Saya makhluk yang tiada berdaya. Harus diakui, saya hidup bertiga dengan kedua anak saya di rumah yang diwariskan ayah mereka sebagai harta hibah. Saya tidak punya pekerjaan sama sekali, sedangkan anak-anak saya pun belum sepenuhnya mandiri. Si sulung walau sudah bekerja tetapi belum sampai melampaui bulan kedua, dengan penghasilan yang minim pula. Sedangkan si bungsu masih berkutat menyelesaikan pendidikannya di Perguruan Tinggi yang insya Allah berada di tahun terakhir.
Jika dilihat sepintas secara kasat mata, rumah kami layak huni, bahkan cenderung masif tak patut dikatakan rumah sederhana. Dengan halaman luas, kami jadi punya banyak ruang di dalam rumah. Penampilan fisik saya sendiri beserta anak-anak tak jauh dari itu tergolong rapi, bersih sehingga jauh sekali dari kesan orang tidak berpunya. Sebab alhamdulillah kami memang masih cukup punya persediaan pakain dari tahun-tahun yang lewat sehingga tubuh kami masih pantas dipandang orang.
Namun demikian, menghadapi urusan pengobatan penyakit kanker saya akhirnya kami kewalahan juga. Pasalnya tidak ada ongkos pengobatan kanker yang murah. Bahkan hanya sekedar untuk ongkos pemeriksaannya saja sudah mahal. Belum lagi pembelian obat-obatannya, meski itu dari jenis yang dimakan, bukan diinfuskan. Itu sebabnya dulu saya memilih berobat di sinshe saja. Di situ walau juga boleh dianggap mahal, tetapi masih boleh berhutang dulu. Itu kerap saya lakukan. Belum lagi sinshe sering memberikan potongan harga untuk obat-obatan yang saya makan. Rasanya berobat di situ jadi lebih cocok untuk kami.
Beruntunglah teman-teman saya di Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kementerian Luar Negeri membantu saya baik secara materi maupun moral. Mereka menghubungi Yayasan Kanker Indonesia (YKI) yang berpusat di daerah elite Jakarta, Menteng untuk menjajagi kemungkinan permohonan bantuan pengobatan bagi saya. Bahkan teman kuliah saya pun sesama penderita kanker yang sudah tertolong datang dari Bandung untuk mendorong saya supaya memanfaatkan jasa bantuan YKI Cabang Bogor. Dari YKI Pusat diperoleh keterangan bahwa biaya kemoterapi bisa dibantu sebanyak lima juta rupiah sebulan, ditambah pembelian obat-obatan lainnya setengah harga. Tetapi untuk mendapatkannya saya harus memiliki Surat Keterangan sebagai warga Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan perangkat desa di tempat tinggal saya. Inilah hambatan terberat untuk saya. Bukan karena saya takut dan merasa terhina dikategorikan sebagai warga miskin, melainkan saya pesimis akan diberi mengingat jika disurvey rumah saya tak sepadan disebut rumah warga miskin. Perasaan ini sempat menimbulkan tanggapan miris, bahwasannya saya tak sudi disebut miskin. Duh, bukan itu sebetulnya keberatan saya. Sebab meski miskin harta tapi saya toch tak pernah merasa miskin hati nurani.
Akhirnya anak lelaki saya yang pertama menghadap Ketua Rukun Tetangga (RT) kami untuk menyampaikan masalah ini. Di rumah ini memang dialah yang menjadi Kepala Keluarga sejak ayahnya pergi dari rumah. Sedangkan saya berada di bawah tanggung jawabnya, selaku pengampu saya dan adiknya. Semua memang sudah diketahui sebelumnya oleh Ketua RT kami, namun tak urung Ketua RT tetap menghendaki anak saya membuat surat permohonan tertulis terlebih dulu. Apa hendak dikata. Di sela-sela waktu kerjanya yang sangat sempit ~maklum dia pegawai baru yang masih serba harus mempelajari segala hal berkaitan tugasnya~, anak saya melakukannya. Surat permohonan itu berisi keterangan mengenai diri kami, diikuti bukti-bukti kependudukan berupa foto kopi Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih juga dilengkapinya dengan foto kopi akta hibah rumah atas inisiatifnya sendiri.
