Powered By Blogger

Sabtu, 23 November 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (138)

Ada banyak yang saya nikmati di masa saya didera kanker yang menakutkan ini. ALHAMDULILLAH adalah satu di antaranya, yakni kata-kata yang mengungkapkan rasa syukur kepada Allah sang Maha Agung karena telah mencurahkan nikmat yang banyak kepada saya dan anak-anak di balik cobaan yang telah ditimpakan kepada kami.

Setiap kali kata ALHAMDULILLAH itu dibunyikan mulut saya, maka artinya saya baru saja menerima bantuan dari berbagai pihak untuk mengupayakan kesehatan diri. Contohnya ketika akhirnya anak saya membawa kabar kurang menggembirakan berupa ditolaknya permohonan bantuan pembelian obat suntik leucogen yang amat saya butuhkan itu, tiba-tiba teman-teman SMA saya datang menjenguk sambil mengulurkan bantuan.

Seharian itu saya memang merasa amat sangat lemah. Sehingga berbaring-baring cuma satu-satunya jalan untuk menyandarkan tubuh yang sama sekali tidak bugar. Sedang saya terjaga di sore hari, tiba-tiba Butet datang bersama Ade. Sudah sering Butet menengok saya, setidak-tidaknya berkirim doa lewat SMS. Perempuan karier yang memilih melajang selama hidupnya ini, selalu punya kasih sayang untuk siapa saja termasuk untuk para kemenakannya yang betah tinggal bersamanya. Katanya dia mendengar kondisi terakhir saya serta kematian kakak saya yang terkesan tiba-tiba dari sepupu saya sahabatnya di gereja. Sepupu saya menangis membuatnya ikut larut dalam duka sepupu saya itu. "Saya jadi ikutan nangis. Habis mbak Jekti ceritanya sambil mewek terus. Jul, sekarang tiap saat teduh kusebut kalian bertiga. semoga Allah menguatkan dan memberi jalan terbaik untuk kalian anak-beranak, amin..............," katanya sambil mengalirkan air mata itu lagi.

Ade seorang janda yang ditinggal mati suaminya enam tahun lalu pun ikut-ikutan menangis. Tapi dia salut melihat saya masih mampu bercerita panjang lebar. Dan semuanya masih teratur serta mengesankan melewati segala jalan yang tak mudah. Saya cuma tersenyum menyatakan terima kasih saya atas apresiasinya. Apalagi kini dia kesepian seorang diri karena anak-anaknya sudah menikah semua dan tinggal terpisah.

Selepas maghrib Maria datang seorang diri. Dengan kulit tetap mulus lembut sebersih kulit bidadari, tubuhnya yang juga tetap kecil mungil nyaris tak kelihatan belum sempat dibersihkan. Katanya dia baru saja selesai menutup tokonya. Katanya dia mendengar kabar saya dari BB Group teman SMA. Dan besok, lapornya, teman-teman berencana datang menjenguk mengulurkan bantuan. Sebab mereka tahu entah dari siapa saya sedang berjuang mendapatkan dua ampul obat suntik yang saya perlukan. Tercengang saya mendengarnya. Subhanallah! Sungguh bantuan itu selalu diberikan Allah tanpa terduga.

Betul saja. Tanpa didahului SMS seperti biasanya serombongan teman-teman masuk ke kamar tepat ketika saya baru saja menyelesaikan sembahyang Ashar. Meski menyedihkan tetapi saya memang cuma mampu shalat sambil berbaring saja sekarang ini. 

"Assalamu'alaikum, Jul, lagi tidur ya?" Kedengaran suara berat serak-serak basah di telinga saya. Terbayang aksinya ketika sedang asyik menjeritkan lagu-lagu slow rock.

"Aih, Icuy," saya menyebut nama Suryamah teman saya di kelas 3 SMA dulu yang duduk sebangku dengan Lily.

"Baik amat sudi nengok saya...., nggak ngrepotin 'kan?!" Sambut saya senang dibalas dengan kecerahan pada wajah dan nada suaranya.

"Nggak lah, senang aja ingatan kamu masih terang, nih teman-teman lain ya," sahutnya lalu melepaskan tempatnya di sisi saya untuk teman-teman lain. Ada Enen, Elly, Yani, Wenti, Lina dan kak Iwan suaminya, Susi, Tame, Pudjo, Udin dan tentu saja Ian teman yang kerap menyemangati saya dengan kata-kata indahnya. Ternyata bahkan Icuy pun didampingi suaminya yang pernah sekali saya lihat menjemputnya di rumah Wawan dulu.

