Powered By Blogger

Rabu, 04 Maret 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXXI)

Senja merah jatuh di Jakarta. Matahari yang bulat berkilau di kaki cakrawala, menyembunyikan diri dalam balutan senja yang teramat indah. Burung-burung berlarian pulang kandang masih ada di sekitar kebun tetanggaku Haji Djamal di daerah Cibubur.

Kami sekeluarga sedang diundang berakhir pekan bersama keluarga Haji Djamal sepulangnya mereka dari naik haji. Rizqi ikut bersama kami. Katanya, bulan depan dia akan menengok orang tuanya sambil berlibur kenaikan kelas. Diceritakannya ibunya dalam keadaan sehat-sehat saja, namun tak lagi bebas keluar rumah seperti dulu. "Katanya sekarang ibu cepat lelah, tante," cerita Rizqi. Ayahnya juga baik-baik saja bahkan menurut suamiku mendapat penilaian positif dari big boss kami di Jakarta. "Bapakmu pekerja keras, dan pantas mendapatkan posisi di tempat sesibuk itu," kata suamiku pada Rizqi sambil duduk-duduk di luar rumah kebun membakar jagung. Kelihatan betul betapa bahagianya Rizqi disisi kami, dan juga menyadari akan keluarganya yang istimewa.

"Kakang harus bisa jadi lebih baik daripada bapak," ujarku menimpali obrolan mereka.

"Ih, tante bicara seperti ibu deh, ibu juga selalu bilang begitu," Rizqi terkikik geli sambil memandangiku.

"Iya, nggak salah 'kan kang?" balasku sambil menatap balik padanya.

Kepala berambut lebat itu bergoyang-goyang sambil tersenyum-senyum sendiri.

"Memangnya setiap ibu harapannya begitu ya tante? Atau tante memang kakak-beradik nih dengan ibuku?" jawab Rizqi terus memandangku dalam-dalam dan tertawa nakal.

Aku tersenyum sambil menyentuh rambutnya yang selalu membuatku gemas, "iya lah, kang, semua ibu ingin yang baik-baik untuk anaknya," jawabku. "Kakang keberatan?"

"Nggak, bukan begitu, tapi rasanya susah juga kalau jadi yang lebih baik daripada bapak. untuk menjadi sebaik bapak saja pengorbanan keluarganya besar lho. Harus rela kehilangan waktu kebersamaan dengan bapak, ditinggal-tinggal melulu dan harus pinter menjaga diri, begitu....." lontar Rizqi mantap. Gaungnya terasa di hatiku, Sangat mengena, betapa menunjukkan terlukanya hati sebuah keluarga yang sering ditinggal kepala keluarganya untuk urusan tugas dan kebutuhan sosial penunjangnya demi keberhasilan karier kepala keluarga mereka.

Malam itu di tengah perjalanan pulang, masuklah sebuah SMS dari Ridho. Dia mengabarkan bahwa ibunya masuk rumah sakit kembali karena sakit pada perutnya dan muntah-muntah. Semula ayah mereka tidak bersedia mengantarkan ke rumah sakit karena sedang melayani tetamu dinas. Tapi ibu mereka menangis di telepon, sehingga ayah mereka mengalahkan pekerjaannya dengan menugaskan salah satu staffnya menggantikan beliau. Sejak tadi siang ibu mereka kembali di rawat di rumah sakit.

Rizqi nampak murung dan prihatin. Aku menyuruhnya menanyakan pemicu kekambuhan penyakit ibu mereka. "Ibu juga habis menemani tetamu dari Indonesia, kang. Minggu lalu ada kegiatan besar di kantor yang diikuti banyak orang dari Indonesia. Dan ibu pastilah bertanggung jawab atas kelancaran acaranya, Siapa sih yang nggak tahu bagaimana ibu kita?" begitu jawaban Ridho.

Rizqi menghela nafas panjang di bangku depan di sisi suamiku yang menyetir perlahan menyibak keramaian Jakarta yang tak pernah tidur. "Tuh 'kan tante, jadi orang besar berarti harus mengorbankan kepentingan keluarga? Aku sih nggak mau mengalami yang begini. Kasihan istri dan anak-anakku nanti. Sudah cukup kami saja," Dia menggigit bibirnya kuat-kuat.

