Powered By Blogger

Sabtu, 02 Maret 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (34)

Saya sudah menerima hasil pemeriksaan cancer profiling test saya yang ternyata mengejutkan minggu lalu. Walau sesungguhnya saya bisa membacanya sendiri, tapi jujur saja, saya tidak mau mengatakan yang sesungguhnya kepada anak-anak saya. Sebab kalau sampai jiwa mereka terguncang karenanya, saya tidak akan mampu menenangkannya. Jadi saya biarkan amplop dari laboratorium anatomi RSKD yang lama kami nanti-nanti hasilnya itu tertutup rapat hingga saya serahkan sendiri ke tangan dokter yang menangani saya.

Lelaki muda yang tampan, smart dan tampil ramah itu membacakannya untuk kami dengan hati-hati. Tapi beliau tahu saya sudah sangat siap untuk menerima kenyataan terburuk ini, jadi beliau secara lugas menyebutkannya. Sambil duduk di samping anak saya menghadap pada beliau, saya sandarkan tubuh saya ke kursi yang dingin. Ada kepasrahan di dalam dada. Pasrah akan garis takdir yang dicadangkan Allah untuk saya. Kalau artinya saya diprediksi sulit disembuhkan, maka itu adalah bagian dari takdir saya yang tidak boleh saya sesali apalagi hingga menghujat Tuhan. Maka jalan satu-satunya untuk mengatasi keadaan itu adalah mencoba melawan dengan mengikuti semua pola hidup sehat serta aturan yang ditetapkan dokter maupun sinshe yang selama ini merawat saya. Kemoterapi yang konon menyusahkan itu akan saya jalani dengan tekun. Tak perlu takut menjadi kurus kering, kehilangan gairah hidup dengan rambut yang licin tandas di kepala. Toch saya masih punya mahkota lain, yang biasa dikenakan para muslimah, yaitu tudung kepala alias jilbab.

Di dalam jaringan sel kanker saya diketemukan virus Her2 yang agresif, menandakan kanker saya berjalan sangat cepat dan ganas. Seperti yang pernah saya baca di media massa, saat ini memang sedang digalakkan penelitian mengenai virus penyebab kanker terutama kanker payudara yang paling sering diderita orang dibandingkan kanker lainnya. Tentu saja untuk melawan virus itu dicarikan obatnya. Pada saat ini di RSKD sebagai pusat penanganan penyakit kanker nasional diadakan penelitian, yang dipusatkan pada penggunaan obat kemoterapi jenis baru yakni Herceptin atau Trastuzumab. Obat ini diharapkan akan sangat membantu penderita kanker payudara yang sudah mengalami penyebaran penyakit (metastase), walau nyatanya pada diri saya, berdasarkan pemeriksaan penunjang yang sudah saya jalani secara lengkap, alhamdulillah tak ada penyebaran. Adapun menurut hasil pemeriksaan laboratorium kanker saya tak ada pengaruhnya terhadap unsur-unsur hormonal, seperti yang sudah saya duga sebelumnya secara asal-asalan. Sebab saya merasa percuma menggunakan obat yang dimakan (per oral) berupa obat hormonal tanpa perubahan apa pun pada penyakit di payudara saya ini.

Oleh karena itu dokter semakin ingin segera menjalankan kemoterapi pada saya. Saya kemudian bertanya, apakah saya akan tetap dikemoterapi dengan makan obat per oral, disuntik di permukaan kulit, atau diinfus. Jawab dokter yang agaknya nyaman berbicara mengenai kondisi penyakit dengan saya, beliau menetapkan akan menginfus saya dengan Trastuzumab itu. Harganya konon dua belas juta rupiah setabung. Ini akan dibarengi dengan obat-obat lainnya yang tidak dijelaskan apa saja kepada saya. 

