Powered By Blogger

Selasa, 05 Maret 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (35)

Penyakit kanker payudara yang dihadiahkan Tuhan kepada saya benar-benar membuat saya mengerti artinya berkah. Membawa saya kembali ke titik nol di mana saya belum mengenal sama sekali apa itu hidup dan bagaimana kita harus menatanya.

Bayangkan saja, dulu saya memang sembrono melakoni hidup ini. Seperti pernah saya ceritakan dulu, saya termasuk orang yang tidak suka berolah raga, juga bukan penggemar sayur mayur yang utama. Hidup saya hanya diasup oleh protein baik hewani maupun nabati. Rasanya makan tak lezat kalau tak ada sepotong daging di pinggan. Begitu pun minum, jika saya tidak meneguk kopi barang sehari, maka rasanya dunia belum bersinar terang.

Bahkan ketika ibu mertua saya meninggal mendadak setelah menderita sakit perut yang didiagnosa sebagai kanker hati, saya pun tidak merasa takut akan ancaman kanker itu. Tapi di masa itu saya jadi tahu bahwa makan masakan yang sudah kerap kali dihangatkan, yakni masakan yang sudah berhari-hari akan merusak kesehatan dan membawa kematian. Apalagi jika tubuh yang dimasuki masakan "basi" begitu cenderung kurang beristirahat.

Dulu saya menganggap ringan segala yang badan saya rasakan. Termasuk nyeri di bagian pinggul saya, yang kemudian ternyata disebabkan oleh tumbuhnya jaringan sel yang tidak normal di otot rahim serta kista-kista jinak pada indung telur saya. Saat itu  saya tidak menganggapnya serius. Saya pikir kemajuan teknologi kedokteran mampu meredam sel-sel jinak itu sehingga tak akan pernah bisa bermutasi menjadi sel ganas. 

Saya keliru saudara-saudara semua. Kenyataannya tidaklah demikian. Payudara saya yang ditumbuhi benjolan kemudian terasa sakit dan gatal. Anehnya dengan percaya diri saya menganggap bisa menaklukannya lewat pengobatan herbal. Meski sebetulnya jujur saja saya akui bahwa penyebab utamanya adalah ketiadaan biaya untuk berobat ke Rumah Sakit. Kata-kata kanker, sel ganas, mastektomi, kemoterapi dan radiasi membawa bayang-bayang angka rupiah yang tak mungkin akan pernah mampir di kantung saya guna pengobatan itu. Artinya saya harus memutar otak untuk menyiasati ketidak mampuan finansial saya guna menghentikan penyakit mematikan ini agar saya masih bisa mendampingi anak-anak saya hingga mandiri. Itulah sebabnya saya amat mendewa-dewakan pengobatan sinshe.

***

Sampai saatnya saya merasakan himpitan beban ini terangkat pelan-pelan oleh sesuatu kekuatan yang tak pernah terbayangkan. Seiring dengan menyuburnya penyakit mengerikan ini di tubuh saya, tiba-tiba menyubur juga kasih sayang Illahiah kepada saya dan keluarga. Teman-teman lama yang sengaja saya hindari sejak saya difitnah orang, berdatangan satu demi satu mengulurkan tak hanya senyum sapa persahabatan, melainkan bantuan finansial untuk saya. Lebih dari itu, mereka juga menyiapkan pemikiran mereka untuk memecahkan kesulitan saya. Dengan telaten yang saya yakini disebabkan Tuntunan Allah semata, saya dibujuk serta diantarkan ke dokter di Rumah Sakit besar yang memang merupakan pusat rujukan penyakit kanker nasional. Itu semua tanpa saya harus berpayah-payah memikirkan biayanya.

