Powered By Blogger

Senin, 25 November 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (139)

"Saya belum mau mati." 

Itu tekad tegas yang saya tanamkan dalam diri saya dalam-dalam. Sebab saya hanya akan rela mati sewaktu masyarakat semakin mengerti tentang bahaya penyakit kanker. Tidak lagi seperti saya yang bodoh dan membesar-besarkan rasa takut berobat karena merasa diri miskin, sedangkan pengobatan kanker tak mungkin bisa terjangkau kantung seorang miskin.

"Pokoknya tolong saya dok. Kita harus berhasil mengalahkan malaikat maut. Kalau menang nanti, maka kemenangan ini adalah sukses besar untuk anda," itu yang selalu saya tekankan kepada onkologis saya selama ini. Beliau tak pernah berani menjanjikan apa-apa selain mengulum senyum. Karena saya tahu beliau pun berprinsip yang menyembuhkan hanyalah Tuhan, sehingga beliau sendiri secara pribadi tak memiliki kuasa apa-apa.

Sakit kanker sungguh tidak nyaman, menyiksa. Rasanya yang menyakitkan ditambah tantangan maut membuat penderitanya harus segera mendapat pengobatan. Hal ini tidak mudah sebab komponen-komponen pemeriksaan penunjang penegakkan diagnosa penyakit, ongkos pembedahan serta pembelian obat-obatan amatlah mahal. Banyak penderita yang harus menjual hartanya untuk berobat tetapi pada akhirnya tidak tertolong juga. Betapa menyakitkannya. Di sinilah pentingnya campur tangan pemerintah untuk mengatasi keadaan. Pertama pemerintah sebaiknya gencar melaksanakan penyuluhan kanker sebagai langkah preventif pencegahan kanker. Selain itu bagi masyarakat yang sudah terkena kanker, sebaiknya disediakan jaminan kesehatan yang dimaksudkan untuk membantu pendanaan pengobatan mereka. Sebab tanpa uluran tangan pemerintah, mustahil penderita bisa menolong dirinya sendiri.

***

Saya kembali mengalami kesulitan itu. Permohonan pendanaan obat-obat sitostatika untuk kemoterapi saya yang dua minggu yang lalu sempat dikucurkan, kini nyaris terhenti dengan tiba-tiba. Pasalnya permintaan ini dianggap tidak ringan sama sekali.

Bulan lalu saya sempat datang menghadap sendiri ke Dinas Kesehatan Kota untuk memohon pendanaan obat-obatan sebesar 43 juta rupiah sekali kemoterapi. Jumlah yang sangat fantastis itu saya sadari tidak akan mudah dikabulkan mengingat banyaknya penderita penyakit-penyakit berat yang juga perlu dibantu pemerintah. Tapi sudah terbukti bahwa kanker saya tidak cocok diobati dengan obat sitostatika terdahulu yang juga dibelikan pemerintah, sehingga harus diganti dengan obat yang sekarang saya ajukan. Berhubung harganya yang sangat mahal itu, maka saya dan dokter sudah bersepakat untuk membuang saja satu macam obat yang termahal agar saya masih tetap bisa diobati dengan obat-obat sisanya yang berharga 15 juta rupiah belum termasuk obat suntik dan obat-obat lain sejumlah dua juta rupiah yang bisa saya upayakan membeli sendiri.

Kini yang terjadi sungguh di luar dugaan. Selain obat suntik saya ditolak didanai sesuai kesepakatan, obat-obat kemoterapi saya pun ditolak. Mereka hanya bersedia membelikan obat seharga tiga juta rupiah saja, yang artinya dua belas juta rupiah lainnya harus kami beli sendiri. Seharian penuh anak saya mengurus hal tersebut di Dinas Kesehatan Kota tanpa hasil. Alangkah sedihnya.