Mereka sangat ingin tahu kondisi saya, dan karenanya mendengarkan dengan cermat apa yang saya coba tuturkan. Terlontar banyak komentar dari mulut mereka yang menunjukkan kekaguman mereka. Hingga anak-anak saya pun didekati untuk ditanyai secara jelas tentang keadaan saya sejujurnya. Saya perhatikan wajah mereka nampak amat serius. Sesekali mereka nampak mengangkat alis, mendecak-decak kagum dan semacamnya yang seolah-olah menggambarkan isi pikiran mereka. 

Tapi mereka tak lama di tempat saya karena akan ke RS menjenguk dua teman lagi yang dirawat di sana, Mia dan Meijahr. Saya tahu Mia sudah lama mengidap hepatitis kronis karena dia guru anak saya semasa di SMA. Sedangkan Meijahr konon jatuh sehingga kakinya bermasalah. Maklum kami sekarang sudah mulai tua. Saya melepas kepulangan mereka dengan terima kasih yang tulus dan salam untuk teman-teman yang sakit.

Subhanallah! Mereka meninggalkan sejumlah uang juga rupanya di samping buah-buahan pilihan untuk memperbaiki kondisi fisik saya. Inilah sekali lagi bukti bahwa Allah ada di tempat kami dan mengucurkan uang yang betul-betul kami perlukan. Sudah dua minggu suntikan Leucogen saya tak terbayar karena ketiadaan biaya serta permohonan saya ditolak pemerintah. Pihak DKK mengatakan kepada anak saya, tak bisa lagi mengucurkan uang satu juta lebih untuk pembeli obat yang saya butuhkan itu. Buru-buru saya mengucap doa syukur serempak dengan anak-anak saya yang wajahnya jadi berseri-seri.

"Mohon izin tanya mas dokter, besok praktek kah? Keadaan ibu masih mengkhawatirkan dan belum dapat surat perintah kemo," anak saya langsung berkirim SMS kepada dokter onkologis saya. Sebab ada kalanya beliau pulang kampung dengan tujuan melakukan tindakan operasi sehingga klinik ditutup untuk pasien-pasien rawat jalan. Anak saya yakin besok saya dapat langsung disuntik oleh beliau sendiri di klinik tanpa harus dilayani dokter jaga di IGD seperti biasanya. Obat suntik itu sudah di depan matanya dibayar dengan pemberian teman-teman saya. Alhamdulillah tanpa menunggu lama beliau mengiyakan dan berharap segera bertemu saya. Jadi semalaman saya mencoba tidur nyenyak.

Kesibukan di jalanan memberi tanda hari sudah pagi. Bahkan semakin siang lalu lintas semakin padat nyaris tak bergerak. Saya bimbang bagaimana mencapai RS dalam keadaan begini. Sebab biasanya angkutan kota jadi jarang yang mau melintas di depan rumah kami. Tapi untunglah kemenakan saya bersedia mengantar jemput sehingga saya bisa sampai juga di RS bahkan menunggu cukup lama. Agaknya dokter melepas rindu lebih dulu dengan ibundanya yang setia memelihara rumah induk mereka. Memang disebabkan volume pekerjaannya di ibu kota dokter hanya sanggup pulang di akhir pekan.

Tiba di RS pun saya nyaris tak mendapat kursi roda karena entah mengapa kata anak saya hari itu kosong. Akan tetapi mujur selalu berpihak kepada saya. Begitu saya tiba di lobby seseorang berkursi roda pulang, seolah-olah menyodorkan kursi yang dipakainya untuk saya. Subhanallah sungguh tak terkira lagi.

Belum sampai di RS saya menerima SMS dari bu Linda seorang relawan kanker yang sudah sering menghubungi saya lewat telepon. Rupanya dia berniat berkenalan sambil menjenguk ke rumah dalam perjalanannya ke Jakarta. Tapi terpaksa saya tolak karena saya akan ke RS. Akhirnya dia hanya menitipkan salam untuk dokter saya. 

