Powered By Blogger

Jumat, 01 November 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (132)

Memang tidak mudah mencari biaya kemoterapi, bahkan dengan mengemis bantuan pemerintah sekali pun. Saya tak mendapat semua obat yang saya perlukan, persis seperti prediksi onkologis saya. Awalnya kata beliau, kalau saja saya penduduk di wilayah kabupaten, Pemda bersedia mendanainya. Ini berdasarkan pengalaman pada pasien-pasien dari wilayah kabupaten. Sedangkan pasien-pasien dari wilayah kota cuma bisa meminta obat-obat tertentu yang lebih murah. 

Waktu itu saya katakan saya bisa mengerti, ini disebabkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota jauh lebih kecil dibandingkan kabupaten yang wilayahnya luas dan lagi kaya akan sumber daya alam serta objek wisata. Dokter kemudian mengusulkan agar saya mencari keluarga warga kabupaten yang kira-kira bisa ditumpangi. Saya pindah ke sana, berobat dari sana sebagai warga kabupaten supaya obat eksklusif itu terbeli. Tapi usulan ini harus dilupakan mengingat saya tak punya keluarga di situ juga tak mungkin menggandakan E-KTP saya. 

Hal ini tentu saja merisaukan meski saya tahu orang sakit tak boleh berpikiran berat. Saya sudah mencoba menenangkan pikiran dengan berdoa, berserah diri kepada Tuhan. Tetapi kenyataan hidup di depan mata saya tak bisa di kesampingkan. Saya masih punya anak-anak yang perlu pendampingan sebab mereka belum mandiri. Yang seorang bahkan belum menuntaskan pendidikannya.

Pikiran ini membawa beban di fisik saya. Tumor saya, sel ganas yang menakutkan itu terus saja bertumbuhan membabi buta. Sementara itu dokter pun tak bisa berbuat lain selain menggantungkan harapan pada obat-obat kemoterapi itu yang bagi diri saya artinya sekedar paliatif, bukan kuratif. Jadi kini badan saya semakin melemah. Kedua belah kaki saya kesulitan melangkah. Rasanya engsel sendi-sendi paha saya ngilu bukan main. Suatu kenyataan yang tak pernah saya alami sebelumnya. 

Saya sedih ditakdirkan hidup sebagai orang tak mampu begini ketika didera sakit. Karena akibatnya saya tak mampu berobat ke dokter sehingga terpaksa memilih pengobatan alternatif. Hal yang sama juga dialami banyak penderita kanker yang saya temui di RS maupun di DKK. Baru ketika keadaan sudah menjadi sangat parah mereka memberanikan diri minta bantuan untuk berobat ke dokter. Tapi terlambat, dokter sangat sulit untuk memperbaiki kondisi pasiennya. Setidak-tidaknya ini yang sekarang terjadi pada saya. Dokter spesialis di RS khusus pun tak mampu lagi membantu saya. Saya harus dikembalikan ke kampung di sebuah RSU kecil dengan fasilitas seadanya. Ini lah yang saya namai "tekad dokter dan pasien bahu-membahu untuk nekad". Untung meski sempat diobatkan di dua RS yakni RSU di daerah dan RS Kanker, tetapi dokter onkologis saya seorang yang sama, karena kampung kami persis di selatan Jakarta. Tak seperti pasien RSKD kiriman dari daerah-daerah lainnya. Mereka harus berganti dokter.

***

Di RSK Dharmais saya pernah bertemu dengan seorang gadis pengguna Kartu Jakarta Sehat (KJS). Semula dia membawa payudaranya yang sakit ke pengobat alternatif. Ketika tak kunjung membaik, dia yang terpaksa minta cuti dari perusahaan kecil tempatnya mencari nafkah beralih ke RSUD untuk minta pengobatan dengan fasilitas KJS. Berhubung mudah mendapatkannya hanya berbekal KTP DKI, dia pun diobati dokter bedah umum di RSUD dekat rumahnya. 

Pengguna KJS ternyata membludak. Dia harus mengantri sejak jam 03.00 pagi di RS supaya bisa berobat hari itu. Dengan serta-merta pada kunjungan pertama tanpa didahului pemeriksaan pencitraan (mammografi, USG, foto Roentgent, dsb) dokter bedah umum itu mengambil jaringan tumornya dengan biopsi. Hasilnya selain mencurigakan, juga menimbulkan luka membiru kemerah-merahan, mengeluarkan cairan. Nampaknya tumornya busuk. Dokter di RSUD merujuknya ke RSUPN "dr. Tjipto Mangoenkoesoemo" atau ke RSKD pada ahli bedah kanker. Di selasar ruang tunggu onkologis saya di RSKD itulah saya temukan kisahnya yang memiriskan. Bayangkan saja, tanpa serangkaian pemeriksaan pendahuluan tumor itu langsung dilukai. Konon cara membiopsinya pun tidak sama dengan yang dilakukan dokter saya di Bogor. Dia perlu lebih dari tiga tusukan. Mungkin itulah yang menyebabkan tumornya jadi luka membiru dan basah. Saya duga, minat masyarakat pengguna KJS tak sebanding dengan tenaga medis dan kemampuan RSUD nya. Menyedihkan.