Seiring dengan itu, teman-teman dekat semasa sekolah pun bermunculan satu demi satu mengirimkan bantuan serta terutama doa-doa baik mereka demi menyemangati saya melawan penyakit ini. Lalu masih ditambah dengan bantuan teman-teman pena saya yang berasal dari pertemanan maya di jejaring sosial turut mengangkat beratnya beban saya. Beban saya? Ah, bukan, lebih tepatnya beban anak-anak saya, karena saya hanyalah seorang pengangguran, tak punya lagi pasangan hidup yang terpaksa ditumpangkan ayah mereka ke tangan anak-anak kami yang belum seorang pun hidup mapan atau mandiri. 

Kenyataan inilah yang membuat saya merasa amat bersyukur sekarang. Persis seperti judul sebuah buku tulisan penderita kanker indung telur yang diberikan kepada saya oleh salah seorang teman maya saya, "Bersyukur atas Rahmat Kanker Indung Telur", maka saya pun bersyukur telah ditegur Allah untuk memperbaiki pola hidup dan diri saya sebelum ajal menjemput. 

Bilakah ajal akan menjemput manusia? Tak akan ada jawabnya, karena kunci semua itu hanya ada di Tangan Allah. Tapi tak ada salahnya manusia bersiap diri dengan tafakur yang dalam.

Tafakur adalah perenungan diri, dengan cara menyerah kepada Allah atas segala hal yang terjadi dengan kehendakNya. Lalu dalam perenungan itu kita mencoba untuk memperbaiki mana yang tak patut dibawa sebagai bekal untuk mencapai surga. Sambil meningkatkan apa-apa yang sudah baik selama ini.

***

Lewat penyakit yang semakin hari semakin menggerogoti ketahanan tubuh saya, saya kini jadi mengerti betapa hidup itu amat berat. Terutama di Indonesia sini dalam posisi sebagai pengangguran atau masyarakat berpenghasilan rendah. Sebab, untuk meringankan beban teman-teman saya yang saya katakan dengan suka rela membiayai saya berobat ke dokter saya terpaksa harus meminta bantuan pemerintah lewat skim pendanaan kesehatan yang dicanangkan pemerintah. Kalau tidak begitu, alangkah malunya saya, berobat dengan mengemis belas kasihan kepada teman-teman yang jadi kena getah dari keadaan saya kini.

Saya berkesempatan bertemu dengan masyarakat luas karenanya. Kebanyakan adalah orang-orang semacam saya yang tidak punya penghasilan tetap. Seorang di antaranya adalah penjaja barang dagangan yang mengidap penyakit melumpuhkan Myasthenia Gravis. Penyakit yang menyerang otot-otot syaraf ini tentu menyulitkan penderitanya dalam segala hal. Di kantor Dinas Kesehatan Kota (DKK) saya temui seorang bapak tua yang seakan-akan melolong-lolong minta dimengerti dan dikasihani oleh pihak DKK agar diberi dana untuk pengobatan anaknya yang penghasilannya tak seberapa dan tak menentu itu.

Selain itu di sisi lain seorang perempuan dengan lelaki yang lebih muda yang patut disebut anaknya juga nampak menunggu dengan pasrah pengajuan dana untuk cuci darah kerabatnya. Saya sudah dua kali berjumpa dengannya. Kali itu saya beranikan diri untuk menanyai siapakah yang sakit. Jawabnya, kakak perempuannya, ibunda dari lelaki yang ada di sampingnya itu. Gagal ginjal terminal yang merenggut seluruh stamina kakaknya membuat perempuan itu setiap sekian waktu sekali harus rela berpayah-payah menunggu dalam antrian membaur bersama saya untuk mengesahkan Surat Keterangan warga Tidak Mampu (SKTM) yang akan dipakai memperpanjang nyawa kakaknya. Jika tidak, nyawa kakaknya melayang, karena tindakan cuci darah adalah hal terpenting bagi pasien gagal ginjal terminal. Saya pernah menyaksikan bocah berumur tiga belas tahun yang nampak tambun dengan pipi bulat sebulat kepalanya tapi berkulit amat pucat. Kata orang tuanya, dia menderita gagal ginjal yang menyebabkan dia sulit untuk berkemih serta lemah. Sayang sekali sebab seharusnya dia bisa hidup normal bersekolah dan melakoni semua kegiatan yang bersifat senang-senang sebagaimana anak lainnya.

