Powered By Blogger

Kamis, 07 November 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (133)

(SEBUAH CATATAN YANG TERTUNDA)


Sejak nyaris bergandengan dengan kota metropolitan, Bogor kota kami jadi macet. Sudah dua hari ini di muka rumah kami antrian kendaraan nyaris tak bergerak sejak pagi sampai malam. Padahal rumah kami di dalam perkampungan. Hanya saja memang di ruas jalan raya yang sering dijadikan jalan alternatif oleh penduduk. Akibatnya kami tak mungkin ke luar rumah, apalagi dalam keadaan saya yang semakin repot begini. Kaki-kaki saya sangat ngilu, nyeri bila digerakkan, apalagi bila dipakai melangkah.

Karena kondisi itu kini saya jadi semakin terisolasi dari dunia luar. Cuma bisa memandangi seputar rumah dan mendengarkan keriuhan jalanan. Padahal hari ini, Minggu (03/11) sebetulnya ada undangan menarik dari "Cancer Club", yakni sesi "Meditasi dan Terapi Relaksasi" yang akan disampaikan oleh pakar kanker dari RSKD. Sungguh suatu acara yang bagus lagi pula langka. Saya menyesal sekali mendapati hal ini, lebih menyesal daripada tak boleh makan daging-dagingan. Sebab semula saya ingin belajar cara melepas beban pikiran agar otot-otot saya tak jadi kaku tegang begini.

Kemarin selepas subuh saya sudah minta maaf kepada nyonya rumahnya, bu Linda sambil minta didoakan agar kuat menanggung penyakit saya. Beliau menjawab tak hanya dengan doa bahkan juga dengan dorongan agar saya mencoba melupakan nyeri itu dan ikut kegiatan di rumahnya. Katanya asal saya istighfar menyerahkan persoalan saya kepada Allah, saya akan kuat. Sedih sekali saya membaca itu. Soalnya selama ini rasanya saya sudah selalu berserah kepadaNya. "Yang kuat dan terus bertahan sampai akhir ya bu," demikian pesan bu Linda yang menganggap saya sebagai makhluk istimewa pilihan Allah dan terberkati. Katanya sih dengan begitu Allah tak akan munglin menyiksa saya. Alhamdulillah!

***

Sakit ini memang sungguh menyiksa saya. Setidak-tidaknya saya jadi merasa tak bisa apa-apa sendiri seperti seharusnya. Semua tergantung kepada orang lain dan jadi merepotkan. Termasuk merepotkan dokter saya yang dengan keikhlasannya mengurusi soal sakit saya dengan sungguh-sungguh. Saya rasa siapa pun jika mengalami kondisi seperti saya pasti akan tersiksa sendiri. Percaya lah. 

Kakak sulung saya yang juga tengah menjalani rangkaian kemoterapi merasakan perasaan yang sama. Meski kondisi awal kanker beliau tak separah saya, tapi sebab umur yang sudah di atas 70 tahun maka fisiknya tak kuat lagi merasakan dampak buruk kemoterapi terhadap tubuh. Ini yang menakutkan sebagian besar pasien kanker, kecuali saya agaknya. 

Kakak saya tidak bernafsu makan sama sekali. Tubuhnya jadi lemas. Beliau selain mengeluhkan sakit kaki seperti saya sekarang yang justru sedang merindukan obat kemoterapi lagi, juga merasa tak mampu bangkit dari posisi berbaring. Bahkan menggeser tubuh pun sudah kesulitan. Akibatnya untuk menjalani hari-harinya beliau butuh asisten. Lebih perlu dibandingkan saya yang masih sanggup ke kamar mandi sendiri meski merayap tertatih-tatih.

Tadi pagi sewaktu anak bungsu saya ke Puskesmas sendirian untuk mengurus surat rujukan ke RS, dokter Nikmah yang bertugas sempat memuji saya sebagai pasien yang bersemangat. Menurutnya sangat jarang ditemui pasien kanker dengan stadium lanjut bahkan terminal yang begini. Umumnya mereka layu pasrah seperti sedang menunggu hari terakhir mereka merasakan sakit di dunia. Ini katanya mempersulit upaya penyembuhan yang diupayakan oleh para tim medis.

