Powered By Blogger

Kamis, 26 September 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (114)

Putus asa kini terkadang menghampiri diri saya. Bagaimana pun juga saya mulai jenuh dengan pengobatan saya yang tak kunjung selesai ditambah rutinitas rumah tangga yang tak lagi bisa saya jalani. Sebab hari-hari saya cuma diisi ratapan dan rintihan dari atas ranjang di dalam rumah kami belaka. Tak bisa lain. Kanker ini telah melumpuhkan daya kekuatan saya serta menggelitik syaraf kesabaran saya. Akibatnya hal-hal sepele kerap mewarnai suasana hubungan saya dengan anak-anak lalu menorehkan perselisihan paham yang sesungguhnya tak penting.

Kanker memang menyakitkan raga serta jiwa. Luka batin yang konon menjadi dasar suburnya sel ganas di dalam tubuh saya  pun tak mudah pupus begitu saja. Meski banyak nasehat orang termasuk orang-orang penting seperti dokter paliatif yang meminta saya untuk berdamai dengan masa lalu menyentil telinga saya, tetapi entah mengapa kepedihan itu tak bisa sirna. Saya tetap dibayang-bayangi gambaran buruk itu yang selalu saja muncul di minda bak gerakan-gerakan pelan yang minta dicermati selamanya. Hidup dengan kanker itu memang tidak indah.

Kemarin dalam sesi penyuluhan yang rutin diselenggarakan pihak RS Kanker Dharmais, mata dan telinga saya bertumbukan dengan sosok dr. Maria Astheria Witjaksono, MPALLC direktur Unit Paliatif yang kebetulan teman saya. Sambil menuju ke meja kantin di seberang tempatnya berdiri menyuluh, kami bertatapan barang sejenak dari kejauhan. Namun gerak bahasa tubuh dan mata serta senyumnya mencirikan bahwa mbak Ria, begitu saya menyapanya melihat serta menyapa saya. Beliau memang begitu lembut, luar biasa halus layaknya putri-putri keraton Jawa sehingga cocok dengan profesinya sebagai dokter yang menangani pasien-pasien yang berada dalam keputus asaan dan ketiada berdayaan.

Tajuk penyuluhan yang dibawakannya adalah seputar mengatasi rasa sakit pada penderita kanker. Beliau sendiri pernah mengatakan bahwa menderita kanker itu sakitnya luar biasa, sakit secara fisik sekaligus juga sakit yang tak tergambarkan. Karena itu peran keluarga sebagai pendamping pasien merupakan hal yang paling penting sebagai "pengalih" rasa sakit itu. Dulu beliau mengucapkannya untuk meminta anak-anak saya tahan dan bersabar di dalam merawat saya. Tapi kini rasanya saya justru sedih dan ingin menangis menyaksikan mereka tersiksa sendiri oleh kegiatan di dalam rumah seputar pekerjaan rumah tangga yang terpaksa sepenuhnya beralih ke pundak mereka. Sungguh amat menyiksa batin saya jadinya.

Bulan lalu di saat kami kebingungan mencari dana pengobatan saya, sambil menerima saya di kantornya mbak Ria menasehati anak saya hal yang sebaliknya. Dia diminta untuk ke luar rumah menyelesaikan urusan akademisnya yang tertunda agar bisa segera mencari pekerjaan. Dinasehatinya untuk sejenak meninggalkan saya dan membiarkan saya melakukan kegiatan harian saya sendiri semampunya.

Waktu itu saya menyetujui sepenuhnya. Tapi, itu ketika stamina saya masih jauh lebih baik dibandingkan sekarang. Yakni ketika saya masih punya daya untuk melawan rasa sakit dan lesu lemah dengan asupan herbal Cina. Namun kini ketika saya harus rela berkomitmen meninggalkannya, mungkinkah kami melaksanakannya? Kanker itu memang selalu pahit menyakitkan.

Terlalu pahit rasanya menjadi penderita kanker. Itu sebabnya saya sering diliputi kecemasan jangan-jangan kepahitan saya akan dimanfaatkan orang untuk hal-hal yang tak sesuai dengan hati nurani saya. Akibatnya saya sering dicap aneh, sebab hidup susah tapi pilih-pilih bantuan.

Perasaan ini tercipta ketika pada mulanya saya diminta teman-teman saya mengurus SKTM untuk mendanai pengobatan. Saya tidak segera melakukannya, karena saya tak ingin mempermalukan diri sendiri di hadapan pejabat pemerintah yang saya mintai bantuan itu. Pasalnya jika dilihat secara kasat mata saya bukanlah tipe warga tidak mampu yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hanya saja saya memang pengangguran yang juga menumpang hidup pada anak-anak saya yang menganggur. Jadi meski pengangguran, saya masih punya rumah sendiri dengan keadaan yang kukuh untuk sekedar tidak dikatakan bagus apalagi mewah. Sedangkan sehari-hari kami masih tetap dapat menghidupi diri dengan pemasukan yang tidak menentu yang kami usahakan sendiri. Dengan begitu saya perlu memikirkan lebih rinci alasan apa yang mungkin saya pakai mengetuk hati pemerintah. Ini memakan waktu lama meski kemudian menghasilkan SKTM juga. Alasan ini yang sempat membuahkan cap "terlalu gengsian". :-(