Ada lagi lelaki paruh baya yang kelihatan lusuh dan tua tak terawat. Seraya mengobrol dengan saya, akhirnya saya ketahui bahwa dia berada di situ untuk mengurus pengobatan kemoterapi istrinya yang sama halnya dengan saya adalah juga penderita kanker payudara. Sebagai seorang pemburu berita di media lokal yang tentunya bertiras kecil bisa dibayangkan beratnya mendanai ongkos pengobatan itu. Mulutnya bertutur bahwa dia sampai harus menghadap berbagai pihak termasuk orang nomor satu di kota kami guna minta diluluskan mendapat SKTM. Lalu berbekal catatan tangan si pejabat, pihak DKK memberikan kepadanya. Apakah masyarakat dengan penghasilan yang tak seberapa harus mati karena tidak berhak memperoleh bantuan negara? Miris saya membayangkan jawabannya.

***

Hari ini saya menerima balasan E-mail dari teman DWP saya yang menjadi penanggung jawab urusan medis saya selama berobat ini karena merupakan dokter di RSKD atas pertanyaan saya mengenai penggunaan SKTM di luar wilayah kota Bogor. Dokter itu bilang, di Jakarta SKTM dari kota Bogor hanya bisa berlaku di RSUPN dr Tjipto Mangunkusumo dan RS Fatmawati. 

Saya mengerti, RSKD penuh pasien seperti yang saya saksikan sendiri dan saya dengar keluhan-keluhan tentang lambannya pelayanan selagi saya sendiri berobat jalan ke sana. Sebab itu jumlahnya harus dibatasi antara lain dengan pembatasan pasien dengan jaminan SKTM.

Haruskah saya bersedih karena artinya saya hanya akan dikemoterapi di Bogor pada RS yang kecil dan tak punya staff khusus yang ditugasi mengawasi kemoterapi? Di satu sisi jujur saja, rasa tersisih itu memang ada. Tapi saya tak langsung jadi kecewa. Sebab dengan jernih saya bisa berpikiran bahwa di Bogor sini meski tak bisa sebaik di RSKD tapi mudah dijangkau dari rumah. Artinya memudahkan anak saya dalam mengantar dan menunggui proses kemoterapi saya. Syukuri saja semuanya, sebab aturan itu Allah juga lah yang menetapkannya, yang jika kita terima dengan lapang dada, hasilnya insya Allah adalah kesembuhan belaka. Insya Allah, semoga Allah mengabulkannya.

(Bersambung)

13 komentar:

  1. Wah, masa' iya sih....... Nak, memangnya kenapa?

    BalasHapus
  2. Eh tadi via E-mail ada komen nak Winny, tapi di sini kok malah nggak kelihatan ya?

    Pokoknya saya aminkan doanya, dan sekali lagi untuk selamanya, terima kasih atas kebaikan nak Winny ya.

    BalasHapus
  3. selalu terharu baca cerita budhe....
    Semoga Allah senantiasa memudahkan hidup kita, amin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amin-amin-amin. Maaf ya nak Puji, jadi bikin sedih, tapi well that's life! Beruntung deh PNS kayak nak Puji punya ASKES.

      Hapus
  4. saya ikut miris membayangkannya bun, bagaimana jadinya dgn pasien2 lain yang memerlukan pengobatan yang sama tapi tidak punya akses apa2 :(

    salut bunda masih bisa berpikiran jernih. selain yang bunda tulis diatas bunda bisa menghemat tenaga tdk kelelahan diperjalanan. pengalaman saya pribadi rs kecil personalnya lebih perduli dan perhatian.