Aku memeluknya dari belakang, "berdo'a ya kang untuk ibumu. Jam berapa di sana? Tante mau kirim ucapan lekas sehat," kataku pada Rizqi. "Belum malam tante," jawabnya singkat. Maka segera kuketikkan SMS do'a untuk sahabatku tercinta, selagi hatiku pun turut layu menangisi nasibnya.

-ad-

Ami dikabarkan hanya menginap tiga malam di rumah sakit. Meski pun demikian, boleh dikata kondisinya sekarang semakin melemah. Karena itu ketika Rizqi berangkat menengok, aku mengiriminya jejamuan dari kampung orang tuaku, juga buku-buku kesehatan yang kuharap dapat membantunya memahami penyakitnya dan menjaga diri. Untuk Ridho kubelikan CD lagu-lagu terbaru di Indonesia serta film-film laris sekalian. Rizqi membawakannya dengan senang hati. "Duh, tante baik sekali, melebihi kebaikan keluarga bapak-ibuku sendiri," komentar Rizqi. Aku hanya tersenyum.

"Keluarga ibumu 'kan jauh di daerah semua," jawab suamiku beralasan. Rizqi balas tersenyum mengiyakan, "susah mau berhubungan," katanya.

Sepulangnya dari luar negeri Rizqi datang ke rumah kami membawa oleh-oleh balasan dari Ami. Kue-kue dan coklat kegemaran anakku serta sepotong taplak meja tamu yang khas dan cantik. Aku merabainya dengan senang hati. Begitu halus, kutahu pasti kain sutera yang tidak bisa dikatakan murah. "Tante akan mencari tukang pembuat bingkai, nanti taplak ini masuk ke dalamnya dan tante gantung jadi hiasan dinding indah biar nggak kotor-kotor," kataku senang sambil membayangkan rencanaku. Gambar sebaris anak-anak perempuan berkepang dua itu segera menyita pikiranku. Belakangnya berlatar gunung dan pohon flamboyan yang rindang. Ah, Ami sangatlah berselara seni. Aku menyukainya.

-ad-

Ami pulang kampung ketika anaknya akan menerima ijazah SMA. Aku menjemputnya dan menemaninya dengan senang hati sepanjang dia berada di Jakarta. Bahkan aku diajaknya ke daerah menengok keluarganya serta menziarahi makam kedua orang tua serta mertuanya.

Tubuh Ami masih seperti dulu, nampak bugar dan sedikit gemuk. Cerianya juga tak berkurang, hanya sekarang dia sering mengajakku untuk duduk-duduk dulu sekedar beristirahat. Dan sekali-kali dia kelihatan memegangi perutnya sambil membungkuk seperti menahan sakit.

Di sisi makam ibunya Ami berjongkok menghadap ke barat dan berdo'a, entah do'a apa. Setelah itu dia menyeberang mengalihkan posisi menghadap ke timur. Di situ dia berdo'a pula. Kelihatan sangat khusyuk, kadang air matanya nampak meleleh menuruni bukit-bukit pada tulang pipinya.

"Aku sudah lega sekarang, semoga Allah mendengarkan do'a ibundaku," celotehnya sambil meninggalkan halaman pemakaman yang senyap. Kaki-kaki kami menapaki dedaunan kering yang dihasilkan dari pohon kamboja rindang yang menaungi sebagian besar makam disitu.

Aku berdiam diri tak mengomentari celotehan Ami. Begitu juga kedua anak mereka. Di mobil suamiku menunggu dengan kedua anakku sambil menghirup es kelapa merah muda yang menggiurkan. Ami minta dipesankan satu plastik.

Aku tak menyangka, Ami, istri seorang pejabat negara yang cukup terhormat, masih bersedia menikmati hidup gaya kampungan, gaya rakyat jelata seperti keluarga kami. Dengan senyumnya yang senantiasa menawan Ami melirik dan mencubit pipiku, "ih, memang kenapa? Kalau sudah jadi nyonya pembesar dilarang ya? Mana aturannya?" protesnya. Anak-anaknya cuma tersenyum-senyum penuh arti.

"Nggak ada yang melarang sih bu, tapi nanti bapak marah lho kalau tahu," tiba-tiba si kecil berteriak sambil pura-pura membuang muka menatap ke kali kecil di dekat mobil kami parkir.

