Powered By Blogger

Jumat, 13 September 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (111)


Angka yang sedap dipandang mata, 111 menjangkau hari-hari penulisan catatan harian semasa saya sakit pada hari ini. Saya bayangkan bentuknya yang menyerupai pagar adalah alat yang berfungsi untuk mengganjal pertumbuhan atau serangan sel kanker itu lebih jauh lagi ke dalam tubuh saya. Sebab saya berkeinginan sembuh dan bertekad menggapainya meski tak mudah. Saya pun tahu saya harus gigih berjuang untuk itu, apalagi dengan dukungan dana dan suntikan semangat dari banyak pihak. Sebab ibarat pepatah, dalam hidup saya "banyak jalan menuju ke Roma".

Sehari setelah kemoterapi siklus kedua saya berlangsung mulailah ketidak nyamanan itu mengganggu saya. Meski sangat ringan tapi tetap membuat saya merasa tidak enak badan. Tubuh saya terasa lesu, nafsu makan saya tiba-tiba menghilang. Tapi saya sama sekali tidak mual atau pun muntah. Pun diare yang biasanya muncul sama sekali tak mengganggu. Yang terasa amat menyakitkan adalah kekakuan pada lengan saya yang bengkak dan sakit itu. Selain nyeri, lengan itu terasa seperti papan yang sulit dilengkungkan membuat saya menjerit-jerit. Persis seperti nyeri kejang pada panggul saya ketika penyakit saya baru mengganggu di bagian alat reproduksi saya. Terpaksa saya memberdayakan tangan anak saya untuk memijatnya sambil minta diambilkan air panas sebagai pengompres. Saya langgar saja aturan yang ditetapkan dokter ahli rehabilitasi medik untuk tak menggunakan alat atau air panas di bagian yang sakit itu. Ah, nyatanya berangsur-angsur nyeri itu berkurang, ketegangannya mereda dan saya pun jatuh terlelap tanpa mimpi.

Berikutnya saya mulai kesulitan buang air besar. Hal ini memang kerap terjadi berganti-ganti dengan diare. Hanya kali ini yang muncul adalah konstipasi itu meski tidak seberat yang sering dikeluhkan orang. Akibatnya perut saya terasa penuh dan malas menerima makanan maupun minum. Tak mampu saya menghindarinya. Karena itu saya tetap memaksakan diri makan seperti biasanya, hanya dalam jumlah yang sangat sedikit. Sebab saya telah mengambil pelajaran dari kasus kakak sulung saya yang dirawat di RS seminggu pasca kemoterapinya yang pertama disebabkan mogok makan sama sekali sehingga berakibat dehidrasi serta gejala halusinasi dan kehilangan kesadaran.

Apa jadinya kalau saya sampai mengalami hal serupa kakak saya? Menurut saya itu adalah kebodohan yang luar biasa karena menyiksa orang-orang yang setia dan telaten merawat saya terutama kedua anak-anak saya. Saya sadari mereka begitu banyak berkorban untuk saya. Waktu mereka untuk melaksanakan kewajiban hidup mereka dan bersenang-senang dikorbankan hanya demi perawatan saya sehari-hari. Tak kuasa saya menahan sedih jika mengenangkannya. Mereka lah pejuang sejati yang sesungguhnya bagi hidup saya. Tanpa mereka, sulit bagi saya tetap dapat berdiri tegak hingga sekarang.

Efek kemoterapi memang menyiksa dan menimbulkan keluhan bermacam-macam. Isi video yang diputarkan untuk saya di RS kemarin dulu pun menggambarkan itu. Karenanya bersifat penyuluhan. Pasien dianjurkan untuk melawan rasa malas makannya sedemikian rupa. Porsi-porsi makan dibagi menjadi kecil kira-kira untuk lima-enam kali makan. Isinya bisa disesuaikan dengan kesukaan pasien sebab tak ada pantangan sama sekali. Di sela-selanya pasien dianjurkan makan makanan ringan apa saja termasuk kacang jika suka. Pokoknya pada prinsipnya pasien harus mengisi perutnya dengan sesuatu yang bergizi. Sebab makanan itu dibutuhkan untuk melawan penyakit melalui stamina yang prima. Karenanya tak heran jika selama ini saya dipandang aneh oleh kebanyakan orang disebabkan kegemukan badan. Pasalnya selama sakit saya selalu giat makan buah-buahan dan membuat sendiri jus kental sebagai sarana mengisi perut dengan sesuatu yang bermanfaat.

