Powered By Blogger

Senin, 30 Maret 2009

LELAKI DAN CINTANYA : PENGELANAAN TAK BERUJUNG

Adapun sudah tertulis di dalam Lauful Mahfudzh Kitab Tuhannya, bahwa dia akan jadi begini dan begitu. Lelaki itu harus menyandangnya.

Adapun garis-garis nasib dan guratan hidup bukanlah hak seorang manusia untuk menciptanya, dia hanya berhak mengikutinya. Buku manusia hanya Allah penulisnya. Dan lelaki itu juga tak bisa menuliskannya sendiri.

~ 00000 ~

Dari sekeping tanah, kemudian Allah meniupkan nyawanya dan jadilah dia. Demikian takdir mengharuskan. Di bawah jantung seorang perempuan disimpanlah dirinya, jasad dan raga yang bertumbuh oleh siraman cinta dan kasih sayang seorang ibu. Maka manusia itu kemudian terjadilah.

Dengan lelehan keringat, dan cucuran doa bunda, dia makan kebaikan apa yang ditumbuhkan dari bumi untuknya. Lelaki itu kemudian jadi satu tonggak yang tegak, yang mampu menopang banyak jiwa-jiwa yang tertakdir lemah. Juga dia payung bagi orang-orang yang kehujanan dan kepanasan di keriuhan kota. Lelaki itu kini perkasa.

Dia pernah lantang berucap, tak lengah dirinya mengintai bahaya, tak goyah kakinya diguncang gempa, tak luruh raganya dihembus angin. Dia bersedia untuk tegar dan tegak, selamanya. Demi seluruh makhluk di dalam genggaman takdirnya. Ialah perempuan yang ditakdirkan jadi istrinya itu, dan anak-anak mereka buah cinta yang menyala.

Lelaki itu bagai pokok beringin di tengah padang ilalang tua di perempatan jalan, pada pusaran kota yang bernama alun-alun. Lelaki itu, ya lelaki itu pernah tegar, teguh dan perkasa.

~ 00000 ~

Lelaki itu terlahir tanpa jati diri yang pasti. Hanya sehelai kulit dan selapis rambut. Lelaki itu haus kehangatan yang ditakdirkan tak pernah mampir di dalam lorong-lorong waktu kehidupannya. Dan lelaki itu bertumbuh dalam sepi. Seperti nasib yang tertakdirkan di dalam kitab kehidupannya.

Kemudian dua merpati beradu paruh, lelaki itu menyambut cintanya. Seorang perempuan penuh kehangatan yang juga terlahir pada masanya, apa adanya.

Dua merpati memuncak birahi, dan kami akan kawin, katanya. Perempuan itu mencoba tersenyum, membuka matanya, menajamkan telinga, mengolah rasa di lidahnya yang merah, dan dia tahu kekasihnya adalah lelaki beringin itu. Dengan segala rasanya, hambar, terkadang manis, sesekali pula masin bahkan masam.

Perempuan itu menyibak masa lalunya, dengan membuka kitab tua di tangan bundanya, lalu dia tahu lakon hidupnya. Baginya hidup adalah masa kini yang akan melaju hanya ke masa depan. Lalu dia sedia mengikatkan cintanya, dengan kesetiaan abadi. Merpati itu kini kawin di angkasa segara. Di antara riuhnya debur ombak lautan serta desau angin di mega-mega yang menjatuhkan titik-titik hujan. Di situlah berdiri sebuah rumah cinta mereka. Dua merpati yang kawin di angkasa..

~ 00000 ~

Satu demi satu prahara menjelang. Tonggak kaki sang ayah patah di balutan badai. Kepak sayap sang ibu menguncup di basahnya hujan. Lelaki itu adalah bocah yang terlahir papa, lara terbungkus dukanya.

Dia hidup dalam diam. Dalam senyap dan kebisuan dunia. Jelaga hitam jadi dinding rumahnya abadi membalut semua sepi yang ada.

Lelaki itu adalah nestapa yang terbukukan. Pada lembar kehidupan anak manusia.

~ 0000 ~

Pagi merebak naik. Anak dara terbang ke angkasa, menyucikan jiwa di telaga pelangi. Airnya matahari hangat yang mengucur tak henti. Memolesnya jadi sebentuk pualam, di gunung bebatuan. Dengan kilaunya yang kemuning gading, anak dara itu kecantikan yang asli.

Bening bola matanya menari-nari, pipih pita suaranya mendayu-dayu dawai. Anak dara itu pikatan banyak lelaki, dan burung-burung elok terbang bebas. Pusaran cinta dan jantung jiwa manusia birahi.

Lelaki itu menghambur ke pelukannya. Ke kedalaman dadanya yang membusung bukit. Ke sela-sela rambutnya yang mengurai mayang. Lelaki itu menanamkan cintanya disana. Pada dada perawan tak bernoda.

Lalu merpati itu jadi sejoli yang mengepak sayap, menjelang mega, mengangkasa raya, lupa pada tanahnya. Merpati yang bersarang di pucuk mapple, oak dan cemara hutan. Tempat mereka bercintaan sampai meletupkan nafsu birahi, birahi dan birahi yang tiada kunjung putus. Disitu merpati itu kawin. Pada jalannya, di ketinggian yang dingin.

~ 0000 ~

Sekali layar terkembang, laju bahtera diterpa badai. Tak goncang dihempas ombak, dihantam topan. Merpati itupun serupa. Tak layu disiram angin, yang menghunjam membelah seluruh sisi-sisi kehidupan mereka. Mereka terus mengepak, hingga beranak-pinak.

