Powered By Blogger

Rabu, 27 Februari 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (33)

Proses perjalanan saya menuju kemoterapi alhamdulillah sudah semakin matang. Setelah bersabar menunggu hasil pemeriksaan Patologi Anatomi sel kanker saya, akhirnya kemarin laboratorium menyelesaikan tugasnya. Anak saya terpaksa langsung mendatangi RS Kanker Dharmais karena berminggu-minggu lamanya dari tenggang waktu 4 hari kerja yang dijanjikan pihak Rumah Sakit kami tak menerima kabar apa pun. Padahal setiap hari kami patuh menelepon pihak RS ke nomor yang mereka berikan tanpa ditanggapi.

Seraya berangkat ke kampus menyelesaikan urusan administrasi semester barunya, anak saya meninggalkan rumah pagi-pagi. Sampai di RSKD sekitar pukul sepuluh pagi sudah banyak pasien mengantri di loket pengambilan hasil. Padahal ketika dulu kami datang untuk memeriksakan jaringan sel kanker saya, pada pukul sekian itu sepi orang. Seingat saya hanya ada dua-tiga orang datang plus sejumlah manusia lalu lalang melintasi pintu laboratorium.

Kalau dipikir-pikir, agaknya semakin lama semakin banyak orang sakit kanker saja rupanya. Sebab anak saya bilang, di antara pasien itu ada yang datang dari daerah termasuk dari RS tempat saya berobat sekarang. Pasien yang satu itu ngotot bertengkar dengan petugas laboratorium karena merasa sudah terlalu lama menunggu hasil tanpa ada kejelasan. Dia seperti halnya saya, diminta dokter kami untuk mendapatkan hasil segera. Dalam adu pendapatnya dia sempat berujar, dokter amat membutuhkan hasilnya segera, itu sebabnya dia mengalah berangkat sendiri ke Jakarta tanpa melalui jasa RS tempat kami berobat di Bogor. Dan keluhannya ini disahuti oleh pasien lain yang sepertinya juga datang dari luar kota. Sama seperti kami, dokternya menghendaki hasil segera, sebab siapa pun tahu nyawa kami berpacu dengan waktu agar tak keduluan direnggut kanker yang jahat itu.

Adapun pihak RSKD menjawab bahwasannya pada prinsipnya mereka melayani permintaan sesuai tanggal masuknya pesanan. Artinya mereka tak mengenal pemeriksaan segera. Untuk itu mereka berkilah sebagai RS pemerintah, mereka punya keterbatasan personal sementara menjadi rujukan untuk penanganan penyakit kanker nasional, yang artinya menerima kiriman jaringan yang akan diperiksa dari seluruh penjuru Indonesia. 

Anak saya sempat hendak mendebat, berniat mengatakan mengapa mereka tidak pernah mau mengangkat telepon yang mereka berikan nomornya sebelum pasien atau keluarganya datang ke RS lalu kecewa begitu. Tapi diurungkannya mengingat perdebatan justru akan menambah lama pelayanan. Akhirnya anak saya melenggang pergi, sambil berkata di dalam hatinya, bahwasannya bahkan seorang dokter yang merupakan salah satu direktur di RS itu pun tak kuasa menembus birokrasi RS yang panjang. Ya begitu adanya, suasana kerja di RS pemerintah serba diwarnai keterbatasan. Dalam pada itu, deringan telepon di sana kedengaran terus-menerus tanpa putus namun tak ada yang beranjak untuk mengangkatnya. 

***

Telah selesainya hasil pemeriksaan patologi anatomi yang satu itu bukan berarti saya segera dikemoterapi. Ada satu pemeriksaan lainnya yang dijanjikan selesai dalam seminggu dengan jatuh tempo hari ini. Jadi pagi ini saya akan langsung mengecek ke RS tempat saya berobat, supaya saya bisa segera ke dokter malam harinya.

Dalam pada itu, saya sudah yakin bahwa permohonan Jamkesda saya akan ditolak pihak Dinkes mengingat riwayat keluarga saya dulunya dan keterbatasan dana yang ada di kas Pemda untuk rakyat yang begitu banyak. Jadi saya pun sudah tak ingin lagi mengurusnya. Percuma saja, saya cuma membuang banyak enerji yang mestinya bisa saya simpan untuk meredakan nyeri saya yang tak bisa dibilang ringan ini.

