Powered By Blogger

Minggu, 08 September 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (108)

Mencoba jujur tidak selamanya berarti baik. Dalam keadaan-keadaan tertentu jujur justru membawa "petaka". Tak terkecuali kejujuran yang saya ungkapkan kepada Ketua Tim Penelitian obat yang akan saya dapatkan untuk menghambat kanker saya yang amat ganas itu.

Disebabkan pemahaman saya yang cukup mengenai aturan-aturan yang harus dipenuhi pasien subjek penelitian yang saya baca dari lembar penjelasan penelitian, maka saya mengungkap terus terang pengobatan saya ke sinshe sebelum saya menandatangani persetujuan keikutsertaan saya di dalam penelitian itu. Saya ingin dokter peneliti ini mendapat hasil akhir yang murni dan akurat. Dokter pun mengapresiasi sikap saya. Tapi dengan cara memanggil gadis koordinator penelitian itu lagi guna membicarakan pengakuan saya.

Kepada si gadis bernama Lita saya katakan saya sudah lebih dulu berobat ke sinshe sebelum ke dokter karena ketiadaan biaya. Jamu sinshe yang dibuat di Guangzhou, RRC itu terus saja saya minum hingga minggu lalu karena telah terbukti melokalisasi tumor saya hingga tidak menyebar ke organ lain serta menjaga kebugaran saya setiap akan dan selesai dikemoterapi. Kepadanya saya tunjukkan jamu ekstrak berbentuk butiran-butiran dan soft gel itu. Dia mengambilnya dan mengamati. Saya mempersilahkan menciumnya. Sejenak kemudian dia sepakat dengan Ketua Tim Peneliti untuk mengistirahatkan dulu tubuh saya beberapa hari agar terbebas dari unsur-unsur obat itu. Artinya kemoterapi saya harus ditunda lagi meski hasil pemeriksaan darah saya yang terakhir baik semua. Bu Lita sempat hendak mempermasalahkan kadar ureum saya, tetapi ditolak bu Doktor, dokter ahli kemoterapi saya. Kata beliau menurut standar ahli penyakit dalam sudah sangat memadai daripada berlebihan. Saya lirik sekilas angka di kertas yang dipermasalahkan itu, ternyata seingat saya tak pernah jadi hambatan bagi onkologis maupun konsulen ahli penyakit dalam saya di Bogor. Karenanya saya sarankan gadis itu untuk mengonfirmasi kepada onkologis saya. Dia cuma mengangguk menandakan setuju. Bahkan nampaknya dia pun bisa menerima penjelasan kami. Maka saya pun hanya perlu membebaskan diri dari sisa-sisa jamu herbal belaka.

Bu Lita bilang barangkali saya perlu menunggu hingga tanggal lima Oktober untuk mulai kemoterapi saat dampak kemoterapi saya siklus pertama dianggap habis. Tapi dia berjanji akan menanyakannya terlebih dulu ke pihak pabrik pembuat obat. Kembali saya meniadakan harapan saya. Terbayang betapa kian lamanya saya harus bertahan dalam sakit ini sebelum digempur lagi dengan obat yang saya inginkan sekali untuk dicoba itu. Dia berjanji akan segera mengontak produsen dan mengabari saya secepatnya sebab kemoterapi saya akan makan waktu setahun.

Setahun! Bayangkan, setahun ada dua belas bulan. Kemoterapi saya konon akan berlangsung delapan belas siklus yang masing-masing berjarak tiga minggu. Hingga hari ini saya sempat bingung menafsirkan siklus yang dimaksudkannya, hingga anak bungsu saya membantu menerangkan bahwa siklus yang dimaksudkannya berbeda dengan istilah yang dipakai onkologis saya. Satu siklus sama dengan satu kali kemoterapi, bukan enam kali seperti pengalaman saya dulu. Meski kurang satu kali karena ketidak cocokkan obat pemberian pemerintah itu, tapi dokter onkologis saya menyatakan kemoterapi saya sudah berlangsung satu siklus tanpa hasil. Ternyata dia mengakui telah menerima penjelasan yang rinci dari onkologis saya, yang isinya persis sama dengan penuturan saya. Termasuk tanggal-tanggal penting rekam jejak pengobatan saya yang insya Allah saya hafal luar kepala. Gigi-gigi putih yang sering ditampakkannya menandakan dia puas kepada saya.

Kemoterapi marathon ini tentu akan kembali merusak vena di tangan saya, meski obat yang diujikan justru tidak dilewatkan vena seperti obat-obat lainnya. Dia akan disuntikkan di bawah kulit paha bagian atas (subkutan) selama lima menit saja. Metoda inilah yang sedang diujikan guna menyingkat masa perawatan pasien di RS dan biayanya, karena kelak pasien bisa menggunakannya sendiri di rumah seperti para pengguna insulin bagi penderita diabetes melitus.