    salam
    /kayka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selama ini pemikiran saya memang suka nggak sejalan sama pemikiran orang lain pada umumnya. Praktis, mungkin itu istilahnya. Tapi ya saya nggak merasa malu atau sedih sih. Kalau orang lain mungkin mikirnya, berobat di RSKD kan peralatannya lebih lengkap, lebih canggih. Istri dokter saya juga dulu bilang sama saya di rumah mereka, bahwa suaminya biasanya kalau udah urusan mau ngoperasi pasien, pasien Bogor disuruh ke RSKD sebab theater di RSKD canggih, dibandingkan di Bogor sini. Tapi saya kok mikirnya lain, walau di sini theaternya kurang canggih, yang penting dokternya ilmunya up to date, jadi bisa ngoperasi dengan baik, tinggal dia bon pinjam peralatannya dari Jakarta apa yang kira-kira di Bogor nggak ada, pastinya hasilnya bagus juga. Itu pikiran saya.

      Terus soal biaya, ada yang nganggap saya kayaknya malah kesenengan ada bantuan dana dari sana-sini, kesannya bangga gitu kalau saya bisa ngemis. Saya malah mikir kebalikannya. Jelas saya bangga, tapi bukan karena saya ngemis, karena orang lain bisa berbuat baik dan beramal lha kok Allah menunjuk saya sebagai ladang amal mereka hehehehe.........

      Beda banget nggak sih pola pemikiran saya dengan orang-orang pada umumnya???

      Hapus
    2. benar bunda yang paling penting dokternya... dulu saya ingat rscm suka dianggap tdk prestisius. padahal semua dokter ahli yg top2 dibidangnya disanalah sarangnya.

      bunda pikirannya berbeda dan praktis krn pernah lama tinggal diluar. bunda mesti ngerti maksud saya. tinggal diluar terutama di eropa bikin pikiran kita jadi simpel dan realistis. gak ribet. saya ingat bun dulu waktu masih di jakarta ya mental orang kita pada umumnya. ngikut milih tempat yang dipilih orang2, gak peduli waktunya habis dijalan. dibela2in deh. kalo inget suka malu sendiri.

      sekarang? gak lah bun. jadi kebiasaan ngakses yang gampang dan deket2 dulu. sempet bentrok budaya juga bun, maklum kebudayaan kita 24 jam gak cukup. nah dibagian ini menurut saya org sinipintar untuk menyetop frekuensi. ok sekarang waktunya istirahat dst. jadi grafiknya gak tinggi terus, mesti diturunin juga supaya, istirahat. setelah istirahat batere penuh grafiknya bisa naik top lagi.

      salam
      /kayka

      Hapus
    3. Cocok nih saya sama pemikiran kak Ika :-)

      Hapus
  5. Gak apa-apa dikemo di RS kecil, Bund... pan kita punya Tuhan yang besar, yang bisa kasih kesembuhan.
    Semangaaaaat yaaa...
    *peluk sayang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tuh betul 'kan?! Dokternya aja yang tadinya risau setelah dia baca report dari laboratorium patologi yang terakhir. Tapi kemarin udah deal kok sama beliau, walau cuma percakapan via SMS tapi beliau bisa mengerti kenapa akhirnya saya milih dikemo di Bogor aja.

      Peluk balik ya, saya tetap semangat kok!

      Hapus
  6. Memang jalan terakhir adalah kepasrahan, menerima semua jalan yang ada dengan optimis. terbayang oleh saya hari-hari bunda adalah penuh pahala karena ini adalah perjuangan berat yang hanya bisa dilewati dengan kesabaran.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untungnya saya nggak seorang diri berjuang. Kedua anak-anak saya, terutama si bungsu yang masih tinggal di rumah ikut mengurus semua keperluan saya. Belum lagi teman-teman Dharma Wanita saya di Kemenlu, berjuang keras untuk mengadakan dana supaya saya bisa berobat di RS. Jadi ibaratnya perjuangan saya terasa ringan.

      Saya bersyukur karena penyakit ini telah mendatangkan banyak pahala, amal kebajikan untuk banyak orang termasuk teman-teman maya kita yang juga sangat setia memantau perkembangan kesehatan saya serta memberikan support baik moral maupun material. Alhamdulillah wa subhanallah, semua itu karunia Illahi untuk saya.

      Hapus

Pita Pink