Senin, 30 Maret 2009
LELAKI DAN CINTANYA : PENGELANAAN TAK BERUJUNG
Adapun garis-garis nasib dan guratan hidup bukanlah hak seorang manusia untuk menciptanya, dia hanya berhak mengikutinya. Buku manusia hanya Allah penulisnya. Dan lelaki itu juga tak bisa menuliskannya sendiri.
~ 00000 ~
Dari sekeping tanah, kemudian Allah meniupkan nyawanya dan jadilah dia. Demikian takdir mengharuskan. Di bawah jantung seorang perempuan disimpanlah dirinya, jasad dan raga yang bertumbuh oleh siraman cinta dan kasih sayang seorang ibu. Maka manusia itu kemudian terjadilah.
Dengan lelehan keringat, dan cucuran doa bunda, dia makan kebaikan apa yang ditumbuhkan dari bumi untuknya. Lelaki itu kemudian jadi satu tonggak yang tegak, yang mampu menopang banyak jiwa-jiwa yang tertakdir lemah. Juga dia payung bagi orang-orang yang kehujanan dan kepanasan di keriuhan kota. Lelaki itu kini perkasa.
Dia pernah lantang berucap, tak lengah dirinya mengintai bahaya, tak goyah kakinya diguncang gempa, tak luruh raganya dihembus angin. Dia bersedia untuk tegar dan tegak, selamanya. Demi seluruh makhluk di dalam genggaman takdirnya. Ialah perempuan yang ditakdirkan jadi istrinya itu, dan anak-anak mereka buah cinta yang menyala.
Lelaki itu bagai pokok beringin di tengah padang ilalang tua di perempatan jalan, pada pusaran kota yang bernama alun-alun. Lelaki itu, ya lelaki itu pernah tegar, teguh dan perkasa.
~ 00000 ~
Lelaki itu terlahir tanpa jati diri yang pasti. Hanya sehelai kulit dan selapis rambut. Lelaki itu haus kehangatan yang ditakdirkan tak pernah mampir di dalam lorong-lorong waktu kehidupannya. Dan lelaki itu bertumbuh dalam sepi. Seperti nasib yang tertakdirkan di dalam kitab kehidupannya.
Kemudian dua merpati beradu paruh, lelaki itu menyambut cintanya. Seorang perempuan penuh kehangatan yang juga terlahir pada masanya, apa adanya.
Dua merpati memuncak birahi, dan kami akan kawin, katanya. Perempuan itu mencoba tersenyum, membuka matanya, menajamkan telinga, mengolah rasa di lidahnya yang merah, dan dia tahu kekasihnya adalah lelaki beringin itu. Dengan segala rasanya, hambar, terkadang manis, sesekali pula masin bahkan masam.
Perempuan itu menyibak masa lalunya, dengan membuka kitab tua di tangan bundanya, lalu dia tahu lakon hidupnya. Baginya hidup adalah masa kini yang akan melaju hanya ke masa depan. Lalu dia sedia mengikatkan cintanya, dengan kesetiaan abadi. Merpati itu kini kawin di angkasa segara. Di antara riuhnya debur ombak lautan serta desau angin di mega-mega yang menjatuhkan titik-titik hujan. Di situlah berdiri sebuah rumah cinta mereka. Dua merpati yang kawin di angkasa..
~ 00000 ~
Satu demi satu prahara menjelang. Tonggak kaki sang ayah patah di balutan badai. Kepak sayap sang ibu menguncup di basahnya hujan. Lelaki itu adalah bocah yang terlahir papa, lara terbungkus dukanya.
Dia hidup dalam diam. Dalam senyap dan kebisuan dunia. Jelaga hitam jadi dinding rumahnya abadi membalut semua sepi yang ada.
Lelaki itu adalah nestapa yang terbukukan. Pada lembar kehidupan anak manusia.
~ 0000 ~
Pagi merebak naik. Anak dara terbang ke angkasa, menyucikan jiwa di telaga pelangi. Airnya matahari hangat yang mengucur tak henti. Memolesnya jadi sebentuk pualam, di gunung bebatuan. Dengan kilaunya yang kemuning gading, anak dara itu kecantikan yang asli.
Bening bola matanya menari-nari, pipih pita suaranya mendayu-dayu dawai. Anak dara itu pikatan banyak lelaki, dan burung-burung elok terbang bebas. Pusaran cinta dan jantung jiwa manusia birahi.
Lelaki itu menghambur ke pelukannya. Ke kedalaman dadanya yang membusung bukit. Ke sela-sela rambutnya yang mengurai mayang. Lelaki itu menanamkan cintanya disana. Pada dada perawan tak bernoda.
Lalu merpati itu jadi sejoli yang mengepak sayap, menjelang mega, mengangkasa raya, lupa pada tanahnya. Merpati yang bersarang di pucuk mapple, oak dan cemara hutan. Tempat mereka bercintaan sampai meletupkan nafsu birahi, birahi dan birahi yang tiada kunjung putus. Disitu merpati itu kawin. Pada jalannya, di ketinggian yang dingin.
~ 0000 ~
Sekali layar terkembang, laju bahtera diterpa badai. Tak goncang dihempas ombak, dihantam topan. Merpati itupun serupa. Tak layu disiram angin, yang menghunjam membelah seluruh sisi-sisi kehidupan mereka. Mereka terus mengepak, hingga beranak-pinak.
Tiba-tiba matahari naik ke atas kepala. Pada dentang waktu yang dua belas banyaknya. Lalu menebar silau dan membutakan mata. Mata hati lelaki itu. Maka melanglanglah dia, dengan segala kegelapannya, ke arah tak tentu, ke sudut-sudut alam maya yang tak tertangkap indera. Lelaki itu terbang menjauh. Sendiri.
Di sudut pokok yang tinggi, perempuan itu sendiri. Tertimpa sepi. Termangsa sunyi. Perempuan yang ditinggalkan.
Pada gugusan awan di lautan angin, lelaki itu berdiri tegak. Menebar senyum dan kharismanya. Lalu dia lupa jati dirinya. Ketika semut, kupu-kupu, murai dan srigunting mengajaknya pergi. Lelaki itu lupa dan terhanyut.
~ 0000 ~
Lalu perempuan itu mematukkan paruhnya. Menusuk luka yang menebarkan nanah dan darah noda. Perempuan itu menggigit lelakinya.
Sambil memegang kitab lauful machfudz di tangannya, perempuan itu terus bernyanyi, merintihkan luka yang perih di dalam batinnya. Dengan nada yang menyayat dan irama yang sendu. Perempuan itu menangis dalam-dalam.
Innalillahi wa innaillaihi roji'un. KepadaMulah semua akan dikembalikan. Seperti cinta dua merpati yang telah patah sayap kelelahan. Semoga Tuhanlah tempat mereka mereparasi cinta mereka.
Di sini, di dalam lipatan-lipatan jemari tanganku, kusimpan doa dan kuukir pinta, untuk keselamatan rumah cinta mereka berdua.
Dalam diam, dalam senyap, dalam dada yang penuh harap.
Rabu, 25 Maret 2009
PEREMPUAN DARI RUMAH YANG TERBELAH
Perempuan yang amat sangat bijaksana. Di hatinya ada sebentuk luka, yang menganga lebar dan dalam. Bagai sumur yang tak kering-kering dari mata air. Air yang dialirkan dari mata jiwanya yang menangis berlama-lama.
Perempuan itu nyaris tak bernama. Tanpa jati diri dan harkat kemanusiaannya. Dia tak lebih dari seonggok daging yang bisa diseret kesana-kemari, dicubit, disobek, diiris tergantung kemauan pemiliknya. Hari ini dia boleh jadi semur, mungkin lusa dia jadi abon dan terkadang dia jadi empal, tapi sangat mungkin kelak jadi rendang.
Perempuan itu bukan siapa-siapa. Hanya ibu dari tiga orang anak yang terlahir tanpa pernah meminta dilahirkan. Hanya sumber cinta dari tiga nyawa yang senantiasa haus belaian.
Perempuan itu adalah Kasih. Seorang peri kecil yang nyaris tak berharga. Terlalu maya untuk dunia yang fana.
~00000~
Kemarin suaminya mengabarkan berita buruk. Dia akan dipisahkan. Diserahkan kembali kepada habitatnya, di desa sana.
Perempuan itu didakwakan kesalahannya. Setumpuk noda dan sederet dosa. Tapi perempuan itu hanya diam.
Perempuan itu menerima nasibnya. Tak terucap kecewa bahkan lolong kesakitan. Sekali ini perempuan itu hanya diam. Diam dalam senyum yang membunga di sudut wajah lonjongnya.
Perempuan itu hanya diam. Menerima dakwaan suaminya sendiri, sambil terus jua tersenyum simpul. Dia tahu apa yang akan diperbuatnya. Dia akan melucuti pakaian mereka semua. Lalu bersama-sama bertelanjang di belantara manusia yang macam fauna.
Lalu diapun tersenyum lagi.
~00000~
Hidup baginya adalah lakon di panggung-panggung tonil berseri. Dengan dia sendiri sebagai pelakonnya disutradarai oleh lelaki yang sangat diagung-agungkannya, dihormatinya dan dipujanya.
Dia pernah jadi anak wayang pemuas nafsu syahwat lelaki itu.
Dia juga pernah jadi seseorang yang nyaris tanpa identitas. Hanya sekedar embel-embel pelengkap keberadaan lelaki itu juga.
Perempuan itu sudah mengalami semuanya.
Pahit manisnya hidup yang dilalui bersama lelaki kebanggaannya. Juga masa-masa ketika bunga-bunga bermekaran di padang cinta dengan siraman mentari hangat khatulistiwa. Atau melayu mati tersiram salju di kutub utara.
Perempuan itu diam belaka. Sesekali dia tertawa, selebihnya dia tersenyum.
Perempuan itu hanya diam. Ketika rumahnya yang begitu disenanginya terbelah jadi dua, tiga, bahkan nyaris menjadi empat. Perempuan itu cuma membisikkan do’a di balik leher suaminya. Di belakang ketiak hitamnya, yang dulu pernah sangat dirindukan kehangatannya. Perempuan itu membiarkan Tuhan menuntunnya ke surga yang jadi idamannya.
