Powered By Blogger

Selasa, 24 Maret 2009

TATAPLAH MATAKU SELAGI LENA

Tak pernah kubayangkan Enni akan menjadi seperti begini. Wajahnya yang tirus dihiasi rambut kusut masai bediri di hadapanku. Tulang pipinya menonjol tinggi menenggelamkan matanya yang cekung menjorok ke dalam.

“Masuklah dan duduklah dulu,” pintaku padanya seraya menggamit lengan yang tak segenggaman tanganku. Enni nampak tua dan lelah.Jauh lebih tua dari tiga-empat tahun yang lalu ketika kami sama-sama duduk di bangku halaman sekolah Rina, anakku. Biasanya sambil menunggui anak-anak kami belajar, Enni akan menyulam sambil mengobrol dengan ibu-ibu lainnya. Enni selalu penuh gairah, seakan-akan energinya tak pernah terkuras habis. Padahal konon dia punya lima anak, dan Listy sahabat anakku adalah si bungsu.

 

“Aku kesini tak akan lama, Myra. Aku cuma butuh bantuanmu. Barangkali kau punya sedikit simpanan untuk kau pinjamkan padaku,” katanya sambil merebahkan diri di sofa ruang tamuku.

 

Kuperhatikan seluruh penampilannya. Dia bukan lagi Enni yang dulu pernah kukenal. Enni yang gemar mengobrol dan bersenda gurau. Gurat-gurat di wajahnya menampakkan bahwa Enni kini menanggung beban.

 

“Kau perlu untuk apa?”, tanyaku. “Uang buku si Listy belum terbayar,” ujarnya malu-malu. Nampak rona merah di wajahnya. “Kau tahu sendiri ‘kan, kalau belum membayar uang buku, anakku tak mungkin memperolehnya. Padahal tahun ini mereka harus ujian akhir, tolonglah aku,” pintanya.

 

“Sudah setahun belakangan ini suamiku tak memberi nafkah yang layak," urainya seakan-akan ingin menegaskan kebutuhannya. “Mas Dhian punya hobby baru yang menguras gajinya. Dia selalu asyik dengan telepon genggam di tangannya yang keparat itu! Semuanya menghabiskan dana dan menelantarkan rumah tangga kami,” keluh Enni tanpa henti.

 

Enni menyebut satu nama yang seakan-akan tak asing untuk telingaku. Tapi aku tak bisa mengira-ngira dimana aku pernah mendengar namanya.

 

Pikiranku melayang-layang, menerawang menembus awan bergumpal yang nampak dari jendela ruang tamu. Aku juga gemar berrmain ponsel dan menghabiskan hari-hariku dengan benda satu itu. Bahkan aku punya lebih dari satu, untuk berhubungan dengan mas Yudi suamiku dan seseorang teman lainnya. Selama ini mas Yudi seakan tak peduli kalau tanganku asik merogoh-rogoh saku rokku dan menekan tombol-tombol kecil pada ponselku. Hanya pernah sekali dia bertanya, dan kujawab aku sedang menghubungi pelangganku.

 

Sebagai istri seorang guru musik, penghasilan kami tak pernah mencukupi. Itulah sebabnya mas Yudi dulu mengijinkanku melanjutkan karier di suatu instansi pemerintah sambil membuka usaha persewaan baju daerah. Aku menempati posisi sebagai staf humas pemda dan punya pergaulan yang  luas. Bossku senang dengan penampilanku yang modis, dan konon, gerakku yang cekatan, sehingga setiap kami kedatangan tamu dari pemda propinsi atau bahkan pejabat-pejabat pusat akulah yang harus melayaninya. Dalam salah satu acara aku harus melayani pejabat dari Jakarta, Pak Murdhianto, namanya.

 

Pejabat yang satu ini sungguh supel dan pandai mencuri hatiku. Tubuhnya pendek agak mengarah ke gemuk. Tapi, otaknya sangat cemerlang. Di saat aku mengalami masalah dengan pekerjaanku yang tak terselesaikan, pak Yanto akan selalu siap membantu dengan jawabannya yang jitu. Lain sekali dengan mas Yudi yang gemar mengular kambang bagaikan irama musik klasik yang dihasilkannya ketika dia menuntun muridnya yang jumlahnya tak seberapa.