Ketika tiba giliran saya dipanggil, perawat sengaja tidak meneriakkan nama saya lantang selain menjemput dan lalu mendorong kursi roda saya. Agaknya penampilan saya yang sudah hancur-hancuran menerbitkan iba bagi siapa yang tahu diri saya. Saya terhibur karenanya.

Dokter tentu saja prihatin menyaksikan saya. Keadaan saya diperiksanya. Ketika saya laporkan bahwa saya belum jadi disuntik karena DKK tak lagi mendanai pembelian obat itu beliau sedih. "Yah..... terus gimana dong kalau gini?"

Saya segera memasang wajah tenang dironai senang. "Tapi tenang, saya sudah dapat dana kasihonya. Bisa untuk dua ampul. Yang seampul sudah dibayar ada tuh di apotik, tinggal suntik di IGD," ujar saya.

"Alhamdulillah. Dari mana lagi?" Tanya dokter penuh senyum. kini lega wujudnya.

"Dari teman-teman SMA kemarin sore dan biasa, dari fans saya di LN. Hehehehe........ percaya 'kan Allah itu ada di sisi saya?!" Saya jadi tersenyum juga.

"Ya udah ambil ke apotik, kenapa harus ke IGD sih?" Tanyanya.

"Ya 'kan proseduralnya gitu," jawab saya tak disanggah perawat.

"Wis mboten prosedural-proseduralan. Sini aja saya kok yang lakukan. Ambil ya nDrie," pintanya pada anak saya menyebabkan perawat pun menganga takjub.

"Mas, tapi saya lebih berani dioperasi dari pada disuntik leucogen gini sensasinya itu lho serem ihhhh..........," ungkap saya menceritakan kengerian pada jarum suntik yang akan ditusukkan di perut saya.

"Lha kok, memang kenapa bu?" Dokter tampan itu kebingungan.

"Lha jarumnya ditusukkan di perut gitu sih," jawab saya jujur.

"Nggak di lengan aja bisa," kata perawat yang menerima obat dari tangan anak saya.

"Oh, bisa, tapi ya di perut aja deh. Lebih aman kok," kata dokter saya seraya menginstruksikan perawat berkumis yang juga simpatik karena ramahnya itu mempersiapkan alat suntik.

"Memang kenapa sih mas kalau di lengan?" Saya mengejarnya dengan pertanyaan aneh.

"Kalau jadi infeksi bahaya ah. Wis sini, merem ya, nih," kata dokter sejurus kemudian. saya dimintanya duduk tenang.

"Bismillah. srrrrttttt......," kedengaran suara mendesis yang ternyata berisi cairan antiseptik dingin sebagai pendahuluan. "Merem, nih ......"

"Wis tha?" Tanya saya tak percaya sebab tak terasa apa-apa. Anak-anak, dokter dan perawat tertawa menciptakan sebuah koor yang mengejek nenek-nenek.

"Merem, diem bu," kata dokter tak kuasa menahan geli.

Dan, selesai jugalah apa yang mengerikan saya itu dengan baik dan damai.

"Hahahaha........ terima kasih. Unik ya? Mending dioperasi sisan gitu lho," kata saya geli sendiri.

Setelah itu dokter menuliskan persiapan kemoterapi yang terjadwal persis seminggu lagi lalu sebelum menyalami saya menanyakan apakah saya sudah berhubungan dengan bu Linda. Tiba-tiba saya teringat pesan darinya yang belum saya tunaikan.

"Oh ya sudah, cuma belum ketemu. Dia tadi mau ke rumah tapi saya sudah mau ke sini. Akhirnya dia malah titip salam. Ada apa sih mas?" Tanya saya jadi penasaran.

"Ada aja........ Pokoke kontak beliau ya tante," pesannya misterius. Sama misteriusnya dengan jawaban bu Linda ketika saya SMS kemudian.

Duh, hidup saya ini kok penuh misteri ya???

(Bersambung)



2 komentar:

  1. takjub ama bunda, masih aja sempat menulis, padahal dah lemah gini :(
    alhamdulillah ikut bersyukur karena masih banyak teman juga para dokter yang baik di sekeliling bunda.. :)
    ayo..ayo..semangat terus ya bun....

    *peluk..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Soalnya kalau nggak ngisi buku harian sekali aja rasanya ada yang kurang dalam hidup saya. Makanya sekarang satu jurnal aja bisa lama banget selesainya hehehehe........

      Hapus

Pita Pink