Perempuan itu pernah merasakan lukanya, ketika anak wayang lain melintas di panggung kehidupannya. Tapi perempuan itu tetaplah hanya diam, melihat, mengawasi, mengamati dengan lukanya yang membulat di bola matanya.
Ketika rumahnya kotor ternoda, perempuan itu juga hanya diam. Sampai tiba dorongan nafsu manusianya menyentak ke atas menyengat syaraf kemanusiaannya. Lalu terjadilah semuanya.
~0000~
Perempuan itu menghancurkan sendiri panggung drama mereka. Anak-anak wayang digeletakkannya tanpa aturan. Musik-musik pengiring dibunyikannya keras-keras ke segala penjuru bumi, membangkitkan segala makhluk yang bersemayam di tanahnya menjadi penonton yang tak jemu bersorak.
Perempuan itu tak lagi punya malu. Seperti dulu sang sutradara pernah mempermalukan harga dirinya tanpa malu. Hatinya terbangkit. Dan gejolak itu kini begitu meletup-letup.
Kini wanita itu tertawa sendiri. Dalam lukanya yang dalam.
Air mata itu tak ada padanya. Bahkan dalam alunan nyanyian yang tertumpah dari batinnya, dia dapat menari-nari elok. Perempuan yang sangat istimewa. Dialah Kasih, kekasih dari sejuta kekasih-kekasih Allah yang sedang menantikan pengadilan bagi cintanya. Akankah keadilan itu jadi miliknya?
Perempuan itu tak berani berharap. Dia hanya diam dalam sejuta doa di keheningan malamnya. Di balik tirai senyap di balik bilik rumahnya, yang sebentar lagi akan segera terbelah. Dan aku berdoa untuk kemenangan Kasih. Malam ini, dari kamarku di punggung bukit batu yang sunyi.
Bishopscourt, 2009
Selasa, 24 Maret 2009
TATAPLAH MATAKU SELAGI LENA
Tak pernah kubayangkan Enni akan menjadi seperti begini. Wajahnya yang tirus dihiasi rambut kusut masai bediri di hadapanku. Tulang pipinya menonjol tinggi menenggelamkan matanya yang cekung menjorok ke dalam.
“Masuklah dan duduklah dulu,” pintaku padanya seraya menggamit lengan yang tak segenggaman tanganku. Enni nampak tua dan lelah.Jauh lebih tua dari tiga-empat tahun yang lalu ketika kami sama-sama duduk di bangku halaman sekolah Rina, anakku. Biasanya sambil menunggui anak-anak kami belajar, Enni akan menyulam sambil mengobrol dengan ibu-ibu lainnya. Enni selalu penuh gairah, seakan-akan energinya tak pernah terkuras habis. Padahal konon dia punya lima anak, dan Listy sahabat anakku adalah si bungsu.
“Aku kesini tak akan lama, Myra. Aku cuma butuh bantuanmu. Barangkali kau punya sedikit simpanan untuk kau pinjamkan padaku,” katanya sambil merebahkan diri di sofa ruang tamuku.
Kuperhatikan seluruh penampilannya. Dia bukan lagi Enni yang dulu pernah kukenal. Enni yang gemar mengobrol dan bersenda gurau. Gurat-gurat di wajahnya menampakkan bahwa Enni kini menanggung beban.
“Kau perlu untuk apa?”, tanyaku. “Uang buku si Listy belum terbayar,” ujarnya malu-malu. Nampak rona merah di wajahnya. “Kau tahu sendiri ‘kan, kalau belum membayar uang buku, anakku tak mungkin memperolehnya. Padahal tahun ini mereka harus ujian akhir, tolonglah aku,” pintanya.
“Sudah setahun belakangan ini suamiku tak memberi nafkah yang layak," urainya seakan-akan ingin menegaskan kebutuhannya. “Mas Dhian punya hobby baru yang menguras gajinya. Dia selalu asyik dengan telepon genggam di tangannya yang keparat itu! Semuanya menghabiskan dana dan menelantarkan rumah tangga kami,” keluh Enni tanpa henti.
Enni menyebut satu nama yang seakan-akan tak asing untuk telingaku. Tapi aku tak bisa mengira-ngira dimana aku pernah mendengar namanya.
Pikiranku melayang-layang, menerawang menembus awan bergumpal yang nampak dari jendela ruang tamu. Aku juga gemar berrmain ponsel dan menghabiskan hari-hariku dengan benda satu itu. Bahkan aku punya lebih dari satu, untuk berhubungan dengan mas Yudi suamiku dan seseorang teman lainnya. Selama ini mas Yudi seakan tak peduli kalau tanganku asik merogoh-rogoh saku rokku dan menekan tombol-tombol kecil pada ponselku. Hanya pernah sekali dia bertanya, dan kujawab aku sedang menghubungi pelangganku.
Sebagai istri seorang guru musik, penghasilan kami tak pernah mencukupi. Itulah sebabnya mas Yudi dulu mengijinkanku melanjutkan karier di suatu instansi pemerintah sambil membuka usaha persewaan baju daerah. Aku menempati posisi sebagai staf humas pemda dan punya pergaulan yang luas. Bossku senang dengan penampilanku yang modis, dan konon, gerakku yang cekatan, sehingga setiap kami kedatangan tamu dari pemda propinsi atau bahkan pejabat-pejabat pusat akulah yang harus melayaninya. Dalam salah satu acara aku harus melayani pejabat dari Jakarta, Pak Murdhianto, namanya.
Pejabat yang satu ini sungguh supel dan pandai mencuri hatiku. Tubuhnya pendek agak mengarah ke gemuk. Tapi, otaknya sangat cemerlang. Di saat aku mengalami masalah dengan pekerjaanku yang tak terselesaikan, pak Yanto akan selalu siap membantu dengan jawabannya yang jitu. Lain sekali dengan mas Yudi yang gemar mengular kambang bagaikan irama musik klasik yang dihasilkannya ketika dia menuntun muridnya yang jumlahnya tak seberapa.
“Ayolah, Sri, tolonglah aku. Kemana lagi aku harus minta tolong kalau bukan kepadamu orang tua Rina? Bukankah anak kita tak pernah putus bersahabat?” desak Enni meluruskan pikiranku yang melayang. “Kau cukup mampu Sri. Kalian berdua bekerja semua, dan usahamu pun kulihat makin maju,” rayunya.
Kupandangi Enni tak berkedip. “Suamimu kemana?” Tanyaku memecah suasana.
“Dia di Jakarta. Tapi sekarang dia tak menghasilkan apa-apa lagi untuk kami.”
“Maksudmu?” Tanyaku ingin tahu.
-*****-
Suami Enni seorang pejabat instansi pemerintah pusat. Menurrut Enni kedudukannya sudah cukup tinggi. Seminggu sekali dia pulang ke rumah menjenguk anak-istrinya, akan tetapi hari-harinya kerap dihabiskan di Jakarta. “Ada mess pegawai yang bisa dipakai menginap,” terangnya. Dan Enni beserta anak-anaknya juga pernah dibawa berkunjung kesana.
“Kau yakin dia tinggal sendirian?” tanyaku penuh selidik. Enni bangkit dari duduknya, seakan terperangah seraya menajamkan matanya padaku. “Maksudmu apa? Kalau mau beri aku pinjaman, tolonglah sekarang. Tapi jangan kau tanyai aku macam-macam,” geramnya.
Aku tak beranjak dari dudukku. Kuperbaiki letak kedua kakiku, kini saling menjejak tanah. Enni masih memandangiku lurus tak berkedip. “Maaf En,” katakiu. “Kamu jangan tersinggung, jaman sekarang seorang lelaki sulit untuk dipercaya,” kucoba menyusun kata selugas mungkin.
“Memang banyak lelaki tak setia sekarang ini. Akupun menyadari itu. Suamiku sendiri selalu sibuk dengan ponsel di tangannya setiap kami berkumpul. Tapi, anadaikata dia berselingkuh pasti bukan dialah penyebabnya,” celoteh Enni.
Belum sempat aku menyahut Enni sudah membombardirku dengan pernyataan selanjutnya yang tak kalah mencengangkan. “Perempuan itulah yang jahat. Dia tidak berperasaan. Ibarat seekor ayam, dia tak malu hilir-mudik mencari pejantan di luar kandangnya. Jika dia sudah jadi masakanpun jangan salahkan orang yang menyantapnya. Bagaimana mungkin mereka tak tergiur kalau ayam itu bergeletakkan begitu saja tanpa tudung saji?” keluhnya panjang lebar.
Kini giliran aku yang terperangah! Hatiku serasa tertusuk oleh kata-katanya. Terbayang di mataku istri pak Yanto yang entah siapa namanya tiba-tiba mendatangiku dan mencaci aku sedemikian rupa. Di belakangnya anak-anak pak Yanto mengepalkan tinjunya membulatkan hati hendak membela ibu mereka.
“Sudahlah Sri, aku datang hanya minta bantuanmu. Kalau nanti mas Dhian kembali kubayar tunai semuanya,” pinta Enni lagi.
Cepat-cepat aku beranjak menuju kamar untuk menggenggamkan tiga lembar ratusan ribu ke tangannya. Diterimanya dengan penuh suka cita. Senyum mengembang di bibirnya namun tetaplah senyum hambar yang tak bergairah.
-*****-
Hari sudah menjelang pukul enam petang ketika aku menutup pintu rumah untuk Enni. Mas Yudi masih di luar mengajari Yolanda dan Daniel anak tetangga kakakku membunyikan piano.
Semua kata-kata Enni kembali terngiang dan menyentak jiwaku. Terbayang pula di mataku pak Moerdhianto yang ramah dan senantiasa rela menolongku. Tidak seperti mas Yudi yang seluruh hari-harinya disibukkan hanya untuk musik dan murid-muridnya semata.
Aku bergegas mengambil air sembahyang. Kubulatkan hatiku untuk meminta ampunan dosa serta petunjukNya. Dari atas sajadah tuaku yang menjulur ke sorga air mata mengalir tak terbendung. Aku teringat Enni dan beribu-ribu makhluk lainnya yang senasib dilupakan suaminya. Sementara di dekatku ada suami entah siapa yang senantiasa siap membelaiku dan menghujaniku dengan perrhatian yang prima.
