Powered By Blogger

Kamis, 19 September 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (112)


Lemah-lesu-tak bertenaga, inilah keadaan saya seminggu ini. Nyaris tak terbayangkan kemoterapi siklus kedua dengan obat yang konon sangat kuat dan ampuh untuk membasmi penyebab kanker saya telah merobohkan benteng pertahanan tubuh saya. Saya pun benar-benar kehilangan selera untuk melakukan aktivitas apa pun bahkan termasuk makan yang merupakan kebutuhan pokok terlebih-lebih bagi orang sakit. 

Saya memang tidak muntah-muntah, tapi jelas makan pun saya tak bernafsu. Sedangkan perut saya mulai terasa aneh, antara konstipasi dan diare. Mengakibatkan saya tak mampu beranjak dari pembaringan, tak seperti ketika saya masih menggunakan herbal Cina sebagai obat pendukung pengobatan medis empiris saya. Dulu secara terang-terangan saya menggunakannya karena saya tak terikat dengan peraturan apa pun. Tapi kini ketika saya dihadapkan pada pilihan sulit antara menerima pengobatan cuma-cuma sebagai subjek penelitian perusahaan obat atau tak mampu membeli obat sama sekali, maka saya berkomitmen untuk menghentikan asupan herbal Cina tersebut. Sebab saya ingin mendapatkan hasil yang murni dari penggunaan obat-obatan barat ini. Mendapatkan obat secara cuma-cuma itu sendiri menjadi sesuatu yang patut saya syukuri, jadi apa boleh buat. Saya terima semua persyaratan yang mereka kehendaki apa pun konsekuensinya.

Memang sungguh sulit jadi pasien kanker. Sebab penyakit ganas ini membutuhkan perhatian, pengobatan dan penanganan yang sangat serius dari semua pihak. Itu sebabnya saya segera mematuhi jadwal pasca kemoterapi saya tepat seminggu sesudahnya ke dokter ahli kemoterapi. Belum-belum saya sudah mencurigai merosotnya kadar sel darah merah atau darah putih saya sebagaimana yang selama ini terjadi pada pasien-pasien lain. Benar saja, sel darah putih saya amat rendah. Tentu saja saya menjadi lemah seperti sekarang dan cenderung mudah terjangkit infeksi. 

Untuk itu saya harus disuntik dengan obat Leucogen yang harganya terbilang mahal, satu juta lima ratus ribu rupiah seampul. Sungguh menjadi beban berat bagi kantung kami. Apalagi sejak dokter onkologi saya menyatakan hanya sanggup mengobati saya di kantornya di Jakarta yang tak punya nota kesepahaman kerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota (DKK) Bogor, maka biaya pengobatan saya menjadi tanggungan pribadi. Saya menghela nafas panjang, menggigit bibir memeras otak demi untuk mendanainya.

Terus terang saya sudah bertekad untuk melawan penyakit saya sekuatnya. Di balik itu saya kasihan melihat pengorbanan anak-anak saya yang tanpa pamrih didukung oleh dokter-dokter saya yang penuh belas kasih. Mereka rela bekerja keras demi terwujudnya sukses misi pengobatan saya yang saya tahu sangat tak mudah ini. Karena itu saya pun mesti ikut mencari dana pembeli obat suntik ini secara mandiri. Meski begitu saya tak boleh dipusingkan oleh urusan ini.

Saya bertekad akan minta bantuan lagi kepada pemerintah seperti dulu, sebab SKTM saya masih boleh diperpanjang. Soalnya saya menjadi semakin risau ketika mendengar kisah seorang perawat di RS yang kebetulan mantan penderita kanker ovarium. Sama halnya dengan kakak saya, setiap habis menjalani kemoterapi beliau yang berusia sedikit lebih tua dibandingkan saya selalu terpaksa harus menginap seminggu di RS. Pasalnya beliau kehilangan selera makan sehingga muntah-muntah, pusing dan lemah. Menurut ceritanya di kantin RS pagi itu, beliau terpaksa berobat di RSUP dr. Tjipto Mangunkusumo, Jakarta karena dokter yang tepat untuk menangani kasusnya berada di sana. Karenanya beliau sering meninggalkan pekerjaannya. Untunglah pekerjaan itu berkaitan dengan orang sakit juga sehingga teman-teman sepekerjaan dan para pimpinannya bisa mengerti. Sedangkan beliau didanai PT Askes selama sakitnya. Begitu juga dengan kakak sulung saya seorang pensiunan PNS. Jika tanpa bantuan asuransi, saya tak bisa membayangkan ongkos-ongkos perawatannya yang pasti tak murah itu. Itulah yang memicu tekad saya untuk mengurus SKTM lagi.

