Sabtu, 01 Juni 2013
SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (64)
Hati saya berbunga-bunga. Kata kemoterapi sekarang sudah menjadi hal yang sangat manis untuk saya. Tak pernah saya bisa bersabar menanti tibanya saat dikemoterapi ~lagi~ untuk melanjutkan pengobatan penyakit kanker payudara saya. Soal rasa serta efek sampingannya saya tak pernah takut. Bahkan sejak semula ketika saya baru akan dikemoterapi. Sebab saya sudah mempelajari lebih dulu apa dan bagaimana kemoterapi itu berikut tujuannya. Pada diri saya yang menjalani neo adjuvant therapy adalah untuk memperkecil terlebih dulu tumor saya agar dokter mudah mengambil hingga ke akar-akarnya ketika mengoperasi nanti.
Dari rencana 3 atau 4 kali kemoterapi yang dirancang dokter onkologi saya, tercapai kata sepakat untuk menjalani opsi kedua, 4 kali. Soalnya sehabis kemoterapi ketiga, payudara saya mengecil tapi kelenjar ketiak saya masih bengkak besar. Jadi, 4 kali kemoterapi diharapkan bisa mengatasi masalah penyakit saya.
Untuk masing-masing kemoterapi dibutuhkan jeda waktu 3 minggu. Namun, saya terpaksa menunda waktu kemoterapi saya yakni ketika baru akan dimulai, yang sebetulnya tidak membawa dampak apapun, serta kemoterapi berikutnya serta ketiga. Hal ini disebabkan oleh ketidak tersediaan obat-obat kemoterapi saya yang diperoleh melalui bantuan dana Jaminan Kesehatan Daerah serta keterbatasan tempat di RS selagi pasien yang memerlukan boleh dikata cukup banyak. Sebab selain melayani pasien-pasien di RS ini sendiri, juga menerima pasien titipan dari RS-RS lain yang tak mempunyai fasilitas ruang kemoterapi. Padahal terus terang saja, untuk pasien yang didanai oleh PT Askes apalagi yang membayar secara pribadi, pasien di RS kami dianjurkan untuk menjalani kemoterapi di RS Kanker Dharmais yang punya fasilitas tentu saja lebih baik. Konon di RSKD itu pasien terpantau secara cermat dan rutin oleh dokter, serta diawasi oleh satu team khusus yang sangat berpengalaman. Alhamdulillah, secara tak terduga hari ini saya menerima panggilan untuk menjalani kemoterapi saya tepat waktu, besok pagi sesuai perintah dokter di dalam "protokol kemoterapi".
Untungnya kemarin saya sudah sempat menyelesaikan persyaratan utama pasien kemoterapi, yakni memeriksakan darah di laboratorium, menjalani elektro kardiografi (EKG) dan pemeriksaan kesehatan di dokter ahli penyakit dalam yang berwenang untuk meluluskan kondisi pasien yang akan dikemoterapi. Untuk saya, urusan-urusan ini cukup memakan waktu. Pertama, karena saya pasien yang menggunakan Jamkesda maka saya harus meminta surat rujukan terlebih dulu ke Puskesmas desa saya, yang kemudian disyahkan oleh Camat guna dibawa ke Dinas Kesehatan Kota sebagai lembaga yang mengeluarkan dana perawatan kesehatan bagi masyarakat tidak mampu. Surat rujukan ini harus dibuat dua buah, dengan cara dua kali datang di hari-hari yang berbeda. Hari pertama digunakan untuk pemeriksaan laboratorium, EKG dan dokter penyakit dalam, sedangkan hari berikutnya untuk pelaksanaan kemoterapi. Persyaratan pemerintah mengharuskan pasien atau keluarganya datang dua kali ke Puskesmas guna mendapat surat rujukan itu. Tak boleh dua surat dikeluarkan di hari yang sama, entah apa tujuannya, meski untuk kepentingan yang itu-itu juga yang saling berkaitan.
