Saya terpaksa mengaku kalah pada akhirnya setelah saya mengalami beberapa hal yang bisa dikatakan tidak biasa dua hari belakangan ini. Tiba-tiba perut saya terasa penuh. Dan ketika saya mencoba untuk ke belakang isi perut saya terasa keras. Padahal biasanya saya bisa buang air besar beberapa kali sehari, karena saya memang memiliki kelemahan di bagian perut saya yang juga pernah menyebabkan pemotongan usus halus saya sebelas sentimeter panjangnya. Apa yang ikut keluar bersama faeces saya itu saya sendiri agak kurang mencermati. Tetapi kemarin sore saya menemukan noda darah di pakaian dalam saya. Bersamaan dengan ini, saya pun mulai merasakan ketidak nyamanan di saluran pernafasan saya. Tenggorokan saya sedikit gatal, kering menyebabkan saya terbatuk kecil.
Penyebabnya tak jelas benar bagi saya. Tapi sangat boleh jadi dikarenakan saya tidak lagi mematuhi diet yang dianjurkan sinshe saya serta tak mengonsumsi semua jamunya yang terbukti membuat saya selama ini bisa bertahan dalam kondisi seperti orang sehat. Beberapa hari belakangan ini saya mulai berani makan sup dengan kaldu daging, meski saya tak memakan dagingnya. Juga mencicipi sayuran berbumbu kacang baik itu berupa karedok yang terbuat dari sayur-mayur mentah maupun lotek atau gado-gado. Juga saya menelan ikan goreng meski saya lebih memilih makan ikan air tawar. Toch saya berpikiran seperti dokter di RS Kanker Dharmais (RSKD) bahwa kanker payudara saya yang sudah mencapai stadium 3-B perlu segera dioperasi. Seluruh payudara yang sakit akan diangkat berikut kelenjar pada ketiak saya yang sudah terkena juga. Selanjutnya mengikuti rencana dokter di RSKD saya harus menjalani kemoterapi. Karenanya saya memerlukan asupan protein hewani yang baik agar tubuh saya bugar serta terutama kadar haemoglobin saya mencukupi standar nilai minimal pada pasien yang menjalani pembedahan dan kemoterapi.
Apakah kesalahan diet dan kealpaan mengonsumsi jejamuan Cina itulah penyebab saya merasa tidak nyaman? Saya harus mencari tahu dengan pasti lewat pemeriksaan dokter. Oleh sebab itu, hari ini saya putuskan untuk segera memeriksakan diri di rumah sakit di Bogor sini tempat dokter rujukan berpraktek dua kali seminggu.
***
Karena ini kesempatan pertama saya bertemu dokter ahli kanker yang satu ini, maka saya belum punya kesan apa pun terhadap beliau. Saya bahkan punya bayangan yang kurang baik, mengingat almarhum ayah beliau yang merupakan satu-satunya spesialis onkologi (bedah tumor) di kota kami dulu cenderung bersifat dingin. Tapi begitu saya menginjak ruang prakteknya di sore hari kemarin selepas maghrib, kesan itu langsung tergantikan oleh sejuknya sapaan pertama yang dilontarkan dokter muda belia yang amat trendy, rapi dan tentu saja wangi. Kata kemenakan saya sih, umurnya belum lagi empat puluh tahun mengingat mereka dulu satu sekolah di mana sang dokter merupakan adik kelasnya yang cemerlang.
Setelah saya sampaikan surat rujukan dari RSKD berikut cerita utama riwayat pengobatan saya, beliau langsung mengambil data kesehatan saya secermat mungkin. Apa yang saya utarakan didengarkan dengan seksama, kemudian dimasukkannya ke dalam berkas catatan medis di hadapannya. Dalam beberapa hal beliau bahkan berinisiatif bertanya lebih lanjut. Ya, beginilah memang idaman saya tentang pola komunikasi dokter dengan pasien. Tidak sepihak di mana dokter berlaku seakan-akan pasien tak harus tahu apa-apa tentang sakitnya sendiri serta tindakan yang akan dilakukan dokter padanya.
