Powered By Blogger

Sabtu, 10 November 2012

KETIKA CINTA MENAHBISKAN LUKA

Cinta, kata lima huruf ini banyak ceritanya. Ada kisah-kisah manis yang menyertainya, tapi tak sedikit cinta justru dibumbui air mata. Tak percaya? Silahkan simak cerita saya di bawah ini yang tak bersangkut paut dengan kehidupan saya, namun jelas ada dalam jangkauan penglihatan saya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Rumah tangga yang bahagia adalah impian semua pasangan ketika baru merajut cinta. Untuk mendapatkan itu kedua makhluk yang mempersatukan diri ini menyatakan rela melakukan apa saja demi meraih kebahagiaan bersama. Cinta memang membius, bukan?

Namun sepanjang perjalanan rumah tangga itu, tak bisa disangkal ada saja batu sandungan yang mewarnai keharmonisan yang berusaha dijalani. Sehingga pada akhirnya tak sedikit rumah tangga yang goyah hingga berujung pada perceraian.

Saya tak berniat membahas masalah perceraian dan penyebabnya. Di sini saya cuma ingin menceritakan rumah tangga yang sudah terbelah begitu, yang kemudian menimbulkan masalah baru lagi seakan-akan puncak dari neraka dunia bagi mereka yang terlibat di dalamnya.

***
Sehelai kartu undangan pernikahan bergaya gedongan sampai di alamat seseorang yang berkeberatan disebutkan namanya. Semula si penerima undangan ~katakanlah namanya "X"~ mengerutkan keningnya, karena tidak mengenali si pengirim undangan. Namun setelah diteliti, terungkaplah bahwa undangan itu berasal dari kenalannya yang sudah dua kali menjanda, tapi agaknya telah menikah kembali. Si penerima undangan mengenali benar nama pengantin perempuan yang akan dinikahkan itu.

Acara diadakan dua kali. Jumat pagi di rumah kediaman mereka akan dilangsungkan akad nikah, yang diharapkan dihadiri juga oleh "X'. Diikuti dengan resepsi di sebuah gedung bertingkat yang ditaksir harga sewanya mendekati dua ratus juta rupiah karena si pengundang adalah pejabat terhormat yang merangkap pengusaha. Tentu saja karenanya relasinya sangat banyak.

Mengingat acara resepsi akan diselenggarakan malam hari, sedangkan sekarang sudah masuk musim penghujan yang selalu mewarnai udara malam dengan percikan airnya, "X" memilih hadir di akad nikah. Sebelum melangkah ke sana, "X" sendiri sudah bertanya-tanya, mengapa pengantin perempuan yang tertera di undangan ditulis merupakan putri pertama keluarga bapak "D" yang tak lain dan tak bukan suami terbaru ibunya dengan si ibu kandung "Z" yang mengundang "X" ini. Begitu pulang dari acara akad nikah, meluncurlah banyak cerita mengesankan yang bisa kita ambil sebagai pelajaran untuk diri kita sendiri.

***

Di akad nikah itu, undangan yang hadir tidak banyak, mengingat rumah keluarga ibu "Z" tidak luas. Sebagian besar adalah keluarga pengantin, di mana "X" merasa nyaman bergabung. Ternyata keluarga pak "D" juga hadir di situ. Mereka saling berbisik dan memasang mata jeli untuk memantau siapa yang akan menikahkan pengantin sebab ayah kandung pengantin tak nampak hadir. Bahkan kehadiran mereka di acara itu sebenarnya lebih dipicu oleh kebingungan mereka waktu membaca undangan yang menyebutkan bahwa pengantin perempuan adalah anak bapak "D" dengan ibu "Z". Padahal sudah jelas pak "D" keluarga mereka adalah pendatang baru di rumah tangga itu.

Benar saja, pengantin yang menggunakan prosesi adat Jawa sesuai adat keluarga pengantin lelaki tidak dinikahkan oleh ayah kandungnya. Yang ada hanyalah kakak kandung si ayah yang datang dari kampung halaman mereka di Sumatera berdua dengan istrinya dan seorang anak mereka. Ya, cuma ketiga orang itulah keluarga dari pihak ayah kandung pengantin perempuan.