***

Saya kembali ke RS berselang sehari setelah pertemuan itu. Tujuan saya selain difisioterapi juga mengambil hasil laboratorium terbaru saya untuk memperkuat keikut sertaan saya pada proyek penelitian bergengsi itu. Saya akan menemui onkologis saya yang semakin sulit menyisihkan waktunya untuk berpraktek di Bogor memenuhi pesan almarhum ayahandanya onkologis pertama di kota kami. Saya berharap hasil laboratorium saya terbaru ini akan disampaikannya kepada Ketua Tim Penelitian supaya kemoterapi saya bisa segera dimulai minggu ini juga. 

Minggu lalu jadwal praktek onkologis saya di hari Jumat digeser ke sore karena pagi harinya beliau mengoperasi. Tapi alhamdulillah kini beliau berpraktek seperti biasa, sejak pagi. Jadi setelah difisioterapi saya menghindar berkonsultasi dengan dokter ahli rehabilitasi medik lalu bergegas ke klinik onkologi. Pikiran saya sudah terfokus ke pembicaraan soal pelaksanaan kemoterapi saja. Padahal di pagi harinya seperti disengaja oleh Allah Yang Maha Kuasa, saya dipertemukan dengan teman saya yang ternyata akan memeriksakan kelainan yang dicurigai dokternya di RS lain berkaitan dengan masalah tumor. Waktu itu mobil yang saya tumpangi berhenti berturut-turut dengan Toyota Camry hitam yang ternyata menurunkan salah seorang pengambil keputusan di kementerian tempat saya dulu menjadi anggota Dharma Wanita Persatuan. Begitu mata kami bersirobok maka ternganga lah kami satu sama lain, sebab pejabat itu mengantar istrinya yang tak lain dan tak bukan adalah salah seorang teman akrab saya. Keharuan pun segera menyergap jantung kalbu saya. Seketika saya serasa sedang diingatkan Tuhan bahwa saya tak sakit sendirian. Di sekitar saya masih ada mereka yang sakit bahkan belum terdeteksi dengan baik. Dia pun berencana ke klinik paliatif dulu untuk berkonsultasi dengan teman kami, dokter Maria Kepala Unit Paliatif.

Tiba di klinik onkologi pasien tidak banyak. Dokter saya yang muda belia itu sudah mulai memeriksa pasien pertamanya. Saya sengaja duduk di ruang dalam karenanya. Lalu menggunakan kesempatan untuk mengobrol dengan beberapa pasien sebelum saya. Kebetulan juga pasien pertama cukup lama berada di dalam. Seorang ibu muda duduk di ujung deretan kursi saya mengaku datang dari Karawang memanfaatkan dana asuransi dari perusahaan tempatnya bekerja. Dia baru selesai dioperasi payudara untuk membuang benjolan yang ternyata menurut hasil pemeriksaan Pathologi Anatomi merupakan Tuberculosis (TBC).

Baru sekali ini saya mendengar adanya manifestasi TBC di payudara. Jika dilihat sepintas perempuan itu tidak kurus kering meski juga bukan tipe gemuk. Waktu pertama kali menyadari sakitnya, dia merasa demam sedangkan payudaranya terasa amat sakit, kemerah-merahan. Dari situ keluar cairan nanah bercampur darah. Payudaranya luka. Di Karawang dokter menganjurkannya untuk berobat ke RS besar di Jakarta, sedangkan salah seorang kenalannya menunjuk dokter onkologis saya sebagai dokter yang paling pas untuk didatangi. Dia merasa puas karena pembawaan dokter kami yang ramah dan tidak terkesa "dingin" menyeramkan. Memang saya akui, di dalam menyampaikan penjelasannya kepada pasien meski serius tetapi nadanya tak mengancam. Selalu diikuti solusi yang mengarahkan pasien dan keluarganya menjadi tenang. Sungguh berbeda dari pembawaan dokter ahli bedah umum yang pertama saya datangi di RSU di kota kami. Waktu itu beliau langsung menyuruh saya untuk dirawat inap guna memastikan keganasan tumor saya lewat pisau bedah. Dilanjutkan katanya untuk pindah RS menemui onkologis jika kedapatan ganas agar segera ditangani semestinya dengan konsekuensi menjalani serangkaian terapi kanker yang mahal ini tanpa dicarikan solusi pendanaannya. Nyatanya jauh berbeda dengan tindakan yang diambil onkologis yang dimaksudkannya. Saya cuma ditusuk di beberapa titik guna memastikan keganasan, kemudian merancang terapi disertai solusi pendanaannya yakni meminta bantuan jaminan kesehatan dari pemerintah yang memang disediakan untuk warga yang kurang mampu. Betul-betul tenang tanpa kesan yang menakut-nakuti nyali saya. Itulah juga yang membuat perempuan penduduk Karawang ini berobat kepadanya.

