Powered By Blogger

Sabtu, 21 September 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (113)

Saya beruntung karena urusan pendanaan pengobatan saya di Dinas Kesehatan Kota (DKK) tidak sulit. Anak saya berhasil memperoleh persetujuan pembelian obat peningkat sel darah putih (leukosit) saya sesuai permintaan dokter ahli penyakit dalam konsulen kemoterapi onkologis saya. Bahkan surat pernyataan yang sudah saya persiapkan sebelumnya dari rumah tak jadi diperlihatkan karena pejabat yang melayani sudah mengenali anak saya. Tak perlu lagi ada perdebatan di meja beliau seperti yang sering terjadi..

Ini artinya besok saya bisa segera disuntik sehingga hari Rabu ketika menghadap dokter ahli kemoterapi saya di RSKD kondisi saya sudah membaik, siap untuk dijadwalkan menerima kemoterapi kedua nantinya. Saya memang cukup terpukul dengan kondisi saya sekarang setelah saya sempat meninggalkan herbal sinshe yang dulunya saya gunakan untuk menjaga stamina saya selama sakit juga saat dikemoterapi. Sebab saya kini mengalami lemah-letih-lesu ditambah buang air besar yang tidak normal. Lebih susah lagi karena buang air besar saya mulai berdarah. Hal yang sama sekali baru pernah saya alami sepanjang kemoterapi saya berlangsung lebih kurang enam bulan.

Dengan keadaan begini kelihatannya besok pagi saya harus konsultasi di klinik penyakit dalam dulu, begitu batin saya. Hal ini tertangkap pikiran anak saya yang mencermati kegelisahan gerak bahasa tubuh saya. Dia lalu menenangkan saya dengan cara mencari tahu apakah perdarahan itu merupakan efek kemoterapi juga. Mujurnya dia segera menemukan reportase penyuluhan efek kemoterapi yang pernah disampaikan dokter ahli kemoterapi saya beberapa tahun yang lalu. Dugaannya benar, kemoterapi yang membuat terganggunya produksi darah (sel darah merah/haemoglobin, sel darah putih/leukosit dan thrombosit) bisa berakibat macam-macam keluhan. Di antaranya perdarahan termasuk ketika buang air besar maupun kecil.

Meski temuan penjelasan dokter ahli kemoterapi saya cukup jelas, tetapi tak urung saya khawatir juga. Jadi sepanjang malam saya upayakan untuk melantunkan doa mohon perlindungan kepada Allah. Sambil di dalam hati saya menyesali mengapa saya tak lagi bisa menggunakan herbal Cina. 

Sebagai subjek penelitian, saya menghadapi dilemma berat. Menerima persyaratan menghentikan penggunaan herbal Cina dengan jaminan mendapat obat kemoterapi gratis selama setahun, atau tidak memperoleh sama sekali karena mengabaikan peraturan ini. Bagaikan makan buah simalakama, saya ingin menggunakan kedua-duanya tapi pasti berbuah celaka. Maka inilah akibatnya, saya harus menanggung rasa tidak nyaman dan sakit yang bertubi-tubi seperti para pasien lain pada umumnya. Untung saja pendarahan tak berlarut-larut sehingga saya bisa berangkat ke RS dengan tenang pagi harinya.

Direncanakan saya akan mengonsultasikan keluhan saya lebih dulu ke dokter ahli penyakit dalam sebelum melakukan penyuntikan untuk meningkatkan kualitas sel darah putih saya. Tapi apa daya, dokter ahli penyakit dalam itu sendiri ternyata sakit sehingga menutup kliniknya. Begitu pun dengan onkologis saya yang saya tahu memang tidak akan membuka klinik karena berkegiatan di Jakarta. Akhirnya sebelum ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang akan menyuntik saya, saya putuskan menghubungi onkologis saya lewat pesan singkat menanyakan mengenai penyebab kondisi saya.

Sambil makan pagi yang juga tak pernah lagi bisa saya habiskan di kantin RS segera saya terima jawaban onkologis saya. Barangkali karena akhir pekan, beliau jadi punya waktu luang di pagi hari untuk segera menjawab pertanyaan pasiennya, saya tersenang-senang sendiri. Penjelasan beliau membenarkan dugaan saya soal turunnya kadar thrombosit di dalam darah saya. Sekaligus mengatakan ada kemungkinan lain, penyebabnya adalah karena trauma mekanik saat buang air besar (mengejan). Jika sudah berhenti tidak perlu risau, itu pesannya. Alangkah melegakan membuat saya tak lagi terlampau berkecil hati meski rasa lemah dan lesu saya semakin menjadi-jadi saja.

