Senin, 10 Juni 2013
SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (69)
Biru bukanlah warna kegemaran saya. Tapi tak bisa tidak, setiap hati saya merasa gundah, sedih atau semacam itu selalu saja kata "biru" mampir di benak saya. Seakan-akan merajai suasana hati saya, membawa saya kepada rasa pedih yang begitu dalam.
Biru juga yang membuat saya merasa menemukan ketenangan setelah saya membayangkan kelembutan warnanya. Karena untuk saya di dalam kejernihan warna biru ada keteduhan yang menawarkan penghiburan untuk saya guna mengusir segala nestapa.
Biru adalah nuansa hati saya sejak semalam, ketika saya mendengar tentang kerabat saya sesama penderita kanker payudara yang sudah bertahun-tahun hingga menyebar ke tulang belakang dan paru-parunya berada dalam keadaan kritis sejak kemarin dulu. Padahal pengobatan yang dilaluinya sudah cukup beragam baik secara alternatif maupun secara medis empiris. Tak terbilang jumlah kemoterapi yang diterimanya, hingga operasi dan sederet tindakan medis lainnya guna memerangi kanker itu. Hartanya seperti yang sudah bisa diduga, bahkan lebih patut dikasihani dibandingkan harta keluarga saya, sudah habis semua. Rumahnya dipindahtangankan dengan paksa ketika keluarganya harus menyediakan sejumlah besar dana lagi untuk ke rumah sakit. Sampai akhirnya atas belas kasihan keluarga dia menetap kembali di rumah warisan mendiang orang tuanya dengan segala keterbatasan yang ada. Pahit sekali mengenangkannya. Sepahit ketika tak sengaja saya menggigit sayur pare yang seumur-umur tak pernah saya sukai, juga daun pepaya yang pernah jadi jamu favorit ibu mertua saya untuk menambah stamina dan nafsu makan keluarganya.
***
Ini adalah kali kesekian saya mendengar keluhan keluarga penderita kanker payudara yang benar-benar sudah kehabisan dana dan daya. Tak bisa tidak, sebagai pengguna SKTM saya dan anak-anak jadi tergerak untuk menganjurkan keluarga itu meminta bantuan pengobatan dari pemerintah. Apalagi mengingat sang kepala keluarga yang berwiraswasta kecil-kecilan di rumahnya kini praktis tak lagi bisa menunggui dagangannya. Ditambah melihat anak mereka yang masih kecil semua. Seorang di antaranya konon bahkan tak lagi terurus sehingga selayaknya memerlukan uluran tangan negara. Sebab keluarga besar mereka sendiri semuanya hidup dalam serba keterbatasan sehingga tak bisa mengulurkan bantuan.
Kabar yang membirukan hati saya menyebutkan, pasien berusia 46 tahun itu kini hanya tergolek lemah dengan pandang mata kosong di tempat tidurnya. Bahkan mulutnya tak lagi bisa mengaduh menjeritkan sakit yang diwakili oleh deraian air mata berlinangan. Mata bulat yang bolanya pernah memukau saya itu kini redup sayu, demikian cerita seseorang yang menengoknya. Pasien itu tak lagi mengenali siapa-siapa, termasuk sanak saudaranya sendiri.
Tak pelak hati saya teriris. Rasanya lebih pedih daripada rasa sakit yang saya tanggung sendiri. Seharian kemarin saya terpaksa mengurung diri di rumah dan kembali melempar "tantrum" ke mana-mana. Termasuk kepada anggota keluarga saya yang tak punya salah apa pun kepada saya.
Demi mendapati keadaan saya, anak bungsu saya segera berinisiatif untuk menelepon kerabat si sakit yang paling dekat dengan keluarga itu, dari siapa saya mendengar kabarnya. Anak saya mengajari untuk membujuk sang kepala keluarga meminta SKTM seperti yang saya peroleh agar si pasien bisa segera dilarikan ke rumah sakit. Sedihnya saya justru mendengar bahwa si pasien memang benar-benar sudah bagai tulang berbalut kulit, dengan bobot tubuh tak lebih dari tiga puluh kilogram saja untuk posturnya yang tinggi. Bayangan saya segera tertancap di Kamp Konsentrasi Mauthausen, Austria, yang kami kunjungi dulu sekali untuk mempelajari sejarah kekejaman Hitler dengan Nazinya. Di sana dipamerkan foto-foto para penghuni kamp yang persis seperti tengkorak, tulang berbalut kulit. Ah, ngeri sekali rasanya, membuat mata saya basah gelap oleh lelehan kepedihan dari mata batin saya.
