Powered By Blogger

Jumat, 08 November 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (134)

Mempunyai dokter yang bisa diajak berkomunikasi dengan mudah memang sangat menguntungkan. Kita bisa mengungkapkan apa saja yang kita rasakan termasuk perasaan hati kita yang sedikit banyaknya saya percaya berdampak juga pada kesehatan seseorang. Dan saya menerima keberuntungan itu. Sebab saya sedang ditangani tim medis yang begitu peduli.

Seperti sudah saya ceritakan berulang-ulang onkologis saya amat berpihak pada pasiennya di sela-sela kesibukan kerjanya yang amat padat sebagai PNS di luar kota. Artinya jika beliau tak sempat pulang kampung menangani pasiennya sendiri, maka kami diserah terimakan untuk sementara kepada dokter ahli bedah umum senior yang sangat berpengalaman, sehingga proses pengobatan kami selalu berjalan sesuai program. Beliau ini didampingi seorang konsulen dokter ahli penyakit dalam yang selain berkompeten mengawasi kesiapan fisik pasien onkologi sebelum dikemoterapi, juga senantiasa memberikan dukungan moral lewat serangkaian nasehat yang berguna. Contohnya nasehat yang diberikannya kepada saya untuk tak marah baik kepada Tuhan maupun diri sendiri, serta selalu menjaga kemurnian ibadah. 

Hari Kamis lalu pun ketika saya berkonsultasi sambil menyampaikan kabar wafatnya kakak saya yang juga pasien beliau, beliau menasehati saya untuk tetap bersemangat tanpa larut dalam kesedihan. Sesungguhnya beliau tahu benar bahwa saya amat memprihatinkan kondisi kakak saya yang cenderung lemah sebelum ajalnya. Beliau teringat saya memohon-mohon agar beliau bisa mendorong semangat kakak saya untuk sembuh, sebab saya tak ingin kehilangan pengganti orang tua. Waktu itu beliau tak bisa berkata apa-apa selain tersenyum kecil tanpa janji.

Kematian itu soal takdir. Dokter pun tak bisa menolaknya jika saat itu tiba, sebab dokter juga cuma manusia biasa. Saya membenarkan pendapat itu. Sebab adik ibu saya seorang dokter meninggal di usia yang masih muda secara tragis di RS tempatnya bertugas sebagai tentara. Penyebabnya kini saya tahu pasti, infeksi nosokomial yakni kena kuman di dalam RS. Barangkali saja RS di daerah itu kecil, di luar Jawa pula sehingga perawatan kebersihannya kurang terjaga di awal tahun '80-an dulu. Setahu saya bahaya infeksi nosokomial waktu itu pun belum banyak dikampanyekan, sehingga merenggut nyawa pelaku utama pemelihara kesehatan itu sendiri.

Kepada dokter ahli penyakit dalam ini saya serahkan hasil pemeriksaan laboratorium saya yang akan dipakai sebagai surat perizinan kemoterapi. Sebab alhamdulillah akhir pekan ini saya boleh mulai dikemoterapi lagi dengan obat-obat seadanya yang sebetulnya bukan obat yang paling pas untuk penyebab kanker saya. Obat-obat ini bukan obat terapi target, cuma obat-obat tambahan di baris kedua sebagai pendukungnya. Inilah yang dulu membuat onkologis saya tak bisa melakukannya di Bogor sehingga "menabrak" sana-sini untuk mencarikan obat terapi target yang digratiskan. Sayang saya tak beruntung, sehingga mau tak mau saya memaksa beliau untuk nekad mencoba terapi seadanya di kampung saja. Kenekadan yang akan kami mulai segera.

Setelah memeriksa fisik saya dengan pemeriksaan palpasi dan membaca hasil laboratorium, dokter menarik nafas lega seraya mempersilahkan saya turun dari meja pemeriksaan. Kelihatan wajah beliau cerah, sehingga matanya yang kecil jadi semakin sipit tertarik oleh garis senyum di bibirnya. Saya jadi ikut tersenyum juga sambil membayangkan jika saja kacamata hitam kesukaannya di luar ruang praktek dikenakannya untuk menyamarkan matanya yang mungil itu persis seperti ketika beliau bermusik dan menyanyi bersama band nya. :-D

"Bagaimana, dok?" Tanya saya sambil meraih kerudung penutup gundul saya yang tidak seksi apalagi telah ditumbuhi tumor.

"Alhamdulillah, bagus semua. Bismillah," jawabnya.

"Tapi saya baru dapat jadwal echo besok sore dok, sedangkan kemo lusa," kata saya lagi menginfokan.

"Nggak masalah, EKG sudah baik, sudah turun dari minggu lalu," katanya lagi seraya menyebutkan angka yang selisihnya drastis dalam seminggu. Beliau kemudian mulai mencatat dengan serius,

"Eh, jadi ini kemo siklus ke berapa ya bu?" Lanjutnya tiba-tiba seraya memandangi wajah saya yang sedikit menyeringai menahan nyeri ketika memasang kerudung.

"Ke dua ulangan, yang pertama di Jakarta dengan koktail baru. Berhubung meta maka saya dikembalikan ke sini. Dan saya serta mas dokter onkologis nekad siap bahu membahu dengan memakai obat second line seadanya," jawab saya.

"Oh, ini ganti obat?" Selidiknya.