Sebetulnya ketika melaksanakan rangkaian pemeriksaan persiapan kemoterapi kemarin anak saya sudah nekad meminta dua surat rujukan sekaligus, namun tak dapat dikabulkan. Dokter di Puskesmas desa mengatakan untuk pelaksanaan kemoterapi harus datang lagi keesokan harinya. Begitu pun kata Zuster Maria, Perawat Kepala di RS. Ujarnya, andaikata ternyata saya tidak mendapat tempat pada harinya, biarkan saja surat rujukan pelaksanaan kemoterapi itu tak terpakai. Nanti pada harinya saya bisa mengurus kembali. Tapi seandainya ternyata nasib saya mujur, lalu saya dipanggil untuk dikemoterapi maka surat rujukan itu sudah ada di tangan kami sehingga saya tak menyatakan diri belum siap.
***
Ada yang mencemaskan saya ketika menerima lembar hasil pemeriksaan darah kemarin. Sel darah putih saya kedapatan hanya separuh dari hitungan normalnya. Berhubung saya orang awam, maka saya khawatir proses kemoterapi saya akan terpengaruh olehnya. Jadi belum apa-apa saya sudah melaporkan kondisi saya ini kepada sinshe melalui SMS. Dengan tenang dia menanggapi bahwa kondisi ini bisa diperbaiki dengan mengonsumsi makanan-makanan kaya protein yang berupa hasil laut dan telur. Tentu saja saya percaya kepadanya karena berdasarkan pengalaman saya apa yang dianjurkannya selalu benar-benar berkhasiat. Tetapi alangkah bahagianya saya ketika dokter ahli penyakit dalam mengatakan keadaan ini normal bagi pasien kanker yang dikemoterapi. Bahkan saya merupakan keistimewaan, sebab umumnya pasien akan mengalami bermacam-macam gangguan pada darahnya. Seperti yang saya saksikan di ruang kemoterapi dulu, ada pasien yang terpaksa disuntik dulu untuk menormalkan kondisi darahnya. Bahkan ada yang batal dikemoterapi karena kedapatan sel darah merahnya amat rendah sehingga perlu pemulihan.
Malam ini saya bisa tidur nyenyak, begitu harapan saya. Sebab tak ada yang perlu dikhawatirkan. Toch tekanan darah saya yang cenderung tinggi, kemarin berada di batas normal, bahkan lebih baik dibandingkan ukuran-ukuran sebelumnya sebab saya sekarang sudah rutin mengonsumsi obat penyakit tekanan darah tinggi yang dosisnya dua kali lipat dosis yang diminum kakak saya sebagai pencegahan atas permintaan dokternya. Marilah kita lihat, akan kah besok pagi saya terbangun pada pukul setengah empat seperti biasanya? Saya belum bisa menjawabnya. Harus saya sudahi saja dulu jurnal ini hingga di sini, dan pasti saya sambung besok jika saya tak langsung tertidur kelelahan sepulangnya dari RS.
***
Semalam saya salah duga. Pagi ini saya terbangun seperti biasanya, pukul empat kurang seperempat tetapi dalam keadaan terganggu semalaman oleh deru sepeda motor serta teriakan anak-anak jalanan yang memang nyaris setiap malam berlaga secara tidak resmi di dekat rumah saya. Sejak tengah malam saya sudah terganggu. Bayangan di otak saya pun membentuk suasana keriuhan geng motor yang akhir-akhir ini ditayangkan di televisi secara mengerikan. Apalagi saat mereka membuka gas mesin mereka sambil cekakakan lantang. Apa jadinya andaikata sepeda motor mereka nyasar masuk ke halaman rumah saya? Wah tak terbayangkan deh.
Dengan ringan saya melangkah ke kamar mandi, menuntaskan kebutuhan saya, lalu mencuci muka. Masih terlalu pagi untuk menunaikan sembahyang subuh. Sehingga akhirnya saya memutuskan untuk duduk sebentar di ruang belajar keluarga kami. Banyak bahan bacaan yang bisa saya manfaatkan. Namun saya lebih memilih untuk mengisi buku harian saya. Saya yakin hari ini akan berlangsung baik.