Hingga siang itu si ibu masih mengeluhkan payudaranya yang sakit dan sedikit membengkak. Tetapi dia kemudian pulang berbekal obat-obatan untuk mengatasinya disertai penjelasan bahwa hal itu disebabkan bekas luka sayatan operasinya semata. Akan tetapi dia memang harus rutin memeriksakan diri ke RS. Keterangan yang diberikan dokter kami persis sama dengan keterangannya soal rasa sakit di seputar ketiak saya sehabis dioperasi.

Di sampingnya persis bersebelahan dengan saya seorang gadis pengguna Kartu Jakarta Sehat dikirim berobat oleh dokter di RSUD Tarakan, Jakarta Pusat karena tumor di payudaranya. Tumor itu sudah dibiopsi dokter yang mengirimnya dengan cara disayat persis metoda yang dulu ditawarkan dokter ahli bedah umum kepada saya. Tapi hasil Pathologi Anatominya meski jinak tetap mengkhawatirkan karena tumor itu membiru dan mulai membusuk membuatnya kesakitan. Dokter saya kemudian telah memeriksa ulang lewat biopsi sedot seperti yang dilakukannya kepada saya. Dan siang itu mereka akan mendiskusikan apa yang harus diperbuat selanjutnya.

Perempuan berhidung mancung berkulit gelap dengan sorot mata tajam itu menyatakan kengeriannya menghadapi tumor pada payudaranya. Dia menanyai saya perihal apa yang saya rasakan ketika pertama kali berobat dulu. Tentu saja mirip tapi berbeda, karena tumor saya tidak sampai membiru setelah disedot dengan jarum biopsi. Selain itu tumor saya sudah lanjut sehingga pecah menimbulkan cairan nanah bercampur darah yang berbau busuk, tidak seperti tumornya. Meski berair, namun tumor gadis itu yang dinyatakan jinak oleh dokter kami tidak berbau sebab cairannya bening.


Sekarang kami menghadapi masalah yang sama, menyematkan harapan kami hanya kepada dokter onkologi muda belia yang masih terus bergiat belajar demi meningkatkan ilmu dan kemampuannya selagi beliau sendiri merasa kewalahan karena sulit untuk menyisihkan waktunya di antara kesibukan-kesibukan kerjanya di berbagai RS. Saya menangkap sinyal itu dari pembicaraan antar sesama pasien dan obrolan ringan dengan dokter yang sudah begitu terbuka berkomunikasi dengan saya yang terlalu menaruh harap.

Pasien lain yang kami temui adalah seorang ibu sepuh berusia lebih dari enam puluh lima tahun namun masih nampak perkasa. Ternyata beliau datang dari Kuningan, Jawa Barat dengan masalah kanker payudara yang sudah pecah seperti kondisi saya dulu. Beliau sudah dikemoterapi dan akan segera dioperasi. Untuk itulah beliau datang menghadap dokter siang itu. Saya ketahui pada pasien-pasien dengan kondisi lanjut dokter memang lebih memilih melakukan tindakan operasi di tengah-tengah tindakan kemoterapi dengan maksud mempermudah operasi setelah tumornya dikecilkan dulu melalui obat-obatan itu. Tindakan ini dikenal sebagai "neo adjuvant therapy", bertolak belakang dengan "adjuvant therapy" yang langsung mengoperasi pasien diikuti kemoterapi pada pasien-pasien stadium yang lebih rendah dari stadium III.

Nenek itu bilang, dia mendapat nama dokter kami dari bagian pendaftaran RS. Katanya dia dipilihkan dokter yang baik. Adapun kriteria baik menurut penuturannya adalah dokternya ramah, sopan santun, bersedia diajak bicara ditambah satu hal lagi : Tampan atau cantik. Saya tersenyum-senyum karenanya, karena sulit dielakkan untuk mengakui bahwa dokter kami memang tampan meski bukan itu alasan utama saya berobat kepadanya. Lebih kepada keramah tamahan dan sopan santunnya sajalah yang membawa kami orang sekampung memercayakan nasib kami kepadanya. Buktinya sudah sangat banyak pasien tidak mampu yang diberinya jalan untuk mengakses pengobatan dengan semurah-murahnya bahkan bila perlu betul digratiskan seperti yang dilakukannya kepada saya. Si nenek senantiasa menyiratkan rasa bangganya akan sikap santun dokter kami yang dikiranya berasal dari Bandung sebab biasa berkomunikasi dengannya menggunakan bahasa Sunda yang baik. Saya terpaksa menjelaskan bahwa meski kami rakyat Bogor, tetapi kami mempelajari bahasa daerah sama bagusnya dengan penduduk ibu kota yang terkenal lemah lembut tutur bahasanya itu.