"Ya, yang dulu tidak membawa perbaikan apa pun. Sudah lumayan dok daripada tidak dikemo. Terus terang saya sudah sangat kangen kemo je. Saya belum mau mati gitu lho, masih ingin menyelenggarakan penyuluhan kanker payudara di kelurahan kami bersama beliau. Dokter Puskesmas menerima usulan saya, juga Kasi Kesra di Kelurahan. Dokter Bayu pun menyambut gembira, siiip 'kan ya?!" Kata saya panjang lebar disambut tawa sang dokter penyuka musik ini.

"Kenapa dok, unik ya saya? Ah biar saja, daripada cepat mati 'kan mending diulur dengan obat apa saja. Kasihan dokternya sudah berjuang mati-matian kok nggak ada hasilnya???" 

"Oh ya deh. Selamat kemo ya, bismillah terus," sahut beliau.

"Terima kasih. Oh ya, nanti saya berdosa. Tadi ada salam dari jeng Rahmi yang dosen itu," tiba-tiba saya teringat titipan salam salah seorang pasien beliau.

"Bu Rahmi mana? Dosen UIN itu tho?" Tanyanya.

"Ya, tadi kami saling sapa dengan SMS," saya membenarkan.

"Memang apanya ibu? Saudara juga?" Lanjutnya menyelidik.

"Ah, saudara sesama pasien onkologis, tapi perhatiannya luar biasa terhadap saya. Baiiiiik banget, alhamdullllah. Mari dok, assalamu'alaikum," saya pun beranjak ke luar walau ternyata sudah terjegal pasien berikutnya yang buru-buru akan masuk.

"Waalaikumussalaaam, selamat ya," tutup dokter saya masih dengan gayanya yang menyenangkan.

Lalu saya pun melenggang pergi, menjemput kesempatan melakukan pemeriksaan echo keesokan sorenya. Dalam pada itu onkologis saya segera saya lapori dengan pesan singkat mengingat tengah hari adalah kesempatan beliau mengoperasi pasiennya. Untuk itu saya tak memerlukan balasan. Yang penting laporan diterima. Bahkan bila perlu bisa saya dobeli dengan E-mail agar semua lengkap.

Dan, hari ini laporan saya kepada dokter onkologis saya pun lengkap lah. Maghrib tadi konsulen ahli jantung yang beliau tunjuk membuktikan bahwa jantung saya sudah kembali normal. Artinya saya besok bisa menjalani kemoterapi. Dengan bahagia walau nyaris menangis karena terlalu lama menunggu beliau mengulur waktu sebab terlambat tiba di ruang prakteknya sebelum ke Instalasi Radiologi untuk memeriksa saya, segera saya kabari onkologis saya mohon izin untuk melaksanakan kemoterapi besok pagi. Saya yakin hari itu pasien beliau tak terlalu padat. Jadi beliau mungkin sedang membersihkan tubuh sudah tiba di apartemennya tak jauh dari kantor beliau.

Walau tak segera dijawab, saya tak akan kecewa. Benar saja jawaban masuk ke ponsel saya setibanya saya di rumah. Beliau mengizinkan dengan senang hati. Katanya jadwal beliau besok adalah operasi besar dan artinya poliklinik ditutup. Tapi beliau memastikan perawat tak lupa menghubungi beliau untuk melaporkan jalannya kemoterapi.

"Tks beneran. Soalnya tnp keberanian dr utk nekad bersama sy gmn kt bisa menghambat ca ini he3," kata saya waktu beliau mengucapkan selamat, mengingatkan untuk terus berdoa dan memelihara semangat.

Beliau membalas dengan tawa juga plus menegaskan persetujuannya untuk mengadakan penyuluhan di Kelurahan bekerjasama dengan Puskesmas. Ah, hati saya jadinya semakin berbunga-bunga tak sabar menunggu segalanya terlaksana. Benar-benar saya tak rela mati kalau masih banyak masyarakat sebodoh saya di sekitar pakar onkologi cemerlang. Selamat malam, salam sehat dan tetap semangat!

(Bersambung)

4 komentar:

  1. hi Bun... assalamualaikum...
    bunda tetap kuat yah... saya membayangkan bunda bergelut dengan sakit seperti ini pasti sulit. demikian juga untuk suami. suami udah give up banget hiks.... yg diminta hanya mati ika sudah datang sakit yg bertubi2. sekarang lebih ke masalah mental yg harus ditolong. saling mendoakan yah Bun

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya memang sakit itu menyiksa lahir-batin. Kalau lihat anak-anka saya, rasanya saya makin tersiksa. Tapi begitu lihat tim medis yang menangani dan memperjuangkan saya, ada rasa ingin membalas kebaikan dan erja keras mereka dengan kesembuhan saya. Jadi ya saya belum mauy nyerah. Dokter saya malah yang saya ojok-ojoki untuk nurut sama saya nyoba obat seadanya dengan minta dibimbing Allah hahahaha......

      Mbak, saya selalu doakan kesembuhan suamimu. Coba deh bacakan diary saya, barangkali ada manfaatnya supaya nggak putus asaan giyu. Salam sayang dan salam sehat ya!

      Hapus
  2. Bund, saya udah lama nggak mampir kemari.
    Kakak yang meninggal itu apa yang tinggal sama Bunda, yang waktu itu sama-sama operasi juga?

    BalasHapus

Pita Pink