang. Belum sempat mobil melaju, suamiku melambaikan tangan menyuruh aku menunggu sebentar. Di tangannya ada SMS masuk yang menyatakan ibu-ibu tetamu barangkali kelak akan menyusul. Tapi aku sudah tidak bergairah. Letih sekali rasanya, terlebih-lebih mendapat penjelasan yang serba tidak jelas. Kututup kembali jendela mobilku dan membiarkan supir kami membelah malam yang mulai merayap turun dari punggung Table Mountain.

-ad-

Selepas sembahyang maghrib di tengah-tengah aku menyuap nasi di piringku, SMS temanku masuk mengabarkan bahwa mereka akhirnya melaju ke restoran. Cukup kujawab dengan "selamat makan, saya sudah di rumah kembali." Tak ada jawaban apa-apa. Sampai kemudian selepas isya masuk SMS berikutnya yang menanyakan keberadaanku dari teman satunya. Aku kembali harus mengulang penjelasan panjang lebar. Kembali kutarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan pula kencang-kencang. Duh. Rasanya sumpek sekali duniaku malam ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti di saat suamiku pulang ke rumah. Mungkin, permainan cinta kami yang belum sempat membara, akan kembali menjadi dingin membeku. Aku melenguh tipis menyepertikan diriku bagai seekor kerbau dungu.

-ad-

Dentangan jam membuyarkan semuanya, mengingatkan aku bahwa malam sudah pukul sepuluh. Kelelahan itu semakin kental. Kuputuskan untuk menutup hari ini dengan ritual sikat gigi, mencuci muka lalu berdoa dan naik ke atas pembaringan. Di sana di atas kasurku terbayang rombongan ibu-ibu ceria itu. Dengan gelaknya yang khas mereka sedang menikmati hidup. Menjauh dari segala rasa yang kental melekat di sekitar mereka. Melepas kepenatan dan kepedihan yang melilit tanpa diminta. Mataku mengatup rapat. Memendam semua rasa yang hadir di relung-relung jiwaku. Untung aku tiada bersama mereka. Hanya menjadi penonton di balik kaca.

16 komentar:

  1. jadi ikut terharu nte' ... tubuh kita memang tdk bisa dibohongi apalagi dimanipulasi, kalau saatnya istirahat ... biar masih kuat ya harus break dulu.

    BalasHapus
  2. met istirahat ya..Bunda.
    tubuh kita perlu istirahat, dan hanya kita yg tahu bagaimana melayani-nya.

    BalasHapus
  3. selamat beristirahat bunda ...
    mudah-mudahan setelah istirahat capenya hilang ... pegel-pegelnya luntur ...
    bangun tidur semangat lagi ...

    BalasHapus
  4. Oh gitu? Hapuslah air mata anda, adinda. Yuk kita istirahat sekarang..... Nuhun.

    BalasHapus
  5. Nuhun ya teteh Renny. Kayaknya belum bisa istirahat beneran deh, masih butuh sehari lagi bersama tetamu. Tapi gpp, nikmati aja lagi. Kesempatan langka 'kan?

    BalasHapus
  6. Matur nuwun nak Siti. BTW pegel-pegel iku apa sejenis karo wenter cap gunting sing dienggo nang bahan klambi terus gampang luntur? Mungkin........... (mh...., mikir dulu........)

    BalasHapus
  7. itu bukannya wantex budhe .??? aku malah ngga tau wenter, hmmmmm .... (ikut mikir)

    BalasHapus
  8. Mbak Julie, aku menangkap 'hal lain' di postingan ini. something serious.

    BalasHapus
  9. maksudku, it involves more than just your exhausted body..

    BalasHapus
  10. met istirahat bu Julie, ikutilah "alarm" alami dari badan kita sendiri, biar lebih ceria dan semangat menyambut esok hari, kalo kenapa2 kan tar malah rugi ndiri ibuku sayang......met bobok ya ibuku sayang, sun sayang dari brussel...selalu untukmu....luv ;-)

    BalasHapus
  11. Lhaa itu sama, aliasnya wenter adalah wantex. Pinter, pinter tenan cah ayu siji iki.

    BalasHapus
  12. Apanya dong? Eh kok kayak lagu........ terus gimana ya? Apa sih nyang serius pada diriku? Kalo memang ada, kasih tau dong apanya tuh?

    BalasHapus
  13. Terima kasih, tapi belum bisa bobok, masih jam tiga sore lagi ngerjain serabi telur sama es campur buat dinner nanti malem. Lain-lainnya sih ada yang masak, tinggal dessertnya aja saya kerjain sendiri. Salam balik dari bu Rina, besok pagi do'i pulang. Sekarang lagi tour ke Cape Point lihat titik terselatan benua Afrika.

    BalasHapus
  14. Iya saya kirain lagi bobok siang bu, enake rek serabi hangat ama es campur pula...hmmm.....jadi pengen, titip salam dan selamat jalan kembali ke tanah air kagem Bu Rina ya bu, met dinner tar malam, kali ini dinner di wisma aja kan bu....?

    BalasHapus
  15. aduh bu ngebayanginnya jadi ikut cape dan sedih juga ya, oh ya bu tulisannya bisa di besarkan sedikit gak? kurang besar bu... bacanya kudu merayap.

    BalasHapus
  16. Terima kaih simpatinya ya bu Wati. Tulisan saya memang sengaja dibikin segede kutu, soalnya, nu boga blog resep ngabaceo jadi mun galede wuih, pasti puanjang.............

    BalasHapus

Pita Pink