Tak berlama-lama, permohonan kami dikabulkan. Anak saya mendapat selembar surat keterangan untuk Kelurahan yang harus ditandatangani Ketua Rukun Warga (RW) terlebih dulu sebelum SKTM yang dimaksud dikeluarkan pejabat yang berwenang di Kelurahan kami. Lega rasanya hati saya waktu membawa surat itu di tangan saya. Sebab saya yakin Lurah desa kami tak akan membiarkan saya kesulitan lagi berlama-lama.
Benar saja, di Kelurahan ada beberapa orang yang juga sedang mengurus permohonan SKTM untuk berbagai keperluan. Namun yang terbanyak adalah untuk pembiayaan sekolah anak-anak mereka. Mereka yang sudah pernah mendapatkannya mengatakan, urusan itu tidak sulit sama sekali. Terbukti dalam sekejap saya pun sudah dilayani, lalu ditanyai dulu macam-macam hal oleh pejabat yang menangani SKTM. Intinya cuma satu, mereka ingin meyakinkan alasan permohonan anak saya mengingat secara fisik mereka tahu kami bukan dari kalangan warga tidak mampu. Rumah kami sendiri dengan mudah mereka lihat sebab berada di ruas jalan utama yang menuju ke kantor Kelurahan pula. Sikap itu tentu sangat masuk akal mengingat di masyarakat sering berkembang sikap-sikap ketidak jujuran demi memperoleh keuntungan. Saya langsung teringat seseorang yang saya kenal yang menduduki posisi Ketua RT di masa awal pengalihan bahan bakar minyak tanah menuju gas. Dia tidak berhak memperoleh kompor dan tabung gas yang dibagikan pemerintah untuk masyarakat tidak mampu karena dia sendiri sudah punya sebelum kebijakan itu digulirkan pemerintah. Tapi entah mengapa, dia menganggap pemerintah tidak adil. Katanya, meski dia sudah punya, tetapi kompor dan tabungnya adalah model lama yang sudah minta diganti, sedangkan penghasilannya sebagai pegawai kecil tak memadai untuk membeli gantinya. Ya, unsur-unsur demikian inilah yang perlu diluruskan dengan penelitian lebih lanjut oleh pihak Kelurahan sebelum segala sesuatu bantuan disampaikan kepada masyarakat.
Untuk mengurus SKTM di kelurahan diperlukan membawa KK dan KTP serta surat diagnosa dokter disertai foto kopinya. Selanjutnya setelah diberi SKTM saya masih harus membawanya ke Kecamatan untuk disahkan oleh Camat. Juga ke Puskesmas guna mendapatkan surat rujukan untuk dibawa ke Dinas Kesehatan Kota (DKK) yang akan membantu pendanaan kemoterapi saya.
Dokter Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Puskesmas di tempat tinggal saya cukup tanggap meski terheran-heran menyaksikan saya datang menghadap membawa SKTM di tangan. Pasalnya beliau tahu siapa saya, tinggal di mana. Tapi setelah saya berterus terang mengenai keadaan saya sekarang, tanpa banyak tanya, beliau langsung memberi surat rujukan yang saya butuhkan. Pesannya sebelum dibawa ke DKK saya harus memfotokopi dulu semua berkas-berkas itu. Sebab yang akan ditinggal di sana adalah foto kopiannya, karena yang asli disimpan pemilik untuk digunakan lagi di masa-masa selanjutnya.
Saya membawanya kemudian ke Kecamatan yang ternyata hanya memerlukan waktu sekedipan mata untuk mendapatkan pengesahannya. Setelah itu ke DKK yang ternyata dipadati sangat banyak masyarakat yang membutuhkan bantuan. Saya mendapat antrian nomor 31, sedangkan di belakang saya masih banyak lagi masyarakat berdatangan. Kebanyakan dari mereka sudah sering datang menggunakan hak mereka, yang ternyata adalah Jamkesda. Semula saya tidak percaya, karena asisten dokter di RS yang merawat saya mengatakan program pemerintah yang dinamai Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) itu hanya diperuntukkan bagi penduduk Kabupaten. Tapi seorang pengunjung yang datang untuk mengurus keperluan istrinya yang ternyata sama-sama pasien kanker di dokter saya bilang, peraturan itu sudah lama diubah. Warga masyarakat kota masuk ke dalam jangkauan bantuan Jamkesda, mengingat fasilitas pengobatan yang digunakan masyarakat di kabupaten kebanyakan justru berada di wilayah kota sehingga terasa tidak adil jika tidak diberi hak yang sama. Lelaki yang ternyata berprofesi sebagai jurnalis itu kemudian menunjukkan sehelai pamflet yang terpampang besar-besar di dinding ruang tunggu DKK soal Jamkesda itu. Alhamdulillah, batin saya, ini tentu akan sangat membantu kami.
