Powered By Blogger

Minggu, 01 September 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (106)


Hidup saya tak ubahnya sebuah permainan di taman hiburan yang mendebarkan itu. Saya duduk di atasnya dan siap diayun-ayun ke sana ke mari, naik-turun mendaki-menukik tak beraturan. Semua mengikuti kehendak  penciptanya, karena saya hanyalah penumpang yang tak punya kekuasaan apa pun untuk menghentikannya ketika saya merasa ngeri, jemu atau pun lelah. Sebab apalah daya, saya cuma manusia biasa.

Bayangkan saja, ketika saya menemukan benjolan keras di payudara saya yang biasanya baik-baik saja, saya diterpa kebingungan untuk menamainya. Karena saya tahu bahwa untuk itu saya membutuhkan jasa seorang dokter. Dan semua orang pun tahu tak ada dokter yang menggelar pemeriksaan gratisan, bukan?!

Saya semakin bingung lagi ketika benjolan itu menimbulkan nyeri seperti cubitan ditambah gatal-gatal serupa yang dialami istri kemenakan saya waktu dia belum berpulang karena kanker payudara. Sebab, bagaimana saya bisa menolak asumsi bahwa selama ini saya terlalu membesar-besarkan keadaan demi menarik simpati orang lain karena saya memang tak pasti apa yang tengah terjadi pada tubuh saya? Sudah berulang kali saya mengalami serangan serupa di organ reproduksi saya dulu. Yang oleh kemajuan dan kecanggihan pengetahuan serta teknologi pakar kesehatan negara tetangga selalu dilabeli dengan "bersih, bebas kanker". Bagaimansa saya bisa menangkis sebutan orang yang meminta saya untuk tak terlalu membesar-besarkan perasaan saya, coba?!

Kanker telah sukses "membesarkan" saya dan anak-anak. Dari sekedar makhluk kecil tanpa daya yang tak pernah dilirik orang hingga menjadi sesuatu yang menyedot banyak perhatian lalu mengguncangkan bumi. Iman kami yang semula rapuh kalau tak boleh dikatakan kosong, sekarang alhamdulillah lebih padat terisi oleh sebaris keyakinan dan kepercayaan yang kental akan Kuasa Allah. Sebab banyak keajaiban yang telah terjadi mewarnai kehidupan kami semenjak dokter menemukan penyakit kanker di diri saya. Sesuatu yang tak bisa dibayangkan dan tak mungkin terbayangkan.

Begitulah awalnya ritme hidup saya turun naik ibarat gesekan dawai biola yang melantunkan irama yang amat melodius. Terkadang ada kesenyapan yang membuahkan tanda tanya baik pada diri sendiri terlebih-lebih bagi orang-orang di sekitar saya. Namun sebetulnya di saat itu kami sedang bergulat di alam pemikiran untuk memecahkan misteri pengusiran sel-sel ganas ini dari tubuh saya dengan cara yang teramat halus. Selembut serenada yang mengalir menyusupi gendang telinga di malam terang bulan empat belas.

Betapa tidak, kami sering kebingungan mencari opsi pengobatan yang baik, memadai namun terjangkau oleh kantung kami. Sebab tak bisa dinafikan, kanker adalah penyakit nakal yang sulit dilumpuhkan serta memerlukan sejumlah besar uang sebagai biayanya.

***

Kini pengobatan saya sudah berjalan sempurna. Tumor saya sudah dikecilkan dulu dengan obat-obatan kemoterapi. Obat kemoterapi merupakan salah satu komponen biaya yang termahal yang harus dibayar pasien dengan tunai. Angkanya yang mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah sekali kemoterapi akan menjadi ratusan juta di akhir siklusnya yang biasanya berlangsung selama enam kali kemoterapi dengan jeda waktu masing-masing tiga minggu saja. Menyamai harga sebuah rumah gedung di perkotaan. 