Teman SMP saya yang setia membenarkan bahwa nyerinya kanker itu luar biasa. Suatu sore menjelang akhir pekan tanpa terduga tiba-tiba teman-teman saya semasa SMP empat puluh tahun lalu tiba-tiba mengetuk pintu rumah saya. Seorang di antaranya, Butet gadis Tanah Karo kelahiran Bogor yang juga teman saya di SMA nampaknya langsung datang dari kantornya. Di tangannya masih terjinjing tas kerjanya yang sarat dengan kertas-kertas yang saya yakini pasti isinya penting untuk dokumen negara. 

Dia bilang dia teringat masa-masa almarhumah ibundanya menderita kanker kulit. Dia setia merawatnya termasuk mengantarkan berobat ke RSKD demi kesembuhan ibunya yang sayangnya tak pernah tercapai. Sambil memperhatikan keadaan saya yang walau pun nampak bugar dan gemuk tapi tak bisa disangkal tetap mencirikan orang sakit, dia bilang pelayanan RSKD memang lamban. Ditengarainya itu akibat banyaknya pasien yang datang nyaris dari seluruh penjuru Indonesia. Kata Butet di masa ibunya sakit beberapa tahun lalu itu, RSKD sudah sangat padat terutama di bangsal praktek para ahli kanker. Dia pun punya kesan yang sama soal keadaan di sana, seperti yang saya katakan, muram durja. Dia tak menyangkal banyak pasien yang merintih-rintih kesakitan, serta mereka yang cuma bisa duduk diam pasrah di atas kursi rodanya atau bahkan berbaring saja di bangku-bangku tunggu. Bahkan dia masih sangat ingat betapa ketika dia mendampingi ibundanya melakukan pemeriksaan yang menggunakan aneka mesin berteknologi canggih di lantai bawah tanah RS itu suasananya pun sama saja. Dingin dan menggigilkan nyali siapa pun di dalamnya. Tak lepas dari ingatannya para pasien yang sudah dirawat dibawa ke ruang pemeriksaan itu dengan tempat tidur mereka lengkap beserta peralatan penunjang hidup mereka. Menurut Butet, ngeri sekali. Aduhai, ternyata gadis Batak yang satu ini hatinya begitu rapuh mudah tersentuh rupanya.

Butet bilang ibunya kerap menangis kesakitan akibat luka-luka kanker kulitnya. Beliau pun mengalami perawatan di tempat yang sama dengan saya. Hingga sekarang kata Butet, plester dan pembalut sisa perawatan luka ibunya masih disimpannya sebagai kenang-kenangan akan ganasnya kanker agar dirinya waspada menjaga kesehatan tubuhnya sendiri. Kanker yang membutuhkan biaya perawatan mahal memang sebaiknya diwaspadai dengan mengatur pola hidup dan pola makan, terutama bagi orang yang mempunyai riwayat penyakit kanker pada keluarganya.

Seorang teman saya lainnya lagi juga menceritakan soal luka kanker di pipi almarhum adik lelakinya yang tumbang oleh kanker otak di usia yang masih muda. Pipi yang semula mulus katanya berubah jadi keropeng-keropeng yang membuat lubang menganga mengerikan. Sudah tentu sakitnya bisa dibayangkan. Tak terkatakan, begitulah. Jadi artinya saya tak seorang diri.

***

Perjalanan pagi ini saya mulai pukul tujuh kurang seperempat menunggu angkutan kota kosong dari pelajar dan pegawai. Benar saja, saya bisa duduk enak hingga mencapai RS. Saya mendaftar untuk ke dokter nanti malam, mendapat nomor urut dua belas. Tak mengapa, yang penting masih dapat giliran, karena dokter memang membatasi pasien hanya 20 orang setiap praktek yang seminggu dua kali itu. Setelah itu saya ke laboratorium mengecek hasil pemeriksaan lengkap. Sedikit menunggu giliran, akhirnya milik saya disodorkan juga. Ternyata, tak seperti bayangan saya, itu bukanlah pemeriksaan laboratorium lengkap, sebab hanya berisi pemeriksaan kadar kreatinin yang tidak saya mengerti arti dan fungsinya bagi pasien kanker yang akan menjalani kemoterapi. Tapi tak mengapa, saya bisa menanyakannya kepada dokter nanti malam.

