Powered By Blogger

Kamis, 05 Maret 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXXII)

Negeri baru tempat penempatan suamiku ini memang unik. Semua sistem masih serba tertutup. Bahkan terkesan "angker". Kami dikumpulkan menjadi satu dengan para duta bangsa lain di suatu lokasi yang tersendiri. Di seputar tempat inilah kami biasa menghabiskan hari-hari kami di musim panas yang cukup terik maupun di kala dingin menggigit tulang sebab temperatur bisa berkisar di bawah nol derajat celcius. Ada toko-toko khusus orang asing yang menjual kebutuhan kami sekali pun terbatas. Selebihnya, sport centre kecil-kecilan serta karaoke bar tempat menghibur diri.

Anak-anak kami masuk International School yang memang dikhususkan untuk kalangan kami. Tak ada kegiatan lainnya bagi kami kaum istri, selain mengantarkan anak-anak ke sekolah yang jaraknya begitu dekat dari rumah, atau bersosialisasi dengan tetangga sambil bertukar kepandaian.

Temanku Noriko dan Tomomi wanita Jepang yang senang bersosialisasi dengan keluarga para diplomat, gemar mendemonstrasikan kemahiran merangkai ikebana, sementara kami wanita Indonesia membalasnya dengan mengajari mereka memasak masakan tradisional atau membagi pengetahuan tentang kain-kain tradisional Indonesia. Lalu Brigitte perempuan Belgia yang diperistri diplomat Australia di dekat rumah bu Bernardo temanku, menularkan ilmunya membuat permen coklat. Sungguh suatu kegiatan yang bersifat kewanitaan, kerumahtanggaan dan terkesan dari itu ke itu saja. Tapi aku amat menikmatinya.

Perwakilan ini sangat sepi, sesepi negerinya. Hanya ada 5 orang staff termasuk kepala perwakilan kami yang ditugaskan negara untuk menjaga hubungan baik yang sudah terlanjur ada sejak RI baru merdeka.

Tak seorang pun di antara kami yang punya anak kecil-kecil kecuali aku. Keempat keluarga lainnya tak ada yang disertai putra-putrinya sebab mereka tak mungkin melanjutkan sekolah di perguruan tinggi di sini atau pun di Sekolah Internasional di sini mengingat pendidikan mereka sudah di puncak tangga. Jeng Hendro bahkan pengantin baru yang masih dalam proses mengupayakan kehamilan.

Untuk memenuhi kebutuhan pokok kami dan dapur dinas, kami harus berbelanja ke luar negeri naik pesawat milik negara, satu-satunya perusahaan penerbangan yang beroperasi di sini. Biasanya suamiku ditugasi untuk ke sana, dan aku sekalian ikut berbelanja kebutuhan semua keluarga. Inilah masanya kami melepas kejenuhan.

Sebagai tanda terima kasih kepada para penjaga keamanan dan tukang kebun yang disediakan pemerintah setempat untuk kami, biasanya aku akan membawakan sekedar makanan sebagai oleh-oleh di waktu pulang. Mereka mengambilnya dengan takut-takut begitu Kurnia pembantuku menjauh dari tempatnya meletakkan oleh-oleh di semak-semak pepohohan bunga. Aku sering tersenyum sendiri karena menganggap lucu waktu mengawasinya dari dalam rumah.

Negeri penempatan kedua kami ini memang sangat unik. Manusia seperti sama dimana-mana. Berbalut pakaian yang sejenis, berwajah persegi empat yang dingin. Serba tertutup dan menjemukan.

Tapi di balik itu ada sebuah hati yang jujur. Setidaknya begitu yang kurasakan dalam pengamatanku. Tak ada seorang pun yang berani melanggar aturan yang ditetapkan kepala pemerintahan mereka, sekali pun toch tak ada juga yang kelihatan mengawasi. Aku angkat topi pada sikap mereka.