Obat-obatan yang tak terjangkau itu bisa saya peroleh berkat dukungan dokter onkologi saya yang menyarankan saya untuk meminta bantuan pemerintah melalui program dana jaminan kesehatan. Saya merasa tertolong, terangkat karenanya. Hidup saya menjadi optimis. Saya sudah berada di jalan yang benar untuk menyelamatkan nyawa saya.

Setelah tumor primer saya mengecil ~walau tumor di kelenjar getah bening ketiak tidak~, dokter menempuh langkah selanjutnya. Pengangkatan payudara dan kelenjar getah bening yang merupakan "hantu" pembiayaan kedua. Tapi lagi-lagi saya beruntung. Dokter lagi-lagi membantu membiayai operasi besar itu dengan dana dari kantung pribadinya sendiri. Lalu saya pun terlambung lagi, menjangkau kenikmatan yang lebih banyak. Dari sini saya seperti sedang menapaki jalan menuju sehat.

Beruntungnya saya ketika akan dioperasi, karena kasus penyakit saya memiliki tingkat kesulitan pengerjaan yang tinggi, dokter membawa saya ke kantornya di pusat penanganan penyakit kanker nasional. Meski beliau tahu pemerintah tak akan membiayai, tetapi saya terus didukung untuk bicara dari hati ke hati dengan pejabat pembuat keputusan. Yang hasilnya tentu saja menggembirakan, karena saya dipersilahkan mencari dana sendiri  namun untuk kemoterapi setelah operasi pemerintah bersedia mendanai lagi. Artinya saya tidak akan dicap penduduk nakal yang berpura-pura miskin meski nyatanya mampu.

Operasi itu berjalan baik, meski tidak sukses karena ada banyak sel-sel yang tak bisa dibuang sebab menempel di pembuluh darah. Akibatnya penyakit saya masih mengganas dan harus dibantu dengan kemoterapi lanjutan. Sayangnya hanya berselang dua minggu dari hari operasi saya sudah sakit lagi. Tak hanya lengan saya menjadi bengkak yang diakibatkan oleh dibuangnya kelenjar getah bening, juga tumor saya di pembuluh darah tumbuh. Artinya saya tidak cocok diobati dengan obat-obat kemoterapi pemberian pemerintah itu. Perasaan bahagia saya yang baru terbina kembali lumpuh dilibas kenyataan pahit ini.

Koktail obat kemoterapi saya harus segera diganti dengan obat yang sangat kuat, yang menurut dokter saya berharga di atas lima puluh juta sekali kemoterapi. Dengan keterbatasan saya tanpa dukungan pemerintah untuk itu, saya cuma bisa melamunkan kematian saya yang datang lebih cepat dari perkiraan. Memang urusan mati cuma milik Allah. Tapi semua orang pun tahu bahwa kematian akibat kanker asalah hal yang biasa terjadi hingga sekarang karena kanker belum ada obatnya yang tuntas. Apa yang diberikan kepada pasien hanya bersifat "semu" karena tanpa menjaga gaya hidup sehat serta melakukan kontrol rutin ke dokter kanker akan tumbuh kembali cepat atau lambat. Saya banyak mendengar dan melihat sendiri kasus-kasus itu di RS. Bahkan dokter onkologi saya sendiri memiliki pasien yang diwariskan oleh almarhum ayahnya, dokter spesialis bedah onkologi pertama di kota kami.

Semangat saya untuk bertahan dan sembuh yang selama ini dipuji-puji banyak orang termasuk tim medis yang menangani saya yang di antaranya adalah dokter paliatif, langsung melemah. Saya menyesali diri karena tak mampu mewujudkan harapan banyak teman saya yang bergotong royong mengupayakan bantuan moral dan material untuk saya. Ada rasa malu yang tak terkatakan.

Hidup saya persis seperi roller coaster itu, bukan?! Untunglah dokter saya bersedia lagi mencarikan jalan untuk mendapat obat kemoterapi yang saya butuhkan itu. Syaratnya saya diwajibkan ikut penelitian yang dilakukan kantor beliau. Tanpa berpikir panjang saya menerimanya tanpa syarat. Sangat sayang jikalau kesempatan emas yang langka ini tak saya coba.