Selepas dari RS saya langsung ke Puskesmas dengan membawa SKTM saya supaya mendapat surat pengantar rujukan yang masih harus diperlihatkan lagi di Kecamatan dan Kantor Dinas Kesehatan Kota sebagai pihak yang berwenang untuk mengesahkan penggunaan SKTM saya. Lagi-lagi dokter Kepala Puskesmas yang seorang perempuan muda itu menekankan bahwa saya tak mungkin lolos menerima Jamkesda dengan alasan yang sudah dikemukakannya dulu, yakni riwayat keluarga saya serta kondisi rumah tinggal kami yang sebetulnya merupakan milik anak-anak saya pemberian ayah mereka berdasarkan akta hibah. Beliau bilang dengan sabar, sebetulnya untuk mendapat SKTM pun saya sudah termasuk warga yang diistimewakan karena aparat di desa saya punya pertimbangan tersendiri dalam meloloskan SKTM saya dengan alasan kemanusiaan. Betapa sulitnya ternyata mengungkit sisi-sisi kemanusiaan pada manusia Indonesia sekarang ini.

Akhirnya saya diberi pengantar rujukan juga, lalu bergegas ke Kecamatan yang letaknya amat jauh dari rumah supaya masih bisa sampai di DKK sebelum jam istirahat makan siang. Senang sekali rasanya di sana saya cuma butuh waktu lima menit guna pengesahan Camat. Sehingga tiba di DKK tepat menjelang waktu istirahat. Masyarakat yang mengantri tinggal sedikit, lalu saya pun dilayani segera. 

Demi melihat sosok saya serta alamat rumah saya, petugas di sana membelalakkan matanya tak percaya. Ya, siapa sangka penghuni perumahan menengah ke atas butuh SKTM begitu bukan? Petugas perempuan itu mulai dengan tanya-jawabnya yang terkesan menuduh saya cuma mau mencari untung saja. Sehingga saya terpaksa memprotes dengan penjelasan yang rinci. Tak saya pedulikan lagi pembicaraan kami didengar orang banyak, karena memang untuk masalah yang sebetulnya bersifat sangat pribadi begitu tak disediakan ruangan tertutup yang khusus. Hanya ada loket yang dibatasi dinding kaca di antara kami pemohon dengan petugas DKK.

Karena tak bisa mencapai titik temu, petugas itu memanggil atasannya, seorang perempuan juga yang kelihatan benar perempuan Jawa. Apalagi setelah saya dengar logat bicaranya. Tak ada bedanya, si atasan juga ngotot tidak memenuhi permintaan saya, kecuali anak saya sebagai pengampu saya bersedia membuat surat pernyataan tak mampu mendanai kemoterapi saya, serta pernyataan bahwa dia hanya bekerja di sebuah kantor swasta kecil tanpa jaminan kesehatan dilengkapi dengan memperlihatkan slip gajinya. 

Lunglai saya mendengar penjelasan itu. Walau saya mengerti, tapi saya minta supaya saya boleh melengkapinya kemudian karena jadwal kemoterapi saya akan tertunda lagi oleh masalah ini. Si pimpinan mengatakan, dia hanya menjalankan aturan, dalam pemberkasan itu harus dilengkapi dulu supaya pihak RS yang saya datangi tidak mempermasalahkan juga. Tak terasa suara saya mulai bergetar menahan sedih, sehingga si petugas loket terpaksa membuka kembali berkas saya dan membacanya teliti. Begitu didapati di Kartu Keluarga saya bahwa saya menumpang di rumah anak saya yang tercatat sebagai Kepala Keluarga dengan status masih mahasiswa, kala itu, akhirnya saya ditanya mengapa bisa terjadi demikian. Sekali ini saya tegaskan lagi bahwa takdir menghendaki demikian. Tapi kali ini saya berhasil menahan lelehan kesedihan saya. Saya katakan, kalau saya tidak boleh dikemo, saya akan menyerah pada pintu kematian. Pernyataan saya mengundang komentar si pimpinan, karena serta merta dia menyahuti bahwa kasus penundaan kemoterapi tidak akan membawa kematian fatal seperti kasus penundaan haemodyalisis alias cuci darah. Untung anak buahnya bisa menangkap inti pembicaraan saya segera dengan baik. Dia kemudian menjelaskan permasalahan saya sesungguhnya kepada si pimpinan, yang akhirnya berbalik menyetujui pemberian SKTM itu tanpa banyak aturan lagi. Dan berkas-berkas saya lolos proses tujuh menit kemudian sambil mereka menutup loket dengan tulisan "ISTIRAHAT". Alhamdulillah, walau saya mesti menahan kekecewaan tapi ah, Allah masih mencarikan jalan yang baik untuk menyelesaikan kesulitan hidup saya. Saya jadi semakin percaya saja bahwasannya hidup kita ini semua ternyata memang sepenuhnya dijamin oleh Allah. Alhamdulillah!