Saya akui, dalam kunjungan saya ke Puskesmas seminggu yang lalu saya menitipkan gagasan untuk segera menyelenggarakan penyuluhan mengenai kanker payudara bekerja sama dengan Kelurahan. Jika mungkin berkenaan dengan Peringatan Hari Ibu. Sebab saya melihat di desa kami potensi penyelenggaraan sangat mungkin. Dokter onkologis tinggal di sini di akhir pekan, sementara pasien yang datang berobat dalam kondisi cukup parah banyak. Bahkan menurut pantauan Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat banyak yang tak tertolong lagi. Saya adalah salah satu contoh warga yang terlambat ke dokter. Pasalnya meski dokter di dekat rumah, tetapi ketakutan akan biaya berobat menyurutkan langkah ke sana. Akibatnya Pemerintah juga yang harus turun tangan mengulurkan bantuan yang sangat fantastis. Sedangkan kerja dokter onkologis menjadi semakin sulit. Rasa bersalah ini lah yang membuat saya berani menyampaikan usulan kepada pejabat yang berwenang.

Dokter Nikmah menghargai usulan saya. Katanya selama ini di hadapan kader PKK dan Posyandu memang rutin dilaksanakan penyuluhan penyakit tidak menular. Tapi diakuinya penyuluhan kanker belum pernah diadakan. Lalu beliau berjanji membawanya ke rapat di Kelurahan suatu hari nanti. Sedangkan Kasi Kesra yang menerima saya juga setuju. Sayang katanya saya tak bisa bicara sendiri dengan Lurah Desa karena beliau saat itu sedang ikut rapat dinas. Tapi usulan saya pasti akan disampaikannya, sebab beliau sendiri membenarkan pernyataan saya. Sungguh sayang kalau dokter onkologis cemerlang warga kami tak dimanfaatkan untuk menyadarkan warga akan bahaya kanker. Padahal sang dokter dengan serta-merta menyetujui usulan saya dibawa ke pemuka desa kami tersebut.

***

Pemerintah dan masyarakat kini sudah saatnya bergandengan tangan untuk membasmi kanker. Tak bisa warga cuma menjadi penonton yang pasif, sementara ketika kehebohan musibah terjadi mereka justru kalang kabut sendiri lalu lari ke pemerintah. Selayaknya masyarakat dipandu untuk mengenali penyakit mematikan ini, juga bagaimana menata hidup yang sehat. 

Itu cita-cita yang ingin saya wujudkan sekarang. Baru jika sudah kesampaian, saya ikhlas mati dengan tenang. Seperti ungkapan saya ketika menyuntik semangat dokter saya agar tak berkecil hati menerima dan menatalaksana penyakit saya seorang diri secara mandiri di kampung. 

Waktu itu saya katakan, "izinkan saya menjadi bahan pembelajaran dokter. Silahkan lakukan apa saja yang memungkinkan terhadap diri saya. Maka jika Allah menghendaki saya sembuh, dengan bangga akan saya katakan bahwa saya cukup ditangani onkologis junior bukan ahli kemoterapi pula, siiiiip 'kan." 

Beliau terkejut-kejut waktu itu. Dan dijawabnya dengan kalimat  yang menggelikan di telinga saya, "what?! Bahan pembelajaran?!" Tapi tak urung senyumnya berubah jadi tawa mendengar ujung dari ucapan saya. Sebab bukan tak mungkin, kami telah bertekad untuk nekad di sini.

"Ya, tapi kita kembali soal takdir ya. Kalau nyatanya saya mati, kematian saya 'kan bisa jadi bahan untuk dokter mencari cara lain menolong pasien seperti saya," hampir saja itu terucap dari bibir saya seandainya pasien berikutnya setelah saya tak segera mau masuk klinik malam itu. Dipikir-pikir lebih baik saya tak mengucapkannya sebab bicara soal kematian cukup mengagetkan dan menakutkan juga tentunya. Tak banyak orang yang siap untuk mati. Termasuk saya saat ini. Jadi tak baik bicara mati di depan orang lain.

***

Kalau mati itu soal takdir, maka saya berkeyakinan juga bahwa siapa yang bisa meringankan penyakit kita, tentulah hanya Allah. Jika ditakdirkan sakit, ini adalah saatnya kesabaran kita diuji untuk menggali sejauh mana keimanan dan rasa tawakal kita kepada Tuhan. Tawakal itu sendiri adalah berserah diri kepada Allah. Ini menurut saya tercapai jika kita percaya sepenuh jiwa akan Dia. Lalu setelah kita berupaya mencari obat penyakit kita, kita serahkan hasil akhirnya kepada Tuhan. Dengan begini sakit kita akan diringankan.

Nyaris setiap hari teman-teman masa lalu saya berkirim pesan singkat mengingatkan saya untuk terus berdzikir. Memohon kekuatan dari Allah. Mengiba pertolonganNya mendatangkan kesembuhan untuk saya. Dan mereka benar. Toch tak ada lagi kegiatan normal apa pun yang mampu saya jalankan akhir-akhir ini, sehingga waktu saya banyak terluang saja.