***

Jika saya amat-amati banyak pengunjung blog saya ini yang mencari informasi mengenai pengurusan SKTM atau pun Jamkes. Meski tak meninggalkan tanya atau komentar, tapi entri mengurus SKTM dan Jamkes nyaris ada setiap beberapa hari sekali menyaingi banyaknya orang yang mencari tahu dokter onkologi saya. Berawal dari situ saya beranggapan bahwa masyarakat masih banyak yang belum paham soal pengurusan dan penggunaan Jamkes. Sama dengan rasa penasaran masyarakat akan dokter onkologi yang bagus di kota kami yang boleh dikata jumlahnya sedikit. Inilah juga persoalan yang dimiliki warga kami yang kekurangan tenaga dokter profesional. Meski menjadi persoalan nasional berdasarkan pengamatan saya selama berobat di RSKD, tetapi untuk masyarakat kota penyangga metropolitan Jakarta hal ini jadi terasa menyedihkan.

Dokter onkologi saya pun pernah menyampaikan kegundahannya soal tenaga dokter ini. Pasalnya waktu praktek para onkologis di Bogor sangat terbatas, mengingat tugas utama mereka tidak semuanya di RS itu. Padahal dari hari ke hari penderita kanker terus bertambah menimbulkan penggelembungan yang luar biasa. 

Apalagi pasien kanker itu sendiri adalah orang-orang yang sangat lemah secara fisik. Jadi dengan sendirinya mereka membutuhkan tempat berobat dekat tempat tinggalnya. Mengingat ongkos pengobatan yang sangat mahal, tentu pasien membutuhkan dukungan finansial pemerintah melalui Jaminan Kesehatan seperti misalnya yang akhirnya saya pergunakan berkat dorongan dan petunjuk dokter onkologi saya. Tak terbayangkan bukan jika pasien harus berobat ke Jakarta nyaris setiap hari seperti yang saya jalani sekarang?

Pengobatan di Jakarta ini akhirnya jadi solusi terakhir yang mau tak mau harus saya tempuh meski tanpa dukungan dana Jamkesda. Ini pun sudah selayaknya saya syukuri benar karena dokter onkologi saya banyak mengorbankan kepentingan pribadinya untuk pasien semacam saya. Dapat dimengerti sebab masa kini sulit mendapat dokter yang bekerja dengan sepenuh hati dilandasi semangat murninya untuk mengabdi kepada masyarakat.

Tapi dokter juga manusia. Di sisi lain mereka punya kehidupan sendiri sebagaimana kita. Menghadapi persoalan beban pekerjaan yang demikian ini tak bisa disalahkan jika sifat manusiawi dokter pun terkadang timbul. Dokter kelelahan sehingga tak bisa diajak bicara dengan santai panjang lebar meski pasien ingin tahu banyak soal penyakitnya. Dalam situasi seperti itu pasien cuma diterima selama beberapa menit dengan agenda pemeriksaan yang penting-penting saja. Adakalanya itu tak mencakup pemeriksaan fisik yang diharapkan pasien. 

Ini terjadi pada diri saya ketika memenuhi jadwal kontrol seminggu pasca kemoterapi siklus kedua saya kemarin dulu. Dokter ahli kemoterapi cuma mengambil data berdasarkan laporan saya, hasil laboratorium serta pemeriksaan fisik tensi serta penimbangan berat badan yang dilakukan perawat terlebih dulu. Ketika saya sodorkan kesempatan untuk melihat tumor saya, beliau menolak dengan mengatakan belum perlu memeriksanya. Padahal ternyata beliau agak kaget sewaktu saya katakan tumor saya berada pada dua lokasi yang berbeda, meski bukan penyebaran. Tumor itu kini dicurigai dokter ahli rehabilitasi medik sebagai penyebab semakin membengkaknya lengan bagian atas dari pangkalnya. 