Kemudian saya sampaikan bahwa untuk biaya kemoterapi itu, saya sekali lagi tidak bisa menggunakan fasilitas Jamkesda seperti yang diinginkan beliau guna meringankan saya. Alasan Dinas Kesehatan pada waktu itu adalah program Jamkesda sudah memenuhi quota, lagi pula tidak ada pendataan peserta baru apalagi untuk warga di sekitar tempat tinggal saya. Harus saya akui bahwa kami memang tinggal di perumahan untuk masyarakat kelas menengah ke atas, dengan rumah batu yang kokoh meski hasil hibah ayah anak-anak saya kepada kedua anak kami. Artinya, kami tak menyewa rumah apalagi sampai tinggal menggelandang.

Dokter kemudian mengusulkan saya untuk mengurus Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) saja, karena katanya sebagian besar pasien beliau memang berobat dengan dana Jamkesmas. Nanti biaya kemoterapi bisa dibebankan kepada Dinas Kesehatan, begitu kata dokter saya. Kelihatan benar beliau amat memikirkan bagaimana saya bisa memperoleh dana untuk pengobatan saya. Cara matanya memandang kami anak-beranak, bahasa tubuhnya saat bercakap dengan kami, semua mengandung arti beliau sangat ingin membantu saya. Saya mengatakan akan mencoba mengusahakannya sekali lagi, dengan syarat jika tidak mendapat maka apa pun yang akan terjadi saya minta izin untuk mengumpulkan dana terlebih dahulu yang selama ini memang sudah dilakukan dan dipersiapkan sebaik-baiknya oleh para sahabat dan kerabat kami di Dharma Wanita Persatuan Kementerian Luar Negeri. Sebab saya katakan penduduk di kampung kami ~saya dan pak dokter tinggal di desa yang sama~ sama-sama tahu bahwa warga RW saya adalah masyarakat berkecukupan semua.

Sambil menimbang-nimbang obat yang tepat untuk saya dokter menyuruh asistennya menimbang berat badan dan mengukur tinggi tubuh saya. Wah tak dinyana, gara-gara berobat ke sinshe dan taat mengikuti semua anjurannya untuk tak mengonsumsi protein nabati kecuali ayam kampung dengan telurnya, saya menggemuk. Tubuh saya dinyatakan tak kurang dari enam puluh enam setengah kilogram. Sedangkan tinggi badan saya, semakin menyusut saja. Perkiraan saya disebabkan unsur ketuaan yang membuat kalsium di tubuh berkurang terutama setelah pembuangan kedua indung telur saya yang sesungguhnya produsen hormon itu sehingga tulang saya mengerut.

Lalu sambil menulis segala sesuatu tentang rencana kemoterapi yang katanya harus dilakukan segera itu dokter mengusulkan saya untuk dikemoterapi di RSKD saja. Tentu saja hal ini mencengangkan, sebab ketika beberapa minggu sebelumnya saya mengeluhkan jadwal praktek beliau yang tak pernah tepat di Bogor agar saya diizinkan kembali ke RSKD, dokter melarang saya. Alasannya waktu itu, kalau kemoterapi berjalan persiapannya akan butuh waktu dan menguras tenaga saya. Belum lagi harinya kemoterapi. Dokter minta saya bersabar untuk tetap saja diobati di RSKB Bogor tempat saya berobat kini. Semua itu hanya akan menjadi beban dan tidak efisien, pendapatnya waktu itu.

Malam itu beliau tiba-tiba bicara lain. Jelasnya, kalau saya dikemoterapi di RSKD katanya saya akan terawasi dengan baik, sebab di sanalah kantor beliau yang utama sebagai PNS sehingga bisa mengawasi sendiri. Setidak-tidaknya ada satu team khusus yang memang bertugas mengawasi para pasien yang dikemoterapi. Berbeda halnya dengan kemoterapi di Bogor sini. Beliau tak pernah jelas kapan bisa datang berpraktek, juga tak ada satu team yang ditugasi memantau pasien. 

