Sepokok pohon palma dengan daunnya yang menjulur seperti ditata indah menyapa mata saya ketika kaki melangkah ke dalam halaman rumah sakit. Sesungguhnya memang banyak deretan palma di situ. Selama ini saya melewatinya begitu saja, hingga tak sengaja tadi pagi tiba-tiba saya menyadari keberadaannya. Agaknya hati saya sedang senang, sebab ini adalah kontrol pasca kemoterapi saya yang dijadwalkan kemoterapi terakhir yang artinya akan segera berlanjut dengan operasi. Betul, saya amat mengingini operasi itu karena saya tak tahan lagi dengan tumor saya yang luka menyakitkan ini. Walau pengertian operasi itu adalah menyakiti daging tubuh saya tapi sakitnya tentu menuju kesembuhan selamanya. Apalagi kalau kelak saya jadi menerima kemoterapi lagi selama setahun penuh. Saya berharap nyawa saya kembali diperpanjang Sang Maha Memiliki supaya saya bisa mendampingi kedua anak saya hingga mereka memiliki keluarga masing-masing. Dan tentunya juga supaya teman-teman karib saya yang kebaikannya tidak tertandingi kepada saya itu bisa merasakan buah keberhasilan dari upaya mereka merawat dan menyayangi saya. Semogalah, amin.
Udara pagi cuma terisi hangatnya sinar matahari yang menjulur dari langit sehingga saya tak bisa membayangkan daun-daun palma itu bagaikan tangan penari serimpi di kraton-kraton Jawa. Tapi meski begitu saya justru senang karenanya, sebab anomali cuaca tahun ini yang katanya akan selalu mendatangkan hujan sepanjang masa tak terbukti. Sejak sakit begini entah mengapa jika bepergian saya jadi selalu takut tersergap hujan lebat. Tapi barangkali wajar saja sebab tubuh saya memiliki daya tahan yang lemah akhir-akhir ini. Itu jugalah sebabnya hari ini saya nekad ke RS meski saya sudah tahu dari tangan dokter onkologi sendiri bahwa beliau tak bisa berpraktek sebab punya agenda sebagai pembicara di salah satu seminar di ibu kota. Tak mengapa, saya akan mengunjungi penggantinya, dokter bedah umum senior itu sebab ini memang harinya pemeriksaan pasca kemoterapi. Dengan begitu hari Rabu mendatang saya sudah punya laporan yang akurat tentang perkembangan penyakit saya ketika dokter onkologi memeriksa, supaya penatalaksanaan pengobatan penyakit saya bisa segera diatur dengan cermat.
Seperti biasanya halaman RS pada pukul tujuh kurang sedikit sudah dipenuhi para pegawainya yang melaksanakan senam pagi. Saya pikir dokter bedah umum itu seperti biasanya ada juga di sana membaur bersama para perawat dan tenaga administrasi. Besar sekali hati saya hendak menjemput upaya penyembuhan. Senyum tersungging di bibir saya, langkah pun ringan menuju ke lobby RS membaur bersama puluhan pasien yang sudah datang lebih dulu.
Petugas pendaftaran menyatakan dokter onkologi saya berpraktek sore itu, meski sudah saya bantah. Tapi dia pun mengizinkan saya mendaftar ke klinik bedah umum untuk dokter senior yang saya maksud. Tak ada keterangan apa pun darinya sehingga saya merasa beruntung mendapat nomor kecil di daftar tunggu pasien. Lalu setelah menyelesaikan administrasi pendaftaran seperti biasanya saya serahkan lengan saya kepada petugas laboratorium yang dimintai jasa memeriksa kadar dalam darah saya. Di situ pun kali ini saya beruntung. Saya merupakan pasien pertama. Pintu klinik baru dibuka, pegawainya belum lengkap datang. Teknisi laboratorium yang akan bertugas nampak masih merapikan peralatan serta ruangan. Saya dipersilahkan menunggu sejenak, benar-benar cuma sejenak sebab tak ada pasien lain.