Belum lagi dokter di daerah yang kerap saya dengar diprotes pasien yang terpaksa menunggu nyaris seperempat hari di ruang tunggu klinik RS karena ketibaannya yang tak pernah tepat waktu bahkan sering tak praktek klinik. Ini disebabkan waktu praktek dokter yang cuma dua hari seminggu harus berbagi dengan jadwal operasi yang tingkat kesulitannya rendah sehingga bisa dilakukan di RS setempat. Jadwal operasi ini jelas mesti didahulukan, mengingat sifatnya sering tak bisa ditunda. Lain halnya jika tingkat kesulitan operasi tinggi, ada dokter yang memilih membawa pasiennya ke RS lain yang lebih lengkap untuk ditangani di sana. Contohnya pada diri saya yang didanai secara pribadi oleh dokter onkologi saya dengan alasan agar segera tertolong.

Dokter itu memang manusia. Karenanya seringkali saya bingung menyaksikan ketangguhan stamina mereka yang pontang-panting dari satu tempat ke tempat lainnya melayani masyarakat. Ini saya lihat dan kagumi sejak tahun '70-an ketika di Bogor sangat jarang ada ahli penyakit dalam. Dokter ibu saya waktu itu adalah seorang perwira kesehatan TNI AU yang berdinas di Jakarta tapi membuka prakteknya di Bogor pada sore hingga malam hari. Sebab itu bisa dibayangkan bagaimana kondisi beliau lewat pukul sepuluh malam ketika menjenguk para pasien rawat inapnya di RS yang banyak jumlahnya. Jalannya sudah terseok-seok cenderung gontai, barangkali juga dengan mata separuh terpejam.

Sekarang hal yang sama nyaris terulang pada dokter saya. Di tengah-tengah komunikasi kami beliau pernah menceritakan bahwa seringkali beliau pulang pukul setengah dua belas malam disebabkan pasiennya meluap. Tak ada seorang pun yang bisa disalahkan, sebab jumlah dokter memang sangat sedikit sedangkan kebutuhan pasien tinggi. Pada pasien-pasien tertentu yang "fanatik" kendala apa pun yang terjadi tak membuatnya mundur mencari dokter lain. Sebab sebagian besar di antaranya adalah pasien lama, sedang sebagian lagi mereka yang terlanjur percaya pada mantan pasien atau keluarga mereka yang mengatakan bahwa berobat ke dokter ini amat menyenangkan. Lagi-lagi contohnya saya.

Untuk saya berat rasanya berpindah dokter meski ke seorang profesor sekali pun seperti anjuran pihak DKK ketika tak dapat mengabulkan permohonan dokter saya untuk mendanai pengobatan saya di RS tempat beliau bertugas sebagai PNS. Saya khawatir kasus penyakit saya harus diulang dari awal sehingga potensial merubah dan merusak rencana penanganan penyakit saya yang selama ini tertata dengan baik. Untunglah dokter mendukung sikap saya meski harus mengorbankan uang pribadinya. Tanpa kebaikan jasa beliau tak tahu sekarang di alam mana saya berada.

Hari ini Jumat (20/09) kami kembali mengurus bantuan pemerintah. Berbekal surat keterangan dokter ahli penyakit dalam konsulen kemoterapi onkologis saya di Bogor saya akan minta bantuan pembelian obat-obatan yang mahal. Sudah barang tentu alasan kami adalah tak ingin terus-menerus membebani dokter saya yang budiman itu. 


Untuk itu saya membuat surat permohonan berisi pernyataan bahwa setelah berhasil dioperasi dokter saya tanpa dibiayai pemerintah saya kini kembali kesulitan keuangan. Saya ingatkan penolakan lisan pejabat yang berwenang di DKK dulu yang isinya tak mungkin mendanai operasi saya di RS yang tak mereka tunjuk, tapi mengizinkan saya berobat dengan dana sendiri. Untuk selanjutnya setelah itu saya diizinkan minta bantuan lagi untuk proses pengobatan selanjutnya. Hati saya harap-harap cemas. Terbersit pikiran bahwa mereka mencoba menolaknya karena saya tak mau berganti dokter. Tapi, ah, lihat saja nanti sore. Ketika anak saya kembali dari mengurus masalah ini, akan kah pembelian obat saya didanai pemerintah? Wah kalau tidak, pusing juga ya.......... :-(

(Bersambung)

2 komentar:

  1. semoga cepet sehat bun...
    semoga yang terlibat dibukakan mata dan telinga hatinya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin-amin-amin. Alhamdulillah tadi permohonan dikabulkan nggak pake banyak tanya. :-) Terima kasih doanya ya bang. Salam untuk de Yanti dan anak-anak.

      Hapus

Pita Pink