Bertolak dari pemikiran itu, tentu saya pun sepakat untuk dikemoterapi di RSKD saja. Namun lagi-lagi beliau tidak merasa yakin bahwa di RSKD pasien dengan Jamkesmas bisa diterima, meski katanya sih banyak juga yang memanfaatkan Jamkesmas itu. Cuma beliau lupa, apakah di sana atau di RSUPN dr. Tjipto Mangunkusumo. Saya dipesaninya untuk menanyakan hal penggunaan fasilitas Jamkesmas ini kepada teman saya di DWP Kemenlu yang menjadi penanggung jawab medis saya atas permintaan teman-teman karena beliau kebetulan salah seorang direktur di RSKD. Permintaannya ini membimbangkan saya. Kalau demikian adanya, apalagi dengan belum jelasnya saya mendapat Jamkesmas atau tidak, saya memilih untuk memastikan soal siapa yang mendanai saya saja dulu. Di mana akan dikemoterapi biarlah menjadi urusan belakangan hari.

Pernyataan dokter dan perawatnya membuat saya galau kembali. Bayangkan, bagaimana jadinya kalau saya tidak sanggup mendanai kemoterapi, sedangkan Jamkesmas yang saya pun belum yakin bisa mendapatkannya ditolak oleh RSKD. Tapi dengan cepat dokter saya menangkap hal ini, lalu mengusulkan saya untuk mengikuti program penelitian teman sejawatnya tentang virus Her2 dan Herceptin. Penelitian dokter di RSKD itu dijamin menggratiskan seluruh biaya kemo untuk saya. 

Bimbang saya menjawabnya segera. Sebab meski saya melihat sinar terang di balik usulan itu, tetapi saya tak yakin anak-anak saya mengizinkan. Sebab siapa pun tahu bahwa mengikuti penelitian berarti menjadi kelinci percobaan. Saya sendiri ikhlas mempertaruhkan nyawa saya untuk kepentingan banyak ummat manusia itu, tapi apakah anak saya tidak menyesalinya seandainya kelak saya justru terkorbankan? Sekali pun saya beranggapan kematian adalah milik Allah yang bisa dijatuhkan kapan saja kepada ummatNya, namun saya tak ingin dikatakan anak-anak mati sia-sia. 

Menurut saya, logikanya dengan membayar sendiri biaya kemoterapi saya maka saya pun belum tentu akan sembuh total, sebaliknya mengikuti program penelitian yang digratiskan itu saya juga belum tentu mati. Siapa tahu justru saya hidup panjang umur, bukan? Sebab sekali lagi saya katakan, hidup dan mati itu di tangan Allah belaka. Saya pun punya pemikiran lain lagi, yakni andaikata saya mati karena program penelitian itu, maka kematian saya akan jadi suatu sumbangsih bagi kebaikan banyak orang semata. Sebab karena kematian saya nantilah program penelitian virus Her2 dan Herceptin akan terus mengarah kepada hal yang lebih baik. Itulah yang ada di benak saya yang pasti tak sejalan dengan pendapat anak saya. Saya perhatikan dia yang duduk di samping saya agak mengerutkan dahi sewaktu mendengar program penelitian itu ditawarkan kepada saya. Lalu konsultasi kami sudahi dulu.

Malam itu saya dibekali surat pengantar pemeriksaan darah lengkap untuk ke laboratorium, berikut surat pengantar rujukan ke dokter ahli penyakit dalam dan resep pembelian obat-obatan kemoterapi. Dokter berpesan kelak kalau akan dikemoterapi saya harus menjaga stamina, tak boleh sampai lemah, lelah dan akhirnya sakit. Begitu pun setelah dikemoterapi yang akan dilakukan setiap tiga minggu sekali selama empat kali, serta kelak setelah dioperasi selama setahun penuh, saya diwajibkan banyak minum air putih serta mengunyah buah-buahan. Keadaan fisik yang prima menunjang berhasilnya misi mengenyahkan kanker, begitu kira-kira intinya. Saya bersyukur telah bertemu dan dirawat oleh dokter yang sangat perhatian terhadap pasiennya serta komunikatif. Saya tak menyesal pengobatan kanker saya diubah dari neo adjuvant therapy yang berupa minum obat-obatan kepada adjuvant therapy yang berarti diinfus dengan obat-obatan kemoterapi. Dokter pasti lebih tahu mana yang terbaik bagi pasiennya, begitu prinsip saya.