Di IGD kebetulan hanya ada satu pasien yang sedang ditangani. Perawat yang banyak dengan dua orang dokter jaga segera mengenali saya waktu saya katakan saya mau minta tolong disuntik dengan obat leucogen. Bahkan perawat perempuan yang masih gadis mungil itu tertawa-tawa mengingat episode penyuntikan saya yang sama tiga bulan yang lalu. Dia dan partner kerjanya yang sama-sama belia makin tertawa waktu saya jawab bahkan saat ini pun saya masih akan ketakutan lalu meronta-ronta seperti dulu. Memang, episode penyuntikan di perut ini untuk saya "menyeramkan" karena saya berhadapan langsung dengan jarum suntiknya. Meski ketika diambil darah di laboratorium toch mata saya melihat jarumnya juga, tapi entah mengapa saya merasa lebih bisa tenang. Barangkali karena faktor sudah terbiasa saja.

Setelah menyelesaikan administrasi saya diminta berbaring di salah satu kubikel yang boleh saya pilih sendiri. Kemudian datanglah dokter jaga, lelaki setengah tua yang rambutnya "memerak" indah. Tak terbayangkan seandainya guguran bunga jambu jatuh di atas rambut itu, tentu semakin kemilau jadinya. Beliau menanyai kasus saya, dan siapa dokter yang mengirim saya kepadanya. Setelah itu perawat diminta mengukur tekanan darah saya serta suhu tubuh. Alangkah anehnya, tekanan darah saya cenderung rendah tak lebih dari 100/70 mmhg saja membuat saya bertanya-tanya sendiri apa yang terjadi. Tak lama kemudian dokter sendiri yang memeriksa kondisi saya dengan rabaan tangannya diikuti perintah untuk mengambil contoh darah saya guna pemeriksaan di laboratorium karena hasil pemeriksaan yang saya sodorkan kepada beliau adalah hasil lima hari yang lalu. Dalam pada itu saya mengeluhkan mengenai kondisi perut saya tadi. Beliau meminta saya untuk segera menghubungi dokter saya setelah saya selesai dari situ. Tapi manakala saya katakan kedua dokter saya tidak berada di klinik mereka, maka beliau mencoba menjawabnya. Pada dasarnya beliau sepakat dengan jawaban onkologis saya. Kadar thrombosit yang rendah memang bisa mengakibatkan perdarahan. Sayang beliau sudah terlanjur hanya memerintahkan pemeriksaan kadar sel darah putih dan sel darah merah saya saja, sehingga kadar thrombosit tak bisa diketahui saat itu. Rasanya saya ingin bangkit menyusuli teknisi laboratorium yang tadi melayani saya untuk minta pemeriksaan thrombosit sekalian, tapi kata hati saya mengatakan pasien tak punya hak untuk melancangi dokternya. Saya sadar diri dan mengurungkan niatan itu dengan malu hati.

Teknisi laboratorium yang melayani saya tertakjub-takjub sewaktu melihat rambut saya yang mulai tumbuh lebat lagi. Katanya dia sudah lama tidak melihat saya. Sekali pun melihat tentu saja saya berkerudung tidak seperti saat itu ketika sedang berbaring di meja pemeriksaan IGD. Patutlah kalau dia tak tahu seperti apa rambut saya sesungguhnya. Menurutnya rambut saya indah, meski saya katakan pasti akan segera habis lagi karena kemoterapi saya diulang dari awal. Dia menatap wajah saya sambil membulatkan bibirnya, "oh....," serunya membuat saya mengangguk-angguk membeberkan kisah "menghilang"nya saya dari RS itu sekian lama. Tak urung dia mendoakan semoga pengobatan saya berhasil. Katanya sekarang susah mendapatkan vena saya yang masih bagus. Semua sudah mengeras sehingga sulit ditusuk. Saya membenarkannya sambil menyeringai. Terbayang dalam dua hari lagi vena ini sudah harus siap ditusuk lagi. Ngilu rasanya menghadapi saat itu.