Belum selesai dzikirku tv yang dinyalakan Marina di ruang tamu telah mengumandangkan adzan maghrib. Aku melanjutkan shalatku dalam isak tangis berkepanjangan. Hanya dosa yang terbayang di ingatanku. Rina mendongakkan kepalanya dari pintu kamar hendak shalat juga. Sejenak ia terkaget-kaget dan menahan jeritannya. Diteruskannya masuk ke kamar ibadah dan dibiarkannya aku menyelesaikan rakaat demi rakaat ibadah maghribku.
“Ada apa dengan Listy, ma?” Tanya Rina kemudian. Aku menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa,” jawabku. “Listy hanya meminjam uang karena bukunya belum terbayar.” “Kenapa itu menyebabkan mama menangis?” desaknya. Aku diam tak menjawab seraya melipat telekung dan memasukkannya kembali ke dalam lemari kecil di dekatku. Kususut sisa-sisa tangis di pipiku. “Sembahyanglah sekarang,” pintaku pada Marina. Gadis kecil itu seperti tak puas menerima jawabku, dan dengan matanya yang penuh curiga terus menelusuri rona mukaku. Aku merasa seakan-akan ia tengah menelanjangi aku. “jangan kau tatap mama seperti itu,” pintaku sambil berlalu menuju dapur.
-*****-
Malam itu sebelum beranjak ke peraduan kugenggam ponselku sekali lagi. Kuketikkan salam terakhir bagi Moerdhianto –kekasihku- dengan sepenuh cinta. Kukatakan padanya Enni dan anak-anak mereka menunggu dengan setia di rumah. Tak ada alasan bagi mas Moerdhianto untuk menjamahku. Enni tak kurang suatu apapun. Sikapnya manis dan tidak penuntut. Kesetiaannya telah teruji di mataku. Dalam kepedihannya Enni seakan-akan cuma bisa berucap, “tataplah mataku selagi kau lena. Aku tak akan pernah menjual diriku seperti engkau telah merendahkan dirimu sendiri dan membuat jiwamu tak berharga…….”
Besok aku akan kembali kepada fitrahku sebagai manusia, yang telah ditakdirkan Tuhan berjodohan dengan seorang musisi setia. Aku akan bertobat dan minta maaf pada mas Yudiku.-
Sabtu, 14 Maret 2009
BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXXIII) -TAMMAT
Kudapati keduanya tengah duduk berpelukan di teras rumah dinas suami Ami sore itu. Ami menghapus lelehan pada pipinya, selagi bu Farid terguncang-guncang dengan isakan yang memilukan di bahu Ami. Adegan itu tak berhenti waktu aku sampai di dekat mereka dengan tiga cangkir teh panas yang kuseduh di dapur.
"Saya takut menghadapinya bu Taufik," keluh bossku disela-sela isaknya.
"Bu Farid, percayalah sehabis operasi itu ibu akan kembali pulih. Lihatlah saya dan banyak kawan-kawan saya yang numpang berobat disini. Mereka tidak pernah kembali lagi untuk berobat," jawab Ami lembut. Bibir itu terkatup rapat saling menggigit menahan tumpahnya kesedihan yang pedih.
"Tapi operasi itu sendiri menakutkan saya bu," keluh bu Farid lagi. Ia semakin mempererat dekapannya.
"Percayalah kepada Tuhan, Dia Sang Maha Penolong, kita minta pertolongan pada-Nya, tentu hilang semua takut dan galau di hati bu Farid," bujuk Ami lagi.
"Ya bu, kalau nanti ibu kembali ke sini untuk dioperasi, insya Allah saya temani lagi, kita perjuangkan bersama-sama," selaku menghiburnya. "Ibu pasti bisa melewatinya," kualihkan pandanganku dari cangkir-cangkir teh di meja kepadanya. Kepala itu masih terguncang-guncang dalam tangisan yang menghebat. Aku memeluknya juga dari belakang.
Perlahan-lahan tangis itu pun mereda, menandakan kepasrahan yang sudah berhasil diraihnya. Lalu kami pun menghubungi pak Farid untuk menyampaikan berita yang mengejutkan ini. Beliau menerimanya dengan tabah. Kata beliau lebih baik bu Farid pulang dahulu untuk menyiapkan kekuatan tubuh, memulihkan stamina menghadapi operasi berat itu. Karena itu keesokan harinya kami kembali ke Rumah Sakit untuk meminta bekal obat selama masa penguatan daya tahan tubuh itu. Lalu dua hari setelah itu kami bertolak pulang ke pos kami.
"Nik, do'akan aku ya, rasanya tak sanggup lagi aku dimusuhi suamiku tanpa alasan," bisik Ami ketika mengantarku ke pintu keberangkatan di Bandara.
Aku mengangguk, membelainya dan menciumi pipinya lekat-lekat, "ya mbak, bersabarlah, semoga beliau segera kembali dengan segenap jiwanya ke sisi mbak seperti dulu."
"Aku ingin terbebas dari rasa terbuang, Nik, do'akan aku," ucapanya lagi.
Aku mengangguk sebelum meninggalkannya ke dalam bandara di pagi yang belum lagi hangat itu. Hatiku tertinggal sebagian di situ untuk menyemangati Ami-ku yang merasa dilupakan oleh suaminya sendiri. Dia melambaikan tangannya sampai aku masuk jauh ke dalam sana melampaui meja petugas imigrasi.
-ad-
Bu Farid kembali ke tempat Ami berdua dengan suaminya setelah lelah dan putus asa menjalani pengobatan di negeri penempatan kami yang masih serba penuh kendala. Kamar perawatan beliau berupa sepetak dinding tembok sempit yang dingin dan kaku tanpa hiasan apa-apa di lantai lima rumah sakit terbaik di kota kami. Di kelas utama itu bu Farid hanya bertemankan sebuah radio tua dengan segala fasilitas medis yang terbatas. Jarum-jarum suntik yang dipakai untuk meredakan rasa sakitnya hanyalah sebuah tabung kaca dengan jarum besi tebal yang sudah sangat lama tak kelihatan di Indonesia. Sedangkan tiang infus yang menyumbang gizi ke dalam tubuh pasien tak ada disitu. Kulihat para perawat bergantian memegangi tabung infus kaca setiap seperempat jam sekali sambil membetulkan letak selang oksigen yang dialirkan dari tabung biru besar kuno. Aduhai, terbayangkan betapa sakitnya penderitaan pasien di sini.
Dari tempat Ami pak Farid mengabarkan bahwa istrinya telah menjalani pembedahan dengan selamat, bahkan justru kudengar Ami sedang menjalani tahapan kemoterapi untuk kasus kista pada indung telurnya. Lagi-lagi hatiku menangis untuk Ami.
Aku mencoba menghubungi Ridho ke ponselnya. Dia menjelaskan bahwa ketika perut ibunya sakit lagi dokter memutuskan untuk melakukan endoskopi, yang kemudian menyimpulkan temuan kista pada indung telur yang sangat besar. Kista itu pecah sebelum sempat dioperasi, sehingga cairannya menyebar ke mana-mana dan menjadi kista-kista baru yang bertumbuh ganas. Sekarang Ami sedang berupaya melawannya dengan kemoterapi yang menyakitkan itu. Aku hanya berpesan pada Ridho untuk terus mendampingi ibunya dan menguatkan hatinya, karena sebagaimana yang sering diceritakan Ami, pak Taufik senantiasa sibuk dengan pekerjaannya dan hampir tak ada waktu untuk Ami.
Ridho berjanji memenuhi permintaanku. "Kasihan ibu tante, bapak memang sudah lama sangat dingin kepada beliau. Selama ini bapak nyaris tak banyak waktu untuk ibu. Bahkan sekedar duduk mengobrol pun tidak pernah dilakukannya lagi," kata Ridho melengkapi pernyataanku.
"Ibu sudah bingung tante, tak bisa memahami apa maunya bapak," lanjut Ridho dari ponselnya.
"Memang kenapa De? Bapak sama sekali sudah tidak menyapa ibu?" tanyaku penasaran.
"Ya bukan begitu tante, di depan publik sih masih wajar. Tapi di rumah tante, mereka seperti terhalang tembok tinggi. Bapak sendirian di muka televisi atau komputer, sementara ibu juga begitu. Hiburannya hanya menyanyi keras-keras dengan mesin karaoke yang baru dibelikan bapak setelah ibu merengek," jelasnya lagi.
"Bagaimana reaksi bapakmu atas kemunduran kesehatan ibumu?" pancingku lebih lanjut.
"Ya menyetujui langkah-langkah pengobatan terhadap ibu, tapi bapak sendiri tak pernah ada di samping ibu untuk mendengarkan penjelasan dokter maupun berunding mengambil keputusan tindakan pengobatan. Padahal kulihat ibu sangat lemah mental tante," suara perjaka kecil yang sudah pecah menjadi remaja ini kini kedengaran mulai bergetar dan lirih.
Aku tak habis pikir mengapa Allah masih setia menguji kesabaran Ami. Terbayang kembali Ami yang senantiasa ceria dan cergas itu. Kurangkah dia bersyukur pada Tuhannya? Aku bingung memikirkannya.
"De, selama ini siapa yang menemani ibumu ke dokter untuk perawatan?" tanyaku lagi.
"Supir kami dan istrinya, tapi lebih sering hanya supir kami sendirian. Bahkan ketika ibu menjalani endoskopi yang tentunya sangat menegangkan itu, ibu hanya bersama supir kami," jelas Ridho lagi.
"Ke mana bapakmu? Apakah sekarang bapakmu mulai dingin lagi dan mendiamkan ibumu seperti pernah terjadi dulu?" desakku.
"Ya tante. Bapak ada di kantor dengan pekerjaannya, dan ibu memang seperti saya bilang, sudah terhalang tembok tinggi lagi dengan bapak," Ridho membenarkan dugaanku. "Tapi mereka masih tetap bersama ke luar rumah kok, dan ibu diizinkan beraktivitas sebagaimana wajarnya. Tidak dikungkung lagi," suara Ridho kedengaran menyambung lirih namun memancarkan semangat. Aku lega dibuatnya. Ah, setidak-tidaknya Ami tidak terkurung seorang diri di dalam biliknya seperti ketika mereka di Eropa dulu, batinku tenang.
