Powered By Blogger

Selasa, 12 Maret 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (36)

Penyakit enam huruf yang persis sama dengan rasi bintang saya kian menunjukkan kesewenang-wenangannya. Setelah saya tidak sempat bertemu dua minggu dengan dokter onkologi yang merawat saya dengan alasan beliau cuti, tadi pagi luka di tumor saya mengucurkan darah segar yang sangat masif. Cairan merah cabai itu dengan semena-mena memancar membasahi kasur, kemudian lantai rumah hingga bathtub saya ketika akhirnya saya memilih berbaring di kamar mandi untuk meredakannya. Untung hari ini hari libur nasional sehingga anak bungsu saya ada di rumah untuk menolong saya. Lebih bersyukur lagi dia cekatan merawat luka saya, tanpa ngeri dan jijik pula. Darah yang banyak itu dilapnya dengan kain pel, kain pelapis tempat tidur saya dicucinya, bahkan badan saya pun dimandikannya kembali dengan hati-hati. Bahkan saat luka saya dibalutnya, tanpa mengeluh atau menyeringai dia menekan sumber keluarnya darah itu perlahan namun kuat. Sehingga dalam sekejap kapas menjadi merah berlumuran dan perlu segera diganti dengan yang bersih. Nyaris segenggam kapas dihabiskannya yang saya tahu pasti amat menjijikkan, meski tidak untuknya. Aduhai berbaktinya anak ini kepada saya, yang katanya adalah asal mula kehidupannya di dunia ini. Saya pun menelan keharuan saya karenanya, sebab saya takut dia mengira saya menangis kesakitan. Saya tak mau dia tahu apa yang saya rasakan saat itu.

Cancer atau kanker, kemoterapi dan mastectomy atau pembuangan payudara dan jaringan kelenjar getah bening di ketiak adalah "hantu" yang merajai setiap perempuan dengan benjolan di dadanya. Meski pada diri saya cuma satu, sebelah sisi dada saja, tetapi "kejahatannya" menyiksa saya. 

Memang salah saya terlambat mengobatkan diri ke Rumah Sakit pada seorang dokter ahli bedah kanker atau onkologis. Tapi salah rumah sakit juga yang membuat nyali semua orang menciut ketika mendengar deretan angka yang menandai ongkos berobat para pesakit kanker. Kemoterapi itu berbilang puluhan juta untuk sekali berobat, yang artinya memakan biaya ratusan juta sampai pengobatan tuntas. Mastektomi juga tidak murah, meski di luar negeri saya melihat ada pasien-pasien kanker payudara yang menginap di RS cuma semalaman saja. Di samping itu ada biaya kontrol rutin ke klinik serta perawatan luka dan obat-obatan penahan nyeri, anti muntah dan sebagainya yang menunjang kenyamanan pasien selama sakit. Memang begitu kenyataannya, banyak pasien yang dikemoterapi kemudian merasa pusing, mual-mual serta letih-lemah. Walau yang nampaknya baik-baik saja pun tak kalah banyak. Pokoknya pengobatan kanker itu mahal. Saya mengalaminya di masa lalu ketika bertumbuhan jaringan-jaringan liar di alat reproduksi saya yang meski bukan jaringan ganas alias kanker, tapi perlu juga diobati dengan tuntas. Walau nyatanya tak kunjung tuntas hingga menjadi ganas seperti sekarang berpindah tempat ke daerah lain yang masih bisa diserangnya.

Untunglah akhirnya kemarin siang saya ditelepon pihak RS tempat saya terdaftar sebagai pasien. Katanya kamar untuk kemoterapi saya sudah ada. Semula dikira kepala perawat kamar kemoterapi saya sudah memeriksakan kesehatan saya secara lengkap. Begitu saya katakan saya belum pergi ke internist alias dokter spesialis penyakit dalam, beliau mempertanyakan apa sebabnya.

Saya katakan bahwa kemoterapi saya sebetulnya terjadwal untuk tanggal dua Maret yang sudah lampau, tapi belum bisa dilaksanakan karena terkendala masalah administrasi, di antaranya ketersediaan obat. Waktu itu saya sudah pergi ke laboratorium dan akan sekalian ke internist, tetapi ditolak klinik dokter internist mengingat jadwal kemoterapi saya belum jelas waktunya. Kata mereka pemeriksaan internist adalah semacam izin untuk melaksanakan kemoterapi, jadi artinya harus dilakukan sehari atau dua hari menjelang kemoterapi. Untung perawat yang akhirnya berbincang-bincang dengan anak saya bisa mengerti. Kemudian kemoterapi saya dijadwal ulang. Hari Kamis lusa (14/03) saya diminta memeriksakan diri ke internist, sehingga hari Sabtunya saya bisa dikemoterapi. Anak saya menyetujui keputusan bijaksana tersebut. Dan saya pun bisa bernafas lega karena jalan menuju kesembuhan saya semakin terealisasi.