Kejadian serupa nyaris terulang lagi baru-baru ini. Seseorang bercerita kepada saya ~sebut saja namanya Maya~ bahwa di vaginanya tumbuh semacam daging yang menjumbai ke luar. Dia tidak dikaruniai anak karena pernah menderita endometriosis tapi sudah sembuh oleh dokter praktek swasta bertahun-tahun lalu. Kini dia tak pernah lagi mengeluh sakit perut yang sangat ketika menstruasi, juga tak pernah mengalami perdarahan, hanya merasakan gangguan menonjolnya semacam daging itu. Dokter yang dikunjunginya menyebut itu polip rahim yang tak membahayakan sehingga tidak dikenai tindakan apa-apa. Tapi tentu saja terasa tidak nyaman sehingga akhirnya dia berobat ke penyembuh alternatif yang ternyata tak bisa menolongnya. Sudah banyak uang dikeluarkannya, bahkan bagai jatuh tertimpa tangga dia kena PHK karena perusahaan tempatnya bekerja bangkrut.

Tetangganya yang prihatin melihat itu mengajaknya berobat ke RSUD dengan minta bantuan KJS juga. Cerita yang sama dengan kisah si gadis pasien RSKD pun bergulir lagi.

Pasien ini kesiangan tiba di RS pada pukul 08.00 pagi, namun masih boleh minta KJS. Kata orang-orang nomor antrian pasien KJS sudah habis. Dia dianjurkan datang keesokan harinya pukul 03.00 pagi. Persis sama dengan penuturan si gadis teman sesama pasien dengan saya.

Berhubung sedih dan bingung, dia tak segera pulang. Dia dan tetangga yang membawanya memilih duduk-duduk di halaman RSUD.Sampai siang tak ada yang mereka kerjakan, hingga tiba-tiba ada yang menawarinya untuk mengambil nomor yang dipegangnya karena kebetulan dia mengambilkan nomor untuk orang lain tetapi yang bersangkutan tak datang. Akhirnya bu Maya jadi berobat. Setelah mencatat keluhannya, dokter ahli kebidanan dan kandungan memeriksa sekilas. Kemudian diagnosa dibuat, tapi tak jelas. Pasien ini disuruh dioperasi minggu depannya, tapi tanpa diberi pengantar pemeriksaan penunjang termasuk laboratorium. Persis sama dengan dokter ahli bedah umum yang diceritakan gadis tadi. Hari itu pasien dipulangkan tanpa diberi obat.

Pada hari yang ditentukan pasien ini kembali. Tetapi kali ini kebetulan vaginanya mengucurkan darah entah darah menstruasi entah bukan. Mengingat keluhan itu perawat yang menerima pendaftaran pasien menyuruhnya menunggu dokter. Ternyata dokter tidak di tempat, dan begitu kembali dia tidak jadi dipanggil hingga klinik tutup. Waktu ditanyakan kepada perawat mengapa dirinya terlewat katanya karena statusnya tak ada di situ. Tentu saja dia kecewa, sehingga perawat menyuruhnya mencari ke lantai bawah tanah RS di bagian pengarsipan Rekam Medik. Di sana pun ternyata tak ada. Dia diminta kembali lagi keesokan harinya. Dengan jengkel dia meminta perawat bertanggung jawab mencarikannya. Setelah dipaksa, barulah berkas Rekam Medik itu diketemukan di laci meja kerja perawat itu sendiri. Sungguh mengecewakan dan membuatnya jera kembali ke sana menggunakan KJS. Solusinya, dia kembali ke praktek dokter swasta yang menganjurkan untuk menggunting saja polip yang ke luar dari vaginanya itu melalui operasi kecil di ruang praktek dokter dengan bius. Tapi tentu saja tidak hari itu sebab dia diharuskan ke laboratorium untuk memeriksa kesiapan fisiknya dan pemeriksaan penunjang lainnya seperlunya.

Beginilah nasib orang tak mampu yang butuh pengobatan dengan uluran tangan pemerintah. Semoga dengan sistem jaminan kesehatan yang akan digulirkan tahun depan, kekurangan-kekurangan ini bisa teratasi.                

 ***

Waktu saya akan diserahkan kembali oleh dokter ahli kemoterapi di RS khusus di Jakarta ke daerah, beliau sempat juga terpikir untuk mempertahankan saya. Agaknya beliau paham betul bahwa kasus saya tak mudah ditangani. Apalagi dengan fasilitas seadanya serta dana yang minim yang disediakan Pemda. Beliau menanyai apakah mungkin saya mencari kerabat di Jakarta untuk menumpang tinggal sehingga bisa minta dibuatkan KJS untuk mendanai pengobatan saya padanya. Tapi saya tak bisa melaksanakannya, karena saya tak punya siapa-siapa di Jakarta. Untung juga saya tolak, sebab jika tidak mungkin nasib saya akan sama dengan mereka yang saya ketahui kisahnya itu. Siapa tahu bukan?!