"Aku tahu tante, ibu sering mengeluhkan hal ini kepada para tetamu kami dan siapa saja, sebab ibu sekarang seperti sudah jenuh dengan kehidupannya. Konon kata teman-temannya di organisasi, sekarang ibu jadi sering 'telmi' tante," kata Ridho lagi mengeluhkan perasaannya padaku.
"Telmi bagaimana De?"
"Ya telat merespons permintaan organisasi pusat dan sebangsanya, ibu seperti berkutat dengan dunianya sendiri. Murung dan mengeluh ke mana-mana. Aku tahu ini tidak baik bagi kami, tapi aku cukup memahami perasaan ibu karena aku melihatnya sendiri, akulah saksi mata dari segala awal mula keadaan ibu. Bagaimana ibu tersakiti oleh ulah ayahku sendiri," kalimat itu menggantung begitu saja di mulut Ridho diikuti kebisuan yang panjang. Hanya ada tarikan-tarikan nafas dan desahan yang berat.
Tiba-tiba hatiku luluh lagi meluncurkan air mata yang entah kenapa selalu setia menemani obrolan-obrolanku tentang Ami. Aku ikut menarik nafas panjang. Ah, seandainya saja Ridho benar-benar ada di sisiku, ingin rasanya kubelai anak itu dengan segenap kasih sayangku. Terbayang kembali ketika dia kecil dulu di Eropa sana, tentang pertemuan-pertemuan kami di super market serta episode anak-anak yang ditinggalkan ibunya. Mataku basah dan buram oleh kenanganku. Aku menghapusnya dengan ujung blouseku sebelum kutup telepon dengan pesan agar Ridho tetap tegar, tabah mendampingi ibundanya.
-ad-
Berita yang sangat mengejutkan itu kuterima tadi malam. Pak Farid kembali dari tempat perawatan istrinya karena putra-putri mereka sudah tiba di Rumah Sakit dari tanah air untuk menggantikannya.
Bu Farid dalam kemajuan pesat. Diperkirakan dua minggu ke depan beliau bisa kembali ke pos kami dan melanjutkan pengobatannya dengan kemoterapi di sini. Tapi di satu sisi, pak Farid menceritakan buruknya kondisi Ami yang sesungguhnya.
Pada saat meninggalkan rumah dinas pak Taufik untuk berpamitan, konon Ami baru dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan yang tak kunjung berhenti dari mulutnya setelah operasi beberapa bulan sebelumnya ternyata mendatangkan kebocoran pada usus halusnya. "Saya berpamitan pada beliau dari jendela kaca ruang ICU," cerita pak Farid. "Dan beliau sudah sehari di situ."
Segera aku menghubungi rumah dinas pak Taufik untuk memastikan keadaannya. Ibu Yati staff di rumah tangga pak Taufik yang menerima teleponku.
"Ya bu Tri, ibu dirawat di ICU sudah tiga hari, dan kang Rizqi juga sudah datang," jawab bu Yati.
"Ada apa sebetulnya bu, dan bagaimana kondisinya sekarang?" tanyaku ingin tahu.
"Tadinya ibu masih biasa, habis kemoterapi dengan kang Agus suami saya terus menengok bu Farid di hotelnya. Malah ibu masih sempat ngobrol dan mencarikan buku tentang perawatan penyakit kanker untuk bu Farid di toko dengan putri bu Farid," jawab bu Yati.
"Oh, ibu masih bisa jalan-jalan minggu lalu?" tanyaku lagi.
"Ya bu, ibu 'kan memang nggak kelihatan seperti orang sakit betulan. tapi tiba-tiba kemarin dulu itu mengeluarkan darah dari mulutnya tidak berhenti-henti sampai lemah dan akhirnya nyaris pingsan," tutur buYati lagi.
"Nggak ada yang tahu ya bu?' tanyaku.
"Nggak bu, bapak dari pagi di kantor dan nggak pulang makan siang. Ade Ridho di sekolah, kami di belakang semua. Tahu-tahu sore hari waktu saya mau mengantarkan kopi untuk ibu, saya dapati ibu sudah tertidur lemah sementara di dekatnya ada ember kecil penuh cairan merah," jelas bu Yati.
Hatiku geram mendengarnya. Rasanya aku begitu ingin lari mendampinginya. Lag-lagi dia antara ada dan tiada di dunia suaminya sendiri.
"Bu," tanyaku lagi, "apakah selama sakitnya yang sekarang bapak suka mendampingi ibu ke dokter dan ikut mendengarkan konsultasi dokter dengan ibu?"
Bu Yati kedengaran berdehem sebelum mulai menjawab, "nggak bu, setiap ke rumah sakit ibu selalu dengan saya atau kang Agus. Bahkan ketika saya mendapati ibu hampir pingsan, bapak entah di mana, kami tak bisa menghubunginya di kantor. Akhirnya Dinah yang ambil keputusan menyuruh suami saya mengantarkan ibu kembali ke Rumah Sakit. Lalu dokter langsung memasukkan ibu ke ICU hingga hari ini."
Berat sekali rasa di dadaku. Ingin ku menjerit menuntut pada Sang Kuasa agar meringankan beban derita sahabatku Suratmi. Sudah terlalu banyak yang kulihat sendiri dan kudengar tentang Ami. Termasuk kegemaran suaminya "bersenang-senang" di belakang keluarganya. Kemesraan yang dipertontonkannya sekali-kali itu jadi nyata hanya sebagai kamuflase belaka untuk menutupi kecurigaan pandangan orang di luar rumahnya.
-ad-
Tiba-tiba tadi pagi inbox pada E-mailku menerima limpahan cerita seseorang di milis.Tentang perempuan yang merana ditinggalkan suaminya. Tentang seorang suami yang tidak bisa mengerti istrinya dan tentang perasaan istri yang merasa suaminya telah mengalihkan cintanya.
Pernikahan mereka bagai sayur tanpa garam. Hambar tanpa canda tawa dan kegairahan hidup. Semua yang ada hanya sekedar kepura-puraan untuk memoles buruknya intensitas komunikasi dan kedekatan hati mereka satu sama lain.
Dalam cerita itu sang istri menemukan penyebabnya, ada "cinta lain" dari suaminya. Seorang kawan di masa lalu yang datang kembali dan jadi bagian dari kegairahan hidup suaminya sekarang. Perempuan mana yang tahan melihat kenyataan itu?
Perempuan menderita itu kini telah berpulang dengan mengubur serta cintanya yang dalam pada sang suami, disertai permintaan maaf telah menjerat suaminya ke dalam percintaan yang dipaksakan dan pernikahan yang tak dikehendakinya.
Lalu muncul kesadaran pada lelaki itu bahwa apapun yang ada di hatinya, dia tetaplah harus tunduk dan melihat pada kenyataan. Wanita lain yang jadi pilihannya itu telah berhasil menyadarkannya akan arti sebuah tanggung jawab. Lalu lelaki itu meresponsnya dalam sebentuk kalimat manis, "aku terus berusaha mencintainya seperti yang engkau sarankan." Namun itu tak akan pernah lagi terlaksana. Sang istri terlanjur pergi menghadap pada-Nya sebelum datang kesempatan itu. Bersama perasaan dalam hatinya yang diungkapkan dalam sebentuk suratnya pada sang suami :
"Sekarang aku menyesal memintamu melamarku. Engkau tidak pernah bahagia bersamaku. Aku adalah hal terburuk dalam kehidupan cintamu. Aku bukanlah wanita yang sempurna yang engkau inginkan."
Jauh di dalam hatiku aku teringat akan Ami dan pak Taufik. Akan kah Ami juga menutup matanya bersama dengan lembaran cinta yang telah ditulisnya bersama suaminya dengan sebatang pensil? Dia merasa telah kehilangan semua cinta kasih dan perhatian suaminya. Dan dia merasa telah menyiksa diri suaminya yang telah memilih menikahinya atas dasar keterpaksaan belaka.
"Nik, seandainya dulu aku tak pernah meminta mas Taufik melamarku, mungkin jalan cerita kami akan jadi lain. Di sisinya kini tentu ada bunga-bunga cinta yang semerbak, bukan seonggak sampah berbau macam diriku," kuingat Ami pernah mengeluh padaku suatu saat dulu waktu dia lelah menunggu kehangatan suaminya yang tak kunjung datang. Yaitu ketika sinar-sinar cinta mulai luntur dari sorot mata suaminya.
Tiba-tiba dunia jadi gelap buatku. Aku menangis sendiri di ujung telepon yang tak jadi kusambungkan ke ponsel Rizqi. Anak-anak itu bermain-main di mataku menjadi sepenggal kepedihan yang tersirat nyata. Oh Tuhan, bisikku, jangan biarkan mereka hancur. Jangan biarkan Ami terkubur bersama cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Kemudian aku pun lelap dalam kesendirian lamunanku lagi.
Biru itu tak sebening lautan. Tak selamanya yang nampak cantik di permukaan mencerminkan keindahan di kedalaman sana. Kutemui kini pada diri Ami biru yang keruh, yang berisi lelehan nestapa cinta ternista dari perasaan seorang istri yang terbuang.
Ah, tapi aku akan bersikap sama leganya dengan Ami sahabatku. Di ujung usianya dia telah menghadiahkan suatu kedudukan yang baik bagi lelaki yang dicintainya setulusnya. Maka kuyakini Ami akan pergi dengan tersenyum dan menatap dunia di bawahnya penuh arti. Tugasnya dalam rumah tangga kini telah selesai.
(TAMMAT)
Senin, 09 Maret 2009
Sabtu, 07 Maret 2009
Hadiah Dari Sahabat Anakku, Gupta Ganesha Pertama : A Tribute to John Lennon
Dunia bagiku terasa begitu sempit. Kemanapun aku melangkah, selalu kujumpai orang-orang yang berhubungan dengan keluargaku. Kerabat-kerabat keluarga maupun teman-teman anak-anakku sendiri.