Begitulah pengalaman berobat di rumah sakit kecil atau rumah sakit di daerah. Sarana pengobatannya amat terbatas, tak terkecuali pengadaan obat-obatannya. Saya teringat pengalaman saya merawat ibu saya penderita cirrhosis hepatitis atau pengerutan hati di tahun 1970-an hingga awal 1980-an. Rumah sakit di kota kami tidak ada, selain RS milik Palang Merah Indonesia yang digunakan sebagai semacam RSU. Artinya setiap pasien yang perlu perawatan hanya bisa dirawat di sana. Begitu juga dengan ibu saya. Waktu dokter meresepkan obat infus, seringkali pihak RS tak bisa menyediakan, sehingga keluarga pasien harus mencari sendiri ke luar RS. Jika beruntung saya bisa membelinya di apotik-apotik besar yang jumlahnya juga sedikit. Tapi jika mereka pun tidak punya, terpaksalah kami berangkat ke Jakarta, ke sebuah apotik di daerah Kwitang yang merupakan apotik swasta dengan persediaan nyaris lengkap.

Namun suatu malam ternyata obat itu tak juga tersedia di sana. Padahal sudah seharian ibu saya mulai tidak sadarkan diri, sebagaimana biasanya terjadi terhadap pasien cirrhosis hepatitis kronis. Kami pun panik karenanya. Untung secara tak sengaja kakak saya yang saya mintai tolong ke apotik melihat papan nama dokter yang menumpang praktek di sana. Dan, secara tak terduga ada dokter ibu kami! Bergegaslah kakak saya menuju ke ruang prakteknya yang sarat pasien. Tanpa sungkan-sungkan lagi kakak saya segera mengatakan niatnya ingin menemui dokter. Lalu dokter itu terpana menyaksikan kakak saya sudah berdiri di hadapannya dengan membawa selembar resep berkepala surat RS PMI Bogor. 

Kakak saya segera mengutarakan permasalahan kami. Dan dokter yang haji itu pun paham kegundahan kami, terutama saya yang diketahuinya setia mengantar ibu saya ke dokter hingga menungguinya di RS. Berdasarkan kenyataan itu dokter segera mengganti resep ibu saya dengan obat sejenis yang ada di stock apotik, lalu menyampaikan salamnya kepada saya yang siang harinya sengaja menghubungi dokter lewat telepon RS untuk menyampaikan kondisi ibu saya yang mulai mengkhawatirkan. Inilah penggalan pengalaman yang sekarang kembali saya alami ketika saya sakit sendiri memerlukan obat khusus.Tak sembarang obat bisa disediakan oleh apotik RS di daerah.

***

Kendala lain lagi yang saya alami berobat di RS di daerah adalah ketidaksiapan dokter melayani pasien. Contohnya dokter saya. Beliau memang warga Bogor, putra dari dokter onkologi pertama di kota kami ini. Tetapi beliau bekerja secara resmi sebagai PNS di RSKD, Jakarta, sehingga prakteknya di Bogor merupakan praktek sampingan. 

Di RS tempat saya berobat jadwal prakteknya dua kali seminggu, yaitu Rabu sore yang praktis dimulai malam, dan Sabtu siang yang seringkali dimulai sore atau bahkan batal praktek sama sekali. Ketidak tetapan waktu praktek ini dikarenakan kesibukan kerja utama beliau di Jakarta. Jika ada pasien yang harus dioperasi, maka beliau bisa mengurungkan niatnya berpraktek di Bogor, lalu mengabari RS dengan alasan beliau mengambil cuti. Itu sangat sering dilakukannya tanpa bisa diprotes, sebab setiap orang pun paham bahwa urusan sakit dan operasi pasien sifatnya tak bisa diprediksi. Pasien gawat darurat tentu mesti segera ditangani. Akibatnya kerja sampingan diabaikan saja. 

Selama dua minggu belakangan ini saya sempat tidak diperiksa dokter sama sekali. Soalnya dokter mangkir praktek dengan alasan cuti itu tadi. Sehingga saya harus menahan nyeri sebab tak ada yang bisa meresepkan obat pemati rasa (pain killer). Tadinya saya sudah kebingungan. Untung anak saya teringat tetangga kami yang berprofesi sebagai dokter gigi bersuamikan internist. Melalui anak saya yang bertandang ke sana, saya memohon dituliskan resep pain killer. Sayang internist itu sedang berpraktek di RS dekat rumah kami. Tapi untungnya sang istri bersedia menuliskannya untuk saya atas persetujuan suaminya yang dihubungi dengan telepon. Saya pun tertolong, sepuluh butir tablet tergenggam di tangan saya untuk menahan nyeri yang tak bisa saya sebutkan rasanya di sini.