Mula-mula mereka menyuruh anak saya menunggu cukup lama untuk penyelesaian persetujuan permohonan pendanaan obat saya, sebab mereka perlu berunding dahulu dengan pihak dokter saya dalam hal ini RS.  Karena dokter saya sulit dikontak, mereka mengambil keputusan sepihak, hanya mendanai obat termurah sesuai daftar obat yang dikeluarkan pihak RS tempat saya berobat. Tentu saja ini membingungkan kami, mengapa daftar obat ditetapkan sepihak oleh pihak RS bukan oleh pemerintah selaku penyandang dana.

Ketika anak saya menanyakan mengapa waktu terdahulu permohonan obat dikabulkan kedua-duanya, mereka tak bisa menjawab. Anak saya kemudian minta dipertemukan dengan pejabat yang berwenang yang kebetulan pada hari itu tak nampak di kantornya. Sayang kata mereka pejabat yang dimaksud sedang cuti tahunan,. Lalu anak saya beralih minta dipertemukan dengan atasan beliau penandatangan persetujuan pembelian obat itu. Kali ini mereka menjawab ibu yang bersangkutan ada di dalam tapi tak berkenan bertemu. Sebagai penawarnya anak saya diminta melapor ke RS agar pihak RS yang datang menghadap sendiri. Atau saya disarankan untuk pindah RS ke RSU yang dapat dipastikan semua permohonan obatnya akan dikabulkan.

Tentu saja anak saya terkejut. Sebab lain RS dikenai perlakuan dan kebijakan yang berbeda. Anak saya dengan tegas menolak usulan mereka, karena berganti RS tentu berganti pula dokternya sehingga pengobatan saya sangat mungkin diulang lagi dari awal. Gagasan ini sama sekali tak pernah singgah di benak kami. Sebab saya tak mau dipegang dokter lain lagi mengingat penatalaksanaan pengobatan saya sudah berjalan dan terencana dengan sangat baik hingga sekarang. Saya tak mau disakiti oleh dokter yang sama sekali tak tahu kasus saya.

Akhirnya anak saya pulang membawa kekecewaan yang dalam. Dia langsung mengayunkan kakinya dengan pikiran galau menuju ke RS. Keinginannya saat itu cuma satu : Menemui Perawat Kepala memohon agar beliau segera menghubungi pihak DKK menegosiasikan obat-obat kemoterapi saya. 

Perjalanan yang jauh dengan berganti-ganti angkutan kota tak dihiraukannya. Dia cuma ingin memburu waktu cepat tiba di RS sebelum zuster Maria, perawat yang amat baik kepada pasien itu pulang sebab hari sudah sore.

Betul saja, dia melamun di atas angkutan kota yang melaju sehingga nyaris kebablasan seandainya sopir angkot tak mempersilahkannya turun. Dan begitu tiba di RS kedapatan bu Maria sudah pulang. SMS yang dikirimkan anak saya tak dijawab, sedangkan telepon pun juga dibiarkannya. Baru kemudian karena merasa terusik, beliau menjawab singkat tidak bisa dihubungi karena sedang beristirahat. Semakin lunglai lah anak saya meski dia tak sampai patah semangat.

"Betul-betul bad luck bu," lapor anak saya ketika tiba kembali di rumah menjelang maghrib. Wajahnya kelelahan dengan keringat yang mengucur menuju ke dagunya.

"Ada apa sih?" Sambut saya penasaran. Saya pandangi dia yang nyaris menangis sedih.

"Permohonan kita cuma dikabulkan satu, alasannya nggak jelas," jawabnya seraya menarik kursi untuk duduk mendekati saya yang kebetulan sedang dijenguk para kemenakan, anak-anak mereka dan kakak saya yang sekarang benar-benar tinggal seorang. Jadi sejak pagi saya memang tidak bisa berbaring-baring di kasur menerima mereka yang tak putus-putusanya mendoakan saya sambil berunding mencari jalan mendapatkan uang untuk pembelian obat saya. Terus terang saja, kondisi saya menimbulkan keprihatinan yang yang sangat pada seluruh keluarga saya. Sebab meski bungsu, tetapi saya dituakan di keluarga kami.