 

“Ayolah, Sri, tolonglah aku. Kemana lagi aku harus minta tolong kalau bukan kepadamu orang tua Rina? Bukankah anak kita tak pernah putus bersahabat?” desak Enni meluruskan pikiranku yang melayang. “Kau cukup mampu Sri. Kalian berdua bekerja semua, dan usahamu pun kulihat makin maju,” rayunya.

 

Kupandangi Enni tak berkedip. “Suamimu kemana?” Tanyaku memecah suasana.

“Dia di Jakarta. Tapi sekarang dia tak menghasilkan apa-apa lagi untuk kami.”

“Maksudmu?” Tanyaku ingin tahu.

 

-*****-

 

 

Suami Enni seorang pejabat instansi pemerintah pusat. Menurrut Enni kedudukannya sudah cukup tinggi. Seminggu sekali dia pulang ke rumah menjenguk anak-istrinya, akan tetapi hari-harinya kerap dihabiskan di Jakarta. “Ada mess pegawai yang bisa dipakai menginap,” terangnya. Dan Enni beserta anak-anaknya juga pernah dibawa berkunjung kesana.

 

“Kau yakin dia tinggal sendirian?” tanyaku penuh selidik. Enni bangkit dari duduknya, seakan terperangah seraya  menajamkan matanya padaku. “Maksudmu apa? Kalau mau beri aku pinjaman, tolonglah sekarang. Tapi jangan kau tanyai aku macam-macam,” geramnya.

 

Aku tak beranjak dari dudukku. Kuperbaiki letak kedua kakiku, kini saling menjejak tanah. Enni masih memandangiku lurus tak berkedip. “Maaf En,” katakiu. “Kamu jangan tersinggung, jaman sekarang seorang lelaki sulit untuk dipercaya,” kucoba menyusun kata selugas mungkin.

 

“Memang banyak lelaki tak setia sekarang ini. Akupun menyadari itu. Suamiku sendiri selalu sibuk dengan ponsel di tangannya setiap kami berkumpul. Tapi, anadaikata dia berselingkuh pasti bukan dialah penyebabnya,” celoteh Enni.

 

Belum sempat aku menyahut Enni sudah membombardirku dengan pernyataan selanjutnya yang tak kalah mencengangkan. “Perempuan itulah yang jahat. Dia tidak berperasaan. Ibarat seekor ayam, dia tak malu hilir-mudik mencari pejantan di luar kandangnya. Jika dia sudah jadi masakanpun jangan salahkan orang yang menyantapnya. Bagaimana mungkin mereka tak tergiur kalau ayam itu bergeletakkan begitu saja tanpa tudung saji?” keluhnya panjang lebar.

 

Kini giliran aku yang terperangah! Hatiku serasa tertusuk oleh kata-katanya. Terbayang di mataku istri pak Yanto yang entah siapa namanya tiba-tiba mendatangiku dan mencaci aku sedemikian rupa. Di belakangnya anak-anak pak Yanto mengepalkan tinjunya membulatkan hati hendak membela ibu mereka.

 

“Sudahlah Sri, aku datang hanya minta bantuanmu. Kalau nanti mas Dhian kembali kubayar tunai semuanya,” pinta Enni lagi.

 

Cepat-cepat  aku beranjak menuju kamar untuk menggenggamkan tiga lembar ratusan ribu ke tangannya. Diterimanya dengan penuh suka cita. Senyum mengembang di bibirnya namun tetaplah senyum hambar yang tak bergairah.

 

-*****-

 

 

Hari sudah menjelang pukul enam petang ketika aku menutup pintu rumah untuk Enni. Mas Yudi masih di luar mengajari Yolanda dan Daniel anak tetangga kakakku membunyikan piano.

 

Semua kata-kata Enni kembali terngiang dan menyentak jiwaku. Terbayang pula di mataku pak Moerdhianto yang ramah dan senantiasa rela menolongku. Tidak seperti mas Yudi yang seluruh hari-harinya disibukkan hanya untuk musik dan murid-muridnya semata.