Lalu petugas lelaki yang masih muda, bukan petugas yang biasanya berdinas dan sudah sangat mengenali saya mempersilahkan saya masuk. Saya sodorkan lengan kanan saya dengan catatan supaya dia berhati-hati karena minggu lalu vena saya habis ditusuki di sana-sini sehingga saya khawatir keadaannya belum pulih. "Di sini saja ya, mudah-mudahan bisa terlihat," ujar saya seraya menyodorkan lipatan siku kanan saya. Lelaki itu mengangguk, meraih lengan saya dan memperhatikan dengan seksama sebelum masuk ke dalam mempersiapkan jarum yang pas untuk saya. "Iya bu, kelihatan, tapi tipis sekali ya?" Jawabnya membenarkan seraya memasangkan turnike (tourniquette) ke lengan saya. "Bismillah, sakit sedikit ya bu, tarik nafas yang dalam," pesannya yang saya kerjakan dengan segera. Alhamdulillah, ajaib sekali, darah mengucur segera dengan mudahnya memenuhi tabung suntikan yang dimainkan teknisi laboratorium itu. "Terima kasih pak," sambut saya bersamaan dengan ditutupnya bekas tusukan jarum itu menggunakan kapas dan secarik kain plester. Saya senang sekali atas semua kejadian pagi ini.
Di ruang tunggu laboratorium nampak mulai ada pasien lagi. Seorang lelaki paruh baya yang diantarkan anak lelakinya. Entah di mana istrinya berada. Saya membayangkan jika saya masih bersama ayah anak-anak saya, tentu tak akan saya biarkan dia pergi dengan anak-anak. Saya pasti akan mendampinginya, sebab pengalaman saya selama ini mengatakan bahwa kaum lelaki cenderung lebih cengeng di dalam menghadapi sakitnya dibandingkan kaum perempuan. Fakta yang aneh dan tak terbantahkan ini berawal dari kejadian sariawan di gusi yang diklaim seorang lelaki jantan dewasa sebagai akibat dari tersenggol mata bor sewaktu dokter gigi merawat giginya di siang itu. Baik dokter gigi maupun saya sampai tergelak-gelak seraya menggeleng-gelengkan kepala waktu melihat fakta yang sesungguhnya. Lelaki memang makhluk yang perlu genggaman tangan seorang perempuan yang disebut ibu ketika dirinya dalam keadaan sakit. Sakit apa pun itu namanya.
Berdua dengan si bungsu saya meninggalkan laboratorium guna memberi kesempatan petugas mengerjakan pemeriksaannya. Melalui pintu bagian belakang gedung kami mengarah ke kantin. Seperti biasanya kami manfaatkan waktu untuk sarapan. Di sana ada kedai favorit kami, milik pendatang dari Wonogiri. Tanpa banyak tanya dia mempersilahkan kami dan menyiapkan makanan kesukaan kami masing-masing hingga sepiring nasi goreng tandas masuk ke perut anak saya, selagi ketoprak di piring saya masih saja bersisa. Entah mengapa, akhir-akhir ini saya semakin malas makan meski masih bisa masuk dengan dipaksa-paksakan. Pemilik warung nasi itu menanyai saya, bagaimana kondisi saya hari itu seraya menanyakan anak saya Andrie yang kali ini tinggal di rumah karena terserang influensa akibat anomali cuaca itu tadi. Saya menjawab apa adanya. Dibalas perempuan itu dengan doa semoga semuanya segera membaik diiringi ucapan terima kasih saya. Agaknya orang-orang di sekitar rumah sakit mulai mengenali saya sekeluarga, batin saya seraya tersenyum.
Di selasar klinik anak-anak saya bertemu dengan Zuster Maria, Perawat Kepala yang selalu memuji keadaan saya secara berlebihan. Saya tahu itu didasari pengalamannya merawat almarhum suaminya yang diserang kanker hati sesaat. Persis seperti riwayat meninggalnya ibu mertua saya dulu. Hanya berbilang minggu mereka kembali ke tangan Sang Pemilik Nyawa.