-ad-

Tujuh bulan di sini rasanya sudah lebih dari setahun. Meskipun kami tidak pernah kekurangan informasi sebab stasiun televisi Indonesia secara ajaib bisa tertangkap dengan parabola, tetapi kami tetap rindu kehidupan yang normal dengan listrik yang benderang serta hiruk-pikuk manusia di kepadatan Jakarta yang panas menyengat.

Maka ketika isteri boss suamiku minta ditemani memeriksakan kesehatan ke luar negeri, hatiku cukup senang. Bukan karena aku bahagia atas penyakit seseorang, justru aku bisa menghirup hawa luar barang sejenak sebagai selingan pembunuh sepi. Apalagi mas Tri dan anak-anak tidak berkeberatan kutinggalkan.

Bu Farid memilih negeri tempat tugas pak Taufik, mengingat beliau tahu aku punya hubungan baik dengan keluarga pak Taufik. Hatiku menjadi semakin senang. Sudah terbayangkan sambil menyelam minum air. Sambil menemani bossku, bertemu dengan sahabatku pula dan aku bisa pesan macam-macam bahan kebutuhan pokok darinya mengingat di negeri itu nyaris semua kebutuhan dapur Indonesia tersedia lengkap.

-ad-

Ami menyambut kami dengan senang hati, tidak di rumah dinasnya melainkan di bandara. Wajahnya tetap ceria seperti dulu, bahkan menakjubkan, dia lebih gemuk sekarang. "Ya, entah kenapa sejak saya dioperasi, selera makan saya biasa-biasa saja, tapi setiap yang  saya makan akan jadi daging," cerita Ami sambil tertawa-tawa. Nampak sekali dia sangat bahagia bisa berjumpa lagi denganku. Dan nampak juga kebahagiaannya bisa bertemu dengan bu Farid yang baru kali itu dikenalnya. "Jarak angkatan suami kami jauh, mungkin pak Farid sudah kembali dari pos pertama suami saya baru lulus test masuk," terang Ami yang dibenarkan pak Taufik.

Sungguh suatu kebanggaan dan kebahagiaan bagiku bisa menginap di rumah dinas mereka yang tentu tak sembarang orang bisa menikmatinya. Apalagi merasakan kehangatan tuan dan nyonya rumah kami yang luar biasa terhadap bu Farid yang baru mereka kenal saat itu.

Ada foto-foto Rizqi dan Ridho di ruang keluarga mereka, membuatku serasa berada di rumah sendiri. Belum lagi staff di rumah tangga mereka yang juga ramah-ramah seakan telah lama mengenal kami. Bu Yati, mbak Dinah dan kang Agus namanya.

Aku mendapat kamar di compound keluarga, menurut kemauan nyonya rumah, sementara bu Farid istri bossku menempati kamar untuk tamu. "Kalau si kakang datang, dia biasa tidur disini, jadi maaf ya kalau agak berantakan dan ada barang-barang si kakang di lemarinya," Ami menjelaskan sambil mempersilahkanku masuk.

Aku mengangguk setuju, "ya, nggak apa-apa kok mbak, kang Rizqi juga biasa menginap di rumahku," jawabku ringan sambil mataku terpaku pada sehelai piyama Rizqi yang tergantung di lemari bersama dengan beberapa helai pakaian lainnya.  Tiba-tiba aku teringat dia dan kejadian-kejadian dia menangis di rumahku. Hatiku tercekat tersedot ke arah rindu. "Kakang sudah seperti anak kami sendiri juga mbak," ujarku sambil memandangi Ami yang juga tengah menatapi pakaian-pakaian anak sulungnya.

"Di situ kamar si Ade, sayang dia sedang berlatih musik di sekolahnya. Sebentar lagi harusnya dia sudah pulang," Ami berkata lagi sambil menunjuk kamar di balik dinding kamar yang akan kutiduri selama disini. Ah, nyamannya, serasa berada di tengah-tengah keluargaku sendiri.