Adapun kisah sepuluh butir tablet itu di tangan saya, juga menambah wawasan saya tentang profesi dokter. Ternyata dokter gigi tidak boleh meresepkan obat penahan nyeri banyak-banyak. Kalau dia sampai melanggar ketentuan itu, dia bakal dipertanyakan Dinas Kesehatan dan diperkarakan. Itu sebabnya saya mendapat sedikit saja. Namun alhamdulillah saya masih diizinkan minta resep lagi kepada suaminya lain waktu.

Sekali lagi saya tekankan, sakit kanker itu sangat menyiksa. Apalagi dalam kondisi keterbatasan pasien seperti yang saya alami. Seandainya saja saya punya asuransi kesehatan atau uang yang banyak, saya bisa menentukan ke mana saya akan berobat. Sebab semua pasien dilayani tergantung dana di sakunya. Kenyataan yang saya alami ini membuat saya semakin bisa memaknai artinya nikmat sehat lahir dan batin. Alangkah indahnya dunia di kala kita bisa melakukan semua kegiatan sesuai dengan keinginan kita. Jadi, marilah kita jaga diri kita baik-baik. Bersedialah payung sebelum hujan. Selagi tidak atau belum sakit, perhatikan pola makanan dan gaya hidup anda. Juga jika keuangan memungkinkan, ikutilah asuransi kesehatan. Uang memudahkan segalanya karena uang membeli segala-gala kemudahan yang kita perlukan!

(Bersambung)


14 komentar:

  1. asuransi memang seperti sedia payung sebelum hujan yaa budhe....
    ga bisa berkata-kata lagi budhe, semoga proses menuju kesembuhan dimudahkan dan dilancarkan Allah SWT dan budhe bisa sembuh seperti sedia kala *peluk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Jadi kalau masih bisa kerja, terus ada yang nawari ikut asuransi kesehatan ya ikut aja, soalnya penting. Jangan mikir preminya mahal. Soalnya kalau sampe sakit serius, ongkosnya lebih mahal lagi deh dibanding premi yang udah dibayarkan.

      Terima kasih lagi ya, peluk balik ah.

      Hapus
  2. tuh kan aku juga bilang gitu tadi ama Puji..
    bahagia itu adalah kala kita sehat..
    mau ngapain aja bisa..

    bund, semoga dimudahkan dalam mengatasi penyakitnya ya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lha, kenyataannya memang gitu 'kan ya teh Rin? Sakit itu cape, nyiksa deh.

      Sekarang doa saya, selalu bebaskanlah dari segala penyakit saya selamanya, angkat dan jauhkanlah dari saya, serta jauhkan saya dari pintu kematian. Itu terus doanya. Barangkali Allah sampe jeleh deh ndengerin doa yang dari itu ke itu melulu :-D

      Do'anya saya aminin ah. Saya juga mendoakan semoga teh Rin selanjutnya sehat walafiat.

      Hapus
  3. brarti kesehatan adalah segala-galanya bund....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sesungguhnya lah begitu. Orang kaya kalau sakit juga nggak menikmatinya kok. Apa kayaknya saya perlu ceritakan yang begituan ya? Ada sih contohnya.

      Hapus
  4. Sbar ya bunda, jaga dietnya juga jgn smpai hb drop krn perdarahan itu bun.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul, itu yang saya takutkan, HB drop itu kan menghalangi kemo, seperti hari ini saya minta clearance ke internist, eh ternyata tensi saya malah tinggi sekali 170/110. Bingung lah saya........... mungkin saya stress ngadepi kemo pertama ya nak In?

      Hapus
    2. Tinggi sekali bun
      Iya mgk cemas mau kemo pertama
      Rileks dl bun

      Hapus
    3. Lha, betul itu. Tapi alhamdulillah habis makan obat dari rumah, sampe ruang kemo sudah melorot malah jadi 110 thok.

      Hapus
  5. Duh Bu, itu kalo darah sampai mengucur dan memancar saya takutnya Ibu kehabisan darah. Bukan cuma HB tapi sel2 darah penting lainnya. Semoga bisa cepat tertangani ya BU. Do'aku selalu untuk Ibu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah HB saya mah nggak drop, didopping sama herbal sinshe saya tuh. Tadi udah jadi kemo pertama. Ajaib, alhamdulillah banget, saya nggak mual, muntah dan pusing-pusing sampe sekarang lho neng Winny.

      Terima kasih lagi atas perhatiannya ya. Dan salam sayang selalu.

      Eh BTW ada salah satu objek cerita saya tadi ngSMS katanya dia masuk ke blog yang ini dan dia bilang dia terharu atas perjuangan saya sungguh luar biasa katanya. Duh, jadi tersanjung campur sedih sebab ada yang kira-kira senasib dan sedang menata hati dan perasaannya sendiri menghadapi keluarganya yang jadi cancer victim, persis keadaan anak-anak saya.

      Hapus
  6. alhamdulillah lancar jaya..
    iya ini siapsiap dengan asuransi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya cuma berandai-andai masih punya asuransi, tentu saya nggak terlambat ke dokter kayak sekarang ini. Jadi sedih.............

      Hapus

Pita Pink