Pagi itu aku terbangun dengan rasa amat bahagia. Suatu kejutan menantiku di site ini. Dua buah "invitation" menyapaku.
Yang sebuah dari seseorang yang jelas-jelas menyebutkan identitasnya. Tapi, sebuah lagi tanpa sapaan apa-apa sehingga membuatku begitu ingin tahu.
Kudatangi site di balik head shot seorang pemusik muda yang nampaknya professional dan handal. Terbaca namanya : Gupta Ganesha Pertama. Rasa-rasanya aku pernah mendengar nama ini. Tapi tak jelas dimana dan siapa dia. Dorongan keinginantahuku membawaku menulusuri jejaknya, hingga terbaca beberapa tag yang berkaitan dengan dunia anakku.
Aku segera mahfum. Inilah salah seorang sahabat anakku yang kerap diceritakannya. Pemuda baik hati yang sangat mengerti anakku, si pemuda unik yang kujuluki "Bebek Jelek". Kusapa dia dengan pertanyaan seputar anakku. Lalu kututup jendela sitenya untuk meneruskan membuka surat-surat elektronik yang tiap hari selalu kubuka bersih-bersih untuk mengantisipasi surat elektronik penting yang harus segera kubaca.
Di barisan kesekian, kutemukan catatan dari administrator multiply tentang reply dari seseorang bernama Gupta pada posting videoku mengenai "Si Bebek Jelek"ku.: Tutorial Feat John Lennon. "Tante, saya ikutan komen ya.......", begitu bunyinya.
Hatiku begitu bahagia. Tak kusangka, dia menawarkan tidak hanya sekedar pertemanan denganku, melainkan juga video lainnya tentang anakku yang direkamnya sendiri ketika suatu hari anakku nekad "muncul" ke permukaan di program Fakultasnya untuk membawakan lau-lagu "John Lennon".
Anakkun memang, makhluk unik, sebagaimana pengakuan temannya ini. Tanpa persiapan apapun bahkan tanpa memiliki sebuah kelompok band, dia tak malu-malu meminjam keyboard temannya dan berlagu sendiri dengan hanya menggunakan sebelah tangannya menirukan lagu-lagu John Lennon.
Tak kusangka, satu diantaranya adalah "Woman" yang selalu dilagukannya untukku maupun dikirimkannya lewat salinan lyric di surat elektronik maupun SMSnya yang ditujukan kepadaku ketika aku dilanda rindu atau kesepian dan kegelisahan. Sebab sebagai manausia, tak dapat kupungkiri, aku kerap dilanda kesedihan yang tak beralasan.
Pelan-pelan air mata haru menjuntai keluar, memandikan pipiku menghapus bedak yang baru saja kusapukan ketika aku mandi pagi tadi. Di mataku terbayang Andriarto Andradjati, cintaku seorang.
Terima kasihku pada Gupta Ganesha Pertama. Barakallahu!
Kamis, 05 Maret 2009
BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXXII)
Negeri baru tempat penempatan suamiku ini memang unik. Semua sistem masih serba tertutup. Bahkan terkesan "angker". Kami dikumpulkan menjadi satu dengan para duta bangsa lain di suatu lokasi yang tersendiri. Di seputar tempat inilah kami biasa menghabiskan hari-hari kami di musim panas yang cukup terik maupun di kala dingin menggigit tulang sebab temperatur bisa berkisar di bawah nol derajat celcius. Ada toko-toko khusus orang asing yang menjual kebutuhan kami sekali pun terbatas. Selebihnya, sport centre kecil-kecilan serta karaoke bar tempat menghibur diri.
Anak-anak kami masuk International School yang memang dikhususkan untuk kalangan kami. Tak ada kegiatan lainnya bagi kami kaum istri, selain mengantarkan anak-anak ke sekolah yang jaraknya begitu dekat dari rumah, atau bersosialisasi dengan tetangga sambil bertukar kepandaian.
Temanku Noriko dan Tomomi wanita Jepang yang senang bersosialisasi dengan keluarga para diplomat, gemar mendemonstrasikan kemahiran merangkai ikebana, sementara kami wanita Indonesia membalasnya dengan mengajari mereka memasak masakan tradisional atau membagi pengetahuan tentang kain-kain tradisional Indonesia. Lalu Brigitte perempuan Belgia yang diperistri diplomat Australia di dekat rumah bu Bernardo temanku, menularkan ilmunya membuat permen coklat. Sungguh suatu kegiatan yang bersifat kewanitaan, kerumahtanggaan dan terkesan dari itu ke itu saja. Tapi aku amat menikmatinya.
Perwakilan ini sangat sepi, sesepi negerinya. Hanya ada 5 orang staff termasuk kepala perwakilan kami yang ditugaskan negara untuk menjaga hubungan baik yang sudah terlanjur ada sejak RI baru merdeka.
Tak seorang pun di antara kami yang punya anak kecil-kecil kecuali aku. Keempat keluarga lainnya tak ada yang disertai putra-putrinya sebab mereka tak mungkin melanjutkan sekolah di perguruan tinggi di sini atau pun di Sekolah Internasional di sini mengingat pendidikan mereka sudah di puncak tangga. Jeng Hendro bahkan pengantin baru yang masih dalam proses mengupayakan kehamilan.
Untuk memenuhi kebutuhan pokok kami dan dapur dinas, kami harus berbelanja ke luar negeri naik pesawat milik negara, satu-satunya perusahaan penerbangan yang beroperasi di sini. Biasanya suamiku ditugasi untuk ke sana, dan aku sekalian ikut berbelanja kebutuhan semua keluarga. Inilah masanya kami melepas kejenuhan.
Sebagai tanda terima kasih kepada para penjaga keamanan dan tukang kebun yang disediakan pemerintah setempat untuk kami, biasanya aku akan membawakan sekedar makanan sebagai oleh-oleh di waktu pulang. Mereka mengambilnya dengan takut-takut begitu Kurnia pembantuku menjauh dari tempatnya meletakkan oleh-oleh di semak-semak pepohohan bunga. Aku sering tersenyum sendiri karena menganggap lucu waktu mengawasinya dari dalam rumah.
Negeri penempatan kedua kami ini memang sangat unik. Manusia seperti sama dimana-mana. Berbalut pakaian yang sejenis, berwajah persegi empat yang dingin. Serba tertutup dan menjemukan.
Tapi di balik itu ada sebuah hati yang jujur. Setidaknya begitu yang kurasakan dalam pengamatanku. Tak ada seorang pun yang berani melanggar aturan yang ditetapkan kepala pemerintahan mereka, sekali pun toch tak ada juga yang kelihatan mengawasi. Aku angkat topi pada sikap mereka.
-ad-
Tujuh bulan di sini rasanya sudah lebih dari setahun. Meskipun kami tidak pernah kekurangan informasi sebab stasiun televisi Indonesia secara ajaib bisa tertangkap dengan parabola, tetapi kami tetap rindu kehidupan yang normal dengan listrik yang benderang serta hiruk-pikuk manusia di kepadatan Jakarta yang panas menyengat.
Maka ketika isteri boss suamiku minta ditemani memeriksakan kesehatan ke luar negeri, hatiku cukup senang. Bukan karena aku bahagia atas penyakit seseorang, justru aku bisa menghirup hawa luar barang sejenak sebagai selingan pembunuh sepi. Apalagi mas Tri dan anak-anak tidak berkeberatan kutinggalkan.
Bu Farid memilih negeri tempat tugas pak Taufik, mengingat beliau tahu aku punya hubungan baik dengan keluarga pak Taufik. Hatiku menjadi semakin senang. Sudah terbayangkan sambil menyelam minum air. Sambil menemani bossku, bertemu dengan sahabatku pula dan aku bisa pesan macam-macam bahan kebutuhan pokok darinya mengingat di negeri itu nyaris semua kebutuhan dapur Indonesia tersedia lengkap.
-ad-
Ami menyambut kami dengan senang hati, tidak di rumah dinasnya melainkan di bandara. Wajahnya tetap ceria seperti dulu, bahkan menakjubkan, dia lebih gemuk sekarang. "Ya, entah kenapa sejak saya dioperasi, selera makan saya biasa-biasa saja, tapi setiap yang saya makan akan jadi daging," cerita Ami sambil tertawa-tawa. Nampak sekali dia sangat bahagia bisa berjumpa lagi denganku. Dan nampak juga kebahagiaannya bisa bertemu dengan bu Farid yang baru kali itu dikenalnya. "Jarak angkatan suami kami jauh, mungkin pak Farid sudah kembali dari pos pertama suami saya baru lulus test masuk," terang Ami yang dibenarkan pak Taufik.
Sungguh suatu kebanggaan dan kebahagiaan bagiku bisa menginap di rumah dinas mereka yang tentu tak sembarang orang bisa menikmatinya. Apalagi merasakan kehangatan tuan dan nyonya rumah kami yang luar biasa terhadap bu Farid yang baru mereka kenal saat itu.
Ada foto-foto Rizqi dan Ridho di ruang keluarga mereka, membuatku serasa berada di rumah sendiri. Belum lagi staff di rumah tangga mereka yang juga ramah-ramah seakan telah lama mengenal kami. Bu Yati, mbak Dinah dan kang Agus namanya.
Aku mendapat kamar di compound keluarga, menurut kemauan nyonya rumah, sementara bu Farid istri bossku menempati kamar untuk tamu. "Kalau si kakang datang, dia biasa tidur disini, jadi maaf ya kalau agak berantakan dan ada barang-barang si kakang di lemarinya," Ami menjelaskan sambil mempersilahkanku masuk.
Aku mengangguk setuju, "ya, nggak apa-apa kok mbak, kang Rizqi juga biasa menginap di rumahku," jawabku ringan sambil mataku terpaku pada sehelai piyama Rizqi yang tergantung di lemari bersama dengan beberapa helai pakaian lainnya. Tiba-tiba aku teringat dia dan kejadian-kejadian dia menangis di rumahku. Hatiku tercekat tersedot ke arah rindu. "Kakang sudah seperti anak kami sendiri juga mbak," ujarku sambil memandangi Ami yang juga tengah menatapi pakaian-pakaian anak sulungnya.