Beliau tersenyum penuh arti ketika saya sebutkan bahwa keberadaan saya sebagai pasien di RSK Dharmais tak bisa dilepaskan dari jasa salah seorang dokter di sana yang merupakan bagian dari anggota Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kemenlu terkait pekerjaan suami dokter tersebut. Bahkan skema pendanaan pengobatan saya yang dirancang teman-teman di Kemenlu pun dicermatinya untuk menetapkan mana metoda yang paling murah dan mudah namun memberikan hasil maksimal untuk saya. Beliau bahkan menganjurkan saya untuk meminta Jaminan Kesehatan Masyarakat Daerah (Jamkesda) yang sayangnya ternyata hanya berlaku untuk warga di daerah Kabupaten saja. Tak berlaku bagi penduduk kota seperti saya. Sehingga akhirnya beliau membenarkan pengajuan Surat Keterangan warga Tidak Mampu (SKTM) seperti persyaratan yang diminta oleh Yayasan Kanker Indonesia yang telah dihubungi oleh teman-teman saya di Kemenlu.
Dokter kemudian meneliti dengan cermat satu demi satu hasil pemeriksaan penunjang yang sudah saya lakukan di RSKD minggu-minggu yang lalu. Dikatakannya baik paru-paru, payudara kanan, serta hati saya masih dalam keadaan baik. Beliau lalu menyuruh saya berbaring untuk memeriksa fisik saya. Luka pada payudara saya dilihatnya dengan teliti, bahkan sekali lagi diukur luasnya meski saya katakan sudah terdata dengan baik di RSKD tempat praktek utama beliau sekarang. Kemudian payudara yang sakit, ketiak serta leher saya dirabanya baik-baik. Kelihatan benar bahwa beliau melakukannya tidak asal-asalan sehingga menenteramkan saya. Padahal secara kasat mata, dokter ini masih begitu muda. Saya taksir usianya tak lebih dari tiga puluh lima tahun.
Setelah selesai memeriksa, dokter kemudian mengajak saya bicara tentang program yang akan diterapkannya. Berbeda dengan dokter di RSKD, beliau justru tak menganjurkan mengoperasi saya segera. Berdasarkan keyakinannya tumor saya masih cukup bisa ditaklukkan dengan obat-obat antikanker yang diminum seperti yang diberikan oleh dokter di RSKD itu. Namun beliau tetap ingin mengetahui lebih pasti tumor saya masuk ke dalam tumor jenis apa. Sebab seperti diketahui ada tumor yang cepat sekali berkembang, ada yang tidak. Harapan beliau setelah membaca riwayat penyakit saya dan hasil-hasil pemeriksaan pendukungnya, tumor saya dari jenis yang lamban. Sehingga pengobatan akan dimulai dari pemberian obat secara diminum, diikuti pembedahan pengangkatan payudara, baru ditetapkan perlu tidaknya dikemoterapi. Untuk itu saya harus dibiopsi terlebih dahulu. Walau prosesnya sebentar, hanya memerlukan jarum besar, dan ditawarkan dilakukan malam itu juga, tapi saya menolaknya. Pasalnya saya sudah kehabisan tenaga dan ingin segera beristirahat di rumah saja. Untung dokter baik budi itu memahaminya. Beliau kemudian membuatkan janji untuk empat hari ke depan, khusus untuk saya sebelum beliau melakukan pembedahan besar yang sudah ada dalam jadwalnya di hari itu.
Dokter menjelaskan, keuntungan menggunakan obat oral (dimakan) sebelum pembedahan adalah untuk memantau reaksi tumor terhadapnya. Kalau selama 4 bulan pemakaian tumor mengecil, artinya obat itu baik untuk digunakan. Sehingga saya tinggal menjalani operasi pengangkatan seluruh jaringan payudara saya yang sakit itu saja tanpa perlu dikemoterapi dengan obat-obat lain. Cukup melanjutkan obat yang sudah terbukti cocok itu saja. Jadi akan sangat menguntungkan dalam berbagai sisi, baik sisi pembiayaan maupun sisi psikologis karena tak harus berhadapan dengan efek samping kemoterapi yang kebanyakan menyiksa pasien.