Diberitahukannya bahwa hari itu dokter bedah umum yang saya tuju sedang mengikuti seminar juga, sehingga prakteknya digantikan dokter lain. "Bu Maria, kenapa saya nggak dikabari?" Keluh saya kecewa. Dijawabnya bahwa pemberitahuan dari dokter itu kepadanya pun serba mendadak, baru saja, sehingga dia tak sempat mengabari saya. Disarankannya untuk ke dokter hari Rabu saja, di mana dokter onkologi saya pun berpraktek. Kalau begitu tak ada yang perlu disalahkan, sehingga saya mengucapkan terima kasih dan melambai menyatakan salam perpisahan. Saya putuskan untuk segera pulang sebab kebetulan tubuh saya pun sudah minta istirahat lagi.
Baru melangkah di halaman depan saya sudah dihentikan oleh Zuster Een, perawat yang sering melayani kemoterapi saya. Dengan senyum di wajah bulatnya dia menanyai saya hendak ke mana. Saya katakan saya mau pulang sebab dokter onkologi saya tidak berpraktek, begitu juga dengan dokter bedah umum. Tapi dia tak begitu saja percaya pada pernyataan saya. Katanya sih dokter onkologi saya membuka praktek dan sudah terdaftar tujuh orang pasien hari itu. Barangkali memang tidak akan banyak, jadi katanya saya boleh menjadi pasien kedelapan kalau saya mau. Diakuinya dokter ini memang sangat sibuk. Lalu dia meminta nomor kontak saya sebab dia berjanji akan menghubungi saya secepatnya begitu dokter datang. Walau tidak percaya pada perkataannya, tak urung saya berikan juga nomor saya sehingga dia segera mengontak saya untuk memberikan nomornya yang memang belum saya miliki. Tak ubahnya kerbau dicucuk hidung, anak saya percaya saja pada perkataan bu Een meski saya tertawa di dalam hati. Tak pernah dokter saya berdusta pada saya. Di dalam SMS terakhirnya dia minta maaf baru bisa memeriksa saya hari Rabu nanti, sehingga dia tak keberatan hari Sabtu ini saya memeriksakan diri ke dokter pengganti yang ditunjuknya itu.
Baru saja sampai di luar pagar RS seorang pasien tersenyum menyapa saya begitu dia turun dari angkutan kota yang datang dari arah Kecamatan Parung di Kabupaten. "Ibu mau ke mana?" Itu yang jadi pertanyaannya. "Sudah dikemo belum?" Sambungnya seraya menceritakan bahwa dirinya akhirnya dikemoterapi hari Rabu yang lalu.
Saya jawab bahwa saya mau pulang, karena kemoterapi saya sudah di hari Sabtu seminggu yang lalu tetapi dokter tidak berpraktek hari ini jadi saya tidak bisa diperiksanya. Juga saya tambahkan bahwa dokter pengganti tidak juga datang karenanya Zuster Maria menyarankan saya datang hari Rabu persis perintah dokter onkologi dengan SMS. "Ibu terima SMS dokter?" Tanya bu Rus pasien itu dengan wajah tidak percaya mendengar penjelasan saya.
"Ya, ini dia bilang gini," kata saya meyakinkan seraya membuka pesan yang saya terima. Sementara itu katanya SMS darinya ke nomor dokter yang diperolehnya dari saya tidak ada jawabannya. "Barangkali dokternya bukan kenalan saya sih ya?" Tuduhnya membuat saya kecut. Sebab saya sendiri kan juga bukan kenalan dokter. Hanya kebetulan bertetangga kampung dan punya lingkup pergaulan yang sama. Tak urung diambilnya juga ponsel saya dan dibacalah SMS pemberitahuan dokter itu berdua dengan putrinya yang menurut anak saya sekarang tampil beda karena tiba-tiba menutup seluruh auratnya yang biasanya dibiarkan terbuka menantang mata pemuda. :-D Setelah itu saya berpamitan beranjak pulang, rasanya tubuh saya minta ditidurkan segera.
Tak saya sangsikan angkutan kota yang membawa saya pulang kali ini disopiri oleh pengemudi yang memang benar-benar mengenal saya juga. Tanpa banyak tanya sebagaimana seharusnya kepada setiap penumpang dia mengarah ke rumah saya dan baru menanyakan saya minta diturunkan di pintu halaman yang mana, yang mengarah ke muka atau ke samping. Sungguh luar biasa, saya tak henti-hentinya bersyukur bahwasannya saya benar-benar dikenali orang meski mungkin mereka tak kenal nama saya.