"Di situ kamar si Ade, sayang dia sedang berlatih musik di sekolahnya. Sebentar lagi harusnya dia sudah pulang," Ami berkata lagi sambil menunjuk kamar di balik dinding kamar yang akan kutiduri selama disini. Ah, nyamannya, serasa berada di tengah-tengah keluargaku sendiri.
Malam itu kami makan bersama di ruang makan untuk tetamu sambil pak Taufik menanyakan kondisi kesehatan bu Farid agar bisa segera mencarikan dokter yang cocok. "Saya merasa cepat lelah sekarang ini, dan ada rasa penuh pada pencernaan saya," keluh bu Farid.
Tuan dan nyonya rumah kami saling berpandangan sebelum bu Taufik menyarankan agar menemui internist di salah satu rumah sakit besar tempat salah seorang tamunya dulu berobat. Bu Farid menyerahkan semuanya ke tangan mereka, sehingga diputuskan besok pagi Ami sendiri yang akan minta waktu ke dokter itu dan bersiap mengantarnya ke rumah sakit.
"Tak perlu dengan bu Taufik, terima kasih. Cukup didaftarkan saja bu, nanti saya bisa ditemani jeng Tri," usul bu Farid sopan.
Ami bersikeras ingin pergi sendiri, "tidak apa-apa bu, saya ikut juga dengan dik Nonik sekalian, eh, aduh maaf, saya terbiasa memanggilnya dengan nama kecilnya yang unik," jawab Ami malu-malu seraya menutup mulutnya dengan tangan.
Kami serempak tertawa. Bu Farid menjawab lagi, "nanti bu Taufik capek lho, saya dengar bu Taufik sendiri juga baru dioperasi berat?"
Ami tersenyum dan menjawab ringan, "ah, sudah lama, setahun yang lalu. Insya Allah saya sanggup."
Kesempatan ini kugunakan untuk mengorek lebih jauh kondisi kesehatannya sekarang. Dikatakannya bulan lalu dia memang baru dirawat lagi, tapi kali ini tidak mengalami pembedahan besar. Hanya pengambilan jaringan yang masih dalam pemeriksaan dokter di laboratorium patologi klinis. "Saya jadi sudah terbiasa dengan prosedur medis, bu, soal sakit sudah tak jadi perkara besar," urai Ami tegar. Selama ini dikatakannya keluhannya hanya pada organ kandungannya yang senantiasa ditumbuhi kista-kista di sana-sini. Terutama di indung telurnya yang masih belum dibuang. "Dokter masih sayang sama mas Taufik, Nik, biar dia puas," guraunya sambil melirik suaminya. Pak Taufik tersenyum kecut tapi tak bereaksi.
Malam itu kami tak mengobrol banyak-banyak, dia membiarkan kami beristirahat. Sungguh menunjukkan kehangatan pribadinya.
-ad-
Sambil menunggu bu Farid di dokter, kami asyik mengobrol berdua. Kelihatan sekali betapa Ami ingin menumpahkan semua perasaan yang lama dipendamnya dalam hati. "Aku bukan nggak tahu mas Taufik sibuk ya Nik, tapi rasanya aku sangat kecewa waktu tahu dia pergi meninggalkanku seorang diri bergelut di meja bedah," keluhnya dengan suara bergetar dan tertahan.. Wajahnya menunduk, namun kelihatan mata itu berkaca-kaca.
Aku mencoba mengerti, mulutku diam mengatup rapat sementara dia terus jua berkata-kata. "Dia selalu punya waktu untuk orang lain, tapi dia tak pernah punya waktu untukku," keluhnya lagi. "Tak sekali pun dia meneleponku waktu aku di rumah sakit. Dia hanya datang pada waktu jam bezoek, hanya itu," ujarnya lagi dengan terbata-bata. Kerongkongannya seperti kering dan berat menahan beban perasaannya. Air itupun mulai menetes.
Kucoba menguatkannya dengan memeluk bahunya. Juga menggenggam jari-jemarinya yang terasa dingin. "Mbak, tapi pak Taufik memang dari dulu sudah begitu toch? Mbak tentu tak lupa bagaimana hari-hari mbak di Eropa sana terkungkung kesendirian? Dan mbak terbiasa menyelesaikan urusan intern rumah tangga sendiri. Mbak ingat kita selalu belanja bersama-sama, ke kios cucian bersama-sama tanpa diantar pak Taufik? Juga ketika mbak sakit untuk yang pertama kali?" aku berhenti berkata-kata dan menatapnya menunggu reaksi yang keluar dari mulutnya.
"Ya, aku nggak akan pernah lupakan itu. Tapi aku kecewa Nik, dia seakan-akan tak ada perhatian lagi padaku, sejak saat itu hingga sekarang, begitu terus," rintihnya minta dimengerti. "Mungkin aku memang sudah tak ada artinya lagi buat dia," dan Amipun mengisak lagi. Para pengunjung di ruangan itu semua mulai memerhatikan kami membuatku jengah. Aku meraihnya ke pundakku, mengelus-elus anak rambutnya dan menciuminya. Bisikku, " ya mbak, aku mengerti, sekaligus aku bangga pada mbak Ami yang begitu tegar. Tanpa seorang istri yang penuh pengertian, rela berkorban lagi setia, tak mungkin pak Taufik ada di kursinya yang terhormat sekarang ini, sudah dulu mbak, tenangkan hati. Nanti malam kita bicarakan lagi di rumahmu."
Ami berusaha menuntaskan tangisnya dengan mengusap sisa-sisa duka itu memakai sehelai tissue yang kusodorkan. Laksana seorang pemain sandiwara terhebat, dia berhasil menguasai hatinya dan kembali tersenyum tepat ketika bu Farid keluar dari kamar periksa dokter diiringkan perawat akan berpindah ke ruang diagnostik untuk mendapatkan pemeriksaan penunjang. "Disana ruang roentgent, USG, MRI dan CT-Scan," jelas Ami. "Mudah-mudahan tidak ada yang serius pada beliau," kataku. Kami mengawasi hingga bu Farid hilang di dalam barisan bilik-bilik di ruang berkaca itu.
Dalam istirahat sorenya bu Farid menyatakan bahwa dia merasa sangat memberatkan Ami dan keluarganya. "Mungkin saya akan makan waktu seminggu disini bu Taufik, sebab hasil USG tadi masih akan ditindaklanjuti dengan biopsi dua hari lagi, mohon maaf sekali," pinta bu Farid.
Ami tersenyum lebar, "tidak apa-apa bu Farid, take your time, saya biasa kedatangan para pasien yang ingin berobat disini. Bagi saya ini bukan masalah. Adakalanya satu-dua pasien menginap sampai berminggu-minggu sesuai kondisi mereka, bu Farid tak perlu sungkan. Apalagi ada dik Nonik yang ringan tangan," kata Ami.
"Apa bu? Saya suka memukul, menyakiti orang?" sahutku pura-pura salah faham sambil memelototkan mata, "idih, amit-amit, ih....!"
Ami dan bu Farid tertawa serempak, "ye.... bukan begitu, ah, suka berpura-pura nih, senang membantu maksudnya," sahut bu Farid gemas. Kulihat Ami hanya tertawa sambil menendang kakiku, "anak nakal, dari dulu senang menggodaku, hayo!" lalu kamipun tertawa puas-puas sambil menikmati secangkir teh jahe bersama kue-kue dari dapur keluarga Taufik. Terasa indahnya hari-hari yang kami lalui bersama Ami. Barakallah, berkah-Mu ya Allah yang senantiasa kuminta untuk Ami teman karibku yang cantik hatinya.
(BERSAMBUNG)
Rabu, 04 Maret 2009
BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXXI)
Senja merah jatuh di Jakarta. Matahari yang bulat berkilau di kaki cakrawala, menyembunyikan diri dalam balutan senja yang teramat indah. Burung-burung berlarian pulang kandang masih ada di sekitar kebun tetanggaku Haji Djamal di daerah Cibubur.
Kami sekeluarga sedang diundang berakhir pekan bersama keluarga Haji Djamal sepulangnya mereka dari naik haji. Rizqi ikut bersama kami. Katanya, bulan depan dia akan menengok orang tuanya sambil berlibur kenaikan kelas. Diceritakannya ibunya dalam keadaan sehat-sehat saja, namun tak lagi bebas keluar rumah seperti dulu. "Katanya sekarang ibu cepat lelah, tante," cerita Rizqi. Ayahnya juga baik-baik saja bahkan menurut suamiku mendapat penilaian positif dari big boss kami di Jakarta. "Bapakmu pekerja keras, dan pantas mendapatkan posisi di tempat sesibuk itu," kata suamiku pada Rizqi sambil duduk-duduk di luar rumah kebun membakar jagung. Kelihatan betul betapa bahagianya Rizqi disisi kami, dan juga menyadari akan keluarganya yang istimewa.
"Kakang harus bisa jadi lebih baik daripada bapak," ujarku menimpali obrolan mereka.
"Ih, tante bicara seperti ibu deh, ibu juga selalu bilang begitu," Rizqi terkikik geli sambil memandangiku.
"Iya, nggak salah 'kan kang?" balasku sambil menatap balik padanya.
Kepala berambut lebat itu bergoyang-goyang sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Memangnya setiap ibu harapannya begitu ya tante? Atau tante memang kakak-beradik nih dengan ibuku?" jawab Rizqi terus memandangku dalam-dalam dan tertawa nakal.
Aku tersenyum sambil menyentuh rambutnya yang selalu membuatku gemas, "iya lah, kang, semua ibu ingin yang baik-baik untuk anaknya," jawabku. "Kakang keberatan?"
"Nggak, bukan begitu, tapi rasanya susah juga kalau jadi yang lebih baik daripada bapak. untuk menjadi sebaik bapak saja pengorbanan keluarganya besar lho. Harus rela kehilangan waktu kebersamaan dengan bapak, ditinggal-tinggal melulu dan harus pinter menjaga diri, begitu....." lontar Rizqi mantap. Gaungnya terasa di hatiku, Sangat mengena, betapa menunjukkan terlukanya hati sebuah keluarga yang sering ditinggal kepala keluarganya untuk urusan tugas dan kebutuhan sosial penunjangnya demi keberhasilan karier kepala keluarga mereka.