 

Aku bergegas mengambil air sembahyang. Kubulatkan hatiku untuk meminta ampunan dosa serta petunjukNya. Dari atas sajadah tuaku yang menjulur ke sorga air mata mengalir tak terbendung. Aku teringat Enni dan beribu-ribu makhluk lainnya yang senasib dilupakan suaminya. Sementara di dekatku ada suami entah siapa yang senantiasa siap membelaiku dan menghujaniku dengan perrhatian yang prima.

 

Belum selesai dzikirku tv yang dinyalakan Marina di ruang tamu telah mengumandangkan adzan maghrib. Aku melanjutkan shalatku dalam isak tangis berkepanjangan. Hanya dosa yang terbayang di ingatanku. Rina mendongakkan kepalanya dari pintu kamar hendak shalat juga. Sejenak ia terkaget-kaget dan menahan jeritannya. Diteruskannya masuk ke kamar ibadah dan dibiarkannya aku menyelesaikan rakaat demi rakaat ibadah maghribku.

 

“Ada apa dengan Listy, ma?” Tanya Rina kemudian. Aku menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa,” jawabku. “Listy hanya meminjam uang karena bukunya belum terbayar.” “Kenapa itu menyebabkan mama menangis?” desaknya. Aku diam tak menjawab seraya melipat telekung dan memasukkannya kembali ke dalam lemari kecil di dekatku. Kususut sisa-sisa tangis di pipiku. “Sembahyanglah sekarang,” pintaku pada Marina. Gadis kecil itu seperti tak puas menerima jawabku, dan dengan matanya yang penuh curiga terus menelusuri rona mukaku. Aku merasa seakan-akan ia tengah menelanjangi aku. “jangan kau tatap mama seperti itu,” pintaku sambil berlalu menuju dapur.

 

-*****-

 

Malam itu sebelum beranjak ke peraduan kugenggam ponselku sekali lagi. Kuketikkan salam terakhir bagi Moerdhianto –kekasihku- dengan sepenuh cinta. Kukatakan padanya Enni dan anak-anak mereka menunggu dengan setia di rumah. Tak ada alasan bagi mas Moerdhianto untuk menjamahku. Enni tak kurang suatu apapun. Sikapnya manis dan tidak penuntut. Kesetiaannya telah teruji di mataku. Dalam kepedihannya Enni seakan-akan cuma bisa berucap, “tataplah mataku selagi kau lena. Aku tak akan pernah menjual diriku seperti engkau telah merendahkan dirimu sendiri dan membuat jiwamu tak berharga…….”

 

Besok aku akan kembali kepada fitrahku sebagai manusia, yang telah ditakdirkan Tuhan berjodohan dengan seorang musisi setia. Aku akan bertobat dan minta maaf pada mas Yudiku.-

36 komentar:

  1. lama tak hadir,
    sekali bergulir...telah disuguhi secawan cerita yg menawan
    :)
    *thx, mbak Julie

    BalasHapus
  2. kenapa toh Mbak harus Selagi Lena?

    BalasHapus
  3. Welleh..., tega nian Bunda... dia sahabatmu.

    Hikz.. mengharukan.

    BalasHapus
  4. Hu... hu... hu... jadi melow, nih.

    BalasHapus
  5. teganya..teganya hatimu padaku . . . .

    BalasHapus
  6. selamat sore bunda

    apa kabar.....?

    BalasHapus
  7. Hanya satu kata Bunda: WOW!


    *ps: Itu judulnya keknya perlu koreksi Bun :)

    BalasHapus
  8. Kiraiin ke mana bunda teh......
    Tulisannya baru setengahnya terbaca.....untuk dilanjutkan nanti.....
    salam

    BalasHapus
  9. Iya nh mas, adaaaaa aja yang dikerjain sekarang.
    Mungkin saya malah kepikiran mau nutup warung dua-duanya dan kalau udah ada waktu luang seperti dulu saya bikun site baru jadi satu aja. Ini cerita saya iseng, nemu koleksi lama jamannya masih disimpen di file aja. Belum pernah sya publish.

    Terima kasih ya mas udah mampir kesini.

