Powered By Blogger

Sabtu, 14 Maret 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXXIII) -TAMMAT

Hasil pemeriksaan jaringan pada hati ibu Farid bossku dikembalikan dengan satu catatan merah. Beliau didapati mengidap sel-sel yang tumbuh liar pada hatinya, sehingga diperlukan operasi pengangkatan. Air muka beliau kelihatan keruh, sebagaimana umumnya penerima vonnis penyakit-penyakit berat. Ami ikut bersamanya ke dalam ruang pemeriksaan dokter sewaktu beliau menerima hasil biopsinya kemarin. Dan di pundak Ami tergantung beban itu. Melipur duka, menghapus ketakutan dengan menyemangatinya. Sungguh bukan sesuatu yang sama sekali mudah untuk Ami. Sebab Ami sendiri kurang lebih berada pada posisi yang sama.

Kudapati keduanya tengah duduk berpelukan di teras rumah dinas suami Ami sore itu. Ami menghapus lelehan pada pipinya, selagi bu Farid terguncang-guncang dengan isakan yang memilukan di bahu Ami. Adegan itu tak berhenti waktu aku sampai di dekat mereka dengan tiga cangkir teh panas yang kuseduh di dapur.

"Saya takut menghadapinya bu Taufik," keluh bossku disela-sela isaknya.

"Bu Farid, percayalah sehabis operasi itu ibu akan kembali pulih. Lihatlah saya dan banyak kawan-kawan saya yang numpang berobat disini. Mereka tidak pernah kembali lagi untuk berobat," jawab Ami lembut. Bibir itu terkatup rapat saling menggigit menahan tumpahnya kesedihan yang pedih.

"Tapi operasi itu sendiri menakutkan saya bu," keluh bu Farid lagi. Ia semakin mempererat dekapannya.

"Percayalah kepada Tuhan, Dia Sang Maha Penolong, kita minta pertolongan pada-Nya, tentu hilang semua takut dan galau di hati bu Farid," bujuk Ami lagi.

"Ya bu, kalau nanti ibu kembali ke sini untuk dioperasi, insya Allah saya temani lagi, kita perjuangkan bersama-sama," selaku menghiburnya. "Ibu pasti bisa melewatinya," kualihkan pandanganku dari cangkir-cangkir teh di meja kepadanya. Kepala itu masih terguncang-guncang dalam tangisan yang menghebat. Aku memeluknya juga dari belakang.

Perlahan-lahan tangis itu pun mereda, menandakan kepasrahan yang sudah berhasil diraihnya. Lalu kami pun menghubungi pak Farid untuk menyampaikan berita yang mengejutkan ini. Beliau menerimanya dengan tabah. Kata beliau lebih baik bu Farid pulang dahulu untuk menyiapkan kekuatan tubuh, memulihkan stamina menghadapi operasi berat itu. Karena itu keesokan harinya kami kembali ke Rumah Sakit untuk meminta bekal obat selama masa penguatan daya tahan tubuh itu. Lalu dua hari setelah itu kami bertolak pulang ke pos kami.

"Nik, do'akan aku ya, rasanya tak sanggup lagi aku dimusuhi suamiku tanpa alasan," bisik Ami ketika mengantarku ke pintu keberangkatan di Bandara.

Aku mengangguk, membelainya dan menciumi pipinya lekat-lekat, "ya mbak, bersabarlah, semoga beliau segera kembali dengan segenap jiwanya ke sisi mbak seperti dulu."

"Aku ingin terbebas dari rasa terbuang, Nik, do'akan aku," ucapanya lagi.

Aku mengangguk sebelum meninggalkannya ke dalam bandara di pagi yang belum lagi hangat itu. Hatiku tertinggal sebagian di situ untuk menyemangati Ami-ku yang merasa dilupakan oleh suaminya sendiri. Dia melambaikan tangannya sampai aku masuk jauh ke dalam sana melampaui meja petugas imigrasi.