Tiba giliran saya dipanggil masuk adalah setelah dokter menunaikan ibadah shalat Jumat dan makan siang yang menyita waktu satu jam. Sebelum saya mendapat panggilan, beliau sudah sempat melihat saya dan berulang kali menyatakan agar saya bersedia bersabar mengantri giliran. Tentu saja saya mematuhinya, batin saya. Sebab bisa mendapat giliran di situ pun sudah merupakan kebahagiaan daripada saya mesti berpayah-payah menunggunya membuka praktek yang nyaris tak tentu waktunya di kampung sana. Maka ketika saya benar-benar berhadapan dengannya sambil menyodorkan lembar hasil pemeriksaan laboratorium terbaru seraya melaporkan bahwa hari Senin besok (09/09) saya akan menanda tangani persetujuan kerja sama penelitian beliau tersenyum lebar. "Alhamdulillah, syukur bu, saya yakin ini pertanda baik," sambutnya seraya membaca hasil laboratorium saya dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Silahkan diarsipkan di sini dok, untuk yang di sana sudah saya siapkan juga," usul saya. 

"Saya memang makin kesulitan mengatur waktu untuk praktek di sana," dia mengakui sendiri tanpa saya tanya. Tapi konon sudah dua kali beliau berpraktek hingga setengah dua belas malam demi perasaan kemanusiaan yang terus dipegangnya. "Habis, siapa lagi yang mau megang pasien kalau bukan saya? Tidak seorang pun yang berminat membantu saya, padahal pasien sangat butuh pertolongan. Tak bisa saya meninggalkan praktek begitu saja," ujar dokter saya setengah mengungkapkan perasaan hatinya yang terdalam. Ini memang kesempatan yang saya tunggu-tunggu untuk mengungkapkan pesan banyak pasien yang tahu bahwa saya biasa berkomunikasi dari hati ke hati dengan beliau bahwa kami membutuhkan dedikasi dokter seperti beliau. Sebab sebagian merupakan pasien-pasien lama yang diwarisi dari ayahandanya. Pasien-pasien fanatik semacam ini tak pernah terpikir untuk ganti dokter apa pun yang terjadi. Persis seperti saya yang sesungguhnya pasien baru. Mendapatkan dokter yang bisa diajak bicara dan mengerti kesulitan kita tidaklah mudah adanya.

Saya kemudian meminta pengaturan pembelian obat-obatan yang tidak digratiskan karena bukan obat yang diteliti. Beliau menyarankan saya hal yang baik lagi, yakni meminta bantuan Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Seandainya toch tidak mungkin digratiskan, tentunya saya bisa membeli dengan harga di bawah pasaran karena mendapat subsidi dari YKI. Coba bayangkan, yang begini-begini ini lho yang sulit kita dapatkan dari kebanyakan dokter sekarang. Apalagi dokter yang laris manis. Betul lho, dokter kami termasuk laris manis sebab suatu malam dia pernah bercerita sambil menepuk dahinya sendiri bahwa dia "mabuk" melayani pasiennya yang berjumlah nyaris 50 orang di tempat tugas utamanya di RS Kanker. Waktu itu dia menyarankan saya untuk mengejarnya di Bogor saja meski kebetulan hari itu saya ada di RSKD juga. "Kan nggak lucu ya bu, dokternya sampai mabuk sendiri?!" Lontarnya retoris setengah tertawa membuat saya jatuh kasihan tapi sekaligus terkagum-kagum kepadanya. Orang muda, kau telah membanggakan almamatermu, sekolah kita, seperti pesan guru kita bapak Supardi tadi siang ketika angkatan saya duduk bersama bersilaturahmi. Bravo!!!

(Bersambung)

2 komentar:

  1. semoga ibu selalu diberikan kesabaran dan sehat seperti sedia kala..

    BalasHapus
  2. Amin-amin-amin. Iya, kesabaran itu penting untuk menyemangati diri supaya nggak gampang putus asa. Sakit kayak gini memang susah obatnya mbak Nel, selain pasrah dan sabar itu.

    Selamat menanti datangnya si kecil, semoga jadi teman yang mengasyikan untuk masnya. :-)

    BalasHapus

Pita Pink