Begitu melangkah ke luar dari ruangan klinik saya pun langsung ke laboratorium yang kebetulan di dekatnya. Sepinya malam membuat saya bisa langsung ditangani. Petugas di situ dengan amat hati-hati mengamati lengan saya yang bengkak, lalu memilih menyuntikkan tabung pengambil darahnya di lengan kanan saya. Kebetulan, di situ venna saya memang mudah sekali dicari tak seperti di lengan yang kiri. Hasilnya bisa diambil keesokan harinya.

Kemudian anak saya membawa resep ke apotik. Di situ mereka mengatakan untuk urusan pembelian obat kemoterapi tidak bisa dilakukan segera. Resep obat akan ditinggalkan di sana, kemudian dicarikan terlebih dulu sambil mereka mengontak perawat di ruangan kemoterapi yang katanya hanya ada 3 tempat saja yang sangat terbatas itu. Nanti bila sudah ada tempat untuk kemoterapi saya, obat dikeluarkan dari gudangnya atau diambilkan dulu ke Jakarta entah ke instansi apa baru diserahkan langsung ke tangan perawat bagian kemoterapi. Begitu penjelasan yang saya terima dari petugas di apotik yang karenanya mempersilahkan kami pulang saja setelah menahan resep obat serta mencatat nomor telepon kami yang bisa dihubungi.

Setibanya di rumah menjelang tidur saya mengabari saudara-saudara saya di DWP Kemenlu, juga anak sulung lelaki saya di Jakarta melalui E-mail. Bahkan saya sampaikan kepada mereka semua, seandainya saya tak bisa mendapat dana dari pemerintah melalui program jaminan kesehatan itu, maka saya sudah akan merelakan mengikuti program penelitian dokter RSKD. Bagi saya nantinya saya akan mendapat jalan untuk membalas segala amal kebaikan mereka melalui cara lain, yakni berbuat sesuatu bagi kepentingan para penderita kanker payudara sesudah saya. E-mail itu saya sertai foto kondisi terbaru penyakit saya di antaranya lengan yang bengkak sebelah.




*** 

Keesokan paginya saya kembali ke luar rumah untuk menanyakan kemungkinan mendapat Jamkesmas dari Kelurahan. Di kantor desa kami yang letaknya sejalan dengan rumah saya, saya memperoleh penjelasan bahwa program Jamkesmas pun tak ada lagi. Program itu digulirkan setiap lima tahun sekali, agaknya bersesuaian dengan pergantian Kepala Daerah Tingkat I. Tapi Kepala Seksi Kesejahteraan Rakyat di desa saya bilang, saya tetap bisa berobat gratis dengan menggunakan SKTM yang sudah di tangan saya itu. Dia mencontohkan mertuanya yang menggunakan SKTM untuk berobat di RSKB seperti saya. Untuk itu saya diminta kembali ke kantor Dinas Kesehatan Kota (DKK) dan memohon agar pihak RS ditelepon untuk menegaskan bahwa SKTM saya mencakup biaya kemoterapi.

Akhirnya saya mengerti pemecahan persoalan ini, lalu melaju naik angkutan kota ke DKK. Saya ditemani kerabat mantan suami saya yang selama ini selalu mendampingi saya, bahkan ketika saya pertama kali berobat ke RSKD dulu. Perempuan muda yang satu ini kecil mungil namun sangat enerjik. Berada di dekatnya saya selalu merasa aman dan terlindungi. Sebagaimana jika saya merangkul bahu ibundanya yang bukan sanak bukan saudara mantan suami saya, apalagi saudara saya.