-ad-

Bu Farid kembali ke tempat Ami berdua dengan suaminya setelah lelah dan putus asa menjalani pengobatan di negeri penempatan kami yang masih serba penuh kendala. Kamar perawatan beliau berupa sepetak dinding tembok sempit yang dingin dan kaku tanpa hiasan apa-apa di lantai lima rumah sakit terbaik di kota kami. Di kelas utama itu bu Farid hanya bertemankan sebuah radio tua dengan segala fasilitas medis yang terbatas. Jarum-jarum suntik yang dipakai untuk meredakan rasa sakitnya hanyalah sebuah tabung kaca dengan jarum besi tebal yang sudah sangat lama tak kelihatan di Indonesia. Sedangkan tiang infus yang menyumbang gizi ke dalam tubuh pasien tak ada disitu. Kulihat para perawat bergantian memegangi tabung infus kaca setiap seperempat jam sekali sambil membetulkan letak selang oksigen yang dialirkan dari tabung biru besar kuno. Aduhai, terbayangkan betapa sakitnya penderitaan pasien di sini.

Dari tempat Ami pak Farid mengabarkan bahwa istrinya telah menjalani pembedahan dengan selamat, bahkan justru kudengar Ami sedang menjalani tahapan kemoterapi untuk kasus kista pada indung telurnya. Lagi-lagi hatiku menangis untuk Ami.

Aku mencoba menghubungi Ridho ke ponselnya. Dia menjelaskan bahwa ketika perut ibunya sakit lagi dokter memutuskan untuk melakukan endoskopi, yang kemudian menyimpulkan temuan kista pada indung telur yang sangat besar. Kista itu  pecah sebelum sempat dioperasi, sehingga cairannya menyebar ke mana-mana dan menjadi kista-kista baru yang bertumbuh ganas. Sekarang Ami sedang berupaya melawannya dengan kemoterapi yang menyakitkan itu. Aku hanya berpesan pada Ridho untuk terus mendampingi ibunya dan menguatkan hatinya, karena sebagaimana yang sering diceritakan Ami, pak Taufik senantiasa sibuk dengan pekerjaannya dan hampir tak ada waktu untuk Ami.

Ridho berjanji memenuhi permintaanku. "Kasihan ibu tante, bapak memang sudah lama sangat dingin kepada beliau. Selama ini bapak nyaris tak banyak waktu untuk ibu. Bahkan sekedar duduk mengobrol pun tidak pernah dilakukannya lagi," kata Ridho melengkapi pernyataanku.

"Ibu sudah bingung tante, tak bisa memahami apa maunya bapak," lanjut Ridho dari ponselnya.

"Memang kenapa De? Bapak sama sekali sudah tidak menyapa ibu?" tanyaku penasaran.

"Ya bukan begitu tante, di depan publik sih masih wajar. Tapi di rumah tante, mereka seperti terhalang tembok tinggi. Bapak sendirian di muka televisi atau komputer, sementara ibu juga begitu. Hiburannya hanya menyanyi keras-keras dengan mesin karaoke yang baru dibelikan bapak setelah ibu merengek," jelasnya lagi.

"Bagaimana reaksi bapakmu atas kemunduran kesehatan ibumu?" pancingku lebih lanjut.

"Ya menyetujui langkah-langkah pengobatan terhadap ibu, tapi bapak sendiri tak pernah ada di samping ibu untuk mendengarkan penjelasan dokter maupun berunding mengambil keputusan tindakan pengobatan. Padahal kulihat ibu sangat lemah mental tante," suara perjaka kecil yang sudah pecah menjadi remaja ini kini kedengaran mulai bergetar dan lirih.

Aku tak habis pikir mengapa Allah masih setia menguji kesabaran Ami. Terbayang kembali Ami yang senantiasa ceria dan cergas itu. Kurangkah dia bersyukur pada Tuhannya? Aku bingung memikirkannya.

"De, selama ini siapa yang menemani ibumu ke dokter untuk perawatan?" tanyaku lagi.

"Supir kami dan istrinya, tapi lebih sering hanya supir kami sendirian. Bahkan ketika ibu menjalani endoskopi yang tentunya sangat menegangkan itu, ibu hanya bersama supir kami," jelas Ridho lagi.