Malam itu kami makan bersama di ruang makan untuk tetamu sambil pak Taufik menanyakan kondisi kesehatan bu Farid agar bisa segera mencarikan dokter yang cocok. "Saya merasa cepat lelah sekarang ini, dan ada rasa penuh pada pencernaan saya," keluh bu Farid.

Tuan dan nyonya rumah kami saling berpandangan sebelum bu Taufik menyarankan agar menemui internist di salah satu rumah sakit besar tempat salah seorang tamunya dulu berobat. Bu Farid menyerahkan semuanya ke tangan mereka, sehingga diputuskan besok pagi Ami sendiri yang akan minta waktu ke dokter itu dan bersiap mengantarnya ke rumah sakit.

"Tak perlu dengan bu Taufik, terima kasih. Cukup didaftarkan saja bu, nanti saya bisa ditemani jeng Tri," usul bu Farid sopan.

Ami bersikeras ingin pergi sendiri, "tidak apa-apa bu, saya ikut juga dengan dik Nonik sekalian, eh, aduh maaf, saya terbiasa memanggilnya dengan nama kecilnya yang unik," jawab Ami malu-malu seraya menutup mulutnya dengan tangan.

Kami serempak tertawa. Bu Farid menjawab lagi, "nanti bu Taufik capek lho, saya dengar bu Taufik sendiri juga baru dioperasi berat?"

Ami tersenyum dan menjawab ringan, "ah, sudah lama, setahun yang lalu. Insya Allah saya sanggup."

Kesempatan ini kugunakan untuk mengorek lebih jauh kondisi kesehatannya sekarang. Dikatakannya bulan lalu dia memang baru dirawat lagi, tapi kali ini tidak mengalami pembedahan besar. Hanya pengambilan jaringan yang masih dalam pemeriksaan dokter di laboratorium patologi klinis. "Saya jadi sudah terbiasa dengan prosedur medis, bu, soal sakit sudah tak jadi perkara besar," urai Ami tegar. Selama ini dikatakannya keluhannya hanya pada organ kandungannya yang senantiasa ditumbuhi kista-kista di sana-sini. Terutama di indung telurnya yang masih belum dibuang. "Dokter masih sayang sama mas Taufik, Nik, biar dia puas," guraunya sambil melirik suaminya. Pak Taufik tersenyum kecut tapi tak bereaksi.

Malam itu kami tak mengobrol banyak-banyak, dia membiarkan kami beristirahat. Sungguh menunjukkan kehangatan pribadinya.

-ad-

Sambil menunggu bu Farid di dokter, kami asyik mengobrol berdua. Kelihatan sekali betapa Ami ingin menumpahkan semua perasaan yang lama dipendamnya dalam hati. "Aku bukan nggak tahu mas Taufik sibuk ya Nik, tapi rasanya aku sangat kecewa waktu tahu dia pergi meninggalkanku seorang diri bergelut di meja bedah," keluhnya dengan suara bergetar dan tertahan.. Wajahnya menunduk, namun kelihatan mata itu berkaca-kaca.

Aku mencoba mengerti, mulutku diam mengatup rapat sementara dia terus jua berkata-kata. "Dia selalu punya waktu untuk orang lain, tapi dia tak pernah punya waktu untukku," keluhnya lagi. "Tak sekali pun dia meneleponku waktu aku di rumah sakit. Dia hanya datang pada waktu jam bezoek, hanya itu," ujarnya lagi dengan terbata-bata. Kerongkongannya seperti kering dan berat menahan beban perasaannya. Air itupun mulai menetes.