Ami cuma tertawa sambil menyambut es kelapa yang disodorkan kepadanya lalu meneguknya sangat nikmat. "Aku ingat jaman sekolah dulu," celoteh Ami lagi sambil terus tertawa-tawa puas. "Nggak ada yang bisa mengubah gaya hidupku," kata Ami tenang. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala, begitu pula mas Tri di balik setirnya.

Ami minta ditinggal di sana karena anaknya akan masuk perguruan tinggi disitu. Dia sudah didaftarkan pihak sekolah, dan dinyatakan lulus ujian saringan. Berdua dengan Ridho mereka menemani Rizqi mencari tempat tinggal dan kebutuhan selama bersekolah nanti. Di mataku Ami tetaplah ibu yang baik, yang punya kasih sayang serta perhatian terhadap keluarganya, Nyaris sempurna. "Apalagi yang kurang dari seorang Suratmi binti Supardi?" batinku dalam hati ketika meninggalkannya di tempat kakaknya. Aku bahagia menjadi salah satu sahabatnya.

-ad-

Sejak masuk perguruan tinggi, Rizqi jarang ke Jakarta apalagi menemuiku, karenanya aku agak kesulitan pamit padanya waktu suamiku mendapat panggilan mutasi berikutnya ke sebuah negara yang masih belum berkembang dan dibelit banyak persoalan. Tapi secara tak disangka, dia datang ke rumah tepat menjelang kami mengadakan selamatan mohon diri. Bersamanya ada seorang anak lelaki lagi, konon putra salah seorang kerabatnya. Rizqi menjadi agak kurus, tapi tetap kelihatan bugar. "Saya sekarang selalu pulang ke rumah kang Yogi, putra kakaknya ibu," katanya memberi alasan sambil memperkenalkan Yogi padaku.

Anak-anak itu begitu baik hati. Mereka membantuku hingga selamatan selesai, mencuci piring dan merapikan ruangan sebelum barang-barang diambil lagi oleh perusahaan persewaan alat-alat kebutuhan pesta. Tak ada yang berubah sama sekali pada diri Rizqi. Dia tetap Rizqi yang kukenal dulu, yang santun, rendah hati dan taat beribadah.

"Selamat jalan oom dan tante, juga adik-adikku," katanya sebelum berpamitan kembali ke kotanya. "Semoga semua baik-baik saja, senantiasa sehat walafiat dan membawa kesuksesan untuk menunjang karier oom Tri," ujarnya menyalami dan memeluk kami satu persatu. Di dada suamiku dia membenamkan mukanya lama sekali seakan-akan mencari kehangatan disitu. Juga pada bidang bahuku, dia menyandarkan kepalanya seraya berbisik, 'terima kasih atas kebaikan dan rasa kekeluargaan yang telah tante limpahkan pada saya, insya Allah Tuhan membalasnya."

Anak-anakku memandanginya dengan haru, "kakang nggak ikut aja sekalian?' tanya Hardiman menggoda. Dia hanya tertawa kecil sambil membelai-belai kedua anakku dan mendekapnya, "hati-hati di luar negeri ya, pergunakan kesempatanmu untuk belajar baik-baik, ini kesempatan emas untuk kalian mendapat pengalaman yang berharga. Kakang cuma bisa mendo'akan," lalu dia menjauh pelan-pelan melambaikan tangannya dari atas kendaraan Mitsubishi yang menjemputnya kembali ke tempat belajarnya.

Rizqi, bisikku, di sini di dalam hatiku ada dirimu. Aku tak akan pernah bisa melupakanmu. Sepatutnya aku meniru cara orang tuamu mendidikmu dan bagaimana ibumu yang sabar dan bijak bersikap. Bersama deru debu di jalanan kututup pikiranku dari Rizqi seraya mengunci pintu rumah, Senja kembali turun merayapi Jakarta menjelang malam.

(BERSAMBUNG)

22 komentar:

  1. Ih... lina kok jadi mengharu biru kyak gni bun! Hayyo tanggung jawb!

    BalasHapus
  2. Ya, nanti tak kasih cet ungu biar mengungu-ungu..........
    Kenapa sih kamu nak?