"Ke mana bapakmu? Apakah sekarang bapakmu mulai dingin lagi dan mendiamkan ibumu seperti pernah terjadi dulu?" desakku.

"Ya tante. Bapak ada di kantor dengan pekerjaannya, dan ibu memang seperti saya bilang, sudah terhalang tembok tinggi lagi dengan bapak," Ridho membenarkan dugaanku. "Tapi mereka masih tetap bersama ke luar rumah kok, dan ibu diizinkan beraktivitas sebagaimana wajarnya. Tidak dikungkung lagi," suara Ridho kedengaran menyambung lirih namun memancarkan semangat. Aku lega dibuatnya. Ah, setidak-tidaknya Ami tidak terkurung seorang diri di dalam biliknya seperti ketika mereka di Eropa dulu, batinku tenang.

"Aku tahu tante, ibu sering mengeluhkan hal ini kepada para tetamu kami dan siapa saja, sebab ibu sekarang seperti sudah jenuh dengan kehidupannya. Konon kata teman-temannya di organisasi, sekarang ibu jadi sering 'telmi' tante," kata Ridho lagi mengeluhkan perasaannya padaku.

"Telmi bagaimana De?"

"Ya telat merespons permintaan organisasi pusat dan sebangsanya, ibu seperti berkutat dengan dunianya sendiri. Murung dan mengeluh ke mana-mana. Aku tahu ini tidak baik bagi kami, tapi aku cukup memahami perasaan ibu karena aku melihatnya sendiri, akulah saksi mata dari segala awal mula keadaan ibu. Bagaimana ibu tersakiti oleh ulah ayahku sendiri," kalimat itu menggantung begitu saja di mulut Ridho diikuti kebisuan yang panjang. Hanya ada tarikan-tarikan nafas dan desahan yang berat.

Tiba-tiba hatiku luluh lagi meluncurkan air mata yang entah kenapa selalu setia menemani obrolan-obrolanku tentang Ami. Aku ikut menarik nafas panjang. Ah, seandainya saja Ridho benar-benar ada di sisiku, ingin rasanya kubelai anak itu dengan segenap kasih sayangku. Terbayang kembali ketika dia kecil dulu di Eropa sana, tentang pertemuan-pertemuan kami di super market serta episode anak-anak yang ditinggalkan ibunya. Mataku basah dan buram oleh kenanganku. Aku menghapusnya dengan ujung blouseku sebelum kutup telepon dengan pesan agar Ridho tetap tegar, tabah mendampingi ibundanya.

-ad-

Berita yang sangat mengejutkan itu kuterima tadi malam. Pak Farid kembali dari tempat perawatan istrinya karena putra-putri mereka sudah tiba di Rumah Sakit dari tanah air untuk menggantikannya.

Bu Farid dalam kemajuan pesat. Diperkirakan dua minggu ke depan beliau bisa kembali ke pos kami dan melanjutkan pengobatannya dengan kemoterapi di sini. Tapi di satu sisi, pak Farid menceritakan buruknya kondisi Ami yang sesungguhnya.

Pada saat meninggalkan rumah dinas pak Taufik untuk berpamitan, konon Ami baru dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan yang tak kunjung berhenti dari mulutnya setelah operasi beberapa bulan sebelumnya ternyata mendatangkan kebocoran pada usus halusnya. "Saya berpamitan pada beliau dari jendela kaca ruang ICU," cerita pak Farid. "Dan beliau sudah sehari di situ."

Segera aku menghubungi rumah dinas pak Taufik untuk memastikan keadaannya. Ibu Yati staff di rumah tangga pak Taufik yang menerima teleponku.

"Ya bu Tri, ibu dirawat di ICU sudah tiga hari, dan kang Rizqi juga sudah datang," jawab bu Yati.

"Ada apa sebetulnya bu, dan bagaimana kondisinya sekarang?" tanyaku ingin tahu.