Video yang saya tonton juga menganjurkan pasien untuk makan beramai-ramai dengan orang lain seandainya mungkin, supaya nafsu makannya terbangkit. Lalu dia pun dianjurkan berolah raga ringan semampunya walau sebentar. Inilah yang tak kuasa saya lakukan karena tubuh saya selalu terasa lemah, mudah lelah dan nafas pun terasa pendek-pendek. Itu semua memang gangguan yang ditimbulkan oleh obat kemoterapi. 

***

Pagi ini pagi ketiga sehabis dikemoterapi. Tubuh saya terasa melayang karena kepala saya agak sedikit pening ("light headed"). Tapi saya tak mau memanjakan diri. Saya mandikan tubuh dengan sejuknya air sumur, lalu menyantap beberapa suap nasi dengan ikan ditutup seiris besar pepaya. Alhamdulillah saya tidak mual apalagi muntah. Cemas yang sempat melanda hati saya pelan-pelan berkurang. saya hanya merasa kecewa pada lengan dan tangan kiri saya yang tak kuat mengangkat apa-apa termasuk sepiring nasi yang sesungguhnya amatlah ringan. Saya perhatikan di cermin, tumor di tulang selangka saya sudah membukit besar sekali sehingga saya perlu menjahitkan baju-baju baru lagi seperti perintah dokter ahli rehabilitasi medik minggu lalu. Kini tak ada lagi pakaian yang nyaman di tubuh saya. 

Sesungguhnya saya ingin mengeluhkan keadaan ini kepada onkologis saya, meski saya tahu beliau tak bisa mengoperasinya karena tumor itu bersarang di pembuluh darah. Itu juga alasan yang membuat beliau dulu mendesak agar kemoterapi saya segera dilangsungkan. Sayang saya sadari bahwa hari ini beliau sedang di Sumatera untuk sesuatu hal yang berkaitan dengan tugasnya hingga nanti malam. Apa boleh buat, saya hanya bisa menggigit bibir menahan ketakutan dan rasa sakit saya seorang diri. Saya telan saja obat-obatan yang dibekalkan kepada saya. Saya berharap sakit saya mereda.

Keadaan tak nyaman ini membuat saya enggan melangkah ke luar rumah sekalipun hanya ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memenuhi undangan pemilihan walikota kami. Rasanya saya hanya ingin menyepi di rumah seraya mendendangkan dzikir. Saya yakin Allah itu ada dan Maha Mendengar. Karenanya saya berharap dzikir-dzikir saya didengarNya sebagai bentuk terima kasih saya atas ujian berat ini sehingga Allah akan kembali membimbing saya untuk melalui tahapan rasa sakit ini dengan tenang. Tiba-tiba Tangan dingin itu serasa membelai-belai tubuh saya mengalirkan ketenteraman dalam nadanya yang abadi.

Tiba-tiba juga saya teringat "bayaran" tidak murah yang telah saya setorkan di RS berupa serangkaian tindakan medis demi menebus kesehatan dan kesembuhan saya. Urat nadi yang pecah dan membiru, itu salah satunya : 




Lalu tindakan suntik yang diupayakan untuk mengurung sel kanker saya agar bisa segera digempur habis di tempatnya semula :


Dan infus-infus itu yang mengalir tenang menjalari aliran darah saya untuk menyikat sel-sel kanker yang kemungkinan ada bersembunyi di bagian tubuh lain. Lihatlah isi botol infus yang di dasarnya berupa gelembung-gelembung kecil nan nampaknya seperti lembut untuk diraba :



Saya telah berhasil melaluinya dengan baik. Maka kini saya mesti mempertahankannya bertugas melawan sel kanker saya. Perang baru saja dimulai kembali. Saya berharap amunisi baru ini akan jadi sarana untuk menyembuhkan diri saya. Maaf saja, saya belum ingin mati. Masih banyak tugas kemanusiaan yang mesti saya lakukan. Berjuang itu wajib, bukan?!

(Bersambung)

4 komentar:

  1. Kangen Bude Juli......
    Gimana kabarnya bude????
    komen dulu bara baca :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama dong lama ya kita nggak sling tengok, soalnya saya sibyuk wara-wiri ke RS terus sih. Apa kabar mbak? Semoga selalu sehat dam banyak barokahnya ya.

      Saya lagi "kejengkang" efek obar kemo nih..........

      Hapus
  2. Balasan
    1. Tapi kayaknya nggak akan sia-sia deh :-)

      Saya nggak terlalu berharap memang, tapi saya tetap pelihara optimisme mbak Ika. Supaya perjuangan tim medis saya dan anak-anak nggak sia-sia. 'Kan gitu ya?!

      Hapus

Pita Pink