Ketika kemudian adzan terdengar sahut-menyahut dari masjid-masjid di sekitar rumah kami saya pun segera melambungkan sembah bakti kepadaNya. Setelahnya saya dapati panorama pagi yang berseri. Matahari mengintai dari balik pepohonan di lahan seberang rumah kami membawa cerita bahwa hari akan cerah. Meski angin sejuk bermain-main membelai kulit saya, tapi saya merasakan kehangatan yang merasuk ke dalam sana. Dengan semangat saya bersiap-siap berangkat ke RS. Ada beberapa buah pohon tua di tepian jalan yang selalu memikat hati saya ketika akan masuk ke area RS. Sosoknya yang berurat-berakar banyak saling menopang juntai-menjuntai menjejak tanah selalu membuat saya berpikir bahwa jika hidup kita ditopang oleh sekian banyak akar berupa persoalan baik yang pelik maupun yang menyenangkan, maka kita akan menjadi manusia yang kokoh. Sebab kita bisa merasa betapa bahagianya ketika kita sedang terpuruk karena ada masa-masa bahagia yang bisa kita kenang untuk menghibur diri. Begitu pun di kala kita mengalami masa-masa bahagia itu, kita senantiasa mawas diri agar tak terlalu terpesona sebab sesekali ternyata kita pernah mengalami kepahitan hidup.
Dan genap pukul tujuh pagi kami melangkah ke luar rumah. Sesuai harapan anak saya jam sekian angkutan kota relatif kosong sehingga mudah didapat sebab anak-anak sekolah sudah keluar rumah semua. Jalanan pun tidak macet, sehingga kami tiba kurang dari setengah jam kemudian di RS yang sudah dipadati para pegawainya bersenam pagi. Kegiatan mingguan itu memakan tempat di halaman muka RS sehingga sesekali saya berhenti sejenak untuk mengamatinya. Kebetulan di situ ada serumpun pohon nenas hias berwarna merah yang cantik. Saya gemar memandangi keindahan keduanya.
Ternyata seperti biasanya saya merupakan pasien paling patuh yaitu orang pertama yang mendaftarkan diri untuk dikemoterapi. Sehingga saya bisa masuk paling dulu ke ruangan kemoterapi untuk berebut tempat yang jumlahnya amat sedikit itu. Di suatu sudut ada lokasi favorite saya, dengan pemandangan ke selasar ruang tunggu keluarga di luar kamar serta tak langsung berada di area mesin penyejuk ruangan. Meskipun bentuknya kursi malas belaka, tapi tentu membawa kesan bahwa saya tidak sedang sakit di RS seperti tempat ketiga yang berupa ranjang rumah sakit.
Perawat menjawab salam saya sambil merapikan ruangan. Ah, saya agak kepagian. Padahal menurut perintah Perawat Kepala pasien diharapkan tiba di RS pada pukul tujuh pagi. Meski mereka belum siap, tapi saya segera saja menuju lokasi yang saya incar itu dengan meletakkan barang bawaan saya berupa dokumen kesehatan di sana. Kemudian saya minta formulir lembar persetujuan tindakan kemoterapi untuk saya isi, agar bisa segera makan pagi di kantin RS di luar ruang kemoterapi.
Mereka melayani saya dengan sangat baik, ramah-tamah termasuk para pemilik kedai di kantin yang sepertinya sudah hafal akan sosok saya anak-beranak. Tanpa banyak tanya mereka membuatkan pesanan kami, selagi saya cuma minta air jeruk panas yang akan saya makan dengan membeli pisang goreng. Cukup kenyang rasanya perut saya diisi dua iris roti Perancis dan pisang goreng tadi. Roti Perancis itu tentu saja saya bawa dari toko roti tua langganan keluarga saya di dekat rumah peninggalan ayah saya.