(Bersambung)
 


9 komentar:

  1. heran memang, pihak rumah sakit suka ngasih nomor telpon tapi ga pernah diangkat, aku juga ngalamin bun... katanya bisa daftar via telpon, boro-boro konek, susah banget nyambungnya. Kadang konek pun dilempar sana sini akhirnya putus sendiri...

    beda ama RS Swasta Internasional, dering sekali aja udah diangkat, trus kalo dokternya telat kita di sms ngasih tau kalo dokternya telat. Trus kalo kita pasien baru pasti diingatkan kalo hari itu ada janji dengan dokter A .. jadi mereka yang selalu menghubungi kita..

    well apapun itu, kesabaran bunda udah luar biasaaaaaa.. semoga Alloh memberikan yang terbaik buat bunda ya..

    *peyuk*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pelukan balik dulu ah mbak Ay.

      Iya di luar negeri pun begitu, selalu pasien diingatkan dengan SMS reminder baik pasien baru maupun lama. Kalau dokternya telat ya ada pemberitahuan via SMS juga. Di RS Pemerintah kita, nggak mungkin terjadi karena tenaga pegawainya terbatas, nggak mencukupi semua tugas-tugas kemanusiaan RS.

      Lanjutannya besok-besok lagi ya, saya sudah capek. Selamat malam!

      Hapus
    2. Jujur membacanya saya ikut lelah, harusnya pasien nggak dibebani lagi oleh hal2 yg menambah fikirannya seperti ini. Fokus aja dengan upaya pengobatannya, tapi di negeri ini kita harus lebih banyak menguatkan kesabaran.

      Saya tak putus berdo'a buat Ibu, semua inni nggak akan sia-sia Ibu, Ibu insya Allah bisa sembuh, aamiin.

      Hapus
    3. Saya juga nggak pernah berhenti mengucapkan terima kasih atas kebaikan dan doa nak Winny :-)))

      Memang ngurus SKTM itu bikin capek hati dan badan. Ini masih ada lanjutannya ternyata, yang bikin saya ketar-ketir lagi. Ternyata untuk kemo nggak bisa langsung aja datang, mesti lewat proses yang panjang lagi termasuk RS mengontak Dinkes untuk konfirmasi dan verifikasi apakah obat-obat yang harganya ternyata di atas lima puluh juta ~tadi dibocorkan apoteker~ itu betul akan didanai Dinkes. Duh, miriiiiisssss.........

      Hapus
    4. duh bunda, mohon maaf saya salah mengira kalau urusannya sudah beres sampai disini dan bunda tinggal2 siap2 kemonya saja :(

      semoga bunda tetap semangat seperti yang udah2 ya...

      doa dan peluk dari jauh...
      /kayka

      Hapus
    5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    6. Kak Ika nggak salah lho, cuma sayanya aja yang pikirannya lagi nggak bisa jernih, jadi salah paham, salah tangkap melulu termasuk soal prosedur kemo.

      Peluk balik dari sini ah.

      Hapus
  2. duh beratnya bun, gak satu2 harus dipikirin. benar2 menguras energi yang seharusnya bunda simpan untuk persiapan pengobatan kemoterapi nanti.

    tapi turut bersyukur dan ikutan senang ketika akhirnya SKTM bunda disetujui *alhamdulillah yra* doa dari jauh semoga pengobatan kemoterapi bunda berjalan dengan lancar, amin yra...


    salam
    /kayka




    BalasHapus
    Balasan
    1. Kak Ika, ini baru lembaran awal lho dari perjuangan kemoterapi. Susah ternyata ngurusnya sampai terlaksana, ribet dan menguras emosi, nggak hanya energi. Mendingan di LN deh. Masuk RS tinggal sodorkan Krankenversicherung, beres!

      Hapus

Pita Pink