Kebetulan akhir-akhir ini DKK sepi pengguna SKTM. Saya cepat sekali dilayani petugas, bahkan saya sempat bertegur sapa dengan anggukan kepala kepada Kepala Bagian yang kemarin sempat membuat emosi saya terpancing. Kepada mereka saya sampaikan bahwa RS menilai SKTM saya tidak berlaku untuk kemoterapi, hanya untuk perawatan jalan di klinik serta IGD. Mendengar keluhan saya yang nyata-nyata keluhan orang putus asa, perempuan paruh baya yang kira-kira seumuran dengan saya itu kemudian menyuruh anak buahnya untuk menambahkan tulisan bahwa biaya kemoterapi seratus prosen menjadi beban tagihan Dinas Kesehatan. Lalu dikembalikannya SKTM saya. Ah, leganya, dingin terasa menyentuh hati saya, alhamdulillah!

Segera kami menuju ke RS untuk mengambil hasil pemeriksaan laboratorium saya sambil mengajukan klaim pembelian obat kemoterapi dengan dana Dinkes itu ke bagian apotik yang sedang mencarikan obat saya. Rasanya perjalanan ke RS menjadi begitu menyenangkan. Mobil-mobil bisa melaju kencang melewati kijang-kijang yang asyik merumput bermalas-malasan di halaman istana, juga rumah orang tua saya yang kini merana nyaris roboh kami tinggalkan.

RS seperti biasanya sudah ramai pengunjung tentu saja, karena hari sudah menjelang siang, kira-kira pukul sepuluh. Saya langsung menuju ke laboratorium untuk mengambil hasil pemeriksaan semalam yang untungnya memang sudah siap. Sementara itu kerabat saya itu berinisiatif ke apotik. Apa daya mereka bilang, urusan kemoterapi tidak mudah sehingga obat belum tersedia dan belum bisa dibicarakan saat itu. Mereka menyarankan kami kembali ke rumah untuk beristirahat, mengingat saya datang juga ke RS. Padahal seharusnya kata mereka, saya beristirahat saja di rumah mempersiapkan diri baik-baik. Tapi mereka bilang saya boleh menghubungi bagian pendaftaran untuk melaporkan bahwa kemoterapi saya akhirnya akan didanai oleh dana SKTM Dinas Kesehatan. Petugas bagian pendaftaran meneliti berkas saya lalu mengangguk menyetujui. Kemoterapi saya ternyata harus dijadwalkan dulu sehingga tak bisa berlangsung hari Sabtu besok.

Segera sesampainya di rumah kabar baik ini saya beritakan ke saudara-saudara saya yang tersebar di berbagai belahan bumi untuk memperbaiki kabar semalam yang menggalaukan hati. Tak lupa saya kabarkan kepada anak saya juga, seraya mengharap dia pulang ke rumah di akhir pekan supaya kami bisa bicara panjang lebar tentang upaya pendaan kemoterapi dan pelaksanaannya ini. Apa pun juga dia harus diyakinkan bahwa tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.

Sore harinya saya menyempatkan diri mengecek E-mail. Saya dapati jawaban dari teman yang menjadi koordinator pengobatan saya. Tapi teman kami yang justru dokter itu tak menjawab sama sekali, bahkan hingga hari ini. Perkiraan gadis kerabat saya itu, beliau sibuk berkeliling kota mengunjungi para pasiennya untuk counselling karena beliau memang satu-satunya dokter paliatif yang tugasnya mendamaikan dan menyiapkan hati para pasien kanker serta kerabat yang mendampinginya. Dalam jawaban kepada saya, dikatakan bahwa E-mail saya soal SKTM yang harus ditukar dulu dengan Jamkesmas untuk kemoterapi, membuat mereka melakukan semacam tele confrence lewat jejaring dunia maya. Dari keluarga kami di Perwakilan RI di Jenewa, Swiss terlontar gagasan yang kemudian ditanggapi di berbagai benua, termasuk di benua hitam. Intinya mereka semua ingin mencarikan jalan terbaik bagi pelaksanaan pendanaan kemoterapi saya, meski mereka sesungguhnya sudah juga menyiapkan sejumlah dana untuk kemoterapi tahap pertama saya.

