Senin, 03 Juni 2013
SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (65)
Lihatlah gambar tempat tidur cantik yang saya temukan di internet itu. Rasanya tentu nyaman dipakai beristirahat. Terutama untuk tubuh saya yang kali ini terasa amat lunglai sehabis menjalani kemoterapi ke-empat kemarin dulu. Betul, hari ini tak terduga sekali, saya tak punya daya apa-apa bahkan sekedar untuk melaksanakan sembahyang dan duduk makan di ruang makan bersama seluruh anggota keluarga. Sekujur tubuh saya seakan-akan dilolosi dari tulang-tulangnya, juga nafas saya dikurangi isinya sehingga hanya untuk naik ke kamar di lantai atas pun saya perlu mengambil nafas dalam-dalam. Satu hal yang tak pernah terjadi pada kemoterapi-kemoterapi sebelumnya, saya merasa lemas dan terengah-engah.
Anak-anak saya tentu saja khawatir menyaksikan keadaan saya. Oleh sebab itu mereka setia mendampingi dan melayani saya. Saya diperlakukan mirip Sri Ratu hanya tanpa mahkota sebab nama saya memang bukan itu. Saya hanya orang biasa yang diistimewakan baik oleh sakit pemberian Tuhan ini maupun oleh kebaikan banyak orang yang tiba-tiba meluncur tercurah kepada saya.
Saya teringat pertemuan dan percakapan saya dengan seorang penjaga toko beberapa minggu yang lalu. Waktu itu dia tak menyangka bahwa saya penderita kanker payudara yang sedang dikemoterapi. Sebab katanya, ibundanya yang sudah berpulang karena kanker payudara juga, selalu tak bisa bangkit dari pembaringannya setiap habis dikemoterapi. Semula saya tak menyangka saya akan sepertinya, sebab saya selalu tekun menjalani terapi ganda saya baik secara medis empiris di RS maupun kepada sinshe dengan herbal dan totok syarafnya. Tapi kini tak dinyana, saya pun kebagian mencicipi kelemahan itu. Meski toch sudah diprediksi juga oleh sinshe saya. Menurutnya, cepat atau lambat saya akan mengalaminya dalam derajat yang ringan sebab sesungguhnya obat-obatan kemoterapi itu menyerang sel-sel sehat serta pertahanan tubuh manusia.
***
Dalam keadaan menganggur lalu berbaring-baring seperti ini saya cuma bisa mengambil buku dan melepaskan jemu. Di tangan saya terbentang buku lama, novel karangan seorang dokter yang bertukar rupa menjadi penulis hebat di masanya. "Setangkai Edelweiss" karya Marga T, saya ulang baca untuk kedua kalinya setelah sekian puluh tahun tersimpan rapi bersama buku-buku lainnya.
Sesuai dengan profesi aslinya, novel Marga selalu bersinggungan dengan dunia kesehatan. Tidak terkecuali yang ini. Di salah satu halamannya, diceritakan bahwa penyakit kanker terbukti akan cepat sekali meruyak menjadi ganas dan menyebar jika penderitanya mempunyai sifat yang terlalu perasa. "Sifat yang terlalu sensitif, seperti juga sifat marah atau perasaan terancam, merupakan aksi yang dijawab oleh tubuh dengan reaksi anak ginjal," demikian tulis Marga menceritakan seekor anak tikus yang dijadikan percobaan di dalam laboratorium penelitian kedokteran. Di situ dikisahkan tikus itu mati lebih cepat dibandingkan ibu dan saudaranya yang sama-sama ditulari virus kanker oleh sang peneliti karena baik ibu maupun saudaranya termasuk berpembawaan "easy going", tahan bantingan dan cuek.
Seraya membaca saya mencoba menelisik ke dalam diri saya sendiri. Kalau menurut teori sinshe dan dokter, kanker memang cenderung bersifat diturunkan (genetis/herediter). Kenyataannya di keluarga almarhum ipar saya yang meninggal karena kanker kandung kemih, beberapa saudara kandungnya juga dihabisi kanker yang beragam. Sedangkan di keluarga saya sendiri, baik saya maupun dua saudara saya serta seorang kemenakan sama-sama penderita tumor payudara hanya dari jenis yang berbeda dengan tingkat keganasan yang juga berbeda. Ketiga saudara saya penderita tumor jinak semua, sebagaimana kista yang dulu selalu muncul setiap tahun di indung telur saya.