"Tadinya ibu masih biasa, habis kemoterapi dengan kang Agus suami saya terus menengok bu Farid di hotelnya. Malah ibu masih sempat ngobrol dan mencarikan buku tentang perawatan penyakit kanker untuk bu Farid di toko dengan putri bu Farid," jawab bu Yati.

"Oh, ibu masih bisa jalan-jalan minggu lalu?" tanyaku lagi.

"Ya bu, ibu 'kan memang nggak kelihatan seperti orang sakit betulan. tapi tiba-tiba kemarin dulu itu mengeluarkan darah dari mulutnya tidak berhenti-henti sampai lemah dan akhirnya nyaris pingsan," tutur buYati lagi.

"Nggak ada yang tahu ya bu?' tanyaku.

"Nggak bu, bapak dari pagi di kantor dan nggak pulang makan siang. Ade Ridho di sekolah, kami di belakang semua. Tahu-tahu sore hari waktu saya mau mengantarkan kopi untuk ibu, saya dapati ibu sudah tertidur lemah sementara di dekatnya ada ember kecil penuh cairan merah," jelas bu Yati.

Hatiku geram mendengarnya. Rasanya aku begitu ingin lari mendampinginya. Lag-lagi dia antara ada dan tiada di dunia suaminya sendiri.

"Bu," tanyaku lagi, "apakah selama sakitnya yang sekarang bapak suka mendampingi ibu ke dokter dan ikut mendengarkan konsultasi dokter dengan ibu?"

Bu Yati kedengaran berdehem sebelum mulai menjawab, "nggak bu, setiap ke rumah sakit ibu selalu dengan saya atau kang Agus. Bahkan ketika saya mendapati ibu hampir pingsan, bapak entah di mana, kami tak bisa menghubunginya di kantor. Akhirnya Dinah yang ambil keputusan menyuruh suami saya mengantarkan ibu kembali ke Rumah Sakit. Lalu dokter langsung memasukkan ibu ke ICU hingga hari ini."

Berat sekali rasa di dadaku. Ingin ku menjerit menuntut pada Sang Kuasa agar meringankan beban derita sahabatku Suratmi. Sudah terlalu banyak yang kulihat sendiri dan kudengar tentang Ami. Termasuk kegemaran suaminya "bersenang-senang" di belakang keluarganya. Kemesraan yang dipertontonkannya sekali-kali itu jadi nyata hanya sebagai kamuflase belaka untuk menutupi kecurigaan pandangan orang di luar rumahnya.

-ad-

Tiba-tiba tadi pagi inbox pada E-mailku menerima limpahan cerita seseorang di milis.Tentang perempuan yang merana ditinggalkan suaminya. Tentang seorang suami yang tidak bisa mengerti istrinya dan tentang perasaan istri yang merasa suaminya telah mengalihkan cintanya.

Pernikahan mereka bagai sayur tanpa garam. Hambar tanpa canda tawa dan kegairahan hidup. Semua yang ada hanya sekedar kepura-puraan untuk memoles buruknya intensitas komunikasi dan kedekatan hati mereka satu sama lain.

Dalam cerita itu sang istri menemukan penyebabnya, ada "cinta lain" dari suaminya. Seorang kawan di masa lalu yang datang kembali dan jadi bagian dari kegairahan hidup suaminya sekarang. Perempuan mana yang tahan melihat kenyataan itu?

Perempuan menderita itu kini telah berpulang dengan mengubur serta cintanya yang dalam pada sang suami, disertai permintaan maaf telah menjerat suaminya ke dalam percintaan yang dipaksakan dan pernikahan yang tak dikehendakinya.

Lalu muncul kesadaran pada lelaki itu bahwa apapun yang ada di hatinya, dia tetaplah harus tunduk dan melihat pada kenyataan. Wanita lain yang jadi pilihannya itu telah berhasil menyadarkannya akan arti sebuah tanggung jawab. Lalu lelaki itu meresponsnya dalam sebentuk kalimat manis, "aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau sarankan." Namun itu tak akan pernah lagi terlaksana. Sang istri terlanjur pergi menghadap pada-Nya sebelum datang kesempatan itu. Bersama perasaan dalam hatinya yang diungkapkan dalam sebentuk suratnya pada sang suami :

"Sekarang aku menyesal memintamu melamarku. Engkau tidak pernah bahagia bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan cintamu. Aku bukanlah wanita yang sempurna yang engkau inginkan."