Tiba-tiba matahari naik ke atas kepala. Pada dentang waktu yang dua belas banyaknya. Lalu menebar silau dan membutakan mata. Mata hati lelaki itu. Maka melanglanglah dia, dengan segala kegelapannya, ke arah tak tentu, ke sudut-sudut alam maya yang tak tertangkap indera. Lelaki itu terbang menjauh. Sendiri.

Di sudut pokok yang tinggi, perempuan itu sendiri. Tertimpa sepi. Termangsa sunyi. Perempuan yang ditinggalkan.

Pada gugusan awan di lautan angin, lelaki itu berdiri tegak. Menebar senyum dan kharismanya. Lalu dia lupa jati dirinya. Ketika semut, kupu-kupu, murai dan srigunting mengajaknya pergi. Lelaki itu lupa dan terhanyut.

~ 0000 ~

Lalu perempuan itu mematukkan paruhnya. Menusuk luka yang menebarkan nanah dan darah noda. Perempuan itu menggigit lelakinya.

Sambil memegang kitab lauful machfudz di tangannya, perempuan itu terus bernyanyi, merintihkan luka yang perih di dalam batinnya. Dengan nada yang menyayat dan irama yang sendu. Perempuan itu menangis dalam-dalam.

Innalillahi wa innaillaihi roji'un. KepadaMulah semua akan dikembalikan. Seperti cinta dua merpati yang telah patah sayap kelelahan. Semoga Tuhanlah tempat mereka mereparasi cinta mereka.

Di sini, di dalam lipatan-lipatan jemari tanganku, kusimpan doa dan kuukir pinta, untuk keselamatan rumah cinta mereka berdua.

Dalam diam, dalam senyap, dalam dada yang penuh harap.

28 komentar:

  1. bagus mbakyu, cerita beneran kah?

    BalasHapus
  2. kasihan ya perempuannya, nantikan besok antara "Cinta dan Duka"

    BalasHapus
  3. Waw.. dari lahirnya hidupnya sampai matinya bun, menari indah dalam rangkaian kata bunda...

    BalasHapus
  4. Ku tak tahu........ oh.......... kujemu!!

    Matur nuwun.

    BalasHapus
  5. Semoga pertaraungan ini dimenangkan si perempuan, karena Allah yang jadi penasehat hukum baginya. Sehingga kelak diakhiri dengan episode "Sebaris Senyum Kemenangan di Rumah Cinta".

    BalasHapus
  6. Ayo jajal niru nulis Lin..........

    BalasHapus
  7. sungguh baik sekali tulisan yang berbentuk bunga-bunga seta kiasan yang indah sekali...sang lelaki dan wanita..cinta....Qada dan qadar ALLAH.....

    BalasHapus
  8. Terima kasih. Abang sudah baca posting yang sebelumnya? Tengok-tengoklah bagaimana si perempuan meluahkan perasaan hatinya.

    BalasHapus
  9. Lha ya toch, eh tak kandani, empi iku kanggo latihan nulis. Gurune kae lho mas Suga. Mbesuk yen wis pinter didol tulisane. Ayo miwiti.

    BalasHapus
  10. Hu'um bun! Si om suga mah dah mahaguru.... ga pnya waktu bun... lagian ga pnya kompi.... ke warnet ga ada wktu..

    BalasHapus
  11. indah bgt bun rangkaian kata2nya :)

    BalasHapus
  12. Hiks... Tante... Speechless saya dibuatnya... Apalagi pas baca ini lagi di Garut, sendirian, dan baru saja berhenti hujan... :-((

    BalasHapus
  13. Eh, lha kok ngerti yen oom Suga ra duwe kompi? Mannya dia saudaramu tha Lin?

    BalasHapus
  14. Terima kasih, semoga berkenan mampir lagi.

    BalasHapus
  15. Memang kenapa? Biasa aja lagi! Selamat malam, semoga nggak kedinginan sendirian.

    BalasHapus
  16. Ndak Tante, saya ngerasa sedih yang sangat aja pas baca ini... Hujan yang baru berenti selalu bikin perasaan saya sangat mellow, dan suka kebawa suasana gloomy gitu... Hiks...
    //duh, gosong deh tempenya. Beneran Tante, saya lagi goreng tempe... :-D...

    BalasHapus
  17. What? Tempe Bean cake? Aduh ngiler nih tante..........

    BalasHapus
  18. Kyaaaaa.... yg ga punya kompi lina bun!! Si om suga mah lina ga ngerti...

    BalasHapus
  19. Bunda, makin bagus aja tulisannya :)

    BalasHapus
  20. Haduuh..bunda makin pinter aja nulisnya..kapan diterbitkan buku2nya?

    BalasHapus
  21. Wah kok gitu? Bagus ya? Udah dari dulu 'kale????!!!!

    Hehehe...... terima kasih.

    BalasHapus
  22. Halah mbak Ita, jadi malu nih saya. Kayaknya saya nerbitin buku nunggu ada sponsornya aja deh. Terima kasih ya mbak.

    BalasHapus
  23. Pemilihan katanya itu lho Bu.... hobi bacanya terlihat sekali :).

    BalasHapus
  24. Baca apa ya mbak? Palingan saya sih baca komik sama roman picisan yang murahan itu hehehe.....

    BalasHapus
  25. Tapi kelihatan nyastra lho Bu :D.

    BalasHapus
  26. Ah, iya. Saya memang udah baca Majalah Horison sejak SMP kelas 2. Sama Gema Tanah Air yang berupa antologi sastra tulisan HB Jassin itu. Jadi terpengaruh kayaknya.

    Malah komik sebetulnya saya kurang suka. Apalagi roman picisan yang dulus ering ditulis Motinggo Boesje, aduh........ nggak banget deh!

    Ketahuan ya selera saya sastra?

    BalasHapus

Pita Pink