Akhir-akhir ini saya agak merasa khawatir pada kakak sulung saya. Beliau merupakan salah seorang di antara yang tiga, yang mengalami tumor payudara ketika masih gadis dahulu. Di usianya yang ketujuh puluh satu tahun sekarang, tiba-tiba beliau khawatir diserang kanker payudara setelah merasakan nyeri yang hilang-timbul di payudara yang sudah pernah dioperasi itu. Beliau lalu menanyakan kepada saya, bagaimana rasa dan gejala yang saya alami sebelum dokter menemukan adanya kanker payudara pada diri saya.
Saya mengalami benjolan tanpa rasa sakit terlebih dulu. Setelah lama dan berkembang besar, timbul rasa nyeri bagaikan dicubit-cubit yang juga disertai gatal di dalam sana. Lama-lama tak hanya serasa dicubit, payudara yang sakit terasa membengkak serta dihunjam pisau. Jujur saya terangkan itu kepada kakak saya, sehingga beliau kemudian memanfaatkan fasilitas Askes sebagai pensiunan PNS untuk memeriksakan diri ke dokter di Puskesmas terlebih dulu. Namun dokter di situ menganggap tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Jadi kakak saya dibekali obat penghilang rasa sakit yang setelah beberapa hari dimakan terbukti mengurangi sakitnya. Sejalan dengan itu dokter melarang kakak saya untuk meraba-raba benjolannya sehingga saya sendiri pun tak mau merabanya untuk memastikan apakah itu serupa dengan gejala yang saya alami di masa-masa penyakit saya belum berkembang. Dan satu hal lagi, dokter di Puskesmas melarang kakak saya dibiopsi, sebab seperti kata sinshe saya, sel-sel kanker atau tumor yang liar akan bertumbuh jadi ganas jika dilukai baik dengan dipegang, digaruk apalagi dengan ditusuk seperti pada proses biopsi. Untuk diketahui, pasien menjalani biopsi memang dengan cara ditusuk dengan semacam jarum suntik besar guna mengambil sedikit contoh jaringan tumor guna diperiksa di laboratorium pathologi. Untuk itu tindakannya cuma dilakukan di kamar praktek dokter bedah saja, tak perlu di ruang operasi.
Tindakan yang sangat sederhana dan tak menyakitkan ~menurut perasaan saya yang membandingkan dengan nyerinya kanker~ ini ternyata malah membuat kakak saya gelisah. Oleh sebab itu saya menghendaki agar kakak saya memeriksakan diri ke onkologis saya supaya memperoleh kepastian apakah benar beliau menderita tumor yang kambuh kembali, bahkan mungkin kanker seperti yang dikhawatirkannya. Sebab beliau sendiri sebetulnya tahu bahwa kanker bersifat genetis karena kakak saya pernah mengajar di sekolah peternakan.
Jadi hari Sabtu kemarin dulu ketika saya menjalani kemoterapi saya mendaftarkan kakak saya ke klinik. Sayang hari itu dokter saya sedang mengoperasi pasien di tempat tugas utamanya sebagai PNS di Jakarta, sehingga beliau tak bisa berpraktek. Tapi tanggung jawab utamanya tetap dilaksanakan, yakni para pasiennya yang dikemoterapi diserahkan di bawah pengawasan dokter bedah umum senior seperti biasanya. Akibatnya kakak saya belum sempat diperiksa di klinik dokter onkologi saya. Kami berencana akan mengonsultasikannya secepatnya begitu dokter bisa hadir di Bogor. Sementara menunggu, kakak saya mencoba menghabiskan sisa obat penahan rasa sakit yang diperolehnya dari dokter di Puskesmas sehingga saya merasa gelisah karena kakak saya termasuk orang yang mudah panik. Tak tahulah saya apakah sebagai akibatnya kini saya merasa lunglai tak berdaya?
Terkait dengan kalimat-kalimat mengejutkan pada novel yang saya baca tadi, saya kemudian menyimpulkan sendiri bahwa sebetulnya sifat saya terlalu perasa. Beberapa orang yang mengenal saya dengan baik mengatakan saya sering sensitif dan terlalu lembut. Boleh jadi ini mengakibatkan "biji kacang hijau" yang berpuluh tahun lalu bersarang di payudara saya dan dinyatakan dokter sebagai penyumbatan kelenjar susu akibat tidak dipakai menyusui bayi dengan baik kemudian berkembang menjadi kanker. Tumor yang tumbuh cepat dan masif seiring dengan banyaknya guncangan hidup saya yang meski sudah saya coba hambat dengan berpasrah kepada Allah sesuai dengan nama agama saya, Islam yang artinya memasrahkan diri ternyata masih terus saja ingin berkembang.