Satu peristiwa lagi terjadi bulan lalu ketika saya masih kebingungan mencari uang pembeli obat-obatan kemoterapi saya. Teman-teman lama saya sibuk mencari informasi tentang badan sosial yang bersedia membantu penderita kanker selain Yayasan Kanker Indonesia.Tersebutlah sebuah SMS berantai yang menuliskan diri merupakan sebuah lembaga nirlaba yang bergerak untuk menolong penderita kanker dari jenis apa saja berobat seringan-ringannya. Melalui alamat E-mail seseorang yang dicantumkan di situ, penderita kanker atau keluarganya yang berminat minta bantuan diharuskan mengirim data diri pasien, kasus penyakitnya berikut SKTM yang wajib dimiliki. Selanjutnya pembuat SMS itu juga menuliskan PIN BB pengurusnya yang bisa dihubungi. Rasa-rasanya sih semua masuk di akal. Tak ada yang janggal. Jadi pasien yang betul-betul butuh biaya akan merasa sangat tertarik menghubunginya. Tapi tidak demikian halnya dengan saya.

Saya justru ragu dan menolaknya mentah-mentah. Saya tak percaya semudah itu orang mengulurkan bantuan tanpa batas bagi penderita penyakit berat yang tak pernah ada kaitan dengan dirinya. Kalau pun memang ada orang berhati emas, tentu mereka tak memanfaatkan jejaring sosial begini untuk beramal. Mereka pasti tahu keberadaan Yayasan Kanker Indonesia yang beroperasi secara resmi di mana-mana. Maka tentu melalui lembaga resmi ini lah keinginan mulia mereka disalurkan agar tak repot-repot mengurus pembentukan lembaga sendiri dan mencari masyarakat sasarannya. Itu kata hati dan pikiran sempit saya yang tak terlalu mudah mengemis bantuan. Saya tak peduli dilabeli sombong dan semacamnya.

Kemudian saya mencari tahu lebih dulu latar belakang lembaga itu melalui mesin pencari Google agar yakin bahwa mereka memang bergerak di bidang sosial membantu orang sakit. Tapi ternyata saya tak menemukan apa-apa. Selanjutnya saya mencari sosok yang namanya dijadikan alamat E-mail. Untung saya bisa menemukannya. Tapi tetap tak sesuai harapan karena nama itu merujuk kepada situs seorang pedagang on-line yang jualannya merupakan alat kecantikan. Terjawab sudah keraguan saya. Tinggal minta tolong teman saya menghubunginya lewat BB Group. Undangan pertemanan segera diulurkan, yang hasilnya persis dugaan saya, tak berjawab. Saya kini menarik nafas lega karena merasa menjadi orang beruntung. Terbayang jika saya terlanjur mengirimkan data diri saya kepadanya, sangat mungkin saya tak akan beroleh bantuan apa pun kecuali menyumbang nama dan kasus saya untuk mereka pergunakan sesuai keinginan mereka. Kasarnya, diri saya dipinjam untuk mengemis bantuan ke sana-sini tanpa ikut menikmati hasilnya. Saya pun tersenyum kecut jadinya sambil mengelus dada menghela nafas lega. Waspada adalah jiwa saya daripada menjadi pengemis yang tak tahu diri.


Kini meski sakit saya masih tersenyum bahagia, sebab saya sudah mampu berobat ke RS. Tinggal saya menekuninya agar mencapai hasil yang maksimal, sebab nyawa tetaplah di tangan Tuhan. Semoga itikad baik saya menyumbangkan diri guna penelitian farmakologi obat akan menguntungkan tak hanya diri saya sendiri melainkan banyak pihak. Terbayang di mata saya prevalensi angka kesembuhan penderita kanker payudara yang meningkat di kemudian hari. Dan saya adalah satu di antaranya meski untuk sampai ke sana saya mesti jalan beringsut dengan kaki saya yang kini menjadi lemah bekas pengobatan.


(Bersambung)

4 komentar:

  1. Subhanallah...perjuangan Bunda makin berat ya, tapi semuanya insyaAllah ada nilai tersendiri dari Allah Bun. Tetap semangat ya Bun......... *peluk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebetulnya enggak sih mbak Tika. Malah makin ringan karena saya dapat obat gratis dari pemerintah, tapi efeknya kerasa banget nonjok buat badan saya hihihihi........ Tapi menurut saya nggak ada 'kan kenikmatan yang tanpa bayaran alias gratis-tis-tis-tis?!

      Peluk balik ya, salam hormat untuk ibu dan bapak kalau masih di Jakarta.

      Hapus
  2. Teman saya bilang, ibadahnya orang sedang sakit itu berobat ya Bu. Semoga perjuangan ibu sampai sembuh nanti mendapat balasan pahala yg berlipat ganda dr Allah Bu. Semoga Ibu bisa melalui ini dgn hati senang, krn kalau Ibu bahagia, semuanya akan lebih mudah diatasi. Maafkan pendapat sok tahuku ya Bu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya setuju, sebab kita 'kan memang diharuskan berupaya mencari kesembuhan, bukan cuma meratap minta kesembuhan. Semoga nilainya sama dengan ibadah ya neng.

      Insya Allah saya akan terus jalani pengobatan ini walau berat. Tadi sore onkologis saya sudah kasih izin saya pakai herbal Cina lagi hihihihi........

      Hapus

Pita Pink