Jauh di dalam hatiku aku teringat akan Ami dan pak Taufik. Akan kah Ami juga menutup matanya bersama dengan lembaran cinta yang telah ditulisnya bersama suaminya dengan sebatang pensil? Dia merasa telah kehilangan semua cinta kasih dan perhatian suaminya. Dan dia merasa telah menyiksa diri suaminya yang telah memilih menikahinya atas dasar keterpaksaan belaka.

"Nik, seandainya dulu aku tak pernah meminta mas Taufik melamarku, mungkin jalan cerita kami akan jadi lain. Di sisinya kini tentu ada bunga-bunga cinta yang semerbak, bukan seonggak sampah berbau macam diriku," kuingat Ami pernah mengeluh padaku suatu saat dulu waktu dia lelah menunggu kehangatan suaminya yang tak kunjung datang. Yaitu ketika sinar-sinar cinta mulai luntur dari sorot mata suaminya.

Tiba-tiba dunia jadi gelap buatku. Aku menangis sendiri di ujung telepon yang tak jadi kusambungkan ke ponsel Rizqi. Anak-anak itu bermain-main di mataku menjadi sepenggal kepedihan yang tersirat nyata. Oh Tuhan, bisikku, jangan biarkan mereka hancur. Jangan biarkan Ami terkubur bersama cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Kemudian aku pun lelap dalam kesendirian lamunanku lagi.

Biru itu tak sebening lautan. Tak selamanya yang nampak cantik di permukaan mencerminkan keindahan di kedalaman sana. Kutemui kini pada diri Ami biru yang keruh, yang berisi lelehan nestapa cinta ternista dari perasaan seorang istri yang terbuang.

Ah, tapi aku akan bersikap sama leganya dengan Ami sahabatku. Di ujung usianya dia telah menghadiahkan suatu kedudukan yang baik bagi lelaki yang dicintainya setulusnya. Maka kuyakini Ami akan pergi dengan tersenyum dan menatap dunia di bawahnya penuh arti. Tugasnya dalam rumah tangga kini telah selesai.

(TAMMAT)

26 komentar:

  1. hwaaaaaaaaaaaaaaa..... kok dah selesai???????

    *ketabahan ami... kekuatan ami...*

    hiks.... arep mewek dhisik ah...


    ** kok baru nyadar bunda dah posting yach???? padahal tiap malem aku onlen

    BalasHapus
  2. Lha ini baru posting sejam yang lalu. Terus udahan aja deh. Bunda lagi sibuk sekarang. Maaf ya kalo jalan ceritanya nggak menarik dan nggantung. Pengarangnya baru belajr bikin yang pertam aini sih. Mana terus direcokin kesibukan sisan hehehe.....

    Sampai jumpa dan terima kasih!

    BalasHapus
  3. wah, cerita yg menarik. Dgn sedikit dikemas, akan menjadi cerita best seller...
    Ntar, kl ada waktu, dilanjut, ya mbakk...

    BalasHapus
  4. budhe, Ok banget! akhirnya selesai,,, dan saya banyak tertinggal :(

    di-save ah... Iya nih, budhe, jadiin novel ajah, hihihi

    BalasHapus
  5. Menarik apa sih mas? Wong nggak ada yang angon dan nggak ada supirnya....
    Menarik becak? Menarik sapi? Menarik anjing? Hehehe.... bisa'an aja deh.........
    Terima kasih udah ikutan baca ya mas.

    BalasHapus
  6. Selesai aja ah mbak. Lha bingung, ceritanya mbundel disini terus.

    BalasHapus
  7. jadi gak ada sesuatu apapun terjadi si taufik mbak? kok bisa?

    BalasHapus
  8. Case closed karena yang nulis not in the mood anymore. Nanti lagi ya kalau udah ada kesempatan diterusin dengan part II. Maaf juga nih aku lama nggak posting.