Ketika saya kembali ke ruang kemoterapi suasana masih tetap sepi. Tapi kemudian berdatangan tiga pasien lainnya. Yang terakhir berjarak sangat lama dari dua lainnya, setengah sepuluh lebih, artinya nyaris terlambat tiga jam dari pesan Perawat Kepala dia datang. Pasien ini merupakan pasien dokter onkologi lainnya yang bertugas tetap sebagai PNS di RSUD di pinggiran kota. Sayang di sana tak ada fasilitas kemoterapi, sehingga meski RS tempat saya berobat jauh jaraknya mereka tetap diharuskan dikemoterapi di tempat kami.
Ada keributan kecil dengan keluarga pasien ini. Sebab dia tak membawa surat pengantar kemoterapi dari dokternya. Dan ketika perawat menelepon dokter yang bersangkutan, beliau mengatakan seharusnya surat itu ada di tangan keluarga pasien yang terus bersikukuh tidak pernah mendapatkannya. Entah di mana kekeliruannya. Namun akhirnya perawat kasihan juga, lalu mengabulkan permohonan kemoterapinya setelah datang Perawat Kepala yang menegur dengan santun semua kekeliruan yang dibuat pasien. Ajaibnya, dengan tenang pasien ini menjawab bahwa dia sudah berusaha berangkat pagi hari, yang ternyata diakui pukul setengah delapan pagi, lewat dari batas ketentuan yang diminta RS. Sehingga perawat bersikap keras dengan menjelaskan bahwa di waktu akhir pekan, dia seharusnya berangkat selepas subuh mengingat kemacetan akan terjadi di mana-mana, supaya bisa tiba setengah delapan paling lambat. Lalu dicontohkannya diri saya seraya diperkenalkannya dia kepada saya. Dalam penilaian perawat, saya selalu tepat waktu dan tak merepotkan pihak RS maupun keluarga saya. Tentu saja itu selalu saya laksanakan karena saya ingin semua prosedur lancar dan cepat pulang ke rumah. Sang perawat membenarkan saya dengan menekankan bahwa karena pekerjaan dokter jaga pengawas ruangan sangat banyak, sebaiknya kemoterapi dimulai pagi hari. Untuk itulah pasien diminta datang pukul tujuh pagi yang akan ditolerir hingga sekitar pukul delapan. Kelihatannya pasien tadi tak bisa menjawab apa-apa lagi, selain meminta maaf atas kelalaiannya. Rasanya sakit di tumor saya menjadi-jadi terbawa emosi menghadapi masalah yang tak terduga namun mau tak mau kedengaran juga di telinga saya. Ini terus berlangsung dengan ketegangan yang mengakibatkan meski hasil pemeriksaan dokter jaga dan dokter bedah saya baik semua, tetapi nadi saya sulit teraba akibat perasaan saya tegang. Berkali-kali jarum infus yang tak bisa dikatakan kecil itu keluar-masuk menusuki tangan saya tanpa hasil bahkan menimbulkan nyeri yang membuat saya menjerit di luar kebiasaan. Untung saja perawat jaga amat penuh kasih, dengan sabar saya dibimbingnya untuk istighfar, seraya menarik nafas panjang sehingga pada tusukan keempat semua sukses dilalui walau hasilnya menjadi seperti ini :
***
Saya kemudian menenangkan diri dengan membaca surat kabar. Selain itu mengobrol ringan dengan orang-orang di sekitar saya. Aneh sekali sih, rasanya kala itu saya sama sekali tidak ingin bolak-balik ke kamar kecil untuk buang air kecil seperti biasanya. Yang terjadi saya malah akhirnya tertidur barang sejenak seraya melenyapkan nyeri di tangan saya akibat tusukan di empat titik berbeda itu. Yang saya ingat, tusukan ke empat lokasinya di nadi yang letaknya miring, yang selama ini amat tidak saya cintai disebabkan kesulitannya yang tinggi sewaktu akan dimasuki jarum infus. Di situ kali ini dua kali saya ditusuk mengakibatkan bengkak pada akhirnya.