Saya terharu membacanya. E-mail balasan itu segera saya jawab dengan telepon. Kami berbicara panjang lebar. Konon kata si penerima telepon kali ini suara saya nampak jernih dan ceria. Ah, agaknya hati yang lega menyebabkan itu semua. Mereka semua berjaga nyaris semalam suntuk untuk membahas kasus pengobatan saya lebih lanjut karena mereka harus menyesuaikan dengan waktu di negara tempat bermukimnya teman-teman lain di luar negeri sana. Tapi mereka tidak merasa berkeberatan. Alangkah terkejutnya saya karena ternyata perihal pengobatan gratis yang kelak akan saya ambil saja sebagai donor penelitian Her2 dan Herceptin andaikata saya menemui jalan buntu telah memburaikan air mata mereka. Mereka sangat terharu, begitu katanya. Saya pun tertegun dibuatnya. "We are very proud of you sis, we love you with all our hearts," begitu kata mereka.

Tak lama setelah selesai bertelepon, saya menerima telepon dari teman di Jakarta. Istri pejabat penting di Kemenlu ini menanyakan jam berapa besok Sabtu saya dikemoterapi. Saya pikir beliau akan datang ke Bogor menemani saya. Karenanya dengan halus saya nyatakan permintaan maaf saya telah merisaukan hatinya semalam sambil memintanya untuk tidak usah datang ke RS sekaligus mengabarkan bahwa saya belum jadi dikemoterapi hari Sabtu. Demi mendengar jawaban saya, beliau langsung meluruskan. Katanya beliau akan mendoakan saya di misa terpagi di gereja yang biasa didatanginya untuk ibadah Minggu. Tak lupa beliau mengucapkan syukurnya atas keberhasilan saya memperjuangkan penggunaan SKTM saya. Saya merasa bahagia karenanya, walau tak dapat disangkal sebetulnya hari-hari ini saya sedang sangat sering berbuat kebodohan dan kekeliruan. 

Beginilah kejadiannya. Pagi itu saya merasa amat yakin bahwa saya akan dikemoterapi hari Sabtu. Jadi selain mengurus obat ke apotik, saya juga mendaftarkan diri ke dokter ahli penyakit dalam untuk mendapatkan izin kemoterapi. Ternyata dokter yang dulu saya datangi sedang cuti umrah. Sehingga saya berinisiatif ke dokter lainnya. Di sana ternyata saya ditolak sebab mereka bilang, saya tidak dirujuk ke klinik itu. Lagi pula menurut mereka, jadwal kemoterapi saya setelah dicek ke klinik kemoterapi belum ada. Artinya pemeriksaan dokter ahli penyakit dalam belum diperlukan. Nah, bukankah saya telah berbuat dua kekeliruan? Mana pula pagi itu semua berkas RS saya ketinggalan begitu saja di rumah sehingga perlu diambil dulu. Benar-benar pikiran saya kacau mengacaukan gerak langkah saya saja.

Kejadian lebih menyusahkan adalah lepasnya pembalut luka saya di tengah perjalanan akibat saya terlupa untuk menggantinya pagi itu. Sehingga saya terpaksa mengakalinya dengan cara seadanya di toilet RS sambil meremang menyaksikan darah dan nanah saya yang mengalir membasahi kapas dan kain kassa di tubuh saya. Untung saya bisa segera kembali ke rumah dan membersihkan luka saya secara mandiri, karena anak bungsu saya yang setia merawat saya kebetulan sedang ke kampus. Tak ada hari yang paling menyusahkan dibandingkan hari kemarin, begitu ceritanya. Ah, pengalaman saya sungguh beragam bukan? Tapi tanpa pengalaman itu saya rasa hidup saya akan datar-datar saja. Malam ini saya cuma bisa tersenyum mengingatnya. Senyum kecut sekaligus bahagia. Sebab meski belum mendapat jadwal kemoterapi, tapi kemoterapi saya sudah masuk jadwal tunggu di RS. Saya akan menunggu dengan sabar seraya menata hati dan mengistirahatkan tubuh saya yang nyatanya memang lelah. Semoga Allah mendampingi saya sebagaimana biasanya. Insya Allah!