"Kamu bicara sendiri dengan bu R, mas?" tanya saya ingin tahu seraya menyebut nama pejabat yang berwewenang yang biasa melayani pengguna Jamkesda dan selalu jatuh iba jika melihat saya menghadap sendiri. Pernah beliau menegur anak saya untuk tidak usah membawa saya mengurus keperluan Jamkesda mengingat kondisi saya yang lemah. Namun waktu itu tak bisa lain, sebab si adik pergi kuliah sehingga tak ada yang menjaga saya di rumah.

"Nggak. beliau sedang cuti pulang kampung. Acc ini yang menandatangani bu drg. Maeghareta, langsung," jawab anak saya lagi.

"Kamu ketemu beliau dan tanya mengapa sekarang ditolak?" Tanya saya lagi.

"Nggak, bu Marghareta nggak ke counter pelayanan. Cuma kata staff di counter beliau cuma bisa meng acc satu, nggak boleh lebih dari tiga juta soalnya," jelas anak saya membuat saya terkejut-kejut.

"Apa?! Tidak boleh lebih dari tiga juta?! Kenapa tiba-tiba berubah?" Tanya saya separuh memekik. Saya tak percaya sebab dulu dikatakan tak boleh lebih dari lima belas juta rupiah. Penurunan nominal yang drastis begini tentu saja di luar kesepakatan yang telah kami buat dan jadi sangat mengejutkan.

"Mbuh. Entahlah. Makanya aku sempat berdebat panjang tadi. Tapi mereka tetap tak mau kasih penjelasan dan menyuruh pihak RS yang bicara untuk kita," cetus anak saya bersemangat namun menyiratkan kejengkelannya.

Kami menghela nafas dalam-dalam. Sungguh sesak rasanya di dada. Penyakit kanker ternyata memang tidak menyenangkan dengan biaya pengobatannya yang tidak murah itu.

"Mas, kalau obat suntik Leucogen disuruh bayar sendiri, okay lah. Tapi obat-obat kemo itu tak lagi didanai sesuai kesepakatan, maunya gimana?"  Terlontar satu pertanyaan yang saya yakini anak saya pun tak tahu bagaimana harus menjawabnya. Benar saja dia cuma mengangkat bahunya jengkel.

"Di atas lima belas juta mereka bilang kebanyakan, mahal. Di bawah itu, Leucogen sejuta setengah juga kemahalan, tapi kita dianggap mampu bayar sendiri. Lha sekarang, cuma minta lima belas juta saja seandainya nggak boleh beneran minta Leucogen ya ditolak juga, cuma boleh tiga juta, Terus maunya gimana???" Kembali anak saya yang melontarkan kebingungannya. Lalu kami pun saling bertatapan dalam kebingungan.

Saya kemudian beranjak ke dalam kamar dan membaringkan diri di kasur. Penat seketika menyergap saya, sehingga kedua anak saya ikut merebahkan diri atau duduk di dekat saya. Saya raih ponsel saya untuk memberitahukan masalah ini kepada dokter sekaligus minta waktu tunda kemoterapi seminggu karena mau tidak mau saya harus mencari dana dulu menerima uluran tangan atau usulan keluarga saya yang baru saja selesai berunding untuk membiayai pengobatan saya. Terus terang saja seperti yang disebut-sebut mantan suami saya, kini kami tak lagi berharta dan juga tak berdaya. Semua telah habis untuk pengobatan-pengobatan saya yang terdahulu hingga di luar negeri.

"Aslmkm. Dok. Mhn maaf DKK hanya mendanai C. B yg mahal tdk diberikan tp mrk blg mau dinegosiasi. Mrk minta RSKB sendiri yg bicara dng mrk. Jd bsk Andrie mau bcr dng pihak RS. Seandainya mrk butuh wkt utk negosiasi atau sy cari uang sndiri, blhkah kemo mundur seminggu? Tks arahannya," demikian ketik saya menuju ke dokter onkologi saya sebagai pemegang kendali pengobatan saya.