    BalasHapus
  3. Duh, ketinggalan jauh nih saya :(

    BalasHapus
  4. wah..sudah sampai level 30/...hebattt

    BalasHapus
  5. HJehehe..... kenapa jeng? Kepengin ikutan baca? Silahkan dikejar, kalau berkenan.

    BalasHapus
  6. Haduh, jadi malu sama sang suhu. Kebablasan ya muridnya pak?

    BalasHapus
  7. makin menarik nih jalan ceritanya

    BalasHapus
  8. Rizqinya dah besar ya Bun, dah kuliah. jadi inget waktu minggu kemarin waktu antar bank QQ ikut test SIMAK UI...gak terasa bank QQ juga sudah diambang dewasa..hmmm...

    BalasHapus
  9. Ah masa' sih?
    Aduh jadi tersupi-supi, eh, salah, tersipu-sipu *hmmmhmmmm...... terima kasih*
    (lalu aku membungkukkan tubuh, mengangkat ujung rok dan berjingkat).

    BalasHapus
  10. Oh, gitu? Atimu alus banget ya nduk?! Matur nuwun mbak LIna, kata Rizqi.

    BalasHapus
  11. Iya, kalo nggak dimajuin sampe kuliah, lha kapan cerber ini akan selesai? Hehehe......

    BalasHapus
  12. ya dehhh...kalo dah selesai artinya akan terbit Cerber yang baru dong yaaa....

    BalasHapus
  13. Konsekuensi sebuah jabatan ya... Saya masih suka bingung, bagaimanakah para pejabat itu membagi waktu untuk keluarga...

    BalasHapus
  14. Kuncinya ada di keluarganya mbak. Pasangan hidup dan anak-anaknya harus rela kehilangan kebersamaan. Tapi, sang pejabat juga harus tahu diri dan tahu berterima kasih. Jangan mentang-mentang keluarganya nggak rewel terus dia mau seenaknya aja di luar rumah. Upayakan setiap hari tetap ada waktu untuk bersama-sama di meja makan. Entah pada waktu makan pagi atau minimal makan malam.

    Ini nggak boleh disesali keluarganya. Yang penting barang setengah jam masih dilewatkan bersama-sama. itu yang saya terapkan di keluarga saya. Seperempat jam pagi plus seperempat jam malam (kalo sempat). Sebab di Indonesia sana isuk mruput suami saya sudah harus ngejar kereta ke kantor (kami nggak punya mobil demi kepraktisan). Malamnya kalo nggak ada halangan bisa ikut pulang dengan kereta, tapi kalo ada function (resepsi atau cocktail di rumah diplomat-diplomat asing di Jakarta atau dinas ke tempat lain) terpaksa kami makan sendiri tanpa si bapak. Sebab dia sudah ketinggalan kereta dan terpaksa pulang naik taksi yang tentunya dihadang macet sehingga samapi di rumah sudah hampir jam 10 malam kadang menjelang tengah malam.

    Di akhir pekan kami sempatkan makan bersama di luar rumah, dan bapaknya ngantar jemput anak-anak ke sekolah (untuk urusan ini memang kami ada mobil butut). Hehehe..... gitu aja., gampang 'kan?!

    Ayo mbak Leila belajar menyiasati hidup dari saya hahaha..... maaf sok tau ya saya?

    BalasHapus
  15. berumahtangga memang tidak sesederhana yang terlihat... cerita budhe,,, indahnya...

    BalasHapus
  16. Betul, makanya pesan moral cerita ini antara lain : Siapkan mental sebelum memutuskan untuk menikah. Selamat belajar sayangku.

    BalasHapus
  17. Nggak apa-apa lah Bu, namanya juga saya masih muda perlu belajar dari Ibu yang lebih berpengalaman :).

    BalasHapus
  18. Terima kasih, hatur nuhun, matur nuwun sanget. Padahal kula sanes guru.

    BalasHapus
  19. hadir bu....
    masih panjang nih ceritanya, hebat deh bu julie..

    BalasHapus
  20. Hehehe.... fantasiku lagi main Wat.
    Yang episode postingan hari ini fantasiku main di Pyongyang pake dasar referensi ceritanya bu Dubes sama pak Pol dulu. Bener nggak ya nggambarinnya? Kasih tau ya kalo keliru. Terima kasih sebelumnya.

    BalasHapus

Pita Pink