Tapi lagi-lagi datang hiburan berupa kunjungan yang membawa keberuntungan dari Allah. Sebab tanpa diduga-duga, tiba-tiba tetangga saya, istri dokter senior di RS ini datang menjenguk sekalian menjenguk adik iparnya yang ternyata merupakan pasien di ruang VIP, satu-satunya pasien yang membayar sendiri. Saya dengar sebelumnya dari dialog perawat dengan dokter bahwa pasien itu akan dikemoterapi dengan obat Herceptin yang dulu direncanakan saya pakai juga namun tak terbayar sebab harganya 52 juta rupiah sekali kemoterapi. Tetangga saya ini seorang dokter gigi salehah, menyapa saya dengan hangat. Di letakkannya pula sekotak kue dengan isi yang legit menggoda selera, meski nafsu makan saya tak sebaik ketika masih sehat dulu. Tak jadi masalah sih, sebab anak-anak saya bersedia menyantapnya. Jadi ya tak sia-sia bahkan alhamdulillah.
Setelah itu tengah saya terkantuk-kantuk, tiba-tiba saudara saya datang diiringkan putranya dan menantu beliau yang merupakan salah satu perawat saya di situ. "Mas..........," seru saya tak percaya. Saya kocok-kocok pelupuk mata saya untuk memastikan bahwa saya tidak sedang bermimpi. Ah ternyata memang benar, mas Ranto menjenguk saya membawa segudang cerita masa lalunya yang membuat saya terbahak-bahak terhibur. Sungguh lucu memang jika mengenangkan polah tingkah saya sebagai gadis balita yang culun.
Waktu sudah lama berlalu. Kini saudara saya bahkan sudah lama mengganti profesinya dari pensiunan PNS menjadi ketua para petani di suatu daerah yang cukup terkenal di Kabupaten Bogor. Lahan bentukan pemerintahan Orde Baru itu hingga kini dipimpinnya sehingga tetap menghasilkan bagi kepentingan orang banyak. Tak sia-sia kiranya beliau menimba ilmu pertanian dulu sehingga membawanya dari Jawa Tengah ke rumah orang tua saya guna mempelajari bahan penelitian skripsinya yang dinyatakan lulus dengan amat memuaskan. Sayang buku-buku tua ayah saya kini tak ada lagi yang berminat memanfaatkannya. Era pertanian sudah berlalu tergantikan oleh era teknik baik bangunan maupun mesin seperti apa yang dipelajari para kemenakan saya, disamping ekonomi dan bisnis.
Tak hanya beliau, seperti biasa kerabat mantan suami saya datang juga. Dia bilang ingin menjemput saya meski toch naik angkutan kota juga. Pokoknya dia ingin mendampingi saya sampai ke rumah sambil meyakinkan diri bahwa saya dalam keadaan baik-baik saja selepas dikemoterapi. Betapa beruntungnya saya, bukan? Dari Tuhan masih terulur sejuta kebaikan untuk saya anak-beranak termasuk kemoterapi saya yang alhamdulillah kali ini ternyata lebih cepat selesai jika dibandingkan dengan hari-hari yang lalu. Saya bisa kembali ke rumah sebelum awan menenggelamkan matahari ke dalam garis yang memisahkan malam dari petang. Senang rasanya hati saya.
(Bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ini asik mbak, bangun pagi bete sama geng motor, eh kemo ditengokin sodara dan tetangga..
BalasHapusitu "topi" mbakjulie yang hitam kaya kupluk ya? dikasih kembang?
Asyik banget, nggak nyangka aja ada tamu istimewa untuk saya.
HapusIya, tutup kepala saya pemberian keponakan. Dulu banget dia beli entah di mana, dia sendiri udah lupa. Dulunya nggak pernah saya pake, lha buat apa, wong saya punya rambut? Eh ternyata sekarang ada manfaatnya hahahahaha..........