Alangkah leganya hati saya. Ternyata masih banyak harapan saya mencapai kesembuhan dengan baik tanpa membuang-buang banyak uang. Apalagi ketika saya mencoba bertanya mengenai sisa umur saya, dokter malah tersenyum seraya mengatakan saya tak perlu takut sebab meski dia yakin 99.99% tumor saya adalah kanker, tapi keganasannya tidak luar biasa. Saya tak boleh mengatakan bahwa saya berpacu melawan waktu. Masih cukup banyak waktu untuk meraih kesembuhan asal dibarengi dengan penggunaan obat yang justru tepat dan gaya hidup yang benar, termasuk mengatur asupan makanan.
Beliau sangat tidak sependapat dengan sinshe saya mengenai larangan mengonsumsi protein hewani atau makanan lain yang mengandung lemak. Apa pun bisa dimakan penderita kanker payudara, asal jumlahnya tidak berlebih-lebihan serta sedapat mungkin rendah lemak. Tapi beliau memang sependapat bahwa sel kanker yang dipotong akan cenderung menjadi ganas. Karenanya, itulah pentingnya pemberian obat terlebih dulu sebelum operasi dilakukan. Hal yang diistilahkan sebagai terapi adjuvant dalam dunia kedokteran ini bertujuan untuk menyerang sel-sel kanker yang sebetulnya akarnya masih tersisa di dalam tubuh dengan obat-obatan yang tepat, yang dimasukkan melalui mulut. Ah, persis sama dengan teori sinshe saya, begitu kata hati saya. Jadi, mulai hari ini meski saya sudah percaya berobat secara empiris di dokter di rumah sakit tetapi tentu saja saya tak akan meninggalkan sinshe saya. Setidak-tidaknya kepadanya lah saya akan menggantungkan pemeliharaan stamina saya sebagaimana yang sudah saya lakukan selama ini. Sebab terbukti setiap tenaga medis yang ikut memeriksa saya ternyata menyatakan kekagumannya atas kondisi fisik saya. Luka lesi saya pun kecil pula. Baiklah akan saya "kawinkan" saja kedua metoda itu, demi mencapai kesembuhan saya yang abadi. Insya Allah, keinginan saya sih begitu.
(Bersambung)
Semangat baru lagi melalui dokter yg baik itu ya Bu. Semoga melalui beliau, kesembuhan ibu cepat diperoleh.
BalasHapusSisi lain, memang sakit itu ilmu, mencerdaskan penyandangnya dan yg menyimak perjalanannya.
Selalu tergugah habis berkunjung kesini BU ^_^
Betul, semangat saya untuk "perang" makin menjadi-jadi sekarang. Syukur deh kalau ada yang bisa dipetik dari jurnal saya yang apa adanya.
HapusSemoga silaturahmi kita terus berkelanjutan ya nak. Salam untuk kang Elan dan anak-anak yang manis-manis.
bude aku pindah alamat blog.
BalasHapuspoedjie05.blogspot.com
Aih, saya kira orang baru. Nanti saya tengok deh.
HapusBunda.... semangatnya selalu berbunga-bunga ceria bikin kami yang lebih muda jadi semangat juga menjalani hidup yang jauh lebih mudah ini...
BalasHapusUpdate terus ya, Bun... walau jarang bertandang, doaku untukmu selalu...
Saya selalu mengupayakan ingin sembuh jeng Rike, habis kasihan lihat pengorbanan anak-anak saya.
HapusUpdating yang tiap hari adanya justru di rumah utama saya di senthong lho. Kebanyakan pembaca saya masih bertandang ke senthong dan memberikan moral support lewat sana. Terima kasih ya atas doanya.
Rumah lama di Mp ditutup apa gimana jeng? Punya saya yang satu sudah saya biarkan, tapi yang senthong karena rumah utama masih ada dan masih dipakai tinggal tiap saat lho.