Kini saya diingatkan dokter yang merawat penyakit tekanan darah tinggi dan memantau kesiapan fisik saya menjalani kemoterapi untuk lebih bersyukur. Dalam arti meski tak mendapat obat terbaik dan terampuh untuk mengatasi kanker saya yang merajalela, tetapi saya masih tetap mendapat bantuan obat-obatan. Tanpa harus mengalami perlakuan sembrono dari petugas baik administrasi di DKK maupun petugas medis di RS.

Dokter ahli penyakit dalam yang terkenal religius dan memiliki Majelis Taklim di rumahnya itu benar. Selama sakit dan berobat di RS tempatnya bekerja itu semua perawat dan petugas laboratorium melaksanakan tugas dan membantu pasiennya dengan baik. Bahkan dokter-dokternya pun demikian. Jarang yang pelit bicara serta tak mau membagi pengetahuannya. Contohnya onkologis saya sendiri yang justru mencari tahu tentang badan-badan yang bersedia membantu mendanai pasien kanker dan bagaimana cara menghubunginya. Bahkan tak jarang beliau mengeluarkan dana pribadinya untuk menolong pasien tidak mampu berobat di kantornya di Jakarta. Sungguh suatu keistimewaan, bak rahmat besar yang tak terbilang nikmatnya.

Sambil mendengarkan keluhan saya soal tumor yang sudah bertumbuhan semakin banyak serta nyeri di kaki saya yang semakin intens, dokter penyakit dalam itu meminta saya untuk tidak membenci Tuhan maupun diri sendiri. Sebab katanya, ada rahasia Illahi yang tersembunyi di balik ini, yang tak saya ketahui. Tuhan menganggap saya manusia kuat yang mampu menerima cobaan hidup dan ujian dariNya. Ini artinya saya diistimewakan dan kelak akan menerima hadiah dariNya. "Hanya orang-orang kuat lah yang diberi penyakit ini, karena kepada mereka telah dijanjikan penghapusan dosa. Ibu jangan pernah tinggalkan ibadah, jangan tinggalkan shalat ya, bersyukurlah dengan meningkatkan keridhaan tanda tawakal," ujar dr. Suksmono dengan simpatik seraya memeriksa tubuh saya. Meski bukan termasuk dokter yang senang mengumbar senyum, tapi beliau jelas tidak dingin menghadapi para pasiennya. Bahkan cenderung enak diajak bicara. Caranya meresepkan obat pun rasional, tidak langsung memberi obat keras. Itu sebabnya beliau termasuk dokter yang banyak pasiennya..

"Insya Allah dok. Saya memang sudah setahun shalat sambil duduk," jawab saya.

"Ya, bagus begitu daripada jatuh tersungkur karena tak kuat menahan pusing atau sakit kepala," sahut beliau.

"Dok, tapi jujur saja. Saya benci kepada diri sendiri karena penyakit ini telah menyusahkan orang banyak. Menyusahkan para dokter dan banyak orang lain lagi," timpal saya berterus terang.

"Ah, ya nggak. Kewajiban dokter 'kan memang mengupayakan kesembuhan pasiennya. Bantulah dokter ibu untuk mewujudkan itu. Terus pupuk semangat untuk berjuang melawan kanker ibu, dengan begitu semua jadi mudah terlaksana. Ayo buang pikiran dan perasaan yang jelek-jelek," pesannya seraya menuliskan resep untuk saya dan meminta saya beristirahat dengan baik. Disenyuminya saya sehangat mungkin sebelum saya melangkah ke luar klinik digantikan pasien lain.

Kasih sayang itu ternyata tetap ada di mana-mana. Di sekeliling saya. Pada setiap orang yang bersinggungan dengan saya. Akan kah itu menjadi penyemangat saya untuk terus melawan si sel ganas ini? Terus terang saya bimbang sebelum obat kemoterapi bisa kembali masuk ke tubuh saya sebagai senjata pemusnahnya. Ya Allah, tolong segerakan, dan jangan pernah tinggalkan saya. Ingin saya persembahkan kesembuhan saya sebagai tanda terima kasih dan penghargaan serta hormat saya kepada dokter saya yang budiman itu. Saya ingin membesarkan namanya agar tercetak seterang bintang di angkasa raya.

(Bersambung)

2 komentar:

  1. salut dgn dokternya bunda, masih bersedia menyisihkan waktu
    nya utk menyemangati pasiennya ya.

    salam
    /kayka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah iya kak, rata-rata saya dapat dokter yang begitu semua. Malah onkologis saya kalau lama nggak ada kabar soal saya terus jadi bertanya-tanya lho.

      Hapus

Pita Pink