Kucoba menguatkannya dengan memeluk bahunya. Juga menggenggam jari-jemarinya yang terasa dingin. "Mbak, tapi pak Taufik memang dari dulu sudah begitu toch? Mbak tentu tak lupa bagaimana hari-hari mbak di Eropa sana terkungkung kesendirian? Dan mbak terbiasa menyelesaikan urusan intern rumah tangga sendiri. Mbak ingat kita selalu belanja bersama-sama, ke kios cucian bersama-sama tanpa diantar pak Taufik? Juga ketika mbak sakit untuk yang pertama kali?" aku berhenti berkata-kata dan menatapnya menunggu reaksi yang keluar dari mulutnya.

"Ya, aku nggak akan pernah lupakan itu. Tapi aku kecewa Nik, dia seakan-akan tak ada perhatian lagi padaku, sejak saat itu hingga sekarang, begitu terus," rintihnya minta dimengerti. "Mungkin aku memang sudah tak ada artinya lagi buat dia," dan Amipun mengisak lagi. Para pengunjung di ruangan itu semua mulai memerhatikan kami membuatku jengah. Aku meraihnya ke pundakku, mengelus-elus anak rambutnya dan menciuminya. Bisikku, " ya mbak, aku mengerti, sekaligus aku bangga pada mbak Ami yang begitu tegar. Tanpa seorang istri yang penuh pengertian, rela berkorban lagi setia, tak mungkin pak Taufik ada di kursinya yang terhormat sekarang ini, sudah dulu mbak, tenangkan hati. Nanti malam kita bicarakan lagi di rumahmu."

Ami berusaha menuntaskan tangisnya dengan mengusap sisa-sisa duka itu memakai sehelai tissue yang kusodorkan. Laksana seorang pemain sandiwara terhebat, dia berhasil menguasai hatinya dan kembali tersenyum tepat ketika bu Farid keluar dari kamar periksa dokter diiringkan perawat akan berpindah ke ruang diagnostik untuk mendapatkan pemeriksaan penunjang. "Disana ruang roentgent, USG, MRI dan CT-Scan," jelas Ami. "Mudah-mudahan tidak ada yang serius pada beliau," kataku. Kami mengawasi hingga bu Farid hilang di dalam barisan bilik-bilik di ruang berkaca itu.

Dalam istirahat sorenya bu Farid menyatakan bahwa dia merasa sangat memberatkan Ami dan keluarganya. "Mungkin saya akan makan waktu seminggu disini bu Taufik, sebab hasil USG tadi masih akan ditindaklanjuti dengan biopsi dua hari lagi, mohon maaf sekali," pinta bu Farid.

Ami tersenyum lebar, "tidak apa-apa bu Farid, take your time, saya biasa kedatangan para pasien yang ingin berobat disini. Bagi saya ini bukan masalah. Adakalanya satu-dua pasien menginap sampai berminggu-minggu sesuai kondisi mereka, bu Farid tak perlu sungkan. Apalagi ada dik Nonik yang ringan tangan," kata Ami.

"Apa bu? Saya suka memukul, menyakiti orang?" sahutku pura-pura salah faham sambil memelototkan mata, "idih, amit-amit, ih....!"

Ami dan bu Farid tertawa serempak, "ye.... bukan begitu, ah, suka berpura-pura nih, senang membantu maksudnya," sahut bu Farid gemas. Kulihat Ami hanya tertawa sambil menendang kakiku, "anak nakal, dari dulu senang menggodaku, hayo!" lalu kamipun tertawa puas-puas sambil menikmati secangkir teh jahe bersama kue-kue dari dapur keluarga Taufik. Terasa indahnya hari-hari yang kami lalui bersama Ami. Barakallah, berkah-Mu ya Allah yang senantiasa kuminta untuk Ami teman karibku yang cantik hatinya.

(BERSAMBUNG)

23 komentar:

  1. weleh weleh...tos ka xxxii deui. tapi teu acan tiasa baca ayeuna. Bade apel heula ah ka bdg.
    wilujeng

    BalasHapus
  2. hehehe..kura2 dalam perahu nich ye...hiks

    BalasHapus
  3. "Tanpa seorang istri yang penuh pengertian, rela berkorban lagi setia, tak mungkin pak Taufik ada di kursinya yang terhormat sekarang ini."