Malam itu di tengah perjalanan pulang, masuklah sebuah SMS dari Ridho. Dia mengabarkan bahwa ibunya masuk rumah sakit kembali karena sakit pada perutnya dan muntah-muntah. Semula ayah mereka tidak bersedia mengantarkan ke rumah sakit karena sedang melayani tetamu dinas. Tapi ibu mereka menangis di telepon, sehingga ayah mereka mengalahkan pekerjaannya dengan menugaskan salah satu staffnya menggantikan beliau. Sejak tadi siang ibu mereka kembali di rawat di rumah sakit.
Rizqi nampak murung dan prihatin. Aku menyuruhnya menanyakan pemicu kekambuhan penyakit ibu mereka. "Ibu juga habis menemani tetamu dari Indonesia, kang. Minggu lalu ada kegiatan besar di kantor yang diikuti banyak orang dari Indonesia. Dan ibu pastilah bertanggung jawab atas kelancaran acaranya, Siapa sih yang nggak tahu bagaimana ibu kita?" begitu jawaban Ridho.
Rizqi menghela nafas panjang di bangku depan di sisi suamiku yang menyetir perlahan menyibak keramaian Jakarta yang tak pernah tidur. "Tuh 'kan tante, jadi orang besar berarti harus mengorbankan kepentingan keluarga? Aku sih nggak mau mengalami yang begini. Kasihan istri dan anak-anakku nanti. Sudah cukup kami saja," Dia menggigit bibirnya kuat-kuat.
Aku memeluknya dari belakang, "berdo'a ya kang untuk ibumu. Jam berapa di sana? Tante mau kirim ucapan lekas sehat," kataku pada Rizqi. "Belum malam tante," jawabnya singkat. Maka segera kuketikkan SMS do'a untuk sahabatku tercinta, selagi hatiku pun turut layu menangisi nasibnya.
-ad-
Ami dikabarkan hanya menginap tiga malam di rumah sakit. Meski pun demikian, boleh dikata kondisinya sekarang semakin melemah. Karena itu ketika Rizqi berangkat menengok, aku mengiriminya jejamuan dari kampung orang tuaku, juga buku-buku kesehatan yang kuharap dapat membantunya memahami penyakitnya dan menjaga diri. Untuk Ridho kubelikan CD lagu-lagu terbaru di Indonesia serta film-film laris sekalian. Rizqi membawakannya dengan senang hati. "Duh, tante baik sekali, melebihi kebaikan keluarga bapak-ibuku sendiri," komentar Rizqi. Aku hanya tersenyum.
"Keluarga ibumu 'kan jauh di daerah semua," jawab suamiku beralasan. Rizqi balas tersenyum mengiyakan, "susah mau berhubungan," katanya.
Sepulangnya dari luar negeri Rizqi datang ke rumah kami membawa oleh-oleh balasan dari Ami. Kue-kue dan coklat kegemaran anakku serta sepotong taplak meja tamu yang khas dan cantik. Aku merabainya dengan senang hati. Begitu halus, kutahu pasti kain sutera yang tidak bisa dikatakan murah. "Tante akan mencari tukang pembuat bingkai, nanti taplak ini masuk ke dalamnya dan tante gantung jadi hiasan dinding indah biar nggak kotor-kotor," kataku senang sambil membayangkan rencanaku. Gambar sebaris anak-anak perempuan berkepang dua itu segera menyita pikiranku. Belakangnya berlatar gunung dan pohon flamboyan yang rindang. Ah, Ami sangatlah berselara seni. Aku menyukainya.
-ad-
Ami pulang kampung ketika anaknya akan menerima ijazah SMA. Aku menjemputnya dan menemaninya dengan senang hati sepanjang dia berada di Jakarta. Bahkan aku diajaknya ke daerah menengok keluarganya serta menziarahi makam kedua orang tua serta mertuanya.
Tubuh Ami masih seperti dulu, nampak bugar dan sedikit gemuk. Cerianya juga tak berkurang, hanya sekarang dia sering mengajakku untuk duduk-duduk dulu sekedar beristirahat. Dan sekali-kali dia kelihatan memegangi perutnya sambil membungkuk seperti menahan sakit.
Di sisi makam ibunya Ami berjongkok menghadap ke barat dan berdo'a, entah do'a apa. Setelah itu dia menyeberang mengalihkan posisi menghadap ke timur. Di situ dia berdo'a pula. Kelihatan sangat khusyuk, kadang air matanya nampak meleleh menuruni bukit-bukit pada tulang pipinya.
"Aku sudah lega sekarang, semoga Allah mendengarkan do'a ibundaku," celotehnya sambil meninggalkan halaman pemakaman yang senyap. Kaki-kaki kami menapaki dedaunan kering yang dihasilkan dari pohon kamboja rindang yang menaungi sebagian besar makam disitu.
Aku berdiam diri tak mengomentari celotehan Ami. Begitu juga kedua anak mereka. Di mobil suamiku menunggu dengan kedua anakku sambil menghirup es kelapa merah muda yang menggiurkan. Ami minta dipesankan satu plastik.
Aku tak menyangka, Ami, istri seorang pejabat negara yang cukup terhormat, masih bersedia menikmati hidup gaya kampungan, gaya rakyat jelata seperti keluarga kami. Dengan senyumnya yang senantiasa menawan Ami melirik dan mencubit pipiku, "ih, memang kenapa? Kalau sudah jadi nyonya pembesar dilarang ya? Mana aturannya?" protesnya. Anak-anaknya cuma tersenyum-senyum penuh arti.
"Nggak ada yang melarang sih bu, tapi nanti bapak marah lho kalau tahu," tiba-tiba si kecil berteriak sambil pura-pura membuang muka menatap ke kali kecil di dekat mobil kami parkir.
Ami cuma tertawa sambil menyambut es kelapa yang disodorkan kepadanya lalu meneguknya sangat nikmat. "Aku ingat jaman sekolah dulu," celoteh Ami lagi sambil terus tertawa-tawa puas. "Nggak ada yang bisa mengubah gaya hidupku," kata Ami tenang. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala, begitu pula mas Tri di balik setirnya.
Ami minta ditinggal di sana karena anaknya akan masuk perguruan tinggi disitu. Dia sudah didaftarkan pihak sekolah, dan dinyatakan lulus ujian saringan. Berdua dengan Ridho mereka menemani Rizqi mencari tempat tinggal dan kebutuhan selama bersekolah nanti. Di mataku Ami tetaplah ibu yang baik, yang punya kasih sayang serta perhatian terhadap keluarganya, Nyaris sempurna. "Apalagi yang kurang dari seorang Suratmi binti Supardi?" batinku dalam hati ketika meninggalkannya di tempat kakaknya. Aku bahagia menjadi salah satu sahabatnya.
-ad-
Sejak masuk perguruan tinggi, Rizqi jarang ke Jakarta apalagi menemuiku, karenanya aku agak kesulitan pamit padanya waktu suamiku mendapat panggilan mutasi berikutnya ke sebuah negara yang masih belum berkembang dan dibelit banyak persoalan. Tapi secara tak disangka, dia datang ke rumah tepat menjelang kami mengadakan selamatan mohon diri. Bersamanya ada seorang anak lelaki lagi, konon putra salah seorang kerabatnya. Rizqi menjadi agak kurus, tapi tetap kelihatan bugar. "Saya sekarang selalu pulang ke rumah kang Yogi, putra kakaknya ibu," katanya memberi alasan sambil memperkenalkan Yogi padaku.
Anak-anak itu begitu baik hati. Mereka membantuku hingga selamatan selesai, mencuci piring dan merapikan ruangan sebelum barang-barang diambil lagi oleh perusahaan persewaan alat-alat kebutuhan pesta. Tak ada yang berubah sama sekali pada diri Rizqi. Dia tetap Rizqi yang kukenal dulu, yang santun, rendah hati dan taat beribadah.
"Selamat jalan oom dan tante, juga adik-adikku," katanya sebelum berpamitan kembali ke kotanya. "Semoga semua baik-baik saja, senantiasa sehat walafiat dan membawa kesuksesan untuk menunjang karier oom Tri," ujarnya menyalami dan memeluk kami satu persatu. Di dada suamiku dia membenamkan mukanya lama sekali seakan-akan mencari kehangatan disitu. Juga pada bidang bahuku, dia menyandarkan kepalanya seraya berbisik, 'terima kasih atas kebaikan dan rasa kekeluargaan yang telah tante limpahkan pada saya, insya Allah Tuhan membalasnya."
Anak-anakku memandanginya dengan haru, "kakang nggak ikut aja sekalian?' tanya Hardiman menggoda. Dia hanya tertawa kecil sambil membelai-belai kedua anakku dan mendekapnya, "hati-hati di luar negeri ya, pergunakan kesempatanmu untuk belajar baik-baik, ini kesempatan emas untuk kalian mendapat pengalaman yang berharga. Kakang cuma bisa mendo'akan," lalu dia menjauh pelan-pelan melambaikan tangannya dari atas kendaraan Mitsubishi yang menjemputnya kembali ke tempat belajarnya.
Rizqi, bisikku, di sini di dalam hatiku ada dirimu. Aku tak akan pernah bisa melupakanmu. Sepatutnya aku meniru cara orang tuamu mendidikmu dan bagaimana ibumu yang sabar dan bijak bersikap. Bersama deru debu di jalanan kututup pikiranku dari Rizqi seraya mengunci pintu rumah, Senja kembali turun merayapi Jakarta menjelang malam.
(BERSAMBUNG)
Senin, 02 Maret 2009
BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (XXX)
Libur tengah tahun Rizqi dihabiskannya bersamaku. Dia bahkan menolak ketika kami berniat mengantarnya menengok rumah uwaknya. "Nggak usah oom, mereka juga tahu bahwa saya ada di tempat oom Tri", kata Rizqi kelihatan sekali enggan ke tempat keluarga Pandunagara.