***

Kesakitan sesungguhnya merupakan suatu hal yang wajar untuk penderita kanker. Tak hanya karena pada sebagian penderita tumornya menimbulkan luka terbuka ~contohnya pada tumor payudara saya~, tetapi efek kemoterapi pun sering menimbulkan rasa sakit. Sariawan yang banyak dikeluhkan orang, itu salah satunya. Meski dulu saya tak pernah mengalaminya, tetapi kini setelah melepas herbal Cina luka-luka pada lidah, gusi dan bagian-bagian lain mulut saya mulai menyatakan dirinya. Untung tidak parah, namun tak pelak menimbulkan rasa tidak nyaman ketika tersentuh makanan. Inilah yang kemudian membuat pasien jadi semakin malas makan hingga kurus.

Saya pun sudah kehilangan satu kilogram bobot tubuh dalam tiga hari belakangan ini. Tak pelak lagi hilangnya nafsu makan dan pedih di mulut menjadikan lima-enam suap makanan sudah tak mau ditambah lagi. Tapi saya amat menyadari pentingnya makan makanan yang bergizi dalam jumlahnya yang cukup. Oleh karena itu, saya ikuti anjuran yang saya terima dar RS, yakni sering makan dalam porsi kecil-kecil makanan apa saja.

Saya menjabarkannya dengan cara saya sendiri, yakni makan tidak selalu berarti makanan padat dan berat. Susu yang dulunya amat tidak saya sukai rasanya, kini jadi menu wajib untuk selingan pukul sepuluh pagi serta sore. Saya campurkan ke dalam bubuk coklat lalu saya teguk bersama makanan ringan kering semisal cheese stick, kaktus, crackers maupun kacang. Selain itu juice yang dulu jadi menu wajib saya tapi kini tak mampu lagi saya telan banyak-banyak, saya ganti dengan buah segar yang saya makan nyaris terus-menerus sedikit demi sedikit. Hal ini terbukti membantu menghilangkan mual yang terkadang seperti hendak muncul juga.

Sebetulnya sedih juga saya memikirkan diri sendiri. Saya masih ingin kembali sehat, tetapi tak berdaya untuk melawan "kejahatan" kemoterapi yang kini mengganggu saya. Maka saya cermati lembar hasil pemeriksaan darah saya kemarin di RS diperbandingkan dengan hasil empat hari sebelumnya. Barangkali saya bisa menarik kesimpulan tentang apa yang terjadi ketika tubuh saya menolak makanan. Yang amat menyolok adalah merosotnya bilangan sel darah putih saya, dari 2.420/mm3 ke bilangn terendah hanya 1.500/mm3. Padahal pada orang sehat angka normalnya berkisar pada 5.000-10.000/mm3. Menurut dugaan saya, inilah yang membuat sariawan mulai timbul. Juga pencernaan yang berulah. Tapi soal pusing kepala dan letih-lemah-lesu bagaimana? Saya mencurigai tekanan darah saya yang tiba-tiba rendah sebagai penyebabnya. Semoga perkiraan saya tidak keliru. Saya menghela nafas menunggu hari berganti. Tak sabar rasanya saya menunggu hari Rabu, saatnya saya berkonsultasiu dengan dokter ahli kemoterapi saya. Semoga saya membaik di hari itu setelah kemarin perut saya "dimasuki" obat suntik. Mari, lihat perawat bilang apa besok........

(Bersambung)

5 komentar:

  1. sakit memang tidak ada nyaman-nyamannya yah Bun.... harus pintar menata diri agar tidak emosi dan meratap terus.
    saya bingung, gimana caranya agar sang misua bisa tetap semangat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nak Ina. Saya sikapi diri sendiri dengan lihat anak-anak saya yang walau pun saya tahu sebetulnya capek ngurus saya, tapi selalu kelihatan semangat. Jadi saya malu sendiri.

      Semoga ayah cepat pulih dan bisa beraktivitas lagi serta nak Ina pun kuat menjalani takdir hidup ya. Didoakan dari jauh. Salam sayang.

      Hapus
  2. dokter juga manusia, bisa sakit juga..
    apakabar Bunda? sun sayang dari Saladin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, termauk bisa salah diagnosa juga hehehe......... terutama kalau kasusnya kompleks (complicated) gitu lho.

      Salam sayang juga buat mas Adin. Udah minta dik lagi belum?

      Hapus
  3. hihihii ambek-an dulu Bunda, insyaAllah 4 tahun lagi

    BalasHapus

Pita Pink