    Dibalik kesuksesan seorang Pria ada Wanita dibelakangnya, begitu juga sebaliknya..

    Btw, aku blom pernah nyoba teh jahe deh buu...pengen dechh... ;)

    BalasHapus
  4. Tumben kang njenengan ngeneh?
    Ora nana lah teh-e, wis entong.

    BalasHapus
  5. Sumuhun bapa, da iseng ieu mah.
    Wilujeng angkat. Baktos ka bu Endjat.
    TT DJ

    BalasHapus
  6. pas kebeneran nyong menangi, yakin lah angger pas menangi ya kudu maca pituah lan critane rika lah

    anane apa ?

    BalasHapus
  7. Iya 'kan kalo suami istri pasti saling mendukung dan mendo'akan. sEperti pak Djatnika di atas tuh yang mau ngapelin bu Djatnika ke Bandung berhubung masing-masing punya karier sendiri-sendiri.

    Teh jahe mereknya Sariwangi apa bukan sih yang kotaknya kuning muda gambar batik lereng (kalo nggak salah)?

    BalasHapus
  8. Teh Prendjak sih ana, ulieh sekang Giant nang Bogor, kersa napa?

    BalasHapus
  9. ana-ana baen rika loh yu, kepriben rasane?
    angger teh susu tah sering

    BalasHapus
  10. waduh bun..pada basa jawa ngomongnya aku kurang gitu ngerti...nice story bun...:)

    BalasHapus
  11. Rasane wangi kaya wong mangan bolu. Kayane tah disogi vanilli kambi pandan. Jajal golet nang Jakarta kang, kotake kuning, tulisane abang. "Prendjak" nganggo ejaan lama.

    BalasHapus
  12. makin menarik ceritanya. Tanpa membaca cerita sebelumnya, sudah terasa utuh sekuel ini.
    :)

    BalasHapus
  13. suwun yu inpormasine, njajal ko tek golete

    BalasHapus
  14. Nggak kok, yang ngomong Jawa tante ladenin, yang ngomong Sunda (tuh pak Djatnika *sambil melirik ke atas*) juga tante ladenin. Tereima kasih ya udah mampir kesini. Apa kabar di Bogor hari ini? Besok long week end mo motret kemana?

    BalasHapus
  15. Aduuuuh...., jangan gitu lah mas. Kan jadi tambah malu dinilai sama sang guru. *mesem-mesem sambil nunduk.com*

    Terima kasih. Ceritanya terlalu keibu-ibuan ya mas?

    BalasHapus
  16. Wah, sambil menyelam minum air... *kembung tah bun!!

    BalasHapus
  17. Aumangga, dijamin ketagihan kang.

    BalasHapus
  18. Ben ae Lin, yang kembung kan bukan saya ya?

    BalasHapus
  19. bu julie, yang ini ya cerita di Korut,
    kalo disana adanya sekolah foreigners school, jadi khusus orang asing
    trus kalo gak salah gak ada kedutaan jepang sama belgia, tapi kalo orang jepang emang lumayan banyak, itupun udah campuran dengan korea.

    BalasHapus
  20. Hahaha..... gak ada Jepang sama Belgia ya? Saya rubah deh dikit biar gak ketauan banget ngarangnya. Terima kasih ya. Maklum namanya juga ornag ngarang hehehe......

    BalasHapus
  21. Bunda, nice story! Tutur bahasanya mengalir teratur....

    BalasHapus
  22. Aduh Uda, sudah deh.....
    Nih lihat, pipi saya sampe merah kayak tomat kebakar oven.
    Tapi, terima kasih, biar bagaimanapun juga.
    Saran saya, silahkan disimak dari yang pertama.
    Kata orang ada surprisenya. Bener nggak ya?

    BalasHapus

Pita Pink