Sebagaimana lazimnya adat Jawa, pengantin perempuan tidak keluar dari kamar pengantin. Jadi pengantin tidak dipersandingkan dalam akad nikah. Penghulunya nampak masuk ke kamar pengantin membawa catatan yang nampaknya akan dipakai mencatat hasil tanya-jawab dengan si pengantin perempuan sebagai syarat pelengkap administrasi pernikahan. Setelah itu pembawa acara membuka kegiatan dengan menyebutkan bahwa akan dilaksanakan pernikahan putri bapak "D" dengan ibu "Z". Lalu bapak "D" dipersilahkan mengambil tempat, diikuti oleh uwak lelaki si pengantin, yakni kakak kandung ayah kandungnya. Di sini terjadi lagi tanya-jawab antara penghulu dengan mereka. Uwak pengantin kelihatan terbata-bata, matanya memerah lalu sedikit terisak. Baru selanjutnya disebutkan bahwa pengantin akan dinikahkan oleh uwaknya atas persetujuan dan izin ayah kandungnya, dengan disaksikan ayah tirinya, bapak "D".

Selesai akad nikah, si uwak kelihatan bergegas berpamitan. Sehingga menimbulkan keriuhan kecil selayaknya drama sinetron di televisi dengan disaksikan para undangan. Sebab keluarga ibu "Z" menahan beliau dengan alasan upacara adat akan dilangsungkan segera. Mereka diharapkan menyaksikannya. Meski bersikukuh untuk pulang, tetapi rupanya ada seorang di antara mereka yang cukup bijak. Dia menyampaikan permohonan dengan manis, sehingga si bapak tinggal duduk lagi di sudut ruang pada tangga naik menuju lantai atas rumah kediaman itu dengan istrinya. Mata mereka nampak basah menangis. Tak tahu apa yang ada di benak mereka.

Di akhir prosesi acara "Panggih Manten" yang berupa sungkeman atau menyembah sujud kepada para tetua, sepasang orang tua tadi dibiarkan saja tanpa dihampiri. Sehingga lagi-lagi mereka seperti tak dianggap penting sehingga kembali menangis diam-diam. Hal ini semakin memicu keingintahuan keluarga bapak "D" tentang apa yang terjadi. Mereka saling berbisik dan terus melirik ke arah tangga.

Singkat cerita, "X" berhasil menangkap isi pembicaraan orang dalam keluarga bapak "D" dan ibu "Z". Rupanya, ayah kandung pengantin perempuan dan keluarganya tersinggung atas sikap dan tindakan ibu "Z" yang bersifat sepihak sejak anak gadis mereka dilamar setahun yang lalu.

Pada waktu itu ibu "Z" baru saja menikah dengan bapak "D" yang terhormat. Bapak "D" dijadikan tokoh sentral di dalam acara lamaran anaknya, padahal ada bapak kandung si gadis di hari itu. Mengundang si bapak kandung tentu suatu keutamaan, bahkan wajib, karena bagaimana pun juga seharusnya justru beliau yang berperan menerima lamaran anaknya. Anehnya, figur bapak kandung ini diperlakukan sebagai angin lalu saja. Beliau tak didudukkan bersama mantan istrinya, melainkan disendirikan, sebab bapak "D" lah yang ada di sebelahnya menghadapi calon besan mereka. Begitu lamaran selesai, si calon pengantin diminta bersalaman. Dan dengan santainya dia melewati saja ayah kandungnya sendiri. Tentu saja beliau jadi merasa tersinggung dan merana. Padahal, anak gadis yang dibesarkannya dulu itu adalah lulusan perguruan tinggi ternama yang sekarang bekerja sebagai PNS di suatu instansi yang bergengsi seperti bapak tirinya, "D". Bagaimana mungkin orang dengan bekal ilmu serta pekerjaan seperti itu tidak tahu etika sopan santun terhadap orang tuanya? Saya dan "X" pun mengelus dada mendengar cerita ini.

Tak cukup sampai di situ, pak "D" dan bu "Z" tidak menghendaki ayah kandung si pengantin perempuan hadir di resepsi yang dikabarkan mengundang seribu lima ratus undangan yang sebagian besar merupakan para pejabat papan atas. Nah inilah yang memicu ketersinggungan si ayah hingga meluap-luap. Sebagai akibatnya, ya begitu tadi. Beliau menolak menikahkan anak gadisnya sendiri, menolak pula menginjakkan kaki di rumah itu. Lagi-lagi saya dan "X" mengelus dada.