(Bersambung)

12 komentar:

  1. budhe julie..... samapi menitikkan air mata baca perjuangan budhe. Maluuu.... aku kebanyakan ngeluh... makasih budhe udah sharing.
    Semmmmmmaaannnngaaatttt!!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tujuan saya bikin blog ini juga menebarkan semangat kok nak Pudji. Saya kepengin orang-orang melihat bahwa memerangi penyakit apa pun termasuk yang mematikan harus dengan kesabaran dan kesungguhan keikhlasan diri. Segitu nya tuh niatan saya, sampai saya bikin blog yang ini. Soalnya tahu sendiri kan, yang di rumah lama sengaja saya set for contacts only, dengan tujuan cuma untuk menjangkau kontak saya yang berkenan berhubungan dengan saya.

      Sekarang udah ngelapin air matanya 'kan? Ya udah jalan-jalan aja deh sana, biar hatinya gembira lagi. Tapi jaga jajanannya ya, jangan yang potensial menimbulkan kanker. Kalau mampu hindari junk food dan soft drink!

      Hapus
  2. tetep ada kata ALhamdulillah disela musibah ya bund.....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harus itu, karena musibah mendekatkan diri kita kepada Allah kan ya nak Emil?

      Selamat akhir pekan! Semoga salju sudah meleleh ya.

      Hapus
  3. ga bisa berkata-kata rasanya.. :(
    kesabaran dan ketabahan bunda udah dilevel S3 ..!

    semangat terus, bun..!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aih, teh Ay bisaan aja deh. S-3 itu 'kan memang Sampun Sepuh Sanget ya? Alias alias sudah melewati pendidikan SD, SMP, SMA? Ya begitulah saya hehehe..........

      Yuk ah, nasib saya kita pake bahan ketawa aja biar nggak kerasa paitnya, akur 'kan?!

      Hapus
  4. Hmm, sudah lama tidak mendapat kabar dari Bunda..

    Kadang saya merasa kalau saya menghadapi masalah yang bertubi-tubi, tapi kemudian sadar bahwa masih banyak yang masalahnya jauh lebih berat dan tetap bersabar..

    Di dalam kesulitan selalu ada kemudahan...
    Tetap sabar dan semangat Bunda, saya ikut mendoakan dari sini.. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betuyl, banyak orang yang sekarang beranggapan sama dengan nak Sungging setelah main ke tempat saya. Memang sesuatu masalah itu rasanya pasti berat, tapi dengan cara memasrahkan masalah itu ke tangan yang menciptakan, ya kita jadi tenang, akhirnya sabar, ujung-ujungnya tawakal dan ganjarannya pertolongan yang amat banyak yang nggak terduga dari mana arah datangnya karena tanpa diharap-harap lho.

      Selamat menempuh pendidikan lagi sambil kerja ya nak, sukses selalu! Kangen juga lho baca cerita-cerita nak Sungging. Terima kasih atas moral support dan doa baiknya selama ini untuk saya, ya.

      *salaman lama nggak ketemu*

      Hapus
  5. alhamdulillah ya bunda, jadwal kemo bunda sudah masuk daftar tunggu...

    sambil menunggu sambil mempersiapkan mental dan fisik ya bun, biar siap tempur pada hari h-nya...

    salam dan doa dari jauh
    /kayka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali, meski masih entah kapan karena keterbatasan ruang kemo dan obatnya.

      Salam dan doa yang baik-baik kembali dari Bogor.

      Hapus
  6. benaar2 menjadi hikmah membaca semua tulisan bunda....
    mulai menata lagi pola-pola makan selama ini. perjuangan bunda juga patut dijadikan cerminhidup.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya mengalami sendiri nak Ina. Jadi saya tahu betapa susah dan menderitanya orang sakit kanker. Makanya saya ingin menuliskan semuanya di diary saya supaya banyak orang yang bisa mengakses pengalaman pahit saya dengan harapan bisa jadi bahan pelajaran dan renungan ya.

      Terima kasih sudah mampir ke sini. Yang di rumah lama malah sudah sampai ke bagian ke 70. Lumayan lama sih saya mulai nyusun yang di sana.

      Hapus

Pita Pink