Ada pemandangan yang sangat menyentuh hati di situ. Masyarakat yang amat membutuhkan selalu saja ingin dirinya didahulukan dilayani. Karena itu dibuat sistem penomoran dengan harapan tidak terjadi saling serobot. Sayang tidak ada petugas di meja pendaftaran atau tidak disediakan meja informasi sehingga mereka yang baru pertama kali datang ke DKK seperti saya sering bertindak tidak beraturan, menyela pelayanan begitu saja atau menyerobot antrian. Di saat itu anak saya mendengar percakapan via telepon genggam antara seseorang yang sedang menguruskan keperluan saudaranya yang sedang dicuci darah di RS yang sengaja diperjelas dengan speaker.
Dalam pembicaraan itu si pasien mengeluh tidak bisa keluar dari RS karena kakaknya tidak kunjung datang mengantarkan surat Jamkesda yang tengah diurusnya tadi. Si kakak menjawab bahwa dia berada di antrian kesekian, masih sangat lama, sehingga adiknya diminta bersabar. Tapi emosi si pasien tersulut. Dia membentak balik dengan mengatakan bahwa loket pembayaran sudah akan ditutup, artinya dia tidak akan bisa dilayani segera. Akhirnya si abang kembali membentak dengan mengatakan dirinya sudah banyak berkorban, tidak hanya tenaga tetapi juga materi untuk pembiayaan haemodyalisa (cuci darah) adiknya itu. Kalau adiknya tidak mau bersabar menunggu giliran, maka adiknya disuruh mencari jalan sendiri. Duh, tercekat hati saya mendengar pertengkaran tidak semestinya itu........
Jadi orang sakit memang susah nyatanya. Apalagi kalau sakit serius dan memerlukan banyak biaya pengobatan. Tapi ternyata bukan tidak mungkin kita jalani. Asalkan kita mau berusaha mencari cara dan melupakan saja harga diri kita, insya Allah ada jalannya. Dan, inilah yang sekarang sedang saya lakukan. Banyak jalan menuju ke Roma, ke kebaikan, itu maksud saya.
(Bersambung)
alhamdulillah akhirnya SKTM & Jamkesda nya dpt jg. memang utk mengurus surat2 di Indonesia lmyn ribet ya, sy mengalami ktk mengurus mertua yg skt menggunakan askes hbs waktu buat bolak-balik doang......blm antri dokternya panjaaaaaaang banget......eh diperiksanya sebentar baget ga sebanding sama waktu antrinya :-(
BalasHapusYa memang gitu sih di Indonesia, birokrasi berbelit, rakyatnya kebanyakan petugasnya nggak mencukupi. Apa daya.........
HapusAlhamdulillah Allah mudahkan proses pembuatan SKTM & Jamkesda-nya ya Bu. Saya jg salut, Ibu mengurusnya sendiri ke kecamatan dan DKK. Semoga menjadi ladang ibadah lagi ya Bu, tetap semangat menjemput kesembuhan, aamiin.
BalasHapusWah terlewat satu serenada nih, langsung meluncur mundur ke serenada ke 26 ...:)
Saya cenderung ingin mengurus sendiri sih, soalnya biar tahu repotnya, jadi kalau nanti lagi yang ngurus anak saya, saya nggak bakalan rewel hehehe........
Hapusalhamdulillah ya bun walaupun harus melalui birokrasi yang lumayan panjang tapi bunda bisa medapatkan surat yang sangat bunda perlukan.
BalasHapusmudah2an sistem pelayanan masyarakat di indonesia tambah membaik ya bun. termasuk informasi yang mudah diakses dikala sso membutuhkan sesuatu.
salam
/kayka
salam
/kayka
Salam nak Kayka........
BalasHapusIya di Indonesia itu urusan serba panjang, serba nggak pasti. Tapi memang cara di sini begini ya kita ikuti saja lah ya......
Menyimak kembali ya, mbak Julie.
BalasHapusMiris banget, rumah sakit di negeri ini bener-bener sakit.
Silahkan dik Iwan, semoga masih ada manfaatnya. Rumah utama saya sih masih di Mp nggak saya boyong kemana-mana, dan saya masih setia hidup di situ sampai malam ini. :-)
Hapus