Tak berlama-lama SMS saya dijawab, "Wass. Bu. Wah.... kok bgt ya? kalo mmg diperlukan sy beri surat tdk apa2. Ato ganti jenis lain yg isinya sama jg tdk apa2... Bgmn brp sih harganya B?" 

Belum sempat saya jawab masuk pula SMS berikutnya, "harusnya 3 minggunya kapan bu?"

"Harga B 14 jt 449.500 menurut apotek RS. Gpp kl misalnya nanti ttp tak dikabulkan kami cari uang sndiri. hanya mhn izin perlu wkt sminggu. kemo tgl 30 hr Sabtu ini," demikian jawaban saya.

"Knp ditolak bu, trus utk selanjutnya bgmn?" Sahut dokter saya mulai menyiratkan kegundahannya.

"Blm jelas. Td pjbtnya sdg cuti. Atasannya blg hanya mau mendanai C yg 3 jt tdk 2-2nya lg spt dl. Makanya bsk pihak RS diminta bcr sndri dng DKK. Selanjutnya kami cari uang sndiri," jawab saya.

"Perlu surat dr sy?" Tanya dokter saya simpatik.

"Kl berkenan membuatkan blh saja. Hr Rabu sy ambil di poliklinik 16. Maaf jd sgt merepotkan," tulis saya harap-harap cemas. Sebab saya tak tahu pasti apakah beliau akan pulang kampung dan membuka kliniknya si sini. Banyak kesibukan beliau yang sering menghambat langkahnya meninggalkan kantor lebih cepat demi kami di sini meski itu di luar kemauannya.

"Ok. Tunda 1 mgu tdk apa bu tp kita coba tgu hsl pembicaraan RS dng DKK. Baru kemudian kita tentukan alternatifnya," Tulis dokter simpatik berjiwa sosial itu menenangkan saya dan anak-anak.

"Mtr nwn sgt dok. Trs trg harini kelg kami melepas saja 1-1nya harta peninggalan simbah spy kemo sy bs ttp berjln drpd terganjal birokrasi n sy mati, hiks! Itulah makanya kami minta wkt smggu," Timpal saya membuka rahasia keluarga saya yang terdalam. Demi nyawa saya akhir-akhir ini saya merasa tak lagi malu-malu menceritakan semua keadaan kami kepada beliau.

"Oke gpp bu. Utk penundaan ckp dgn srt rawat kemo yg kmrin. Nanti minta tlg pak Omrin utk atur ulang jadwal kemo ibu. Kt coba dl tembus birokrasi jgn pake harta simbah ah...," jawab beliau simpatik sekali membuat mata saya berkaca-kaca. Dan saya teringat lagi suasana ketika beliau nyaris menangis minta agar saya dikasihani kolega di kantornya dulu. Di zaman seperti ini beliau adalah sosok yang langka dan mengagumkan sekali. Dokter yang bekerja tak hanya dengan otaknya, melainkan melibatkan hati nuraninya juga.

"Oh baiklah kl bgt.Tks bnyk 1x lg. Sy blm mau mati msh bnyk org buta kanker di sekitar mas dr. Kt hrs buat mrk melek :-)," jawab saya mengakhiri pembicaraan kami yang juga ditutupnya dengan pesan saya harus bersabar menunggu hasil negosiasi pihak RS dengan DKK selaku penyandang dana Jamkesda.

Setelah itu saya merasa lega membayangkan di RS masih banyak orang sayang kepada saya. Termasuk dokter onkologi saya yang selalu bekerja sepenuh hati. Saya membuka lembaran telapak tangan saya, menengadahkan wajah menatap langit di kejauhan. Bermohon supaya Allah menyayangi kami selalu.

(Bersambung)

2 komentar:

  1. Tetap semangat dalam ber-ikhtiar, mbak Julie, semoga segala langkah dinilai juga sebagai ibadah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insya Allah mas Iwan. Tadi pagi-pagi sekali relawan kanker juga datang berniat membantu meringankan beban saya. Beliau bilang dokter saya yang minta tolong langsung. Alangkah baiknya kepada saya. Alhamdulillah!

      Hapus

Pita Pink