Karunia itu pun datanglah. Laksana mukjizat, kaki-kaki saya yang sempat sulit digerakkan tiba-tiba tadi pagi bisa melangkah ringan. Saya terkagum-kagum sendiri waktu mencoba menurunkan kaki saya dari atas pembaringan. Sakit itu tak begitu menyengat lagi. 

Dengan mudahnya saya mencapai kamar mandi untuk mensucikan diri, sebab sudah pukul setengah empat. Dipikir-pikir daripada saya cuma asyik bergolek-golek yang membuat saya bisa tertidur kembali, lebih baik saya mencuci muka dan berwudhu. Setelahnya saya bisa mengingat-ingat Allah dengan menyebut sebanyak-banyak namaNya seraya memohon ampun agar diberi kekuatan menunggu saat sembahyang subuh. Sebab, kekuatan mana yang bisa menolong saya jika bukan kekuatan Tuhan? Saya semakin percaya bahwa Tuhan itu Maha Kasih dengan KasihNya yang sempurna yang telah diberkatkan kepada saya melalui sakit saya ini.

***

Terus terang saja, sewaktu kaki saya sakit kemarin itu, selain "lapor diri" kepada Allah, saya juga menceritakannya kepada dokter saya dan teman-teman serta kerabat. Sebab setiap hari selalu saja ada yang ingin tahu keadaan saya. Terkadang mereka menanyakannya lewat anak-anak saya, contohnya Iwan teman di SMP dan abang R sahabat kakak saya semasa kuliah dulu. Sambil bercerita, ujung-ujungnya saya minta didoakan juga.

Bahkan kepada sinshe khusus saya minta diberi enerji positif yang dimilikinya yang selama ini diberikannya sehingga saya memiliki keberanian di dalam menggendong penyakit menakutkan ini. Memang dia tak menjawab SMS saya. Tapi entah mengapa sebersit aura hangat serasa menjalari aliran darah di tubuh saya di hari yang sama dengan permintaan tolong saya kepadanya ini. Dulu pun sewaktu akan dioperasi, hati saya begitu tenang tubuh pun tak lunglai menuju ke theater di ruang operasi RS yang sebetulnya asing untuk saya. Pokoknya saya betul-betul siap dengan ketenangan.


Tadi pagi dia mengirimkan pesannya kepada saya. Katanya seharian kemarin dia tak henti-hentinya bermeditasi dan berdoa Novena menurut kepercayaan yang dianutnya untuk saya. Ah, ternyata ada juga efek meditasi dan doanya itu bagi saya, yakni transfer enerji positif jarak jauh. Tak lupa saya menyatakan terima kasih kepadanya. Sebab saya semakin yakin meski bukan dokter, tetapi sinshe saya bisa memberi pengaruh baik pada kondisi saya.

***

Misteri tentang kematian di keluarga saya tiba-tiba kini terjawab sudah. Kakak sulung saya wafat dalam usia 71 tahun di perjalanan menuju ke RS. Padahal beliau penderita stadium awal, bukan pasien kanker terminal serupa saya. Tubuhnya yang dulu berisi menurun drastis sehabis pengangkatan payudara dan kelenjar ketiaknya diikuti kemoterapi. Padahal kemoterapinya baru berlangsung 3 kali. Namun celakanya obat-obat kemoterapi itu merusak tubuhnya membuat beliau sama sekali kehilangan nafsu makan. Malnutrisi membawanya ke liang kubur. Belum lagi ditambah stress pikiran melihat kondisi saya. 

Kini saya percaya bebar bahwa tingkat stress seseorang berkorelasi dengan meruyaknya sel-sel kanker yang dilukai. Juga kanker itu sendiri tak selalu menjadi penyebab kematian pada penderitanya.

Innalillahi wa innailaihi raji'un. Semua yang bernyawa akan kembali kepadaNya cepat atau lambat. Tapi saya telah bertekad untuk mengulur waktu itu semampunya. Lusa saya akan kembali memulai "ritual" kemoterapi saya dengan obat-obat seadanya yang diperoleh berkat kemurahan hati Pemerintah. Persiapan sudah saya lakukan, dan dokter-dokter saya pun sudah memberikan lampu hijau tanda persetujuan. 

Bismillahirrahmanirrahim. Dengan kasih sayang dan kemurahan Tuhan, saya akan berjuang. Semoga lah berhasil keluar dari jerat kepiting jahat yang menyiksa ini. Salam sehat!

(Bersambung)

1 komentar:

  1. ibu, maaf saya baru mengetahui kakak ibu sdh berpulang ke Rahmatullah...
    Semoga Allah mengampuni dosa2 almh, menerima amal ibadahnya, menerangi & melapangkan kuburnya & menempatkannya ditempat yg terbaik disisi Allah... aamiin..YRA...

    BalasHapus

Pita Pink