Dia minta izin ke warnet setiap hari untuk berhubungan dengan adiknya atau ibunya. Selepas chatting, biasanya dia akan kutanyai mengenai kondisi ibunya, lalu kami membahasnya. Seperti malam itu, ketika dia menjawab bahwa ibunya seminggu lagi masuk ruang bedah, aku hanya bisa menyarankan agar dia mendoakan yang terbaik untuk ibunya. Di saat ibunya dioperasi nanti, dia sudah kembali bersekolah, sehingga pikirannya akan jadi berat. Untuk itu kusarankan agar dia banyak bangun tengah malam dan berdoa untuk ibunya, memasrahkan diri ke tangan Allah. Aku sendiri berjanji akan mendoakan ibunya.
Rizqi mengangguk pasrah. Air matanya nampak sudah kering. Tapi setiap malam sejak pembicaraan itu kudengar air di kamar mandi tetamu mengalir, pertanda Rizqi menunaikan sembahyangnya. Dengan begitu aku pun memenuhi janjiku, turut menggelar sajadah di kamarku sendiri.
Di hari pembedahan itu, Rizqi mengabariku bahwa ibunya sudah siuman. Tapi hasil pemeriksaan dokternya belum ada, karena katanya dokter memerlukan waktu seminggu untuk membawa jaringan itu ke laboratoriumm pathologi klinik. Aku mengajaknya bersyukur dan terus mendoakan ibunya. Sementara itu setiap hari ku SMS Ridho atau pak Taufik untuk menanyakan perkembangan Ami. Selalu mereka jawab dengan kabar gembira pertanda kemajuan kesehatannya,
Dalam pada itu sekali-sekali Rizqi berhasil kubujuk untuk menengok rumah uwaknya, walaupun disana ia kelihatan kurang nyaman dan hanya sekedar berbasa-basi. Biasanya kunjungan itu tidak akan lebih dari setengah jam, setelah itu dia minta kuantar pulang. Di kamar kostnya, teman-teman setianya sudah menunggu.
Keluarga Pandunagara jarang menanyakan Ami dengan serius. Biasanya hanya pertanyaan standar soal kabar mereka, tanpa memperlihatkan sedikit pun rasa prihatin atas kondisi Ami. Padahal, hasil pemeriksaan dokter mengatakan, sekali pun jaringan di dalam rahim dan indung telur Ami tidak ganas, tapi dapat terus bertumbuh dan berubah ganas, sebab Ami masih dalam masa usia subur. Aku prihatin mendengarnya.
-ad-
Kemarin dulu Ami minta aku untuk ke warnet. Dia mau mengirimkan E-mail untukku atau chatting. Aku menyetujuinya dengan SMS. Selama kurang lebih satu jam setengah di warnet, pesan yang kuterima dari Ami tidak lebih dari sekedar asam cuka yang disiramkan ke luka hatiku, luka seorang perempuan yang menyaksikan sahabatnya diperlakukan sedemikian rupa oleh lelaki yang dulu sangat mencintainya.
Pagi itu ketika dokter memanggilnya ke Rumah Sakit untuk minta persetujuan operasi, Taufik menolak datang dengan alasan banyak pekerjaan. Memang tak dapat dipungkiri, sebagai kepala kantor dia sangat sibuk. Tapi tak masuk di akal kalau dia tak mau memenuhi undangan dokter untuk memutuskan tindakan medis bagi istrinya sendiri. Ami bilang, dia hanya menjawab setuju, dan Ami diminta berangkat sendiri ke Rumah Sakit serta menandatangani persetujuan operasi itu atas namanya.
Operasi itu berjalan tanpa Taufik di ruang tunggu keluarga di rumah sakit. Dia dan anak bungsunya kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya. Kata anaknya, dia nampak sangat gelisah, namun berusaha menenangkan diri. "Nanti kalau ibumu siuman, dokter akan mengabariku," katanya dengan suara bergetar. Sopir keluarga mereka hanya bisa menjalankan mobil dengan patuh mengikuti kemauan majikannya yang diam membisu selama perjalanan ke kantor.
Kenyataannya memang tak terjadi apa-apa. Tapi Ami begitu kecewa ketika dalam keadaan sadar penuh anaknya menceritakan hal ini. "Aku tak habis pikir Nik, apakah dia sudah kehilangan kasih sayangnya padaku?" keluh Ami dalam chattingnya.
Aku berpikir sejenak untuk mengupas masalah ini supaya mendapat jawaban yang enak untuk Ami. Lalu mulai kuketikkan sederet huruf, "Dia justru sangat mencintaimu, sesungguhnya dia sangat amat takut kehilangan dirimu. Dia tak akan sanggup menerima kenyataan itu seandainya kemarin operasimu tak berhasil, begitulah pendapatku mbak."
Layar komputerku tenang sesaat sebelum tanda pesan masuk itu berkejapan kembali. "Tapi apa yang terjadi seandainya aku betul-betul perlu penanganan segera yang memerlukan persetujuan keluarga?" bunyi kalimat Ami.
Hatiku tercekat, pikiranku kembali mengerucut. Ami benar belaka. Tak akan mungkin mendapati pak Taufik hanya dalam satu-dua menit. Aku mulai berpikir keras lagi untuk mengetikkan jawabannya. Kuselingi pikiranku dengan membaca detikcom. Sampai kemudian timbul pikiran yang menurutku cukup masuk akal, "memang betul," kataku, "tak mudah mendapati pak Taufik. Tapi tolong mbak Ami pahami, bagaimana pun cintanya yang terlalu besar tak mengizinkan hatinya untuk menyaksikanmu menderita. Dia tak tega mbak, sehingga terpaksa dia melarikan diri mencari kesibukan di meja kerjanya."
"Aku menangis membaca jawabanmu Nik, kau memang benar. Tapi bersalah kah jika aku kecewa?" tanya Ami lagi.
Tak menunggu lama segera kuketik jawabannya, "Tak bersalah, tapi diapun juga berhak untuk merasa takut menghadapi operasimu. Tepatnya khawatir kehilanganmu. Ini justru pertanda besar bahwa dia sangat amat mengasihimu, sayang sekali padamu. Berapa lama operasimu?"
"Tiga jam setengah, terima kasih, aku akan berusaha memahami pemikiranmu," tulis Ami sebelum kami mengakhiri pembicaraan.
-ad-
Hari-hari berikutnya kuterima SMS Ami yang menyatakan bahwa jawabanku ketika chatting waktu itu amat membantunya pulih segera. Dia merasa bahwa do'a-do'a yang diajarkan pak haji sudah mendapat ganjaran yang setimpal. Allah mengabulkan keinginannya untuk mendapatkan cinta-kasih Taufik kembali. Aku lega dan sangat bersyukur mengetahuinya.
"Sekarang dia selalu ada di rumah menemaniku," tulis Ami. Lain kali dikatakannya. "dia melarangku banyak bergerak. Bahkan komputer kami sekarang dipindahkan ke ruang tidur kami supaya aku dengan mudah dapat menjangkaunya. Selama ini komputer itu ada di kamar kerjanya di lantai bawah."
Rizqipun mengabariku tentang perkembangan ibunya dengan nada yang sama bahagianya. Sehingga dia merasa semakin yakin bahwa ibunya ke tempat pak haji bukan untuk berdukun, melainkan untuk minta diajari berdo'a. Tapi konon menurut Rizqi, sebetulnya ibunya pulang kembali ke tempat tugasnya membawa sesuatu persyaratan dari pak haji, yang selama ini dirahasiakannya dariku.
Ami dibekali sebutir telur yang telah dido'akan oleh pak haji, yang dikirimkan ke Jakarta lewat mak Azizah. Telur itu harus dipecahkannya di sebuah simpang tiga, untuk menghapus percintaan segi tiga antara Taufik dengan Ami dan wanita pengganggu itu.
"Bagaimana cara membawanya di perjalanan kang?' tanyaku penasaran. Tak terbayangkan sebutir telur yang demikian rapuh bisa selamat sepanjang jalan yang penuh guncangan dan bantingan.
"Dimasukkan ke bekas kaleng susu dancow, setelah lebih dulu diisi dengan beras. Jadi telur itu ditimbun di dalam beras. Lalu, ibu menentengnya di dalam tas tangan bersama obat-obatan ibu dan alat-alat kecantikannya. Berbaur bersama bedak, lipstik dan sebangsanya," Rizqi tertawa lepas di tangkai teleponnya. Aku pun ikut tertawa sendiri membayangkan kecerdikan Ami. Betapa untuk mengembalikan cinta kasih suaminya, Ami rela melakukan apa saja termasuk perbuatan tak masuk akal itu.
Cerita Rizqi lagi, sesampainya di rumah mereka nun di seberang lautan sana, ibunya menyimpan kaleng susu itu dengan cermat di dalam lemari makan. Disembunyikannya di sudut bawah lemari bersama kebutuhan dapur sebulan. Suatu sore, di saat semua orang sedang sibuk mengerjakan tugas masing-masing, seperti memasak makan malam dan belajar, Ami berpamitan berjalan-jalan keluar rumah. Dia mengamat-amati lingkungan sekitar yang sepi sampai ditemukannya sebuah pertigaan di daerah yang menjurus ke lembah namun ramai dengan lalu lalang kendaraan.
Di situlah dia melaksanakan hajatnya. Dia membaur bersama sekelompok orang yang akan menyeberang jalan ke arah pemberhentian bus kota. Telur yang dari rumah sudah digenggamnya di dalam saku celana panjangnya, segera dijatuhkannya di tengah jalan sambil berjalan menyeberang. Maka selamat lah dia dari kecurigaan orang banyak. Konon, malam itu dia bisa tertidur nyenyak.
Sehabis mengobrol di telepon dengan Rizqi akupun ikut tersenyum-senyum sendiri. Geli sekaligus takjub mencermati semua perbuatan Ami. Di matanya tak ada yang tak mungkin dilaksanakan untuk merebut kembali cinta kasih suaminya dari genggaman wanita lain. Dalam hatiku aku terus berharap, semoga Ami memenangkan perebutan itu. Jika pertandingan ini harus berakhir, aku inginkan Ami berdiri memegang pialanya, piala hatinya, seorang Muhammad Taufikur Rahman pejantan sejati. Ah, semoga.
(BERSAMBUNG)