Mendapatkannya tentu saja melalui serangkaian penyaringan mengingat cuma seorang pasien yang dibutuhkan. Saya harus bersedia menjalani pemeriksaan kesehatan lengkap lagi yang untungnya rata-rata hasilnya bagus. Jadi hati saya kembali senang sebab peserta lainnya terpaksa menyerahkan kesempatan ini kepada saya. Sujud syukur mewarnai kebanggaan diri saya membuat mata saya kembali bersinar.

Sayangnya itu tak berlangsung lama. Saya "kalah" juga. Penyebabnya denyut jantung saya melemah (bradicardia). Denyut jantung normal perempuan dewasa umumnya berkisar di antara 80-100 detak per menit. Bulan lalu segera setelah selesai kemoterapi saya dengan obat yang lama, bilangannya mencapai 60. Meski di bawah normal, tetapi masih boleh dianggap baik karena efek obat-obat kemoterapi memang potensial mengganggu jantung. Menimbulkan gangguan seperti itu disebabkan sifatnya yang meracuni (cardiotoxic). Batas toleransi pemberian obat kemoterapi dari jenis yang mana pun adalah 55 detak per menit. Sayang sebulan kemudian persis ketika akan mulai dikemoterapi siklus kedua ini, denyut nadi saya turun drastis menjadi hanya 46 detak saja per menit. 

Dunia terasa berguncang, lalu runtuh seketika mengubur segala mimpi dan harapan saya untuk kembali memperoleh tambahan nyawa seperti yang sudah-sudah. Saya batal memperoleh obat itu. Duh, rasanya amat menyakitkan dan memalukan. Hingga saya kebingungan memikirkan obat apa lagi di gudang pengetahuan sana yang tersedia dan cocok untuk saya? Bagaimana saya harus menjangkaunya karena kalau pun ada harganya pastilah mahal. Menangislah saya di dalam hati dengan tangisan yang tak pernah bisa tersuarakan itu.

***

Di tengah kebingungan dan kesedihan itu, seketika saya ingin menemui teman saya yang kebetulan menjadi direktur di unit kerja paliatif. Saya tak tahan lagi untuk tidak bicara apa pun kepadanya. Sebab pikiran saya sudah buntu gelap tertutup oleh bayang-bayang hitam yang mengganggu serta mengawal saya menuju pintu kematian.

Di dada dokter Maria saya menangiskan isi hati saya tanpa setitik pun air mata. Berikutnya saya biarkan beliau yang mengobati saya dengan segala kemampuan keilmuannya yang mumpuni. Dokter Ria akhirnya segera mengontak rekan-rekan sejawatnya untuk membicarakan kasus saya di luar forum rapat resmi. Dan keesokan harinya saya menerima pemberitahuan bahwa koktail obat kemoterapi saya akan diganti dengan yang lebih aman untuk jantung, meski saya harus mendanainya sendiri karena bukan obat penelitian. Hati saya kembali melambung lagi, menyiratkan harapan yang tetap saya pelihara meski cuma secercah di sudut hati terdalam. Jujur saja selama ini saya memang tak pernah berharap muluk-muluk karena merasa diri saya tidak mampu apa-apa.

Kemudian hari Jumat (30/08) ketika saya berniat berkonsultasi dengan dokter onkologi saya yang semakin hari semakin sulit ditemui di Bogor, saya menerima SMS bersambung telepon dari mbak Ria bahwa Doktor ahli kemoterapi mengundang saya menghadap pada hari itu. Segera rencana saya ubah. Kebetulan juga dokter onkologi saya tidak membuka kliniknya sampai siang karena mengerjakan tindakan operasi besar. Saya menaiki tangga mantap sekali menuju ruang klinik beliau di lantai 2 RS pusat kanker itu.