Sesampainya di rumah saya segera mengingatkan Zuster Een untuk segera mengabari saya kalau dokter jadi berpraktek. Akhirnya dengan malu-malu SMS jawaban darinya mengakui bahwa saya benar, dokter ada kegiatan seminar di Jakarta sebagai pembicara. Lagi-lagi di dalam hati saya tersenyum menang, sebab ternyata saya lebih dulu tahu dibandingkan petugas di RS. "Aduh, jadi malu sama ibu....... saya udah ke-ge-er-an duluan lagi........," begitu antara lain bunyi SMS bu Een.
Untung saya tak harus mengerjakan apa-apa di rumah sebab ada tenaga yang dengan suka rela membantu menyapu dan merapikan rumah sementara cucian kami pun sudah dijemur anak saya. Jadi sambil menunggu waktu makan siang saya baringkan tubuh di kasur. Dalam pada itu saya terpikir alangkah senangnya warga masyarakat kota Bogor seandainya RS kami yang didirikan sebuah Parpol ini benar-benar bisa diambil alih kepemilikannya oleh negara tahun depan karena izin operasionalnya kebetulan sudah habis. Dengan begitu akan ada RS Pemerintah lainnya selain RS yang dulunya merupakan RS Jiwa di kota kami yang siap beroperasi melayani masyarakat dari golongan menengah ke bawah. Apalagi RS ini lebih lengkap fasilitasnya jika dibandingkan RS Pemerintah yang dokternya dulu menyarankan saya berobat ke sini karena mencurigai kanker pada tumor saya. Lalu angan-angan saya terbang melambung tinggi membayangkan andaikata saja onkologis saya bisa dipindah tugaskan untuk selamanya dari Jakarta ke sini. Ah, betapa mudahnya semua penatalaksanaan pengobatan kami pasien-pasien kanker yang sedang menunggu keajaiban sebelum Ketentuan Allah datang mengambil nyawa kami. Rasanya di benak saya, tersalur melalui pelupuk mata, beratus-ratus pasang mata menatap gedung RS dengan sinar yang sumringah. Akan kah itu terjadi? Wallahu alam karena saya cuma rakyat biasa yang butuh bantuan tapi pandai sekali mengkhayal hehehehe...........
(Bersambung)
wesss..dadi pasien kesayangan critane ya Bund..
BalasHapusHehehe.......... ya ora lah, anu biyunge kakehan ngomong mbokan :-D
Hapusbun tak doain angan2 bunda terwujud, amin... kali2 aja yg mutusin terdampar di blog bunda...
BalasHapusdoa utk kesehatan bunda...
salam
/kayka
Aih iya, barangkali ada onkologis baru lulus pendidikan terdampar di sini dan tergerak hatinya untuk menetap jadi dokter di Bogor, selain itu saya berharap Pemda Kota Bogor juga terdampar di sini dan menyerap keluhan warganya hihihihihi.........
Hapus*salam sayang untuk kak Ika*
hehehe *peluk yang erat*
BalasHapusiya bun saya kog percaya suatu hari orang2 ini nyasar disini. krn hari begini kebanyakan apa2 ngaksesnya internet. jadilah pengaruh media sosial sangat kuat dari media2 lainnya. bisa diakses dari mana aja. lintas benua...
salam
/kayka
Mudah-mudahan aja pemimpin propinsi saya yang baru baca-baca ini dan tergerak untuk memikirkan nasib rakyat di Bogor. Amin. :-)
Hapushihihi pasien lebih hafal dan tahu jadual dokternya nih..
BalasHapussekarang ada yang bantubantu ya mbak di rumah.. anakanak turun tangan..
Udah lama saya nggak pakai pembantu. Saya cuek aja sih, mau bersih mau ruwet kek isi rumah saya nggak peduli ah, yang penting saya nyaman-nyaman aja.
HapusSaya bukan hafal jadual dokter, melainkan punya hubungan langsung dengan beliau hehehe........ bahkan operasi saya digratisin 19 jt lho. Nanti saya jurnalkan ya. Alhamdulillah, semoga Allah mengganti rizkinya dari pihak lain dengan cara yang halal dan lebih banyak.