Akan halnya kakak saya, beliau juga dinilai perasa. Tetapi dalam bentuk yang berbeda. Beliau mudah panik jika menghadapi, mengetahui atau mendengar ada di antara sanak keluarga kami yang bermasalah. Ketika istri kemenakan kami lebih dulu menderita kanker payudara dibandingkan saya ~yang kini pun masih diperangi sebab telah menyebar hingga ke tulang dan paru-parunya~ kakak saya menjadi sedih. Timbul kekhawatiran yang mendalam. Ditambah kemudian dengan kasus saya yang tak kalah mengejutkan, terutama ketika tumor saya tak terawat dengan baik sehingga pecah. Kalau begitu, benarkah apa yang dikatakan dokter Marga di dalam novelnya? Saya bisa memercayainya. Saya pandangi terus halaman demi halaman dalam buku itu. Rasanya saya terlalu mencintai novelis yang dokter itu. Dia menularkan pelajaran yang berharga untuk saya. Terlalu berharga malah.
(Bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tante Julieeeee ...
BalasHapusWhuaaa, sebelumnya maaf kalau comment Vina ini nggak nyambung sama sekali dengan isi postingan ya, Tan. Tapi sumpe, tadi Vina lumayan seneng (plus sedikit kaget) karena menemukan jejak Tante di bawah postingan Vina yang [DIY] Tempat Bando itu. hihi ... seneeeeeeng banget bisa reunian lagi dimari deh, Tan.
Hahahaha........... hallo!!! Masa' baru engeuh sih, kan kayaknya tante follower Random Snippet dari semula, soalnya tante nggak ke WP dan nggak juga mau punya FB :-D
HapusTerima kasih kunjungannya ya jeng, semoga keluarga jeng Vin selalu bahagia lahir batin di rantau orang.
*pelukan*
aku juga mau bunda rebah disana, sepertinya nyaman sekali ya...
BalasHapussemoga bunda tetap semangat ya *peluk penuh kasih* :)
Nah, kayaknya nyaman ya buat kita tidurin, apalagi kalau lagi hot flushes nya datang habis kemo gini. :-) Yuk kita istirahat barengan. Semoga senantiasa sehat ya mbak, terbukti 'kan sakit kayak kita ini capeknya lahir batin nggak hanya diri sendiri yang capek tapi seluruh anggota keluarga ikutan capek?
Hapus*peluk cinta selamanya*
kebayang betapa perasaan harry dan andri menyaksikan ibunya menderita. doa kami juga buat ceu julie...
BalasHapusEnggak beda jauh dari perasaan teteh dan kang Tian waktu Apih masih ada, kayaknya gitu deh. Tapi alhamdulillah mereka sudah terbiasa sekarang, jadi kebal :-)
Hapusih suka deh setangkai edelweisnya marga t.. udah tamat lagi mbak?
BalasHapusiya sih penyakit itu apa yang kita pikirin ya..
*selalu berfikir sehat..
Belum. Bacanya kalo lagi kepengin aja, kebanyakan sekarang kepenginnya merem deh, jelek banget bawaan habis kemo kali ini. Kata dr. Marga sih gitu, jangan banyak pikiran, jangan sensitif supaya sehat selalu. Coba ya sayang..........
Hapustempat tidur kaya gitu bukannya serem mbak? ada sarang diatas.. :D
BalasHapusBuat saya malah enggak, sebab saya bayangin ada burung pada bercericit di atas badan saya kayak hiburan gitu. Terus kamarnya dikasih lampu dinding pake lampu yang kebiru-biruan gitu, wah serasa lagi tidur-tiduran di tikar di taman kayaknya :-D
HapusSaya suka banget novel yang itu, Bund. Kayaknya udah baca lebih dari 5 kali dan nggak pernah bosan.
BalasHapusCepet sehat ya, Bund...
Peluk sayang selalu
Memang bagus sih. Semua karya dokter Marga menarik untuk dibaca dan diulang baca :-) Pokoknya dia jempolan lah menurut saya sih.
HapusPeluk sayang lagi buat cikpie. Ko Handsome daftar ke SMA mana? Sukses selalu pastinya.
Ke Kalam Kudus lagi, Bund.
HapusTadinya mau coba daftar ke SMA Negeri, tapi dipikir-pikir ulang, mending cari sekolah yang paling deket ke rumah deh. Kasian kalo kejauhan dia cape di jalan jadinya. Bandung tea macet selalu...
Oh ya syukur biar dia nggak ketua'an di jalan pula hahahaha.........
Hapus