Kata anak saya membujuk, mengurus SKTM pada mulanya memang terasa melelahkan. Namun setelah memanfaatkan hasilnya, kini yang ada hanya rasa bahagia. Tak ada lagi penyesalan, gerutuan dan semacamnya akibat proses pengurusan SKTM yang panjang itu mulai dari tingkat pengurus RT hingga ke Dinas Kesehatan Kota. Lelah yang terasa, katanya hilang begitu saja. Terharu saya mendengar ungkapan hati anak saya di telepon di dekat saya semalam. Dia menekankan bahwa dia tak merasa sia-sia telah melakukan serangkaian kegiatan yang menyita waktu kuliah dan belajarnya itu demi memperoleh bantuan pemerintah yang insya Allah bisa memperpanjang umur saya.
***
SKTM memang untuk warga tidak mampu. Keluarga kandung si sakit selama ini tak pernah tahu kenyataan yang sesungguhnya pada keluarga mereka. Walau setiap hari mereka bergantian datang menengok bahkan turut merawatnya, tetapi mereka tidak mengerti bahwa suami si sakit sudah kehabisan dana untuk melanjutkan pengobatan di RS. Itulah sebabnya kini pasien dibiarkan terbujur di rumah peninggalan orang tuanya dengan pengobatan seadanya. Jadi, ketika saya mengusulkan untuk minta bantuan kepada pemerintah, kata kerabatnya yang lagi-lagi bersedia saya hubungi, keluarga kandung si sakit berkeberatan. Salah seorang di antaranya memang pensiunan pegawai administrasi di RSUD. Jadi dia melarang permintaan SKTM dengan alasan keluarga si sakit tidak pantas memperolehnya, dan karenanya tak berhak mendapatkan SKTM.
Terhenyak saya ketika mendengar itu. Tidakkah mereka melihat sendiri kondisi rumah tangga keluarganya yang katanya setiap hari mereka jenguk berjam-jam itu? Apakah suaminya harus dipaksa memasukkan istrinya ke RS dengan berhutang sana-sini? Seketika mata saya buram. Beningnya bola mata saya tertimbun air yang tiba-tiba minta saya tangiskan. Benar kata sebagian besar kerabat saya bahwa saya adalah orang yang mudah tersentuh, halus perasaannya. Saya coba untuk menahannya keluar agar tak terlihat anak saya yang asyik di muka layar PC nya di dekat saya. Bibir yang lama tak saya polesi pewarna saya gigit sendiri sebab saya berharap tangis itu berhenti di sini.
Duh, nasib jadi orang kecil yang sakit kanker, di mana-mana selalu menjeritkan derita bagi seluruh keluarganya. Itu serangkai kata yang muncul di pikiran saya. Bagaimana tidak menderita jika sudah kehabisan dana tapi penyakitnya justru semakin menjadi-jadi? Bagaimana tidak sedih kalau dinilai tidak mau membawa pasien ke RS ketika si sakit jelas-jelas memang membutuhkan penanganan medis yang serius tapi tak punya uang? Ini cobaan berat yang tak bisa diselesaikan hanya dengan memohon Pertolongan Tuhan dengan kesabaran dan ketawakalan. Sebab ada masalah duniawi di belakangnya, yakni hilangnya respek keluarga sedarah sedaging si sakit terhadap keluarga inti si pasien, yaitu suami/istri nya. Mereka mengira si sakit ditelantarkan, sedangkan suami/istri si sakit malu untuk mengungkapkan situasi sesungguhnya yang sudah habis-habisan itu.
Akhirnya saya menghubungi lagi kerabat saya itu untuk memaksanya pergi mengurus SKTM secara diam-diam. Alhamdulillah dia mengerti tujuan baik saya, sehingga hari ini dia sedang dalam proses pengurusan SKTM tanpa sepengetahuan saudara sedarah sedaging si sakit. Ah, peduli amat dengan gengsi keluarga, yang penting si sakit terdanai untuk mendapat perawatan di RS. Itu yang jadi tekad saya. Dalam kesusahan berpacu melawan maut begini, apa gunanya gengsi dilekatkan pada pribadi kita bukan?! Ini buktinya, saya sendiri tanpa merasa gengsi, tak merasa jadi rendahan, sudah tertolong oleh dana Pemerintah sehingga aman sentosa menjalani pengobatan saya :-)
(Bersambung)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
saya suka warna biru bunda... kalau sdg bete mengingatkan kepada warna langit dan laut yang cerah :)
BalasHapushari begini gak ada gunanya ngomong gengsi ya bun. mana yang lebih penting bisa berobat atau makan gengsi. orang boleh ngomong apa aja gengsi menghancurkan ekonomi keluarga. orang yg tadinya ingin sekali membantu jadi mundur,
mudah2an kerabat bunda ini bisa memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh pemeritah ini.
salam
/kayka
Pasiennya keburu meninggal kak, hiks-hiks!!!
Hapusturut berduka cita bunda.
BalasHapussemoga diampuni segala dosa2 almarhumah dan diterima segala amal baiknya. amin yra.
salam
/kayka
Terima kasih banyak kak..........
Hapussemoga lancar ya urusan sktm-nya sodara mbakjulie.. info itu penting..
BalasHapusMereka nggak butuh lagi, dia sudah berpulang. :-(
BalasHapus