    BalasHapus
  9. ya udah..gue yg terusin..

    Berita mengejutkan yg aku dapatkan saat aku lagi menggoreng terasi membuatku duduk terhenyak. Entah apa yg harus aku pikirkan saat ini, antara terkejut, sedih, atau malahan berkata "yg benar pasti benar. yg salah pasti akan ditunjukkan jalan."

    Ami menelponku, di antara isakan tangisnya, dia berkata bahwa suaminya mengalami kecelakan dimakan ikan piranha saat lagi bungee jumping di sungai Amazon. Ah, aku rasa bersalah telah mengatakan pada Pak Taufik yg memang ingin mencoba bungee jumping, supaya coba sungai amazon. Dia sempat bertanya bukannya ada ikan piranha, tapi aku mengatakan "Loh sudah digoreng semua pak! Sudah abis!"

    Pak Taufik.. maafkan aku. Aku pikir ikan piranha itu sama dengan ikan lele.

    Dan saat aku terdiam menyesali kata2ku, mobil pemadam kebakaran datang dgn suara sirinenya mengaum2. Aku berpikir, ada apa kah gerangan mereka datang ke rumahku? Oh, rupanya terasiku hoooaaanguusss je! Lupa matiin! Asyik melamun kabeh! sampek asepnya keluar jendela ke rumah tetangga dikira kebakaran!

    TAMMAT.

    BalasHapus
  10. masih menggantung nih kayaknya ceritanya.

    BalasHapus
  11. Iye, maap sodare-sodare. Soalnye lagi gak bise nulis lama-lama. Tibang nengok Mp doang. Laen kali aja deh aye terusin kalo ude ade waktu lowongnye.

    BalasHapus
  12. bunda, ada yang ganjel niyyy....hiks..hiks..hikss... :(

    BalasHapus
  13. Iya maaf ya. Habis daripada nggak punya waktu buat nulis di Mp mending udahan aja dulu ditammatin. Lain kali kalo dah sempat aku sambung lagi. Maaf ya. Sekarang aku kalo ngempi cuma nengok doang.

    BalasHapus
  14. sibuk ya bunda, kalo lagi nengok di MP mampir ya bun, tengokin Krisna sekalian.. :)

    BalasHapus
  15. bunda....kok dah tamat aja neh....
    masih penasaran sama nasib ami selanjutnya.....

    BalasHapus
  16. Iya mbak, terpaksa ditammatin disini. Soalnya sibuk daripada jarang nengokin Mp nanti jadi tanda tanya hahaha.....

    Kalau ada waktu luang lagi seperti dulu sih mau deh saya terusin.

    BalasHapus
  17. Akhirnya masih menggantung ya Bu... hiks, sedih deh.

    BalasHapus
  18. Habis saya nggak tega nerusinnya. Aminya lagi kritis dan kritisnya ora wis-wis. Nanti kalau udah ada endingnya, mending diterusin jadi buku beneran aja deh........

    BalasHapus
  19. Akhirnyaaaa.... tamat juga.
    Bunda, jujur ya.... saya lebih suka cerita ini dibanding Elizabeth Millar.
    Bukan berarti yang satu itu gak bagus. Cuma yang ini ceritanya lebih mengalir. Baca satu episode terus saya gak bisa berenti sebelum selesai...
    Jempol deh...

    BalasHapus
  20. Ah, masa' sih? Jempol apa? Kaki gajah bunting yang bengkak? Hehehe........ bisa'an aja ih si cicik mah bikin saya malu!

    BalasHapus
  21. Setuju dengan novi. Lebih touching..

    BalasHapus
  22. Berarti boleh lanjut ke siti ya.

    BalasHapus
  23. Wah makin malu nih. Tapi ya udah diterima aja, padahal ini kan baru percobaan mengarang itu lho bang.

    BalasHapus
  24. Silahkan kalau berkenan. Nggak maksa kok. Selamat berselancar!

    BalasHapus

Pita Pink