Sayangnya beliau terlupa memberi pesan kepada perawat kepala bahwa saya diundang menghadap, sehingga ketika saya mendaftar untuk menemui beliau saya ditolak. Sang perawat yang kalau tidak salah bernama ibu Hellen bilang, beliau menutup kliniknya seperti halnya dokter onkologi saya yang menggeser jam klinik ke sore hari. Alasannya, ada undangan rapat di RSCM yang tidak bisa diwakilkan. Meski saya menyanggah dengan menyebutkan pesan melalui dokter Maria, perawat tetap bersikeras menolak semua pasien pada hari itu. Setengah berputus asa saya merajuk tak mau meninggalkan klinik, bahkan anak saya berniat mengontak dokter Ria agar berbicara sendiri kepada perawat kepala. Akhirnya beliau berinisiatif mencari tahu ke asisten ibu Doktor yang justru membenarkannya. Katanya bu Doktor tak mewakilkan kepada siapa pun ke rapat siang itu. Dan saya pun kembali lunglai, sehingga melanjutkan kegiatan saya menuju ke klinik Rehabilitasi Medik untuk menuntaskan sesi fisioterapi saya yang masih panjang. Untung di sana sepi pasien seperti komentar pasien-pasien yang sempat saya temui di ruang-ruang tunggu. Namun meski demikian, perawatnya pun sepi, karena saya lihat beberapa dari mereka beredar di seputaran RS sejak saya datang pagi hari.

Saya duduk menunggu di selasar bangsal klinik RM. Rasanya dunia seperti milik saya sendiri karena tidak banyak saingan yang mengantri untuk diterapi seperti biasanya. Tapi belum sampai dipanggil masuk, tiba-tiba datang panggilan dari klinik kemoterapi bahwa saya memang benar dicari oleh bu Doktor yang ternyata batal berangkat rapat. Dengan tergopoh-gopoh saya kembali ke lantai dua lalu mendapati tiga orang pasien lain di sana. Mereka duduk santai sebab rupanya agenda mereka cuma untuk konsultasi kemoterapi saja. Bu Doktor belum tiba di kliniknya, masih berada di lantai bawah tanah tempat praktek pagi harinya.

Sambil meminta maaf perawat kepala tersenyum-senyum simpul terus. Saya pun membalasnya sambil minta disampaikan kepada dokter onkologi saya sore itu bahwa para pasiennya di Bogor mengharap kehadiran beliau karena tak kuasa menanggung rasa sakit kami. Empatinya muncul, dengan cepat disanggupinya permintaan saya meski disertai penjelasan bahwa para dokter di rumah sakit pendidikan memang selalu sibuk sehingga sulit diharapkan keteraturan jadwalnya. Sejenak saya menunggu seraya memanfaatkan waktu untuk bertukar pendapat dengan para pasien yang juga turut dipanggil saat itu. Ada yang sudah menjalani dua siklus kemoterapi karena penyakitnya kambuh kembali, ada yang belum selesai dikemoterapi setelah dioperasi oleh dokter yang ternyata onkologis saya. Rupanya dia pun mengeluhkan bahwa dokter kami sekarang sering bertugas ke luar kantor, termasuk ke luar negeri. Saya terangkan bahwa hal itu tak seberapa terasa di Jakarta karena masih banyak dokter lain yang bisa menggantikan untuk sementara, sedangkan di Bogor kami harus mau menahan segala rasa dengan sabar. Maklum di tempat saya berobat beliau nyaris merupakan single fighter. Pasien itu hanya mengangguk-angguk. Dia belum lama selesai dioperasi, merupakan penderita stadium II A yang karenanya dikemoterapi belakangan, setelah dioperasi. Tak seperti kasus-kasus kanker stadium lanjut yang juga saya alami.