    BalasHapus
  10. Biar dia natapnya nggak jelas, wong lagi mimpi.......... hehehe..... salah ya mas Sigit?

    BalasHapus
  11. Di dunia nyata juga ada lho nak Kiki. Hiks!!!

    BalasHapus
  12. Eh, lelaki jangan gitu ah, cengeng amat si akang?

    BalasHapus
  13. Selamat malam mbakyu.

    Kabar lagi sibuk ngurus yang nggak karuan dan menata hatiku.

    Apa kabar juga?

    BalasHapus
  14. Ah, masak sih? Dahsyatan tulisanmu lagi!

    Terima kasih ya udah mampir.

    BalasHapus
  15. Iya mbak, mostinginnya nyolong-nyolong waktu tadi. Sekarang sya udah jarang posting, sibuk sih. Tuh udah tak koreksi, baru engeuh......

    BalasHapus
  16. Ada pak.

    Terima kasih kunjungannya. Maaf saya lama nggak kemana-mana.

    BalasHapus
  17. jangan ditutup, donk mbak.
    Biar tetap jadi kenangan. Ntar kl ada waktu, direnovsi 'rumahnya' sambil menyapa para tetangga :)

    BalasHapus
  18. jangan ditutup, donk mbak.
    Biar tetap jadi kenangan. Ntar kl ada waktu, direnovsi 'rumahnya' sambil menyapa para tetangga :)

    BalasHapus
  19. Lama-lama repot maintain dua rumah. Nanti kontak-kontak yang sering saling menyapa bakal tak undang kembali kok. Tunggu aja deh bulan-bulan yang akan datang. Yang jelas ngempi walaupun pasif insya Allah masih jalan terus.

    BalasHapus
  20. kayong dejapyu yah yung heehehehehee

    jian biyunge lah pinter banget molak malik cerita.... endinge maen yung aku seneng.... pengkhianatan

    BalasHapus
  21. Husy!!! Jyan kiye bocah!!! Koh seneng kambi pengkhianatan sih? Laraaaaa..........

    BalasHapus
  22. Duh Tanteee, ceritanya bikin saya termehek mehek (halah,.. Laki kok termehek mehek?). Banyak kejadian seperti begini jaman sekarang y Tan? Seru ceritanya. Yang ini nggak bersambung kan?...

    BalasHapus
  23. welcome back bunda :)
    senangnya bunda sudah menulis lagi, Krisna tunggu lanjutannya yaaa, sssttt...masih panjang kan ceritanya bun ?

    BalasHapus
  24. Iya, di dunia anyata sangat banyak orang hidup aneh-anehan begini sekarang. Tapi kita harus istighfar biar nggak eksrtimpet di situ ya kang?

    Iya, ini bukan novel. Cerpen aja. Novelnya lagi mandeg ditammatin dulu. Lain kali kalo udah senggang kayak dulu disambung. Mungkin tante mau buka site baru dengan nutup yang dua ini dan menggabungkan jadi satu aja. Ternyata lama-lama ruwet juga ngurus dua site. Nanti tante ambil jadi kontak deh. Terima kasih ya udah ammpir ke tempat tante.

    BalasHapus
  25. Nggak, yang ini iseng-iseng aja. Cerpen diambil dari catatan jaman dulu lagi belum ngempi kemarin lagi ekrtja kok tiba-tiba di file nemu ini, ya udah dipostingin aja disini. Maaf ya bakalannya aku hilang-timbul mbak Kris.

    BalasHapus
  26. halo bu julie.. hanyong hasimika, kayaknya bikin drama baru lagi ya.

    BalasHapus
  27. Gak, ini cuma sepotong cerpen aja kok. Hallo lagi...........

    BalasHapus
  28. asiik nama suamiku ada di cerpennya bu julie...
    tapi mas yudi ku setia banget lho.

    BalasHapus
  29. Alhamdulillah amin. Ikut bahagia.

    BalasHapus
  30. Enggaklah, iseng aja. Dikirim ke media juga nggak laku kok.
    Terima kasih atas kebaikannya ya mbak.

    BalasHapus
  31. Mangga pinarak......... matur nuwun rawuhipun.

    BalasHapus

Pita Pink