***

Berkaca dari kehidupan nyata yang serunya melebihi drama sinetron betulan di televisi, saya cuma ingin menggaris bawahi bahwasannya cinta itu bisa menimbulkan luka. Kalau sudah demikian yang jadi pertanyaan saya, syahkah pernikahan si gadis mengingat ayah kandungnya masih hidup dan tidak kehilangan akal serta kemampuannya untuk menikahkan? Jawabnya hanya ada pada hati nurani masing-masing. Begitulah hendaknya..........

Semoga kita semua terhindar dari segala perbuatan yang tercela, insya Allah.

12 komentar:

  1. hmmm, paling enak itu pernikahan kita direstui semua orang, terutama orang tua kandung kita... mudah-mudahan biduk rumah tangga sang pengantin akan tetap berlayar dengan selamat...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tentunya gitu ya, meski walau yang menikah dengan restu pun masih mungkin saja cekcok, tidak rukun dan seterusnya. Apalagi ini yang tanpa restu ayah kandung, ya?

      Hapus
  2. Wahh.. orang tua mana yang tidak sakit hati kalau seperti itu Bunda..
    Turut prihatin. Semoga menjadi pelajaran bagi pembaca yang lain :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya tentu saja mas/mbak. Nanya ah, maaf ini siapa ya? Sepertinya kenalan baru buat saya.

      Hapus
    2. waahhh.. saya gak dikenali nih..
      Ini Haryo Bunda :p

      Hapus
    3. Wo Allah...... jadi ngikik sendiri. Kirain siapa. Nanti saya cari rumah barunya ya nak Sungging. Senangnya ketemu lagi di sini. Bila perlu begitu ketemu langsung tak follow wae ah. :-)

      Hapus
    4. Rumah baru saya di sini Bunda :
      http://expareto.wordpress.com/ Monggo kalau mau mampir, tulisannya ya itu-itu saja.. Hehhee
      Rumah barunya Bunda rame nih kayaknya :D

      Hapus
    5. Rumah saya ini juga tulisannya gitu-gitu juga. Jadi rame apanya? Yang punya nini-nini katrok pisan :-P

      Hapus
  3. Menarik sekali sharingnya mba Julie, Kadang orang tua keras kepala tdk merestui pernikahan anaknya jika tdk sesuai dgn keinginannya, Dan pengalaman yg indah ini bukan saja dialami oleh keluarganya mba Julie, Tapi hampir menyebar kesetiap pelosok/Daerah di tanah air.Termasuk keluargaku juga pernah mengalami hal yg sama.Namun pada akhirnya direstui saat kedua anaknya hidup bahagia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini bukan kasus keluarga saya. Saya mendapatkannya dari orang yang baru saja diundang menghadiri peresmian pernikahan yang kedua orang tuanya sudah bercerai. Si ibu menikah lagi, bapaknya tidak dilibatkan dalam pernikahan anaknya ini karena si ibu melibatkan suami barunya, akibatnya anaknya jadi tidak menghargai bapaknya. Ini yang menimbulkan amarah bapaknya, dia lalu tidak mau merestui pernikahan anaknya, begitu.

      Sekali lagi maaf, saya tidak kenal mereka lho.

      Hapus
  4. kog gini ya jadinya.. apa dulu bapaknya sang pengantin dulunya punya "kasus" keluarga jadi ga disandingkan saat menikah sebagai orangtua sebener? ato emang semua dibiayai bapak tiri?
    agak rancu juga sih mbak sama aturan gini.. tapi emang iya moral kog ga ada ya.. rasa hormat sama orangtua juga ga ada..
    pasti mantan istri dan suami barunya "ngerasa" deh.. toh semua orang juga ngerasa..
    selamat menempuh hidup baru ya..

    jadi inget cerita temen dari belanda nih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf saya bukan kenalan mereka, jadi nggak ngerti. Saya posting cuma karena dengar cerita begitu, jadi untuk mengingatkan kita semua supaya nggak melakukan hal yang nggak terpuji begini di masa yang akan datang.

      Ada kasus apa dengan teman Belandanya jeng Tin?

      Hapus

Pita Pink