Tengah menunggu dan mengobrol tiba-tiba nama saya dipanggil melalui call centre untuk masuk ke klinik Rehabilitasi Medik. Ternyata tadi kami terlupa untuk membatalkan terapi sebab terburu-buru ke klinik kemoterapi lagi. Anak saya segera menuju ke sana untuk minta maaf dan membatalkan. Mereka bersikukuh untuk menerapi saya meski artinya selepas makan siang nanti menjelang klinik ditutup, tapi ditolak anak saya yang kebingungan mengatur jadwal berobat saya hari itu. Bahkan dia pun sudah menyatakan rela meninggalkan shalat Jumat demi agenda kemoterapi saya hingga saya terharu.

Tak lama kemudian bu Doktor tiba dengan senyumannya. Saya mendapat giliran kedua untuk menghadap. Rupanya beliau berkeinginan saya untuk memeriksakan jantung saya lagi sebagai pembanding di kolega beliau yang merupakan guru besar di sebuah perguruan tinggi ternama. Beliau menyayangkan kalau saya gagal diteliti, sebab saya adalah pasien terbaik yang dipegangnya selama ini. Kondisi kesehatan saya umumnya fit, dengan indikasi sel darah merah dan sel darah putih yang biasa dirusak oleh efek kemoterapi tidak terpengaruh. Belum lagi sel kanker saya tidak menyebar ke organ lain. Sulit memperoleh pasien seperti kondisi saya. Karenanya jika saya mematuhi pengobatan yang sudah diberikan dokter ahli jantung yang bertanggung jawab meluluskan pasien yang akan dikemoterapi diharapkan kondisi saya membaik sehingga layak diperiksa ulang di dokter lain. Kami berharap saya sudah normal kembali sehingga siap mulai dikemoterapi.

Berbekal petunjuk beliau saya berangkat ke dokter yang dimaksudkan. Perlu terburu-buru sebab sudah hampir masuk waktu shalat Jumat. Tak ada kata letih, saya ayun langkah lebar-lebar. Sayang dokter yang dituju tidak berpraktek pada siang itu. Kami diharap kembali hari Senin (02/09) pagi. Jadi, sekarang saya sedang bersiap-siap diperiksa dokter yang ternyata terkenal pandai itu.

Sabtu (31/08) saya berkonsultasi lebih dulu dengan dokter onkologis saya yang agaknya memang bersedia membuka kliniknya di kampung halaman untuk menggantikan waktu yang tersita oleh kesibukan beliau mengoperasi pasien di hari-hari yang lalu. Kini pasien beliau tak lagi sebanyak dulu. Mungkin mereka berpindah ke dokter lain atau sudah menyerah kalah duluan. 

Pertanyaan pertama dokter saya adalah soal pelaksanaan kemoterapi saya itu. Karenanya dengan gamblang saya kemukakan apa yang terjadi dan sedang saya kerjakan sesuai perintah dokter ahli kemoterapi konsulen beliau. Beliau membenarkan penjelasan dokter ahli jantung bahwa semua obat kemoterapi berefek meracuni jantung. Tapi beliau juga setuju dengan rencana bu Doktor yang ahli kemoterapi itu untuk memeriksa ulang jantung saya pada seorang profesor. Sebab dikatakannya menurunnya denyut jantung saya selama sebulan cukup drastis, sehingga saya harus diperiksa dengan cermat sebelum dikemoterapi. Jika nanti didapati saya memang menderita kelemahan jantung, maka beliau menyetujui pemberian obat lain seperti yang dicadangkan bagi saya itu. Bahkan saya diperbolehkannya membeli obat di Bogor dengan resep yang dituliskan beliau berdasarkan komposisi yang disusun bu Doktor di kantornya. Tiba-tiba saya mulai merasakan bersemangat lagi menghadapi hari-hari mendatang serta kemoterapi saya yang amat saya perlukan. Di hati ini sepercik pelita asa terus saja saya nyalakan merambati dinding batin yang gelap supaya hidup saya tetap terasa berarti. Sebab saya memang masih ingin hidup seperti sekarang dengan nyawa yang lagi-lagi dipinjamkan tambahannya oleh Allah Sang Maha Pemilik Hidup.

(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pita Pink